*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Banyak
kelompok populasi dengan jumlah penutur bahasa sedikit di pulau Sulawesi. Ada
di Sulawesi barat, ada juga di Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Selatan diantaranya
bahasa Seko dan bahasa Rampi. Dua wilayah penutur bahasa sedikit ini tepat
berada di pedalaman di jantung pulau Sulawesi. Secara khusus di wilayah Seko
terdapat tanda-tanda peradaban kuno.
Bahasa
Seko dituturkan oleh masyarakat di desa Seko Padang, kecamatan Limbong, kabupaten
Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Berbatasan bahasa Rampi di timur; bahasa Toraja
di barat/selatan, bahasa Kaili di utara. Persentase perbedaan berkisar antara
81%–100% dibandingkan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan, seperti bahasa Wotu
dan bahasa Bugis, bahasa Rampi Bahasa Seko juga di desa Watukilo, kecamatan
Kulawi Selatan, kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (berbatasan bahasa Pipikoro di utara
dan bahasa Besoa di selatan. Bahasa Seko perbedaan berkisar antara 81%–100% dengan
bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah, seperti bahasa Kaili dan bahasa Kulawi. (Wikibuku).
Sementara bahasa Rampi dituturkan di pegunungan Luwu Utara, di kecamatan Rampi,
Sulawesi Selatan. Bahasa ini merupakan bahasa utama yang digunakan oleh Suku
Rampi. Bahasa Rampi diklasifikasi sebagai cabang dari Rumpun Bahasa Bare’e oleh
Ethnologue 23. Zobel (2020) mengklasifikasikan bahasa Rampi sub suku Poso-Tojo
sebagai bahasa terpisah dari Rumpun bahasa Sulawesi Selatan dan Rumpun bahasa
Celebik.
(Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Seko dan bahasa
Rampi? Seperti disebut diatas, penutur bahasa Seko dan penutur bahasa Rampi
berdekatan yang masuk wilayah Sulawesi Selatan. Peradaban tua dan bahasa-bahasa
di pedalaman jantung Pulau Sulawesi. Lalu bagaimana sejarah bahasa Seko dan bahasa
Rampi dan peradaban tua? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa Seko dan Bahasa Rampi; Peradaban Tua dan
Bahasa-Bahasa di Pedalaman Jantung Pulau Sulawesi
Rampi dan Seko bukanlah
wilayah tak bertuan dan tidak penting. Boleh jadi itu masa kini, tetapi di masa
lampau zaman kuno Seko dan Rampi adalah dua nama tempat yang mungkin popular. Orang Eropa pertama
mengunjungi wilayah Rampi adalah Sarasin bersaudara (Dr Paul Sarasin dan Dr
Fritz Sarasin) pada tahun 1902.
Sarasin bersaudara memulai perjalanan ekspedisi dari teluk Palos. Tujuan
utama adalah wilayah pedalaman jantung pulau Sulawesi dan akan berakhir di
Palopo. Dari teluk Palo Sarasin bersaudara melalui Sigi, Koelawi, dataran
tinggi Bada (wilayah dimana penduduknya menghasilkan pedang dan tombak yang
bagus). Dari Bada melalui pegunungan tinggi hingga tiba di lanskap Leboni (kini
wilayah Rampi). Di Lobo (rumah roh) tergantung tengkorak asli dan banyak
potongan menghiasi loteng jerami dari dua kayu kasar. sosok yang dianggap
mewakili nenek moyang suku tersebut. Di sini ada kebiasaan menyembelih tawanan
perang dan budak dalam berbagai kesempatan (mereka mengonsumsi sepotong kecil
otak atau daging dan sedikit darah dan katanya, ini membuat mereka berani dalam
pertempuran). Termometer turun hingga 11 Celcius namun dataran tersebut tidak
lebih tinggi dari seribu meter di atas laut.
Seko dan Rampi tidak hanya
secara geografis adalah jantung yang sebenarnya pulau Sulawesi, tetapi Rampi
dan Seko adalah sentra produksi emas, kemenyan dan damar yang menjadi pusat
peradaban tertua di Sulawesi. Rampi berada di lereng barat gunung Balease dan
Seko di berada di lereng bagian timur gunung Godangdewata (keduanya kini masuk wilayah Luwu).
Konon, orang Angkola Mandailing sejak zaman kuno sudah mengenal pulau
Sulawesi, seperti Sumatra sebagai penghasil emas. Pelaut-pelaut Angkola
Mandailing dengan para penambang bermigrasi ke pulau Sulawesi untuk
memperdagangan dan menambang emas yang sudah diusahakan oleh penduduk asli
(negritos). Para pendatang dari daerah aliran sungai Barumun dari pelabuhan
Binanga membina hubungan produksi dan perdagangan ke pulau Sulawesi. Awalnya
bermula di wilayah Minahasa yang sekarang di dekat gunung Ompung (kini Empung)
dan danau Tordano (kini Tondano). Dari pusat awal peradaban baru Minahasa
inilah kemudian para migran terus merangsek melalui darat hingga Seko dan
melalui laut (teluk Tomini) menyusuri sungai hingga danau Poso di Rampi. Sejak
inilah terbetuk bahasa-bahasa: Bahasa Minahasa menjadi bahasa Tao (Kaili, Palu)
dan bahasa Baree (Poso) di wilayah Toaraja dan Luwu. Konon, perpaduan bahasa
Tao dan Baree ini yang membentuk bahasa Makassar yang kemudian menurunkan
bahasa Walio (Buton). Dalam perkembangannya bahasa Buton (pantai) ini
melahirkan bahasa Bugis dan bahasa Mandar.
Pada masa ini nama Rampi dan
Seko adalah dua nama kecamatan di kabupaten Luwu (utara) provinsi Sulawesi
Selatan (yang berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Tengah). Secara
khusus (kecamatan) Rampi adalah jantung pulau Sulawesi yang mana posisi GPS
Rampi memiliki jalur (perdagangan) tempo doeloe ke utara (teluk Tomini di
Poso), ke timur (teluk Mori di Kolonodale), ke selatan (teluk Bone di Masamba)
dan ke barat (teluk Benggaulu di Pasangkayu).
Pada zaman kuno, wilayah (kecamatan) Rampi diduga awalnya diakses dari
pantai barat (teluk Benggaulu) dan dari pantai selatan (Masamba teluk Luwu atau
teluk Bone). Dari arah pantai barat Benggaulu melalui (kecamatan) Seko.
Benggaulu zaman kuno berada di muara sungai Benggaulu (yang kini masuk wilayah
kecamatan/kabupaten Pasangkayu). Di wilayah kabupaten Pasangkayu ini secara
toponimi mirip dengan nama Sibatangkayu di Angkola. Nama-nama lainnya di
kabupaten Pasangkayu adalah nama kecamatan Baras (Barus), Bulu Taba (Toba),
Lariang (Gariang), Sarudu (Sarudfik) dan Tikke Raya (Tukka). Di kecamatan
Lariang terdapat nama desa Batu Matoru (Batangtoru), di kecamatan Sarudu
terdapat desa Bulu Mario (Bulu Mario). Dari arah selatan di teluk Luwu melalui
sungai Masamba sisi barat gunung Balease langsung ke Rampi. Di teluk Luwu dekat
sungai Masamba juga bermuara sungai Angkona (Angkola). Seperti disebut di atas
Seko dan Rampi berada diantara gunung Gandangdewata di barat dan gunung Balease
di timur. Di Angkola (Tapanuli Selatan) terdapat dua nama gunung yakni gunung
Loeboe Raja di utara dan gunung Malea di selatan. Di lereng gunung Loeboe Raja
terdapat sabana yang disebut Padang Gondang. Nama-nama Malea, Loeboe Raja dan
Padang Gondang di Angkola apakah memiliki asosiasi dengan nama Balease, Luwu
dan Gandangdewata serta sungai Angkona?
Nama Seko dan Rampi di pantai
barat Sumatra di Angkola (kini wilayah kabupaten Tapnuli Selatan dan kabupaten
Tapanuli Tengah). Nama Rampi di Angkola adalah nama kampung Batu Rambi di hulu
sungai Angkola, nama kampung kuno tidak jauh dari danau Siais. Selain itu, seko
sendiri dalam bahasa Angkola adalah kemenyan, suatu produk zaman kuno yang
nilainya tinggi dalam perdagangan.
Sebagaimana diketahui pada zaman kuno terdapat beberapa komoditi perdagangan bernilai tinggi
seperti emas, kamper, kemenyan, damar, emas dan gading dari wilayah Angkola
yang mana pelabuhan terkenalnya di Barus (sudah diidentifikasi sejak abad
ke-5). Wilayah sekitar Barus ini sudah dikenal sebagai sentra produksi kamper
(lihat Prolomeus abad ke-2). Dalam hal ini wilayah Seko dan wilayah Rampi di
kabupaten Luwu Utara bahkan hingga ini hari adalah sentra produksi damar dan
(pertambangan) emas seperti halnya masa kini di wilayah Batangtoru, Angkola.
Lantas apakah sejak zaman kuno orang-orang Angkola sudah mencapai navigasi
pelayaran perdagangan hingga jantung pulau Sulawesi? Bukankah kosa kata
elementer sangat mirip antara bahasa Angkola dan bahasa-bahasa di jantung pulau
Sulawesi seperti ina. inang (ibu), ama, amang (ayah), empung, mpu (kakek),
matua (leluhur), ate (hati) mate (mati), roha (jiwa) dan secara religi memuja
para leluhur yang mana sangat diutamakan gunung sebagai awal penciptaan. Tor di
Angkola adalah gunung/bukit sedangkan di jantung Sulawesi To adalah orang, seperti
Tor [Loeboe] Raja menjadi To Raja [Toraja].
Tunggu deskripsi lengkapnya
Peradaban Tua dan Bahasa-Bahasa di Pedalaman Jantung
Pulau Sulawesi: Bahasa Seko dan Bahasa Rampi
Bahasa Seko dan bahasa Rampi
adalah bahasa yang unik (tunggal) di Sulawesi. Jumlah penuturnya tidak banyak.
Bahasa Seko dan bahasa Rampi umumnya digunakan di pedalaman di wilayah
kecamatan Seko dan wilayah kecamatan Rampi, kabupaten Luwu Utara. Uniknya meski
dua kecamatan ini bertetangga, antara bahasa Seko dan bahasa Rampi sangat
berbeda.
Berdasarkan Laboratorium Kebhinekaan Bahasa dan Sastra, Pusat
Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, bahasa Seko dituturkan oleh masyarakat yang berada di Seko Padang
(bagian timur Seko), kecamatan Limbong, kabupaten Luwu Utara, provinsi Sulawesi
Selatan. Menurut pengakuan penduduk, bahasa Seko di Desa Seko Padang berbatasan dengan
wilayah tutur bahasa Rampi di sebelah timur desa tersebut; wilayah tutur bahasa
Toraja di sebelah barat dan Selatan, dan dengan wilayah tutur bahasa Kaili di
sebelah utara. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Seko
merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 81%—100%
jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan, seperti dengan
bahasa Wotu memiliki persentase perbedaan sebesar 88%; dengan bahasa Bugis De
memiliki persentase perbedaan sebesar 91%; dan dengan bahasa Rampi memiliki
persentase perbedaan sebesar 90%. Penutur bahasa Seko juga berada di desa
Watukilo, kecamatan Kulawi Selatan, kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut pengakuan penduduk bahasa Seko di desa Watukilo berbatasan dengan
wilayah tutur bahasa Pipikoro di sebelah utara dan berbatasan dengan wilayah
tutur bahasa Besoa di sebelah selatan. Adapun di sebelah timur desa Watukilo
merupakan wilayah persawahan. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri,
isolek Seko merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara
81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah, seperti
bahasa Kaili dan bahasa Kulawi. Pada tahun 2016, desa Watukilo memiliki
penduduk sebanyak 783 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 62 jiwa/Km².
Bahasa Rampi dituturkan oleh masyarakat yang berada di desa Baebunta, kecamatan
Baebunta, kabupaten Luwu Utara, provinsi Sulawesi Selatan. Menurut pengakuan penduduk
wilayah tutur bahasa Rampi di desa Baebunta berbatasan dengan (i) wilayah tutur
bahasa Tae di sebelah timur desa tersebut; (ii) wilayah tutur bahasa Toala di
sebelah barat dan selatan; serta (iii) wilayah tutur bahasa Lemolang di sebelah
utara. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Rampi merupakan
sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar antara 81%—100% jika
dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan. Misalnya, dengan bahasa
Tae memiliki persentase perbedaan sebesar 92,5%; dengan bahasa Toala memiliki
persentase perbedaan sebesar 86,5%; dan dengan bahasa Lemolang memiliki
persentase perbedaan sebesar 81,5%.
Wilayah Rampi berada di
kecamatan Rampi. Kecamatan ini dimekarkan dengan membentuk kecamatan Limbong.
Kecamatan Rampi terdiri dari desa Onondowa, desa Sulaku, desa Leboni, desa
Tedeboe, desa Dodolo dan desa Rampi. Kecamatan Limbong terdiri dari desa-desa:
Kanandede, Komba, Limbong, Marampa, Minanga, Pengkendekan dan Rinding Allo. Sesuai. Perda Kabupaten Luwu Utara
Nomor 4 Tahun 2015 nama
kecamatan Limbong diubah menjadi nama baru kecamatan Rongkong.
Beberapa nama desa yang mirip dengan nama-nama tempat di wilayah Angkola
Mandailing adalah Rampi (Baturambi), Dodolo (Pangkaldolok), Minanga (Binanga)
dan Rinding Allo (Ronding dan Taluk). Nama Limbong adalah nama marga Batak,
onon dalam bahasa Batak adalah pasar. Wilayah Seko berada di kecamatan Seko.
Kecamatan Seko terdiri dari desa-desa Beroppa, Embonatana, Hono, Hoyane,
Lodang, Malimongan, Marante, Padang Balua, Padang Raya, Taloto, Tanamakaleang
dan Tirobali. Nama-nama desa ini yang mirip di Angkola Mandailing adalah Lodang
(Mangaledang), Marante (Marancar), Malimongan (Halongonan), Padang Balua (Padang
Lawas atau Padang Bolak) dan Hoyane (Hasona).
Pada saat eskpedisi Sarasin bersaudara tahun 1902, hanya
melewati lanskap Leboni (kini wilayah Ranmpi). Lalu pada tahun 1919 Dr AC
Kruijt mengunjungi lanskap Rongkong (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig
Genootschap, 1920). Tujuan Kruijt dan anaknya ke Rongkong adalah menyelidiki
benda kepurbakalaa. Ekspedisi Kruijt tahun 1919 juga ke Seko, Koelawi dan
Lembah Paloe. Dalam tahun ini juga disebut bahwa Kruijt akan mengunjungi
lanskap Rante Pao, Makale dan Mamasa.
Ekspedisi Kruijt tahun 1919 merupakan ekspedisi kedua untuk tujuan yang
sama. Pada tahun 1918 AC Kruijt mengunjungi lanskap-lanskap Tawaelia, Napoe, Besoa, Bada, Rampi dan Leboni. Ini
mengindikasikan orang Eropa kedua yang mengunjungi lanskap Leboni adalah AC Kruijt.
Perubahan nama kecamatan Limbong menjadi nama
Rongkong ada benarnya, karena sesuai dengan nama-nama lama. Nama Rongkong
digunakan nama kelompok populasi (To Rongkong) sedangkan nama Limbong adalah
nama kampong terbesar di lanskap Rongkong (lihat Mededeelingen; tijdschrift
voor zendingswetenschap, 1920). Orang Rongkong memiliki keterampilan tenun yang
baik dan pembuat teras pertanian yang baik.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.