Sejarah

Sejarah Bahasa (68): Bahasa Gayo Populasi Asli di Wilayah Aceh; Dialek Bahasa Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge, Gayo Lues


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Gayo
adalah salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi
Aceh bagian tengah. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan beberapa sebarannya di
Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa
sehari-hari oleh masyarakat Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang
disebut “Northwest Sumatra-Barrier Islands” dari rumpun bahasa
Austronesia.


Bahasa
Gayo sebuah bahasa dari rumpun Austronesia yang dituturkan oleh Suku Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues. Ke 3 daerah ini merupakan
wilayah inti suku Gayo. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan
orang Gayo “Urang Gayo”. Sementara orang Gayo “Urang Gayo” merupakan suku asli
yang mendiami Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri. Daerah
kediaman mereka sendiri disebut dengan Tanoh Gayo (Tanah Gayo). Bahasa Gayo
termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk
Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra: Salah satu
dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa
Gayo. Namun, untuk kosakata tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar.
Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa
Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut
disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu
juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang. Dialek Gayo Lut terdiri dari
sub-dialek Gayo Lut dan Deret. Dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo
Lues dan Serbejadi.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Gayo, kelompok
populasi asli di wilayah Aceh? Seperti disebut di atas, bahasa Gayo berada
diantara bahasa Batak dan bahasa Aceh. Dialek Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge
dan Gayo Lues. Lalu bagaimana sejarah bahasa Gayo, kelompok populasi asli di wilayah
Aceh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Gayo, Kelompok Populasi Asli di Wilayah Aceh;
Gayo Kalul dan Gayo Lut, Gayo Linge dan Gayo Lues

 Pemberian nama tempat (geografis) adalah satu hal,
tentang orang (etnik) dan bahasa (budaya) adalah hal lain lagi. Sejumlah nama
sulit ditelusuri, semakin tuan ama itu semakin sulit diketahui asal usulnya.
Nama Batak dan nama Atjeh sudah diidentifikasi dalam peta-peta Portugis; nama
Sumatra dan Jawa jauh lebih tua lagi. Bagaimana dengan nama Gayo?


Dalam karya PJ Veth yang berjudul Achin en zijne betrekkingen tot
Nederland, topographisch-historische beschrijving (1860an) tidak ada menyebut
nama Gajo. Hanya nama-nama tempat yang sudah teridentifikasi, termasuk di pedalaman
(wilayah Gajo). Pada saat ekspedisi militer ke Atjeh (`1873) juga tidak ada
yang menginformasikan nama Gajo. Lalu sejak kapan nama Gajo terinformasikan?
Namun sudah lama dikenal nama Gajo di Eropa, termasuk salah satu marga orang
Portugis.

Nama Gajo paling tidak sudah terinformasikan pada
tahun 1875 (lihat Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1875). Penyebutan nama
Gajo ini terkait dengan perang Atjeh (1874), Disebutkan setelah mengalami kekalahan
besar (1874), para pemimpin Atjeh meminta bantuan kepada para pemimpin Oeloe
Gajo di pedalaman. Juga para pemimpin Atjeh juga meminta bantuan kepada para
pemimpin di daerah vassal Atjeh (Merdoe dan Pedir di pantai utara dan Tonom di
pantai barat). Dalam hal ini orang Gajo di pedalaman adalah wilayah independent
yang memiliki hoofdplaat (di Takengon?).


Disebutkan lebih lanjut bahwa ‘bentang alam (Oeloe Gajo, wilayah Gajo
pedalama) hanya dapat diakses secara nominal dari Atjeh Besar, terletak jauh di
pegunungan yang tidak dapat diakses, dengan tidak ada kota utama dan dengan
wilayah pesisir hanya di luar Soesoeh di sebelah barat dan Passangan di sebelah
barat. masyarakat pantai timur bisa mengakses; sedangkan jarak mencapai kota
utama melalui Passangan minimal 14 hari perjalanan (dari Regas) untuk satu
pejalan kaki. Jadi bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan oleh permintaan
bantuan yang putus asa ini; dan mengapa masyarakat Oeloe Gajo harus peduli
dengan pertempuran, padahal itu bukan urusan mereka?’.

Nama Gajo tampaknya sudah lama dikenal, namun kurang
terinformasikan. Terbukti bahwa orang Belanda mengetahui keberadaan kelompok
populasi di pedalaman Atjeh (disebut sebagai Oeloe Gajo). Lantas mengapa
disebut Oeloe Gajo? Tentu saja ada wilayah yang dikenal sebagai Hilir Gajo.


Penamaan (h)ulu dan (h)ilir pada suatu wilayah yang luas lazim digunakan.
Wilayah yang berada di hilir/pesisir secara umum oleh orang Belanda disebut
benelanden dan wilayah di pedalaman disebut bovenlanden, seperti Padangsche
Benelanden dan Padangsch Bovenlanden. Panamaan Padangsche ini merujuk pada
hilir (di Padang); sebaliknya di Gajo di wilayah Atjeh merujuk pada hulu
(wilayah pedalaman Gajo sendiri). Tipikal wilayah Gayo ini adalah
wilayah-wilayah Batak (Karo, Simalungun, Toba, Silindung, Angkola dan
Mandailing) dimana terdapat gunung tinggi dan danau pedalaman. Sejauh yang
dapat ditelusuri belum ada orang Eropa yang mengunjungi wilayah Gajo di pedalaman
Atjeh. Untuk sekadar menambahkan orang Eropa pertama mengunjungi wilayah Batak
(di Angkola) pada tahun 1772 oleh seorang batonis Irlandia Charles Miller;
pedalaman Minangkabau tahun 1684 oleh Thomas Dias.

Nama Gajo sudah terinformasikan. Bagaimana situasi
dan kondisi di wilayah Gajo mulai menarik perhatian para pemerhati dan
peneliti. Dalam jurnal/majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap,
1877 ada satu artikel tentang Gajo yang ditulis oleh Prof PJ Veth dengan judul De
Gajo’s, een volksstam in de binnenlanden van Atjeh. Dalam edisi ini juga
terdapat tulisan yang lain dari PJ Veth berjudul ‘Geographische aanteekeningen
omtrent de oostkust van Atjeh’.


De Gajo’s, een volksstam in de binnenlanden van Atjeh oleh Prof PJ Veth mendeskripsikan
Gajo sebagai suatu kelompok populasi (etnik) di (pedalaman Atjeh). Dalam
laporan PJ Veth tidak ada indikasi sudah ada orang Eropa mengunjungi pedalaman
Gajo. Besar dugaan PJ Veth hanya mendapatkan informasi di wilayah pesisir
seperti di Deli dan Singkil. PJ Veth mengutip peta yang dibuat J Smulders dan C
Lit yang dikeluarkan pemerintah (1875) dimana di wilayah pedalaman
diidentifikasi nama Alas dan Oeloe Gajo. PJ Veth juga menggunakan laporan L de Scheemaker
Asisten Residen di Groot Edi (Pidie) bertanggal 28 Februari. 1875 yang
dinyatakan bahwa pedalaman pantai timur Sumatera, dari Oeloe Bila hingga Oeloe
Langkat, dihuni oleh orang-orang Batak. Sungai Tamiang menjadi batas wilayah
pantai timur dan wilayah Batak dengan wulayah Atjeh.

PJ Veth mendeskripsikan Gajo atau Orang Gajo sepertinya
merupakan nama umum suku-suku pedalaman Aceh yang kampung halamannya terbentang
hingga Tamiang meluas hingga ke sekitar Atjeh Besar dan juga bagian barat daya
pedalaman milik wilayah mereka berdasarkan laporan di Journal der Sumatra,
bahwa Kedjoeroean dari Keloeat memberikan banyak pengaruh terhadap mereka. Suku
Gajo berbeda dengan suku Batak. Suku Gajo menerima Islam dari Atjeh tetapi
tidak ada kompromi untuk urusan adat istiadat.


Dalam laporan Scheemaker yang dikutip Veth, “bahwa Gajo adalah wilayah Batak
sebelum berabad-abad menjadi wilayah Gajo; tetapi melalui masuknya mereka ke
Islam dan hubungan mereka dengan orang lain, mereka berkembang menjadi suatu
bangsa yang terpisah.” Bila ada yang datang dari Tamiang ingin mengunjungi
negara Gajo, bisa menempuh tiga jalur berbeda, yaitu Kapoe, Sroebo Djadi dan Kalut.
Yang pertama terletak di sungei tengah atau tengah sungai sungei kanan dan kiri.
Perjalanannya, dilakukan di air membutuhkan waktu dua atau tiga hari seseorang
mencapai tanah Gajo. Orang Gajo berada di bawah pimpinan mereka sendiri, yang
terpenting adalah: Radja di Boekit, Badja Parit, Radja Patimbang dan Radja
Lingga. Yang terakhir ini pasti berada di kawasan yang sangat indah, berdiam di
tepi danau bernama Laoet Tawar.
Jumlah Orang Gajo semakin
bertambah diperkirakan lebih dari seratus ribu jiwa.
Pekerjaan utama suku ini
adalah Bertani dan peternakan.
Tembakau dan gambir diekspor dalam jumlah besar ke
kota-kota pesisir.
Mereka kaya akan carabao dan area kawanan domba
dalam jumlah besar ditemukan di Radja Linga. Juga kuda-kuda yang digunakan di Deli,
yang dikenal sebagai kuda Batak.Orang Gajo yang ditemukan di Perlak cukup baik
dalam bahasa Melayu namun jika ditanyakan tentang pedalaman mereka lebih
cenderung diam.

Tulisan PJ Veth terbilang singkat tetapi sudah cukup
menginformasikan sepintar tentang situasi dan kondisi wilayah Gajo. Namun
sayangnya PJ Veth belum menyinggung tentang bahasa mereka orang Gajo di
pedalaman.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge dan Gayo Lues: Antara
Bahasa Batak dan Bahasa Aceh

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top