Sejarah

Sejarah Bahasa (175): Bahasa Larantuka di Flores Timur, Bahasa Melayu di Larantuka; Portugis, Cabo de Flores dan Wisata Katolik


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Larantuka sebuah
kecamatan sebagai ibukota dari Kabupaten Flores Timur. Larantuka tujuan wisata
rohani bagi umat Katolik Nusa Tenggara Timur. Kota terletak di kaki gunung Ile
Mandiri memiliki tradisi peninggalan Portugis.
Kerajaan
Larantuka sebuah kerajaan di Nusa Nipa (Pulau Naga) dalam bahasa Portugis
disebut Cabo de Flores (sebagai Pulau Flores). kerajaan Kristen-Katolik pertama
di Nusantara.


Bahasa
Melayu Larantuka atau yang sering disebut bahasa Nagi adalah bahasa yang
digunakan orang Larantuka. Penuturnya terdapat di Larantuka, Flores Timur, desa
Wure di pulau Adonara serta tersebar di Kab. Flores Timur dan sekitarnya.
Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Beberapa kata dalam bahasa
Nagi diserap dari bahasa Portugis. Kata ganti orang, Kata ganti orang pertama
tunggal: kita; Kata ganti orang kedua tunggal: engko; Kata ganti orang pertama
jamak: torang; Kata ganti orang kedua jamak: korang; Kata ganti orang ketiga
jama: dorang. Ada beberapa kata Bahasa Indonesia yang disingkat dalam pergaulan
harian, misalnya mana disingkat menjadi na. Agar bunyinya terdengar menarik
biasa disisipkan huruf e di depan menjadi ena. Contoh kalimat, Engkau dari
mana? menjadi Engko dari (e)na? Saya tidak bisa, menjadi kita te bisa le.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu
Larantuka di Larantuka di Flores Timur? Seperti disebut di atas bahasa Melayu
Larantuka dituturkan di Larantuka dan sekitar. Portugis, Cabo de Flores dan daerah
tujuan wisata Katolik. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu Larantuka di
Larantuka di Flores Timur? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Melayu Larantuka di Larantuka di Flores Timur;
Portugis, Cabo de Flores dan Daerah Wisata Katolik

Bahasa Larantuka adalah bahasa di Larantuka yang
memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu. Lantas sejak kapan nama tempat
Larantuka dikenal? Tidak diketahui secara pasti, tetapi nama Larantoeka sudah
dikenal pada era VOC/Belanda. Bagaimana pada era Portugis? Tampaknya belum
terinformasikan.


Pada tahun 1511 Portugis menduduki Malaka. Pada tahun ini juga dua kapal
Portugis dikirim ke Maluku. Rute navigasi pelayaran yang dilalui dipetakan pada
tahun 1513. Dalam peta No 20 diidentifikasi Sumbaia (pulau Sumbawa?), Aramaram
(pulau Mangaray); Cabo de Floris (Tanjung de Floris), Solor (pulau Solor?) dan
Timor (pulau Timor). Nama-nama yang diidentifikasi itu tampaknya nama-nama
pulau besar yang dilihat dari sisi utara dari arah barat (Jawa) ke arah timur
(Maluku). Kehadiran Portugis di kawasan dimulai oleh kegiatan misionaris di
Lahajong pada tahun 1557. Disebutkan pedagang dari Makassar berdagang di kawasan
(kayu cendana) dengan mempekerjakan tenaga kerja yang dibawa yang juga menjalik
kerjasama dengan penduduk asli di pedalaman. Untuk melindungi kegiatan misi Portugis
dan membuka ruang perdagangan, pertahanan Portugis di Amboina tahun 1575 diperluas
ke (pulau Solor) Solor dan Coepang (Timor bagian barat).

Sejak kehadiran pelaut Belanda di Hindia Timur (yang
bekerjasama dengan Radja Bali, 1597), pelaut/pedagang Portugis mulai terancam.
Akhirnya pada tahun 1605 pelaut Belanda di bawah pimpinan admiral van Hagen
menyerang Portugis di Amboina (Fort Victoria). Lalu untuk meratakan jalan
antara Jawa dan Bali ke Maluku (Fort Amboina), pelaut Belanda pada tahun 1613 menyerang
Portugis di Solor dan di Coepang (orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau
Timor (kini wilayah Timor Leste). Lalu yang terakhir VOC/Belanda mengusir
Portugis di Malaka dan Kambodja pada tahun 1641. Praktis koloni Poerugis di
Hindia Timur hanya tersisa di Timor (timur) dan di Macao.


Pasca pendudukan Malaka,
sebanyak tujuh misionaris Portugis dengan empat belas Cina Katolik berangkat ke
pulau Flores. Rombongan kecil yang berkoloni ini, dipimpin oleh Uskup Henrico,
yang menetap di pantai Flores di bawah bayang-bayang bendera Portugis (Timor)
dan pemberitaan Injil dimulai. Gereja-gereja dibangun di Éndé, Sikka, Mauwerie,
Congay, Larentoeka, Woerch, dimana agama Katolik diterima dengan baik oleh
penduduk asli dan pengaruh Portugis diperkuat. Raja Fiores menganut agama
Katolik, dan contoh ini diikuti oleh pengikutnya di pesisir, yang hidup
bersaudara dengan orang Portugis (lihat Annalen van het Genootschap tot
Voortplanting des Geloofs; behelzende brieven van de bisschoppen en
missionarissen van de missien der onderscheidene werelddelen… 1867). Catatan:
Congay dan Woereh di pulau Adonara.

Besar dugaan nama Larantoeka paling tidak sudah terinformasikan
setelah Malaka diduduki VOC/Belanda pada tahun 1641. Kehadiran orang Portugis
yang membuka gereja di Larantoeka pada tahun 1641 dianggap penting karena nama
tempat Larantoeka akan menjadi lebih dikenal oleh penduduk asli maupun oleh
pendatang.


Seperti disebut di atas, pada masa lalu Cabo del Floris adalah Tanjung Floris
di ujung timur pulau Aramaram (pulau Mangarai) yang tepat berada di wilayah
Larantoeka. Antara Cabo del Floris dengan Solor/Adenaro adalah jalur pintu
masuk navigasi pelayaran ke pulau Timor bagian barat, pantai selatan pulau
Aramaram dan pulau Sumba. Lasajong berada di sisi utara pulau Solor dan Larantoeka
di sisi tenggara Cabo del Floris. Para misionaris dari Malaka memilih
Larantoeka di tempat strategis (wilayah yang sudah sejak lama ramai; bahkanm
sejak era Majapahit—lihat Negarakertagama 1365). Meski Belanda sudah menguasai
Solor dan Coepang sejak 1613, tampaknya bagian-bagian lain di wilayah Timor dan
sekitar para raja-raja masih banyak yang idenpenden termasuk di Larantoeka.
Misionaris dari Malaka diterima dengan baik oleh radja di Larantoeka.

Demikianlah kehidupan berlangsung di Larantoeka dan
terus berlanjut untuk waktu yang lama. Nama Larentoeka juga dicatat oleh Francois
Valentijn (1726). Nama (pulau Floris) juga kerrang dipertukarkan dengan pulau
Ende. Disebutkan negeri Floris atau Pulau Ende, tempat orang Macassar (baca: orang
Mandar dan Wadjo) berdagang. Di bagian luar sisi timur terdapat benteng
pertahanan Portugis bernama Larantoeka yang eksis disana tanpa gangguan (lihat Verhandelingen
van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen, 1786).


Negara itu sendiri (Floris pulau Ende) terbagi menjadi beberapa negeri
atau Desa, dan di antara mereka para tetua penduduk mempunyai kekuasaan, tanpa
seorang Raja. Raja Bima mempunyai beberapa orang negeri disini, dan konon
dahulu kala Raja Bima bertahun-tahun mendapat keuntungan yang banyak.
Pada tahun 1756, VOC
memberikan izin kepada orang Makasar untuk berlayar lagi di Ende dan Mangary,
yang terletak di sisi barat laut pulau ini, dengan syarat tidak membuat
gangguan atas penyitaan kapal dan pengaturan muatan yang merugikan VOC (di Koepang).
Setelah itu, setiap tahun di
bulan Februari dan Maret, sejumlah armada Paduackang (kapal yang terletak di
pedalaman, yang juga bisa mendayung dengan tenang) berangkat dari Macasfar,
yang membawa emas, juga salempoeris biru dan merah, untuk diperdagangkan, porselen
kasar, parrang, gigi Gajah, dan kerajinan tembaga Asli, yang dilakukan pada
bulan Agustus dan September.

Namun yang menarik dari laporan terakhir tersebut
pada era VOC bahwa di pulau Flores termasuk di Larantoeka tidak ada Radja
(mungkin maksudnya seperti radja di Bima) dan hanya dikepalai oleh para tetua
adat/penduduk. Namun semuanya eksistensi Portugis di pulau Floris/Flores harus
berakhir dengan semakin menguatnya Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan
Inggris). Tanda-tanda monument Portugis tampaknya berakhir pulau di Larantoeka
tahun 1818.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Portugis, Cabo de Flores dan Daerah Wisata Katolik:
Bahasa Melayu Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top