Sejarah

Sejarah Bahasa (23): Bahasa Kulawi Dialek Kaili Sulawesi Tengah Asal Toradja? Danau Lindu, Gunung Kulawi dan Danau Lore


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku
Kulawi atau juga dikenal sebagai Suku To Kulawi merupakan suku yang berasal
dari provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Sigi yang masih masuk
daerah Donggala. Wilayahnya meliputi Danau Kulawi, Danau Lindau, Dataran Gimpu,
dan sekitar aliran sungai Koro yang telah dihuni oleh leluhur mereka sejak masa
zaman prasejarah. Suku ini merupakan suku yang termasuk suku minoritas di
provinsi Sulawesi Tengah menggunakan bahasa Moma.

 

Moma
(atau Kulawi) adalah bahasa yang dituturkan oleh etnis Kulawi di Sulawesi
Tengah, salah satu dialek dari bahasa Kaili, tetapi berbeda karena pengaruh bahasa
Uma. Suku Kulawi salah satu bagian dari kelompok suku Toraja Barat. Menurut
legenda dari Suku Kulawi, mereka berasal dari Sigi dan Bora yang terletak di
lembah Palu. Pada tahun 1905 dibawah komando seorang pahlawan dari Suku Kulawi
bernama Towualangi (Taentorengke) memimpin peperangan melawan pihak Belanda. Pemerintah
Hindia Belanda membuat daerah Kulawi kerajaan bernama Kerajaan Kulawi tahun
1906 dan memasukkan dataran Lindu kedalam administrasi Kerajaan Kulawi. Raja
dalam Suku Kulawi disebut sebagai Magau atau Sangkala. Raja beserta keluarganya
tinggal didalam rumah adat yang disebut sebagai Sourja. Selain itu pada tahun
1908 pihak kolonial Belanda diresetelmen kembali menjadi 3 daerah pemukiman
yaitu: Penduduk yang tinggal di pemukiman Paku Anca yang kemudian disatukan
menjadi satu tempat bernama Anca; Penduduk yang tinggal di pemukiman Wongkodomo
dan Langko yang kemudian disatukan menjadi satu tempat bernama Langko; Penduduk
yang tinggal di pemukiman Olu, Palili, dan Luo yang kemudian disatukan menjadi
satu tempat bernama Tomado.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Kulawi di wilayah
Sulawesi Tengah? Seperti disebut di atas penutur bahasa Kulawi terdapat di
wilayah kabupaten Sigi yang sekarang, Bagaimana dengan bahasa Kulawi dialek
Kaili asal Toradja di lanskap gunung Kulawi dan danau Lindu dan danau Lore? Lalu
bagaimana sejarah bahasa Kulawi di wilayah Sulawesi Tengah? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Kulawi di Wilayah Sulawesi Tengah; Dialek Kaili
Asal Toradja; Gunung Kulawi dan Danau Lindu dan Lore

Kelompok populasi Da’a seperti pada artikel
sebelumnya, kelompom populasi Koelawi juga diasosiasikan dengan kelompok
populasi Kaili. Kaili Da’a berada di arah selatan teluk Palo, sedangkan Kaili
Koelawi di arah timur (tenggara). Keberadaan orang To Koelawi dilaporkan
pertama kali oleh Dr N Adriani dan AC Kruijt yang diterbitkan dalam MNZG, 1898.


Oleh karena Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz) yang pernah ke pedalaman dari
teluk Palo, apa yang menjadi sumber tulisan Adriani dan Kruijt berasal dari pemahaman
orang-orang yang berada di wilayah pantai terutama di pantai utara teluk Tomini
dan danau Poso. Dalam tulisan mereka disebutkan orang Koelawi bermukim di barat
daya danau Lindoe diketinggian 500 M. Orang Koelawi salah satu stem (sub kelompok
populasi di wilayah lanskap Sigi). Mereka adalah orang-orangnya bersahaja dan
jujur (naif dan berani). Mereka mengaku sebagai keturunan seorang pangeran Sigi yang atas
undangan roh pohon Kulawi, menetap di sana sebagai bagian dari tawanan perang. Lanskap
Koelawi terdiri dari 11 kampong dengan jumlah populasi sekitar 2.200 jiwa.
Mereka adalah pemburu seperti orang Dajak yang mengambil kulit kepala musuh
mereka yang digunakan sebagai hiasan senjata dan rumah mereka.

Ekspedisi Paul Sarasin dan Fritz Sarasin memulai ekspedisi
pada bulan Juli dari teluk Palos dengan tujuan Palopo melalui pedalaman. Pada
hari ketiga Sarasin bersaudara dengan 120 orang kuli tiba di Pakoeli, ada
ngarai yang bervegetasi lebat mengali sungai Goembasa yang mengalir ke teluk
Paloe (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1902).
Kampong Pakoeli ini masuk wilayah lanskap To Waeli. Dari Pakoeli medannya
semakin terjal dan semakin jarang ditemukan penduduk. Pada hari keenam tiba di Kulawi,
sebuah daerah pedesaan dengan persawahan yang indah, sekitar lima ratus meter
di atas permukaan laut.
Orang Kulawi adalah stem Toradja salah satu ciri
wajah yang istimewa, namun belakangan kita ketahui, orang-orang ini sangat
ditakuti karena seringnya mereka melakukan penyerangan terhadap musuh-musuhnya
di sekitar.


Dari Kuwali, Danau Lindue dikunjungi. Memang tidak besar, tapi sangat
indah, di sisi timurnya dikelilingi pegunungan tinggi, Ngilalaki. Letaknya di
ketinggian 100 kaki dan dapat menjadi stasiun kesehatan kelas satu di masa
depan. Yang lebih aneh lagi, sudah terlihat bahwa di bawah setiap rumah ada
peti mati, dan peti mati itu dipahat dengan sangat indah. Sarasin bersaudara
dihadang di Koelawi dan mundur ke Sakeli tiga hari perjalanan dan kembali lagi
ke Koelawi. Selama dua hari berada di pinggir sungai Koro hingga tiba di Gimpoe
sampai di aliran sunbgai utama, sungai yang muaranya terletak di Lariang. Dari
Gimpo jalan menjadi sangat sulit jalan mengarah sepanjang tepi kanan sungai
Doro, terkadang melewati dinding gunung yang curam jauh di atas sungai,
terkadang melewati batu-batu besar di sungai. Bisa dikatakan, wilayah itu tidak
berpenghuni. Di tepi seberang ada pemukiman kecil. Dari Korodal melewati
punggung gunung yang cukup tinggi ke arah Timur. Lalu memasuki wilayah lanskap Bada
sebuah dataran aneh di tengah pegunungan, sekitar delapan ratus meter di atas
laut.
Di dataran terdapat banyak desa, yang lebih besar, akibat seringnya
peperangan kampong membuat benteng, tembok tanah ditanami bamboo. Pedang dan
tombak yang ditempa di negara itu sendiri memiliki kesempurnaan yang tinggi.
Setelah beberapa hari, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan melewari
pegunungan tinggi 1900 M dpl hingga ke lanskap Leboni (bawahan wilayah Loewoe; kini wilayah Rampi).
Di Lobo (rumah roh)
tergantung tengkorak asli dan banyak potongan menghiasi loteng jerami dari dua
kayu kasar. sosok yang dianggap mewakili nenek moyang suku tersebut. Di sini
ada kebiasaan menyembelih tawanan perang dan budak dalam berbagai kesempatan (mereka
mengonsumsi sepotong kecil otak atau daging dan sedikit darah dan katanya, ini
membuat mereka berani dalam pertempuran). Termometer turun hingga 11 Celcius
namun dataran tersebut tidak lebih tinggi dari seribu meter di atas laut. Lalu
ditemukan dataran tinggi yang puncak tertingginya disebut Takala. Saat ini para
pelancong melakukan perjalanan di ketinggian berkisar antara 1500 hingga 2000
M. Pada hari keempat setelah meninggalkan Leboni, para pelancong telah melihat
barisan pegunungan tinggi di arah timur, mungkin yang tertinggi di Sulawesi
Tengah sekita 3.500 M. pada hari ke-8 sampai di desa Waiboenta dan akhirnya
tiba di Palopo tanggal 3 Oktober.

Dari laporan Sarasin bersaudara danau Lindoe berada
di lanskap Koelawi. Dari lanskap Koelawi jalan semakin sulit hingga ditemukan
daratan tinggi (lanskap Bada). Wilayah yang sulit ini mengindikasikan kawasan yang
memberi arah ke empat penjuru angin. Ke wilayah barat ke pantai barat melalui
sungai Lariang, ke timur melalui lanskap Bada ke danau Poso. Rute perjalanan Sarasin
bersaudara dari utara di Paloe hingga selatan di Palopo dapat digakatan garis
lurus.


Satu yang jelas dari laporan Sarasin bersaudara ini bahwa lanskap Koelawi
adalah lanskap yang subur, berkecukupan di dataran tinggi pedalaman, Mereka adalah
pemberani dan memiliki seni pahat yang baik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gunung Kulawi dan Danau Lindu Danau Lore: Peta Bahasa
Bahasa di Sulawesi Tengah

Kelompok populasi penutur bahasa Koelawi belum lama
dikenal. Dua yang pertama mempelajarinya adalah Dr N Adriani dan AC Kruijt
(1898). Lalu kemudian tentang orang Koelawi dilengkapi oleh Sarasin bersaudara:
Dr P Sarasin dan Dr F Sarasin (1902). Dua ahli Swiss/Jerman ini menyatakan
orang Koelawi sebagai kelompok populasi jujur dan berani. Lalu dengan
dikenalnya wilayah Koelawi, Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang pemerintahan
di wilayah Koelawi.


Pada tahun 1905 di wilayah Hindia hanya tinggal dua wilayah yang masih
melakukan perlawan terhadap otoritas pemerintah. Di Atjeh masih massif perlawanan,
diantaranya perlawanan yang dipimpin oleh Teuku Oemar; di Tanah Batak
perlawanan yang dipimpin oleh Sisingamangaradja. Sementara itu, di wilayah
Papoea, memang tidak ada perlawanan dari kelompok populasi setempat, tetapi
yang terjadi adalah para pejabat Pemerintah Hindia Belanda baru memulai pembentukan
cabang-cabang pemerintahan di berbagai wilayah di Papua. Bagaimana dengan di
pulau Sulawesi?

Pada tahun 1902 Sarasin bersaudara ditahan oleh
kelompok populasi Koelawi ketika dalam perjalanan ekspedisi ilmiah dari Paloe ke
Palopo. Sarasin bersaudara harus mundur tiga hari perjalanan hingga akhirnya
satu kekuatan militer didatangkan dari Makassar untuk menekan Radja Sigi. Dalam
situasi Radja Sigi yang tertekan, dan Radja Sigi yang cukup kenal dengan orang
To Koelawi, akhirnya Sarasin bersaudara mendapat akses untuk melewati lanskap
Koelawi untuk meneruskan perjalanan mereka dari Koelawi ke Palopo. Saat Sarasin
bersaudara di Koelawi yang ditemani oleh para pemimpin local wilayah lain, orang
Koelawi tetap menunjukkan ketidaksenangan terhadap kehadiran orang asing di
wilayah mereka.


Soerabaijasch handelsblad, 26-12-1905: ‘Telegram dari Donggala via
Balikpapan, 26 Desember 1905. Berita dari Sulawesi Tengah. Satu pasukan dibawah
komandi Mulder sukses besar sampai ke Koelawi dan bisa dikatakan seluruh Lembah
Paloe (Sigi) kini menjadi wilayah pemerintah. Namun, perlawanan ditemui di Koelawi;
tempat orang-orang dari Lindoe bergabung. Lanskap Koelawi dan Lindoe keduanya
terletak di dataran tinggi di pegunungan dan dibentengi; Kelompok populasi ini hampir
tidak dapat diakses. Letnan Mulder dievakuasi ke Makasser karena sakit. Letnan
Vink telah ditunjuk sebagai komandan pasdukan menggantikannya. Dia meminta
penguatan pasukan. Instruktur Hagen dikirim ke sana dengan 30 pradjoerit’.

Bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh orang To
Koelawi terhadap otoritas pemerintah tidak terinformasikan secara detail.
Apakah komandan pasukan Letnan Mulder terluka, sehingga harus digantikan Letnan
Viuk dengan menambah jumlah pasukan? Seperti disebut di atas, Sarasin bersaudara
menggambarkan orang Koelawi sebagai stem (keturunan) Toradja, kelompok populasi
di sekitar danau Lindoe yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya.


Dr Adriani dan AC Krujit memperkirakan kelompok populasi To Koelawi tersebar
di 11 kampong dengan jumlah populasi sekitar 2.000 jiwa. Satu kelompok populasi
yang terbilang sedikt, tetapi mengapa begitu berani melakukan perlawanan
terhadap otoritas Pemertintah Hindia Belanda? Lalu siapa yang memimpin perlawanan
di lanskap Koelawi? Di lanskap Toba (di seputar danau Toba) perlawanan yang
dipimpin oleh Sisingamangaradja sudah sejak 1876 dan masih berlangsung hingga
tahun 1905. Seperti kita lihat nanti Sisingamangaradja baru dapat dikalahkan
setelah tertembak oleh pasukan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1907.

Perlawanan orang Koelawi tampaknya mampu mengatasi
militer Pemerintah Hindia Belanda di lanskap Koelawi. Militer pemerintah
dipukul mundur hingga menjauh dari Koelawi. Komandan militer tidak lagi berpangkat
letnan tetapi sudah dikendalikan oleh perwira berpangkat mayor. Disebut Mayor
Vis yang bermarkas di Toewa dari tanggal 31 Desember hingga 3 Januari telah mundur.
Laporan Vis menyebutkan pasukan Koelawi terlalu berani (lihat De Preanger-bode,
16-01-1906).


Mayor Vis yang mundur, lalu memerintahkan Kapten Phaff yang bermarkas
teluk Paloe untuk bergerak ke Poso untuk mengambil alih detasemen Voskuil di
Posso untuk bergerak cepat melalui
Towaeli, Toboli, Posso untuk
menggulingkan Napoe dan Lindoe di Kulawi.
Kapten Phaff dengan pasukan
100 bayonet yang bergerak dari teluk Paloe melalui Lindu ke Kulawi membatalkan
karena karena kondisi medan dan sungai yang sulit serta tidak adanya pelayaran
di Toboli. Pada tanggal 9 Januari, Toewa diduduki kembali oleh seorang perwira
dan enam puluh bayonet. Pada 10 Januari, Kapten Pnuff melaporkan sebagai
berikut: “Saya akan kembali ke Toewa, saya ingin memaksakan orang Momie/Koelawi.
Kapten Phaff dan pasukannya baru tiba di Toewa pada tanggal 12 Januari. Dalam
berita tersebut juga dilaporkan bahwa besok satu seksi dari Batalyon 8 dan dua
perwira akan meninggalkan Makasser menuju Paloe, untuk menggantikan unsur-unsur
pasukan Sigi (pasukan pribumi?) yang kurang layak tempur.

Dari berita-berita di atas, tampaknya pasukan Koelawi
telah mendapat sokongan dari orang Napoe dan orang Lindoe. Para letnan Mayor
Vis tampaknya kesulitan melawan Koelawi sehingga harus menggerakan pasukan yang
menjaga markas di Paloe (yang dipimpin oleh Kapten Phaff). Pasukan terdekat
hanya ada detasemen di Poso (tetapi sulit mendapat akses). Pasukan tambahan kembali
didatangkan dari Makassar. Lantas apakah perlawanan Koelawi akan dapat
menandingi militer Pemerintah Hindia Belanda?


Laporan komandan militer (Mayor Vis?) tanggal 26 Januari mengindikasikan
kemajuan yang diperoleh Kapten ACL Phaff dan pasukkannya di Koelawi (lihat De
nieuwe vorstenlanden, 31-01-1906). Disebutkan setelah tiga hari perjalanan yang
berat di sepanjang tepi kiri sungai Mioe, hulu sungai Paloe dan melewati
beberapa punggung gunung, pasukan Phaff, dengan 93 bayonet, masuk tanggal 18 tepat
berada di belakang posisi musuh, di Toewa.
Dalam beberapa pertempuran kami
tidak menderita kerugian, tetapi musuh menewaskan 15 orang dan beberapa terluka
serta meninggalkan banyak senjata.
Pasukan pemerintah kemudian
menduduki Kampong Namo, yang terletak di puncak jembatan dan dengan demikian menguasai
sepenuhnya dataran Kulawi. Beberapa kepala suku kemudian menawarkan pengajuan menyerahkan
diri.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top