Sejarah

Sejarah Bahasa (295): Melacak Asal Bahasa Melalui Sebutan Bilangan Bahasa-Bahasa di Indonesia; Aksara dan Lambang Bilangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa
merujuk pada bahasa yang mendahuluinya. Bahasa berkembang karena adanya interaksi
antar bahasa. Bagaimana dengan sebutan bilangan. Yang jelas dalam perkembangan
lebih lanjut bahasa termasuk sebutan bilangan, terbentuknya aksara (huruf) dan
lambang bilangan (angka). Bagaimana dengan di Papua? Ada baiknya dimulai dari
barat (Sumatra dan Jawa). Mengapa?


Jejak
Kata Bilangan dalam Prasasti Berbahasa Bali Kuno: Hubungan Kekerabatannya dalam
Rumpun Bahasa Melayu Polinesia. I Ketut Paramarta; I.B. Putrayasa; dan I.B.
Putra.  November 2019. Forum Arkeologi
32(2):95. Abstrak. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
beragam kata bilangan bahasa Bali Kuno yang terekam dalam jejak prasasti
berbahasa Bali Kuno dan mengungkapkan hubungan kekerabatanya dalam jenjang
kekerabatan Proto-Malayo Polynesian. Kata bilangan dalam salinan prasasti
berbahasa Bali Kuno dan kata bilangan pembanding dalam rumpun Proto-Austronesia
dan Proto-Malayo Polinesian dikumpulkan. Jejak kata bilangan bahasa Bali Kuno
yang ditemukan dalam tinggalan prasasti berbahasa Bali Kuno adalah kata
bilangan desimal utuh, kata bilangan inovasi leksikal yang tidak memiliki
konsekuensi struktur tetapi memiliki keterkaitan dengan makna-makna budaya, dan
kata bilangan tinggi.Bahasa Bali Kuno menyimpan jejak verbal dalam bentuk kata
bilangan sebagai ekspresi budaya menghitung yang terbukti memiliki relasi
kekerabatan dengan bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu Polinesia.

Lantas bagaimana sejarah melacak asal usul bahasa
melalui sebutan bilangan dalam bahasa-bahasa di Indonesia? Seperti disebut di
atas bahasa dan aksara adalah satu hal, sebutan bilangan dan lambang bilangan
adalah hal lain lagi. Aksara dan lambang bilangan di wilayah bahasa Papua. Lalu
bagaimana sejarah melacak asal usul bahasa melalui sebutan bilangan dalam bahasa-bahasa
di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.
Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Melacak Asal Usul Bahasa Melalui Sebutan Bilangan
dalam Bahasa-Bahasa di Indonesia; Aksara dan Lambang Bilangan

Sebutan bilangan dalam bahasa Bali adalah sebagai berikut:
1
=sa, 2=dua (kalih), 3=telu (tiga), 4=empat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=akutus, 9=asia (sanga), 10=adasa, 11=solas, 12=roras. Untuk sebutan bilangan
21=salikur, 22=dualikur, 50=sket, 100=satus, 1000=siu, 10000=alaksa. Sebutan
bilangan bahasa Bali lebih mirip bahasa Jawa daripada sebutan bilangan bahasa
Batak.


Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam
bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu),  4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem),
7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada
(sewelas), 12=sapulu dua (rolas), 100=saratus (seratus),
1000=saribu (seribu).
Sebutan bilangan belasan bahasa Batak besifat biner (1-0) dan konsisten
seterusnya.
 

Untuk sebutam bilangan satuan yang memiliki kemiripan
antara bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah
3=tolu (telu), 4=opat (papat),
5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu)
, 10=sapulu (sepuluh). Sebutan bilangan bahasa
Bali lebih bervariasi dari sebutan bilangan Jawa. Ini dapat diperhatikan
sebutan bilangan enam dan digunakannya sebutan bilangan tiga (mirip bahasa
Melayu).


Sebutan bilangan dalam bahasa Bali 1=sa berbeda dengan bahasa Jawa (1=siji). Penggunaan sa
ini dalam sebutan bilangan bahasa Bali yakni 21=salukur dan 100-satus.
Bandingkan dengan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa
100=saratus (seratus),
1000=saribu (seribu).
Sa dalam hal ini di dalam bahasa Batak adalah singkatan dari sebutan
bilangan sada (dalam bahasa Melayu).

Untuk sekadar keperluan praktis, untuk memahami asal-usul
bahasa di Indonesia melalui sebutan bilangan, selanjutnya untuk dijadikan
sebagai pembanding awal (rujukan) digunakan sebutan bilangan bahasa Batak dan
bahasa Jawa. Seperti disebut di atas, sebutan bilangan di Jawa ada kemiripan
dengan sebutan bilangan di Bali. Bagaimana dengan sebutan bilangan dalam bahasa
Sunda?

Sebutan bilangan 1=sidji (Djawa) mirip 1=hidji (Soenda), Seperti halnya Bali,
dalam bahasa Sunda juga ada beberapa perbedaan, misalnya 6=genap,
8=dalapan dan 9=salapan
(sementara dalam bahasa Melayu 9=sembilan). Seperti sebutan 1=sa dalam bahasa
Bali, diduga sa dalam bahasa Sunda untuk 9=salapan (sa-lapan) sementara dalapan
diduga merujuk pada dua-lapan. Bagaimana terbentuknya sebutan bilangan 8=dalapan
dan 9=salapan?


Secara umum bahasa-bahasa di nusantara paling tidak dalam struktur
sebutan bilangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk: bahasa Batak
terutama sapulu sada; bahasa Jawa terutama sebelas dan seperti kita lihat nanti
bahasa Ende yang mirip Romawi (penambahan/pengurangan). Dalam hal ini lambang dasar
bilangan Romawi terdiri dari I=1, V=5, X=10, L=50, C=100, D=500, M= 000,
sementara untuk bilangan lainnya merupakan kombinasinya. Lambang bilangan/angka
Romawi sejatinya berbentuk huruf/aksaranya sendiri (I, V, X. L, C, D dan M).
Sangat simple. Dasarnya hanya dengan mengetahui aksara Romawi akan mengetahui
lambang angka Romawi.  Berbeda dengan
lambang/angka Jawa yang cukup rumit. Bagaimana dengan lambang bilangan Batak?
Bukan lambang huruf tetapi ditentukan dengan bentuk yang berbeda dari
aksaranya. Bentuk bilangan Batak adalah bentuk geometris (garis dan bidang;
titik dan ruang implisit). Tampaknya dari lambang bilangan dari berbagai aksara
yang ada hanya lambang bilangan bahasa Batak yang berbentuk geometris. Mengapa?
Yang dimaksud geomotrik dalam hal ini titik. garis, bidang dan ruang, yang mana
kumpulan titik adalah garis (dimensis atu); hubungan garis adalah bidang
(dimensi dua); hubungan bidang adalah ruang (dimensi tiga). Pada masa ini
operasi bilangan adalah system aritmatika dan operasi geometric adalah system
kalkulus. Dalam nomor/angka bilangan Batak, angka 1, 2, 3 adalah garis (mirip
angka 1, 2 3 Romawi). Bagaimana dengan angka 4? Yang jelas berbeda dengan angka
Romawi. Angka 4 Batak eksplisit adalah bentuk bidang segitiga (kumpulan tiga
garis) tetapi dihitung secara ruang. Artinya segi tiga adalah bidang paling
sedikit sisinya (hanya tiga). Jika dibuat menjadi ruang, jumlah bidangnya
menjadi empat. Oleh karena itu ditulis bidang segitiga tetapi dihitung ruang
segitiga (diamond). Bagaimana dengan angka 5? Empat garis yang dicoret sehingga
jumlahnya lima garis. Angka 6 dilambangkan dengan bentuk empat persegi (kubus).
Seperti segitiga untuk angka 4, bidang kubus dalam hal ini dihitung ada enam
bidang pada ruang.  Sementara angka 7
dilambangkan dengan cara meminjam dari sebagian lambang angka 5 (dua garis; garis
lurus dan garis diagonal). Bagaimana dengan angka 8? Dua gabungan segitiga yang
jumlah bidangnya adalah 2 kali empat bidang sebanyak 8 (delapan) bidang.
Sedangkan angka 9 adalah angka 7 yang ditambahi garis pendek (yang tampak
sebagian dari bentuk angka 8). Bagaimana dengan angka 10? Yang jelas dalam
aksara Batak tidak ada angka nol (kosong). 
Lambang angka 10 dibuat dalam bentuk satu garis yang menyatakan satu dan
di depannya lambang bilangan puluh (berbentuk ketupat/jajaran genjang) sehingga
dibaca sada pulu yang disingkat menjadi sapulu. Bagaimana dengan angka 11? Yang
jelas tidak ada kosa kata belas dalam bahasa Batak. Dalam bahasa Batak angka 11
dibaca sapuluh sada, 12-sapulu dua, dst. 20 (dua puluh), 21-duapuluh sada.
Penulisan dan pembacaan (lisan) sebutan bilangan bahasa Batak bersifat biner
(1-0; sada ketupat/jajaran genjang). Last but not least. Bagaimana dengan 100?
Dua ketupat/jajaran genjang dibaca ratus (misalnya saratus, dua ratus); tiga
ketupat dibaca ribu (misalnya saribu, dua ribu). Demikian seterusnya bersifat
biner. Lalu bagaimana dengan lambang bilangan Yunani? Seperti lambang bilangan
Batak untuk 1-3 mirip dengan lambang bilangan Romawi. Akan tetapi lambang
bilangan 4 Batak mirip dengan lambang bilangan 10 Yunani. Apakah ini
mengindikasikan lambang bilangan Romawi dan Yunani terispirasi dari lambang
bilangan Batak? Yang jelas lambang bilangan Batak 1, 9 dan 10 mirip dengan
lambang bilangan Arab. Dalam perkembangan masa selanjutnya, apakah lambang
bilangan Latin merujuk pada lambang bilangan Arab? Yang jelas aksara-aksara
sudah lama adanya. KF Holle tahun 1880 mendokumentasi daftar semua aksara yang
terdapat di nusantara (lihat Tabel Oud en Nieuw Indisch Alphabetten: Bijdrage
tot de Palaeographi van Nederlandsch Indie (Bruining en Co, 1882). Aksara-aksara
inilah kemudian yang digunakan oleh para ahli untuk mempelajari aksara-aksara
di Indonesia. Pada tahun 1927 Schröder, seorang Jerman menemukan ada kemiripan
aksara Funisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by
EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927).
Sebagaimana diketahui bangsa Fenisia atau Funisia (Phoenices) adalah bangsa
kuno yang pernah menguasai pesisir Laut Tengah. Mereka berasal dari wilayah
Timur Tengah, atau sekarang di Lebanon dan Suriah. Penemuan aksara oleh
Schröder tentulah menarik perhatian dunia internasional di bidang linguistic
dan aksara. Jarak antara Laut Tengah dan pantai barat Sumatra sangat berjauhan.
Selama ini dipahami bahwa dari dua kelompok aksara Semit Utara yang terdiri
dari aksara Aramee dan aksara Fenesia. Aksara Aramea diduga menurunkan aksara
Jawa melalui aksara Pallawa dan ke atas aksara Brahmi. Sedangkan aksara Fenesia
(silabis) menurunkan aksara Yunani (alfabet) hingga ke aksara Latin. Jika
aksara Batak setua aksara Fenesia, lalu apakah lambang bilangan Batak yang
menjadi inspirasi dalam terbentuknya lambang bilangan Yunani, Romawi, Arab dan
Latin?
Ini sangat tergantung pada tingkat pemahaman kita, apakah peradaban
modern bermula di barat (Eropa) atau peradaban modern bermula di timur
(nusantara). Yang jelas, s
ejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan
gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya
sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri
.

Dalam hal ini penting diperhatikan dalam sebutan
bilangan bahasa Batak dan bahasa Jawa yang mirip satu sama lain, yakni
munculnya sebutan bilangan 6=genap, 8=dalapan dan 9=salapan dalam bahasa Sunda.
Dalam hal ini untuk 9=salapan (sa-lapan) sementara dalapan diduga merujuk pada
dua-lapan. Bagaimana dengan sebutan bilangan 6=genap? Sebagaimana diketahu,
sebutan bilangan-bilangan tersebut dalam bahasa Melayu adalah 6=enam, 8=delapan
dan 9=sembilan. Sejauh ini disebut bahasa Batak, bahasa Jawa dan bahasa Sunda
adalah bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa Melayu sendiri terbentuk dari
bahasa-bahasa Austronesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Aksara dan Lambang Bilangan: Bahasa-Bahasa di Wilayah
Papua

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999).
Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar
rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog
hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang
tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top