Sejarah

Sejarah Bahasa (244):Bahasa Wamesa Leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua; Teluk Bintuni dan Teluk Wondama


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku
Wamesa adalah salah satu penduduk asli Papua Barat, terutama mendiami distrik
Bintuni, kabupaten Teluk Bintuni provinsi Papua Barat. Suku Wamesa juga menjadi
suku terbesar di kabupaten Teluk Wondama. Suku Wamesa memiliki bahasanya
sendiri, yang disebut bahasa Wamesa, yang jumlah penutur diperkirakan sebanyak
5.000 jiwa tahun 1993. Berdasarkan dialeknya bahasa ini terbagi menjadi
Wandamen (Wondama), Windesi, dan Bintuni.


Wamesa
adalah bahasa Austronesia di Papua digunakan di leher Semenanjung Doberai atau
Kepala Burung. Saat ini terdapat 5.000–8.000 pembicara. Meskipun secara
historis digunakan sebagai lingua franca, saat ini bahasa tersebut dianggap
sebagai bahasa yang terancam punah dan kurang terdokumentasi. Ini berarti
semakin sedikit anak yang menguasai Wamesa secara aktif. Sebaliknya, Melayu
Papua menjadi semakin dominan di wilayah tersebut. Bahasa ini sering disebut
Wandamen dalam sastra; Namun, beberapa penutur dialek Windesi menyatakan bahwa
Wandamen dan Wondama mengacu pada dialek yang digunakan di sekitar Teluk
Wondama, dipelajari oleh misionaris awal dan ahli bahasa. Mereka menegaskan
bahwa bahasa tersebut secara keseluruhan disebut Wamesa, yang dialeknya adalah
Windesi, Bintuni, dan Wandamen. Meskipun bahasa Wamesa digunakan di Papua Barat,
Wamesa bukanlah bahasa Papua melainkan bahasa Halmahera Selatan-Papua Barat
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Wamesa di leher
Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua? Seperti disebut di atas bahasa
Wamesa dituturkan di wilayah Wamesa. Teluk Bintuni dan Teluk Wondama. Lalu bagaimana
sejarah bahasa Wamesa di leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Wamesa di Leher Semenanjung Doberai Kepala
Burung Pulau Papua; Teluk Bintuni dan Teluk Wondama

Bagaimana bahasa Wamesa? Wamesa tempo doeloe dikenal
sebagai Idore. Pada masa ini distrik
Wamesa di kabupaten Teluk Bintuni memiliki 4
kampung:
Mamuranu, Wasema I, Wasema II dan Yansey. Nama Idore pada masa ini hanya sebagai kampong di
desa Tamoge distrik Nikiwar, kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Idore berada
di perbatasan distrik Nikiwar (Teluk Wondaman) dan distrik Kuri (Teluk Bintuni).


Pada peta navigasi 1916, kampong Idora berada di lereng suatu gunung (puncak
805 M) yang berakses ke teluk Bintoeni. Dari kampong Idara melalui sungai kecil
terus ke sungai Inseh dan kemudian melalui selat Modan ke perairan laut teluk
Bintoeni. Tetangga kampong Idora adalah Randepandai, Mongko dan Woroberei. Di
pulau Modan ada kampong Modan di selat. Tidak jauh di sungai/selat Aramasa
terdapat kampong Aredo. Wilayah Modan, Aramasa dan Aredo ini kini menjadi
wilayah distrik Kuri (kabupaten Teluk Bintoeni).

Nama-nama yang tetap eksis di wilayah bahasa Wamesa
pada Peta 1925 adalah kampong Idore, Windose dan Aredo. Secara geografis tiga
kampong ini seakan menjadi penghubung antara teluk Wondaman di tumur dan teluk
Bintoeni di barat. Idore dan Aredo terhubung melalui sungai ke Teluk Bintoeni.


Wilayah ini sebenarnya sudah lama dikenal. Hal itu karena wilayah ini
merupakan tanah genting (tanah sempit, leher kepala burung) yang diperlukan
dalan pengetahuan navigasi. Hondius van Herwerden menyebutkan kelokan sungai
Jakati tajam baginya. Horst dan Hondius mengarungi Solling, sungai antara
Jakati dan Insee. Pulau Modan oleh Hondius dicatat Modam yang memiliki panjang
13 Km. Tonjolan titik barat daya dapat dilihat di keduanya (lihat Rohide vd Aa,
Reize naar Nieuw-Guinea, Den Haag 1879). Dengan memasukkan pulau Modan
tanah genting sekitar 36,8 Km, dari titik pulau tersebut lurus ke timur (lihat Tijdschrift
van het Aardrijkskundig Genootschap, 1903).       

Situasi dan kondisi wilayah Modan dan sekitarnya
dijelaskan oleh JW van Hilde dalam bukunya Reizen in West Nieuw-Guinea, 1907.
Disebutkan di selatan
Noesawamar terdapat daerah rawa besar lainnya, dari sana muncul pulau tinggi
Modan yang meliputi seluruh DAS Sowarawara dan berada di sebelah timur dibatasi
oleh pegunungan di tepi kiri Insé, yang terletak di sepanjang tepi kanan sunga
boven Aramasa. Pulau
Modan yang sekarang tidak berpenghuni.


Pulau Modan menjadi salah satu penanda navigasi terpenting di Kawasan.  Penting karena jalur perairan (selat Modan)
menjadi arah navigasi dari teluk Bintoenie melalui sungai Inse ke wilayah
daratan tanah genting di kampong Idore. Sungai Inse ini terhubung ke utara
sungai Mongko. Seperti disebut di atas, kampong Idore di arah teluk Bintoeni
dan kampong Windesi di di arah teluk Wondaman.

JW van Hilde menyebut di masa lalu, rumah di sebelah timur sungai terakhir kampoeng Insé tempat tinggal Mayor tinggal yang mana saat ini semuanya disebut
Mangkoi, dan
berada di bawah Sangadji. Lantas mengapa disebut kampong Idore? Apakah nama
ini merujuk pada nama Tidore? Kampong Idore ini terkesan strategis sebagai hub
antara jalur navigasi pelayaran perdagangan (kerajaan Tidote) melalui teluk
Bintoeni dan teluk Gelvin. Di Windesi sudah ada seorang misonaris J. A. van
Balen (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1911).


Wilayah Papua pada tahun 11911 ini terbagi dua yang mana bagian barat
dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan bagian timur oleh Jerman.
Penarikan batas sudah dilakukan kedua belah pihak yang kini menjadi batas
Indonesia dan Papua Nugini. Seperti kita lihat nanti saat perang dunia pertama
di Eropa, wilayah Papua Nugini ini diinvasi oleh Australia (dari Jerman).

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Teluk Bintuni dan Teluk Wondama: Bahasa Wamesa Dua Sisi
Navigasi Pelayaran Perdagangan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top