*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
Toraja adalah sebuah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar
500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja
Utara, dan Kabupaten Mamasa (di Mamasa disebut juga sebagai suku Mamasa). Agama
asli Aluk To Dolo. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang
berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial
Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan
ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.

Bahasa
Toraja-Sa’dan adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan sekitarnya, Sulawesi Selatan,
Indonesia. Sebagian besar pemetaan rumpun bahasa Toraja ini dikerjakan oleh
para Zendeling Belanda yang bekerja di Sulawesi, seperti Nicolaas Adriani dan
Hendrik van der Veen. Penutur bahasa Toraja juga ditemukan di sebagian besar
Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang bagian utara, dan di Kecamatan Kallumpang,
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Pemakaian bahasa Toraja di wilayah geografi
yang luas menyebabkan adanya beberapa dialek yang berbeda-beda, tetapi masih
bisa dimengerti oleh masing-masing pengguna dialek. Dialek bahasa Toraja
dibedakan menjadi dialek Tallulembang atau dialek Makale, dialek Kesu’, dialek
Mamasa atau dialek Galumpang, dialek Sa’dan-Balusu, dialek Simbuang, dan dialek
Palopo. Bilangan: Satu=Misa’; Dua=Da’dua; Tiga=Tallu; Empat=A’pa’; Lima=Lima; Enam=Annan;
Tujuh=Pitu; Delapan=Karua; Sembilan=Kasera; Sepuluh=Sangpulo; Sebelas=Sangpulo
misa’; Dua belas=Sangpulo da’dua. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Toraja di
Tanah Toraja, pedalaman di jantung Pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas
penutur bahasa Toraja umumnya di Tanah Toradja di pedalaman jantung pulau
Sulawesi. Bagaimana dengan penutur bahasa Batak di Tanah Batak pedalaman
jantung pulau Sumatra? Lalu bagaimana sejarah bahasa Toraja di Tanah Toraja, pedalaman
di jantung Pulau Sulawesi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa Toraja di Tanah Toraja, Pedalaman di Jantung
Pulau Sulawesi; Bahasa Batak di Tanah Batak Sumatra
Sejak kapan nama Toradja disebut? Yang jelas nama
Makassar dan Loewoe serta Banggai sudah dicatat di dalam teks Negarakertagama
(1365). Ini mengindikasikan bahwa nama Makassar dan Loewoe di pulau Sulawesi
sudah terbilang tua. Lalu bagaimana dengan nama Boegis dan nama Toradja?
Pada masa ini, bahasa Makassar, bahasa Bugis dan bahasa Tae dibedakan. Bahasa
Makassar umumnya di pantai barat Sulawesi bagian selatan; sementara bahasa Bugis
sebaliknya di pantai timur. Sedangkan bahasa Tae umumnya di bagian dalam teluk
Bone di Luwu. Dalam hal ini bahasa Luwu adalah bahasa Tae. Perbedaan bahasa Bugis
dan bahasa Tae dapat dibaca dalam studi Suparman (Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra, Vol. 1, No. 2, 2021).
Nama Boegis dan nama Toradja paling tidak dapat
ditemukan dalam deskripsi geografi karya Francois Valentijn (1726). Francois
Valentijn menyatakan bahwa Boegis dan Toradja adalah bangsa-bangsa di bawah
raja Boni, sangat cerdik, berani, militan, bangga, suka membunuh dan sangat
pendendam. Orang Boegis dan Toradja tidak seputih orang Makassar.
Sejak kahadiran orang Eropa nama Makassar tetap eksis. Dalam peta-peta
awal pelaut Portugis (1511-1513) nama Makassar diidentifikasi. Di wilayah Makassar
inilah kemudian dikenal kerajaan Gowa, kerajaan yang memiliki kejayaan dan kemakmurannya.
Nama Makassar juga tetap eksis sejak awal era VOC/Belanda. Perselisihan yang
terjadi antara VOC dengan (kerajaan) Gowa akhirnya terjadi perang. Kerajaan
Gowa akhirnya pada tahun 1669 hancur. VOC yang menaklukkan Gowa ini juga turut
dibantu oleh salah satu pangeran dari Bone (Aroe Palaka; dari Palakka). Sejak
hancurnya kerajaan Gowa di Sombaopoe, Pemerintah VOC mendirikan benteng di
Oedjoeng Pandang, benteng Rotterdam. Sementara sebelumnya Pemerintah VOC telah
membangun benteng Amsterdam di Manado pada tahun 1659. Area benteng Amsterdam
inilah yang menjadi cikal bakal kota Manado dan area benteng Rotterdam menjadi
cikal bakal kota Makassar.
Tampaknya Francois Valentijn mengganggap penting
warna kulit antara orang Makassar yang lebih putih, relative terhadap orang
Bugis dan orang Toradja yang lebih gelap. Jika di kawasan teluk Bone terdapat
orang Boegis dan orang Toradja, lalu bagaimana dengan orang Loewoe, nama yang
sudah dicatat sejak era Madjapahit dalam teks Negarakeragamat? Satu yang jelas
dalam hal ini orang Makassar, orang Bugis dan orang Luwu berada di wilayah pesisir/pantai
(merujuk pada kerajaan di Loewoe, kerajaan di Makassar dan kerajaan di Bone.
Kerajaan Bone inilah kemudian diasosiakan sebagai kerajaan Boegis. Bagaimana
dengan orang Toradja? Orang Toradja cenderung berada di belakang pantai hingga
jauh ke pedalaman.
Seperti disebut di artikel sebelumnya, ada cerita rakyat diantara orang
Toradja di danau Poso, dahulunya orang Toradja di danau Poso diserang oleh
orang Wotoe, dan kemudian orang Watoe diserang dan ditaklukkan oleh orang
Loewoe. Orang Toradja di danau Poso menjadi subjek dari (kerajaan) Loewoe.
Menarik untuk diperhatikan, Francois Valentijn menyebut orang Bugis dan orang Toradja
adalah subjek dari kerajaan Bone. Dua kelompok populasi yang relative lebih
gelap dibandingkan kelompok populasi Makassar. Lantas bagaimana antara kerajaan
Loewoe dan kerajaan Bone? Tampaknya ada tiga kerajaan pantai: Loewoe, Makassar
dan Bone. Dalam hal ini subjek kerajaan Bone adalah orang Boegis dan orang
Toradja; subjek kerajaan Loewoe adalah orang Wotoe dan orang Toradja di utara
di danau Poso (kelak disebut orang Pamona). Apakah dalam hal ini orang Boegis awalnya
adalah orang pedalaman sebagaimana orang Toradja? Orang Loewoe memiliki hikajat
asal usul (penciptaan) yang dicatat dalam (Lontara) La Galigo.
Dalam konteks inilah bahasa Toradja dibedakan dengan
bahasa Makassar, bahasa Bugis dan bahasa Tae (Loewoe). Ada sejumlah wilayah penutur
bahasa Toradja berbagi tempat dengan bahasa Boegis di satu sisi dan bahasa Tae
di sisi yang lain (terutama di wilayah Sulawesi Selatan bagian utara).
Seperti dikutip di atas, bahasa Toraja memiliki sebaran yang luas di
wilayah pedalaman Sulawesi: Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara.
Sebagian di Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamuju (Sulawesi
Barat). Dialek bahasa Toradja seperti dialek Tallulembang (dialek Makale),
dialek Kesu’, dialek Mamasa (dialek Galumpang), dialek Sa’dan-Balusu, dialek
Simbuang, dan dialek Palopo. Orang Toradja juga telah dibedakan dengan orang
Pamona (danau Poso), orang Koelawi (danau Lindoe).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Batak di Tanah Batak Sumatra: Penutur Bahasa di
Dunia Lama dan Ida Pfeiffer
Studi-studi bahasa belum lama. Topik dalam sejarah Indonesia
sejak era Hindia Belanda, bahasa dapat dikatakan berada pada urutan terakhir.
Topik bahasa diteliti jauh setelah populasi, pemerintahan, budaya (etnografi)
termasuk religi, botani, geologi, sastra dan pendidikan, kepurbakalaan, arsip
termasuk pemetaan dan pers, perang dan kerajaan-kerajaan serta lainnya. Di luar
bahasa Melayu, baru tahun 1850an ada perhatian terhadap studi-studi bahasa
seperti bahasa Batak (Dr NH van der Tuuk), bahasa Makassar dan Boegis (Dr Matthes)
serta bahasa Jawa, Lampoeng, Soenda dan Bali.
Tentang botani di Sulawesi sudah dilakukan oleh Georg Eberhard Rhumpius
di Ambon. Lalu kemudian disusul oleh juniornya di Ambon Francois Valentijn tentang
geografi sebagaimana dikutip di atas. Sejak lembaga ilmu pengetahuan yang
dirintis oleh Radermacher di Batavia pada tahun 1778, studi-studi lain di
berbagai tempat mulai dilakukan secara intens. Namun perkembangannya lambat,
terkonsentrasi di Jawa dan sangat sedikit di luar Jawa. Untuk di Sulawesi
sebelum era lembaga ilmu pengetahuan Batavia 1778, Roelof Blok melakukan studi
sejarah Makassar dan Sekitar dari tahun 1756 hingga 1760 (Gouverneur en
Directeur ter Zuidkust van Celebes). Hasil kajiannya tertanda kasteel Rotterdam,
31 December 1759. Studi Roelof Blok dilakukan setelah tiadanya Francois
Valentijn yang meninggal tahun 1727. Keduanya juga memanfaatkan arsip-arsip
negara (VOC) dan catatan kasteel Batavia (Daghregister). Jika digabungkan dua
sumber itu, maka pengetahuan tentang Sulawesi dan sekitar hanya bermula dari
situ. Catatan: Hasil karya Roelof Blok telah ditemukan Inggris di Makassar.
Lalu John von Strubenvoll, penerjemah untuk bahasa Jerman Rendah dan Inggris di
Makassar membuat terjemahan bahasa Inggris, yang kemudian diterbitkannya 1817
di Kalkuta atas persetujuan Gubernur Jenderal British India, Lord Hastings. Roelof
Blok meyakini bahwa sebelum Makassar atau Boni dikenal, kerajaan Loeboe,
kerajaan terkuat dan terbesar secara keseluruhan. Roelof Blok menulis nama dengan
Loeboe (bukan Loewoek). Prof Kern dalam teks aksara Jawa Kuno (Kawi) mentrasliterasi
nama-nama geografi ke aksara Latin sebagai Bantayan, Luwuk, Makasar, Butun
dan Banggawï (teks Negarakertagama 1365). Satu hal yang cukup penting, Roelof
Blok menerjemahkan sejumlah tulisan tangan (tidak disebutkan dalam bahasa dan
aksara apa) yang menjadi bahannya menyusun silsilah raja-raja di Makassar.
Sebagaimana disebut di atas, nama Makassar sudah disebut dalam Negarakertagama
1365. Ada empat urutan raja-raja awal: Tomanoeroenga yang juga disebut Batara
Goeroe; Talali, Ratoe Sapo Marantaija dan Karaeeng Katanka. Selanjutnya raja pertama
adalah Toema Salanga Baraeeng; kedua Ampoeng Lowe Leembang; ketiga,
Toenja Tabanrie; keempat digantikan putranya: Kraeng Poeanga-ri-Goa; kelima,
putranya Toenja Tankalopi dengan dua putra Batara Goa di Goa dan Karaeeng
Lowe-ri-Seero raja pertama Tellol dari pembagian tanah antara kedua bersaudara
ini kerajaan Makassar belum ada pada masa itu Toenja Tankalopi kemudian digantikan oleh putranya raja Goa: keenam
Batara Goa; ketujuh putra sulungnya menggantikan dia berhasil dalam
pemerintahan; ketujuh Toeniello de Pasonki; kedelapan Toema
Pari-Sika-Kallonna yang pada masanya orang Makassar sudah mulai membuat
beberapa catatan peristiwa sejarah. Raja ini memiliki hukum dan perintah yang
dibuat, kepala orang negro (penduduk asli) diangkat; Pada masa ini pelaut Portugis
yang baru menaklukkan Malaka diterima; sementara tetangganya di utara (Tello?)
berkembang; raja memperoleh kerajaannya melalui kemenangan; juga Saleijer dan
Boelekomba ditempatkan di bawah upeti, dan dengan beberapa pangeran diakui termasuk
di Boni dan Maros dengan perjanjian, dimana mereka memperlakukan satu sama lain
sebagai pangeran bebas, dan berkomitmen sebagai saudara hidup, tanpa salah satu
merugikan yang lain, tapi di untuk membantu dan membantu satu sama lain dalam
segala hal. Tak lama kemudian dari Maros, Poelembangkeeng dan Tello tidak
senang, tanpa mengetahui apa yang terjadi, tetapi mereka berperang melawan raja
ini, namun mereka takluk dan beberapa hari setelahnya Tello membawa hadiah ke
Goa, dan membuat perjanjian yang teguh dengan kerajaan itu, yang disumpah
dengan sumpah dan di dalamnya mereka menyatakan: bahwa semua orang yang
mempunyai perselisihan yang sama antara Goa dan Tello akan mencari selamanya dikutuk.
Akhirnya orang Makassar bilang begitu raja mulai membangun tembok Goa. Dia digantikan
dalam pemerintahan oleh putranya: kesembilan Toeni Palanga yang
menggunakan timbangan dan ukuran ditetapkan, harga juga ditempatkan di pasar
dan pertama bubuk mesiu telah dibuat. Dia telah menggunakan artileri berat
pertama benteng Goa, kemenangannya meningkat di seluruh Mandhar Kaijelie dan
selanjutnya Timur Laut menaklukkan Sulawesi sampai ke Tontoli; suku Mandharan, Bila,
Mapilli, Poda-poda dan Tjampalagie dimasukkan ke dalam perjanjian. Selain itu,
ia dengan bantuan Boni menaklukkan seluruh Loeboe, tetapi meninggalkan
rakyatnya atas kebebasan mereka dan mengadakan perjanjian dengan mereka,
ditaklukkan kemudian orang Wadjoer. Pada masa pemerintahannya Melayu dari Patani,
Pahan, Tjampa, Djohor dan Menakabo datang dan memperoleh tidak hanya tempat
tinggal, tetapi juga, di bawah lebih banyak hak istimewa lainnya, untuk mengembangkan
agama. Akhirnya Palanga pun mulai menginginkan Boni ditaklukkan, memasuki
negara dengan kekuatan besar, tapi tidak memenangkan apa pun di Boniers dan
harus tertinggal selama tiga tahun penarikan diri dengan kerugian besar, ketika
dia akhirnya jatuh sakit rumah itu datang dan mati, meninggalkan dia sebagai raja
sebagai penggantinya dari Goa saudaranya: kesepuluh Toeni Batta. Dia
mengikuti jejak pendahulunya, Boni masuk, namun dikalahkan dan kalah kepalanya,
setelah dia menjadi raja hanya empat puluh hari. Lalu. kemudian putranya mengikutinya dalam pemerintahan, Radja Toeni Battak
mendirikan kota Sombaopoe: kesebelas Toeni Djallo. Segera ada kedamaian dibuat
dengan Boni, menurut perjanjian lama ia berada dalam kekuasaan Boegis, karena
orang Makassar untuk diberantas sepenuhnya. Namun yang terjadi justru
sebaliknya diperlakukan dengan segala hormat dan diantar dengan selamat ke Goa.
Kerajaan Goa menaklukkan kerajaan Loewoe dengan bantuan kerajaan Bone.
Lantas apakah ada kaitan bahasa-bahasa Boegis dan khusunya
bahasa Toradja dengan bahasa Batak? Seperti disebut di atas, Francois Valentijn
(1726) menyatakan orang Boegis dan orang Toraja adalah subjek Kerajaan Bone.
Sementara itu studi Roelof Blok (1759) telah menyalin teks lokal bahwa kerajaan
Bone selalu berada di bawah supremasi kerajaan Goa, paling tidak hingga era Radja
Goa Toeni Batta (pada awal era VOC/Beklanda).
Yang sedikit menarik dalam temuan Roelof Blok (1759) dalam soal silsilah
raja-raja di wilayah Makassar (kemudian Kerajaan Goa) ada nama-nama Batara Goeroe;
Ampoeng Lowe Leembang; Toeni Palanga dan Toeni Batta serta Toeni Djallo. Nama ini mirip dengan
nama-nama di Tanah Batak. Pada masa Toeni Palanga seluruh wilayah Sulawesi
telah dikuasai yang mana pada masa ini orang Melayu dari Patani, Pahan, Tjampa,
Djohor dan Menakabo diizinkan untuk menyiarkan agama Islam. Lalu pada masa Toeni
Batta kerajaan Boni dan kerajaan Loewoe dirangkul dengan baik. Lalu apakah
dalam hal ini orang Batak telah jauh di masa lampau ke Sulawesi lebih duluan
dari orang Melayu? Jelas bahwa dalam hal ini tidak terlalu banyak sumber
sejarah yang dapat digunakan, kecuali secara khusus hasil studi Feancois Valentijm
(1726) dan hasil studi Roelof Blok (1759). Tentu saja sumber teks Negarakertagama
(1365) dapat ditambahkan dan demikian juga dengan sumber prasasti yang antara
lain dapat ditemukan di wilayah Sekko dan Rampi (pedalaman Jantung Sulawesi). Untuk
melengkapinya, dalam hal inilah studi bahasa-bahasa di Sulawesi, terutama
bahasa Toradja menjadi penting.
Dalam studi bahasa yang dilakukan oleh Dr N Adriani,
mengindikasikan bahasa Bare’e (di pantai selatan teluk Tomini) diduga menjadi
asal usul bahasa-bahasa di pantai timur, pantai tenggara dan pantai selatan Sulawesi
termasuk bahasa Tae dan bahasa Boegis (di teluk Bone). Lalu bagaimana dengan
bahasa-bahasa di pantai barat Sulawesi? Apakah bermula dari bahasa Toradja?
Roelof Blok (1759): Toradja, sebuah lanskap luas, terletak di bagian dalam,
berbatasan di utara dengan Pegunungan Alfuru, yaitu rawa (teluk) Tomini; ke
timur memiliki Loeboe dan Wadjo, di selatan Sedeenring, dan di sebelah barat
pegunungan Mandahr. Banyak penduduknya adalah penduduk asli dan penyembah
berhala; sebagian lagi hidup di perairan, tersebar di Sulawesi, Ende dan
Sumbawa untuk menangkap tripang dan menangkap penyu untuk perdagangan. Orang Toraja
perairan ini juga disebut Badjos (banyak dijadikan budak di Boni atau Goa. Speelman
ingin orang Badjo yang di bawah Makassar menjadi milik VOC dan dijadikan wajib
militer. Raja Enrekan dan Letha, dua kerajaan di terletak di sebelah barat
lanskap ini, berdiri bersama VOC dalam aliansi, sedangkan yang terakhir atas
kemauannya sendiri datang ke VOC, dan yang sangat menguntungkan kontrak untuk
dia dan negaranya dengan Speelman dimana VOC mengadakan, yang ditandatangani
dan disumpah pada tahun 26 Agustus 1669 di hadapan raja Soping, raja Palaka,
kraeng Tanete, Aroe Bake atau Vake, Aron Guru Batoekeke, dan raja Turat dari
Laja dan Bankala. Tapi Boni bilang orang-orang ini adalah budaknya, ditaklukkan
oleh Raja Palaka, namun VOC menyatakan tidak ada buktinya telah terjadi; namun
mereka sebenarnya melakukan pelayanan budak untuk Boni. Raja Enrekan yang
bernama Lahini berada di urutan ke-20 April 1671 dibawa ke dalam benteng oleh
Raja Palaka, dan memiliki perjanjian yang sama dengan raja Letha, disebut
Pohalepan, dibekukan selama dua tahun, diterima, dan diambil sumpahnya pada
tanggal 27 berikutnya kehadiran raja Soping, Raja Palaka dan pangeran Ternatian
Kalemata, sejak ini diakui sebagai sekutu oleh Bonian.
Sejarah bahasa-bahasa asli, tertutama para penutur
bahasa di wilayah pedalaman termasuk di Sulawesi memiliki sejarah panjang. Satu
fakta bahasa bahasa-bahasa asli di pedalaman umumnya masih terjaga keasliannya,
relative terhadap bahasa-bahasa di wilayah pesisir. Adanya ketegangan penduduk
di pesisir dan penduduk di pedalaman, telah menghambat terhadap pemahamasan
bahasa-bahasa asli di pedalaman (namun meski terlambat, terisolasinya penutur
bahasa di pedalaman dengan sendirinya bahasa itu tetap terjaga keasliannya.
Dalam konteks inilah para ahli etnografi yang diikuti oleh ahli bahasa plus
misionaris berkunjung ke pedalaman, termasuk ke wilayah-wilayah penutur bahasa
Toradja dan penutur dialek-dialek bahasa Toradja.
Wilayah pedalaman di pulau-pulau besar seperti Sumatra, Borneo, Sulawesi
plus Bali dan Lombok telah menarik bagi orang Eropa. Persepsi penduduk wilayah
pantai terhadap penduduk pedalaman yang selama ini menjadi penghambat, dengan
kehadiran orang Eropa membuka wawasan baru terhadap penduduk pedalaman. Di
Sumatra, FW Jung Huhn dan Ida Pheiffer yang berkunjung ke pedalaman di Tanah
Batak telah menggambarkan apa yang dipersepsikan penduduk di pantai tidak
sepenuhnya benar. Penemuan orang Eropa justru sebaliknya, penduduk pedalaman
lebih bersahaja, jujur dan berani. Temuan orang Eropa yang tak terduga bahwa
penduduk pedalaman telah mengembangkan budayanya sendiri yang jarang diketahui
oleh penduduk pantai. Setelah itu laporan dari Borneo juga muncul oleh Dr Schwaner
berkunjung jauh ke pedalaman; Dr Zollinger di Lampoeng dan Bali serta Lombok.
Dr Mulder di Papua hanya di pantai tetapi telah mendapat gambaran diri tentang
penduduk pedalaman. Di Sulawesi, nama-nama yang perlu disebut antara lain Dr N
Adriani, Dr P Sarasin, Dr F Sarasin dan tentu saja M de Kolff, JN Vosmaer dan M
Bross.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.