*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Siapa
RA Kartini, tentu saja sudah dikenal luas di Indonesia masa ini. Yang
dibicarakan dalam hal ini adalah Raden Kartono yang berangkat studi ke Belanda
(di Delft). Raden Kartono adalah abang dari RA Kartini. Untuk diterimana di
perguruan tinggi di Belanda, umumnya harus lulus sekolah menengah HBS. Raden
Kartono lulus dari HBS Semarang. Dua lulusan HBS studi di perguruan tinggi di
Belanda terdahulu adalah Ismangoen Danoe Winoto, Tan Tjoen Liang dan Oei Jan
Lee.
Drs.
Raden Mas Panji Sosrokartono (lahir 10 April 1877) adalah wartawan perang,
penerjemah, guru, dan ahli kebatinan Indonesia. Kakak kandung RA Kartini. Setelah
tamat dari Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan
pendidikannya ke HBS di Semarang. Selanjutnya pada 1898, Sosrokartono
meneruskan pendidikannya ke Belanda di Sekolah Teknik Tinggi di Delft. Namun
karena merasa tidak cocok, ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur
sehingga lulus dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Universitas
Leiden. Ia merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke
Belanda. Sosrokartono pernah berprofesi sebagai wartawan Perang Dunia I dari
harian New York Herald Tribune di Wina, Austria semenjak 1917. Sosrokartono
menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Nusantara. Tahun 1919
didirikan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) atas prakarsa Presiden Amerika
Serikat Woodrow Wilson. Dari 1919 sampai 1921, Sosrokartono menjabat sebagai
Kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Raden Kartono, lulusan
HBS Semarang studi ke Belanda di Delft? Seperti disebut di atas, Raden Kartono
lulusan HBS, syarat yang sudah dipenuhi untuk melanjutkan studi ke perguruan
tinggi di Belanda. Raden Kartono adalah abang RA Kartini di Jepara yang
dikaitkan dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Lalu bagaimana sejarah Raden
Kartono, lulusan HBS Semarang studi ke Belanda di Delft? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Raden Kartono, Lulusan HBS Semarang Studi ke Delft; RA
Kartini di Jepara, Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada artikel sebelumnya telah dibiacarakan nama Tan
Tjoen Liang dan Oei Jan Lee. Mereka berdua sekolah di HBS di KWS Batavia. Pada
tahun 1883 Tan Tjoen Liang lulus ujian akhir HBS di KW III Batavia (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1883). Tan
Tjoen Liang kemudian berangkat studi ke Belanda. Oei Jan Lee setelah lulus
ujian transisi kelas tiga di HBS Batavia melanjutkan studinya ke HBS di
Belanda. Oei Jan Lee di perguruan tinggi di Belanda studi hukum; Tan Tjioen
Liang studi Teknik mesin di Delft. Tan Tjioen Liang, sempat pulang ke tanah air
karena kesulitan keuangan, baru menyelesaikan studinya di Delft tahun 1894.
Pada tahun 1891 Raden Mas Oetojo lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-06-1891).
Disebutkan berita yang diterima dari surat kabar di Batavia, ujian akhir HBS
sebanyak empat siswa lulus dimana Raden Oetojo dengan nilai 119 sebagai
rangking kedua. Dalam hal ini, jika dan hanya jika, Raden Mas Oetojo lancar
studi, diterima di HBS Semarang pada tahun 1886. Setelah lulus HBS Semarang,
Raden Mas Oetojo tampaknya tidak melanjutkan studi ke Belanda, tetapi bekerja
pada pemerintah. Pada tahun 1894 Raden Mas Oetojo disebutkan sebagai penulis di
kantor Pekalongan, Siswa kedua pribumi yang
diterima di HBS Semarang, diduga kuat adalah Raden Boesno dan kemudian Raden
Sosro Kartono (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
13-05-1891). Disebutkan di HBS Semarang diadakan ujian saringan masuk dimana
yang lulus empat perempuan dan 32 laki-laki. Diantara yang lulus adalah Raden
Sosro Kartono dengan nilai 38. Dari semua yang lulus nilai tertinggi adalah 38
yang diperoleh oleh Raden Kartono dan FD Otken. Di bawah nilai tersebut nilai
36 adalah AC Groeneveld. Nilai terendah adalah 28. Ini mengindikasikan bahwa
Raden Kartono tidak kalah bersaing dengan kandidat siswa Eropa/Belanda. Pada tahun 1892 Raden Kartono lulus ujian naik
dari kelas satu ke kelas dua afdeeling B (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-05-1892).
Afdeeling B adalah jurusan Matematika dan IPA. Pada kelas tertinggi naik dari
kelas empat ke kelas lima diantanranya Raden Boesono. Pada tahun 1893 Raden
Kartono lulus ujian naik ke kelas tiga (lohat De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 12-05-1893). Pada tahun 1894 lulus naik ke kelas
empat (lihat De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 12-05-1894).
Pada saat Tan Tjioen Liang menyelesaikan studinya di Delft dengan mendapat gelar insinyur
mesin di tahun
1894, Raden Kartono di HBS
Semarang baru lulus ujian transisi naik dari kelas tiga ke kelas empat (setingkat
MULO). Pada
tahun 1895 lulus naik dari
kelas ermpat ke
kelas lima (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-05-1895).
Akhirnya pada tahun 1896 Raden Kartono
lulus ujian akhir HBS (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). Disebutkan diadakan ujian HBS di Batavia
dimana salah satu yang lulus adalah Reden Pandji Sosro Kartono. Ini
mengindikasikan bahwa Raden Kartono lancar dalam studi di HBS.
Ujian HBS diadakan di Batavua untuk tiga sekolah HBS yang ada di Batavia,
Semarang dan Soerabaja. Dari 56 kandidat yang mengikuti ujian disebutkan lulus
sebanyak 39 siswa (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-06-1896). Nilai Raden Kartono terbilang cukup tinggi dengan perincian vak nilai
116 dan roebriek dengan nilai 34 yang secara keseluruhan Raden Kartono berada
di peringkat ketiga. Boleh
jadi sebagai peringkat ketiga dalam ujian nasional HBS, Raden Kartono oleh para
guru dan pejabat Pendidikan Hindia Belanda untuk meneruskan studinya di
perguruan tinggi di Belanda. Belum lama ini siswa non Eropa/Belanda, Tan Tjioen Liang lulusan HBS di Batavia berhasil meraih gelar sarjana hukum dan Oei Jan
Lee sarjana/insinyur teknik mesin di Delft.
Raden Kartono memaksimumkan kesempatan
dengan portofolio tinggi untuk melanjutkan studi ke Belanda. Raden Kartono
dengan ketetapan hati berangkat ke Belanda (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 18-07-1896). Di dalam surat kabar Semarang tersebut disebutkan
kapal
Prinses Marie dengan tujuan Nederland berangkat
tanggal 16 Juli. Dalam manifes kapal terdapat
nama Raden Kartono. Seminggu kemudian surat kabar di Bandoeng memberitakan Raden Kartono, anak dari Bupati
Djapara disebutkan akan kuliah di Polytechnische School di Delft (lihat De
Preanger-bode, 27-07-1896). Berita itu menjadi viral di Hindia maupun di surat
kabar di Belanda. Boleh jadi itu karena yang pertama pribumi akan studi di perguruan tinggi?
Nama Ismangoen Danoe Winoto yang lulus di akademi pemerintahan di Belanda
mungkin sudah tidak diingat lagi. Ismangoen Danoe Winoto meraih gelar/diploma
dalam bidang pemerintahan tahun 1875. Tentu saja itu sudah lama, dua decade yang
lalu. Guru-guru muda pribumi yang dikirim Pemerintah Hindia Belanda dan telah
menyelesaikan studi dengan mendapat beslit akta guru, setingkat sekolah menengah,
tentu saja berbeda dengan studi di perguruan tinggi. Guru muda yang terakhir
kembali ke tanah air adalah JH Wattimena tahun 1886.
Keberadaan Raden Kartono
sebagai mahasiswa di Belanda diberitakan tahun 1898 (lihat De Telegraaf,
10-08-1898). Disebutkan Raden Mas Pandji Sosro Kartono, anak dari bupati Japara
sebagai mahasiswa di Delft, Dalam rapat umum kongres bahasa dan sastra ke-25 di
Den Haag, diundang Raden Mas Sosro Kartono untuk berbicara tentang pengaruh bahasa Belanda
di Jawa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-09-1899). Raden Kartono menjadi
begitu penting di Belanda. Boleh jadi hal itu karena Raden Kartono dapat dikatakan
pribumi (paling) terpelajar di Belanda.
Namun dalam perkembangannya nama Raden Kartono di Polytechnische School di Delft tidak terinformasikan lagi.
Mengapa? Apakah Raden Kartono gagal? Di Belanda sekolah tinggi teknik (Polytechnische School) hanya satu-satunya di Delft. Satu yang pasti siswa
asal Hindia non Eropa/Belanda yang telah berhasil di kampus teknik tersebut
adalah Oei Jan Lee.
Pada tahun 1901 diberitakan nama Raden Kartono di Delft, tetapi tidak di Polytechnische School (lihat De
nieuwe courant, 25-08-1901). Disebutkan dalam ujian negara untuk universitas dari tanggal 22 hingga 24 Augustus
yang mana terdapat 8 kandidat untuk faculteiten der godgeleerdheid der
rechtsgeleerdheid en der letteren en wijsbegeerte (fakultas fakultas teologi,
hukum, dan sastra dan filsafat). yang mana lima kandidat lulus diantaranya Raden Mas Pandji Sosro Kartono,
Berita tersebut di atas, memastikan bahwa Raden Kartono
tidak lagi di (politeknik) Delft, tetapi
fakultas yang akan diikuti Raden Kartono adalah fakultas
non eksak. Ujian itu disebutkan dilakukan di Universiteit te Utrecht (lihat De
Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 28-08-1901). Raden Kartono
kuliah dalam bidang studie der oostersche talen (program studi bahasa-bahasa
Timur) yang diselenggarakan di [Universiteit te] Leiden,
Sejauh ini (1901) di Belanda nama pribumi yang studi
hanya nama Raden Kartono. Raden Kartono yang sorangan diri di Belanda bagaikan
lone ranger di negeri orang. Bagaimana dengan siswa/mahasiswa orang Cina asal
Hindia?
Pada tahun 1903 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean berangkat ke Belanda. Soetan Casajangan tidak sendiri tetapi juga
ada guru muda Djamaloedin yang damping oleh jurnalis senior di Padang, Haji
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan adalah guru di Padang Sidempoean, alumni Kwekschool Padang
Sidempoean (lulus 1887); Djamaloedin lulus dari sekolah guru di Fort de Kock (1901). Sementara
itu, juga diberitakan Abdoel Rivai berangkat dari Batavia ke Belanda. Abdoel
Rivai adalah lulusan sekolah kedokteran pribumi (Docter Djawa School) tahun 1896.
Mereka datang ke Belanda dalam hubungan Kerjasama Dr AA Fokker dan Dja Endar
Moeda dalam hubungannya dengan penerbitan majalah dwimingguan Bintang Hindia di
Amsterdam. Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Djamaloedin untuk sementara
bekerja sebagai tim redaksi Bintang Hindia (sambil menjajaki kemungkinan
melanjutkan studi di Belanda).
Pada tahun 1903 Raden Kartono
diberitakan lulus ujian kandidat pada bidang Taal- en Letterkunde van den Oost-lndischer. Archipel di Leiden (lihat
De Telegraaf, 30-06-1903). Sementara Soetan
Casajangan sudah menemukan dimana akan
melanjutkan studi. Soetan Casajangan kembali ke kampong halaman tahun 1905 untuk mengurus
segala sesuatu dan kembali lagi ke
Belanda pada bulan Juli 1905. Soetan Casajangan diterima di
Rijskweekschool di
Leiden untuk
mengikuti program studi keguruan (semacam IKIP yang sekarang). Soetan
Casajangan dapat dikatakan mahasiswa pribumi kedua di Belanda (Raden Kartono masih kuliah di Leiden).
Soetan Casajangan menulis artikel di Bintang Hindia pada edisi Oktober 1905. Di dalam
artikel Soetan
Casajangan menghimbau agar putra-putri terbaik dari Hindia untuk studi di Belanda. Sejumlah perguruan tinggi
digambarkan oleh Soetan Casajangan yang dapat dimasuki oleh siswa asal Hindia. Ini mengindikasikan Soetan
Casajangan guru tetaplah guru. Himbauan ini tampaknya berhasil. Seperti kita lihat
selanjutnya jumlah siswa asal Hindia semakin banyak dari tahun ke tahun melanjutkan
studi ke Belanda.
Dalam perkembangan program
studi yang diikuti oleh Raden Kartono di Leiden tersebut disebut program studi
Indologi. Demikian juga politeknik di Delft sudah disebut Universiteit te Delft. Dalam
perkembangan diketahui Djamaloedin mengikuti studi Wageningen (sekolah pertanian);
Dr Abdoel Rivai di sekolah tinggi kedokteran di Amsterdam. Di kampus kedokteran
ini juga ada nama-nama F Laoh (asal Manado) dan W Tehupelory (asal Ambon) dan
Asmaoen (asal Malang) serta Boenjamin (asal Solo).
Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sudah sebanyak 20an orang. Pada saat inilah Soetan
Casajangan menginisiasi pendirikan organisasi pelajar/mahasiswa dengan meminta Raden Soemitro, yang
baru lulus HBS di Belanda diterima di perguruan tinggi untuk mengirim undangan
ke semua pelajar/mahasiswa untuk berkumpul di tempat kediamannya di Leiden.
Pada tangga; 25 Oktober dalam rapat dipuruskan untuk mendirikan organisasi
pelajar/mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging dimana Soetan Casajangan
didaulat menjadi presidennya dan Raden Soemitro sebagai sekretaris. Lalu dibentuk satu komite untuk menyusun statute organisasi
yang terdiri dari Soetan Casajangan, Raden Soemitro, Hoesein Djajadiningrat dan
Raden Kartono. Keempatnya berominasili di Leiden. Soetan Casajangan dan Raden
Kartono berada di lingkungan alamat yang sama di Leiden.
Raden Kartono berhasil menyelesaikan studinya di
Leiden tahun
1909 (lihat Het vaderland,
08-03-1909) dan menjadi sarjana pertama yang berasal dari pribumi (di
Universiteit te Leiden). Pada tahun ini juga Soetan Casajangan berhasil lulus
sarjana muda (akta guru LO) di Rijskweekschool di Leiden.
Sebelumnya beberapa dokter djawa, alumni Dokter Djawa School seperti Dr
Boenjamin, Dr A Rivai dan Dr Laoh telah menyelesaikan studinya dan mendapat gelar dokter di Univ.
Amsterdam tahun 1908. Dokter-dokter djawa ini tidak kuliah penuh (dari awal) seperti Raden Kartono dan
Soetan Casajangan) tetapi karena mereka sudah berdinas
sebagai dokter yang berdasarkan Staatsblad tahun 1904 dibebaskan dari kuliah
materi teoritis untuk
melanjutkan studi di Belanda. Dr Asmaoen, juga sudah selesai dan mendapat gelar dokter dan langsung
pulang ke tanah air pada bulan Juli 1908 (tidak lagi hadir dalam pembentukan organisasi
pelajar/mahasiswa Indische Vereeniging pada bulan Oktober 1908).
Setelah menyelesaikan studi di Leiden tahun 1909, Raden Kartono tidak langsung kembali ke
tanah air. Raden Kartono bekerja di Belanda. Demikian juga Dr A Rivai dan Dr Laoh dan Dr Tehupelory tidak kembali
ke tanah air. Soetan Casajangan pada tahun 1911 meraih gelar sarjana penuh dalam bidang pendidikan dengan mendapat akta guru MO
di pada
tahun 1911 di Rijskweekschool, Leiden.
Pada tahun 1911 terjadi pergantian penguru Indische Vereeniging. Yang
diangkat sebagai pengganto Soetan Casajangan adalah Raden Noto Soeroto (tiba di
Belanda tahun 1907). Jumlah pelajar/mahasiswa pribumi asal Hindia di Belanda
pada tahun 1911 sudah sangat banyak, betambah dari tahun ke tahun. Pada tahun
1911 ini kedatangan siswa baru asal Hindia di Belanda. Masih muda belia bernama
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Soetan Goenoeng Moelia lulusan
sekolah Eropa/Belanda (ELS) di Sibolga dan melanjutkan studi sekolah menengah
(HBS) di Belanda. Soetan Goenoeng Moelia dapat dikatakan siswa pribumi asal
Hindia termuda di Belanda (dari segi umur maupun dari segi pendidikan). Yang
tertua adalah Soetan Casajangan dan Abdoel Rivai. Tentu saja Soetan Goenoeng
Moelia di Belanda berada di bawah bimbingan Soetan Casajangan. Kebetulan mereka
berdua sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Sebelumnya, Soetan Casajangan
sudah membimbing guru muda lulusan sekolah guru di Jogjakarta asal Solo, Sjamsi
Widagda untuk melanjutkan sekolah keguruan di Belanda yang dititipkan oleh presiden
Boedi Oetomo (bupati Karanganjar).
Tunggu deskripsi lengkapnya
RA Kartini di Jepara, Habis Gelap Terbitlah Terang: JH Abendanon dan Soetan Casajangan di Belanda
Pada tahun 1911 di Belanda terbit buku berjudul “Door Duisternis tot Licht: gedachten
over en voor het Javaansche volk” (583 halaman). Di dalam buku berbahasa Belanda ini disebutkan sebagai auteur
adalah Raden Adjeng Kartini dan coauteur JH Abendanon. Buku ini diterbitkan
oleh drukker/uitgever GCT van Dorp & Co. RA Kartini dalam hal ini adalah
adik perempuan Raden Kartono. Judul buku tersebut jika diterjemahkan berjudul “Habis
Gelap Terbitlah Terang”. Catatan: Penerbit GCT van Dorp & Co ada di Semarang, Soerabaja dan Den Haag.
Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan
surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H.
Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht, sedangkan penerjemahannya
(dari versi bahasa Belanda ke bahasa Melayu) pertama kali dilakukan pada 1922
oleh Bagindo Dahlan Abdullah, Zainudin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan
Djamaloedin Rasad (mereka menyebut diri Empat Saudara). Proses pengumpulan surat-surat yang pernah
dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa dilakukan setelah Kartini
wafat oleh JH Abendanon. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju
Terang”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. (Wikipedia).
Apa yang mener 1903.Apa yang menjadi perhatian tentang isi buku itu adalah
apa yang ada dalam buku dan hubungan antara Abendanon dan RA Kartini. Kisahnya
dimulai pada tahun 1900 ketika JH Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan,
Urusan Agama dan Industri (bersama istrinya) berkunjung ke Djepara. Tentu saja
ada sebabnya Abendano yang baru menjabar menyegarakan berkunjung ke Djepara,
seperti hal tempo doeloe Direktur Pendidikan Pribum CA van der Chijs pada tahun
1863 berkunjung ke Tanobato, afdeeling Angkola Mandailing (residentie
Tapanoeli).
Pada tahun 1900 Direktur OE en N, Jr. Van Der Wijck, bulan Maret yang akan
datang ke Eropa karena sakit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 04-01-1900). Disebtutkan ada dua kandidat Mr JH Abendanon dan
Mr JW Th Cohen Stuart. Mr JH Abendanon adalah hakim di pengadilan tinggi di
Batavia. Yang terpilih sebagai direktur OE en N adalah JH Abendanon (lihat De
nieuwe vorstenlanden, 28-02-1900). Kunjungan dinas pertamanya ke daerah adalah
ke (residentie) Rembang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-07-1900). Dari
Rembang Abendanon ke (residentie) Djepara.
Dalam kunjungan ini, di
Djepara ada dialog antara JH Abendanon dengan Bupati Djepara tentang
putri-putri bupati terutama putri tertua RA Kartini. Dalam konteks inilah
kemudian terjadi korespondensi antara RA Kartini dengan teman-temannya perempuan
Eropa dan juga korespondensi dengan JH Abendanon dan istri. Surat-surat korespondensi
itulah yang kemudian dijadikan bahan dalam penulisan buku tersebut. Tulisan RA
Kartini terakhir ditulis di Rembang, 11 Desember 1903.
Seperti disebut di atas, abang RA Kartini bernama Raden Kartono sudah
beradi di Belanda. Raden Kartono selepas lulus sekolah HBS di Semarang, pada
tahun 1896 melanjutkan studi ke Belanda. Disebutkan Kartini diperbolehkan
bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang menjadi sebab Kartini biasa
berbahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 tahun, Kartini (sesuai adat) harus
tinggal di rumah karena harus dipingit. Tulisan Kartini juga ada yang dikirim
ke majalah berbahasa Belanda. Dalam konteks ini, jika Kartini lahir 21 April
1879, pada saat pertemuan dengan Abendanon dan istri tahun 1900, itu berarti
usia Kartini sudah mencapai 20 tahun. Suatu usia tinggi diantara gadis-gadis Jawa
(pribumi). Jika Kartini pernah sekolah di ELS, berarti pada tahun 1900,
meninggalkan sekolah ELS sekitar delapan tahun yang lalu (katakanlah pada tahun
1898). Sementara itu, abangnya dua tahun sebelumnya pada tahun 1896 sudah di
Belanda. Keberadaan Raden Kartono yang studi di Belanda yang diduga menjadi
sebab Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri
berkunjung ke Djepara, dimana tidak terduga terjadi dialog antara Abendanon dengan
bupati Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tentang perihal putrinya RA Kartini.
Catatan: Nun jauh di kota Padang, Alimatoe’ Saadiah yang belum lama
menyelesaikan studinya di sekolah radja (kweekschool) di Fort de Kock dan
menikah bulan Juni 1903 dengan dokter muda Haroen Al Rasjid (Nasoetion) yang
bertugas di Padang setelah menyelesaikan studi di Docter Djawa School tahun
1891). Alimatoe’ Saadiah adalah lulusan ELS di Padang sebelum bersekolah di
kweekschool Fort de Kock. Alimatoe’ Saadiah adalah putri Hadji Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda (pensiunan guru pemilik sekolah dan pemimpin surat kabar Pertja
Barat di Padang). Anak pertama Haroen Al Rasjid (Nasoetion) dan Alimatoe’
Saadiah Harahap lahir 22 Meret 1905 diberi nama Ida Loemongga (kelak menjadi
perempuan Indonesia pertama dokter di Amsterdam dan meraih gelar doktor di Utrecht
tahun 1930).
RA Kartini menikah dengan bupati Rembang (sudah pernah
memiliki tiga istri) pada tanggal 12 November 1903. Seperti disebut di atas, tulisan RA Kartini terakhir
ditulis di Rembang, 11 Desember 1903. Artinya, RA Kartini masih melakukan korespondensi
setelah menikah. Anak
satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904.
Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal di Rembang pada usia 25 tahun.
Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan
Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh
keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan
bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang
melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah. Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam
surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri,
seperti EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny
Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. (Wikipedia)
Kapan JH Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini
dan merangkumnya menjadi satu buku tebal? Tentu saja JH Abendanon tidak lagi sebagai
Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri, tetapi sudah kembali ke
Belanda. Satu yang jelas Abendanon pernah menemui Soetan Casajangan di Belanda.
Pada tahu 1905 JH Abendahanon akan mengakhiri tugasnya sebagai direktur OE
en N. Tampaknya Abendanon akan kembali ke Eropa, rumahnya di Kebon Sirih akan dijual (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-01-1905). Buitenzorg, 25 Januari. Diberhentikan, dengan hormat, atas permintaan,
dari dinas direktur 0E dan N. Abendanon, dibawah ucapan syukur atas pelayanan
yang lama dan setia yang diberikan (lihat De locomotief, 25-01-1905). Yang
menggantikannnya adalah Jhr. O. Van der Wijck (nama yang digantikannnya pada
tahun 1900, kini Komisaris Pemerintah untuk Desentralisasi). Kapan serah terima
jabatan belum diketahui. Yang jelas di Batavia pada tanggal 21 diberitakan JA
van der Chijs meninggal dunia (lihat Het vaderland, 20-02-1905). Disebutkan pemakaman
Mr JA van der Chijs berlangsung kemarin sore, 21 Januari, Mr Abendanon,
direktur Pendidikan, Urusan Agama dan Industri dan anggota tertua dewan
Bataviaaseh Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, berbicara atas nama semua
yang hadir. Abendanon kembali ke Belanda. Abendano dan istri dengan kapal ke
Singpoera (lihat De locomotief, 13-03-1905), Buku Wer en Adat karya Abendanon
dijual (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1905). Pada bulan Juli Abendanon
dan Istri ke Suriname.Sementara itu, Soetan Casajangan pulang ke tanah air berangkat
dari Amsterdam 5 Juli 1905 tiba di Batavia 30 Juli (lihat manifest
keberangkatan kapal Prinses Juliana Amsterdam-Batavia dimuat di koran Belanda
yang terbit di Amsterdam tanggal 5 Juli 1905). Soetan Casajangan ke Belanda
pada tahun 1903. Pada akhir tahun 1905 Soetan Casajangan sudah di Belanda
kembali. Di Belanda Soetan Casajangan juga studi di sekolah kota OL School di
jalan Terwesten pimpinan G Smelt (lihat Het vaderland, 22-08-1906).
Soetan Casajangan lulus ujian akta guru sekolah
dasar di Haarlem tanggal 22 Mei (lihat Algemeen Handelsblad, 23-05-1907).
Disebutkan Soetan Casajangan berasal dari Batoe Na Doewa, residentie Tapanoeli.
Dengan akta LO ini dapat dilanjutkan ke tingkat Pendidikan guru yang lebih
tinggi.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 27-05-1907: ‘Soetan Casajangan
Soripada. Di antara mereka yang berhasil lulus ujian pendidikan dasar kemarin
lusa di ‘Haarlem, nama Hindia asli di atas juga muncul dimajalah HD, di residentie
Tapanoeli di Surnatra. Kami pernah mengunjunginya di rumah J de Weeger, di
Duvenvoordestraat, tempat tinggalnya. Kecil dan ramping, dengan wajah Hindia
yang halus, dimana dia menggunan lorgnette emas dengan sopan santun, Soripada
membuat kesan yang menyenangkan. Bagaimana dia bisa mengikuti ujian guru di
Belanda? Soripada adalah kepala sekolah pribumi, tetapi kehilangan kesempatan
untuk menjadi mahir berbahasa Belanda.Sejak tahun 1884, bahasa Belanda tidak
lagi diajarkan di kweekschool di Hindia. Maka ia memutuskan untuk pergi ke
Belanda. meskipun ada keberatan dari keluarganya, yang berpikir bahwa sebagai
penduduk asli dia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang biasanya diperuntukkan
bagi orang Eropa. Namun Soripada tetap bertahan, berharap setelah memperoleh
akta tersebut ia diangkat menjadi asisten guru di kweekschool. Dia menghabiskan
tiga tahun di Belanda, satu setengah tahun di Haarlem, dan dia berbicara dengan
rasa terima kasih tentang direktur dan guru di Rijksweekschool untuk guru, yang
melatihnya untuk ujian. Dia sekarang menunggu perintah dari Menteri Koloni,
yang mengetahui keinginannya dan menyetujuinya, dan kemudian, mungkin dalam dua
atau tiga bulan, berangkat lagi ke Hindia, dimana dia harus meninggalkan istri
dan dua anaknya, sehingga dia ingin bertemu dengan mereka lagi. Soripada yang
berumur 31 tahun tergolong bangsawan pribumi dan kata Soetan adalah gelarnya.
Dia berbicara dengan pujian tentang pendidikan pribumi, tetapi sangat
disayangkan bahwa jumlah guru masih terlalu sedikit. Dan kemudian kami
meninggalkan pemuda ini, yang pasti merupakan tindakan keberanian dan kekuatan
pikiran, tanah tempat dia dilahirkan, bertentangan dengan nasihat keluarganya
dan meninggalkan keluarganya, untuk membuka pintu ke karir yang lebih baik di
negara asing. Dapat diharapkan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan energi
ini tidak dihargai. Selain itu, perubahan hidup tidak merugikannya. Dia
tertawa, dalam bahasa Belandanya, diucapkan dengan sangat tepat, bahwa dia
telah menjadi gemuk di negara kita, dan bahkan telah bebas sama sekali dari
demam, yang sangat dideritanya dimasa lalu di Batoe Na Doea”.
Berita kelulusan Soetan Casajangan menjadi viral di
Belanda. Boleh jadi karena pendidikan Hindia menjadi perhatian orang Belanda di
Belanda. Soetan Casajangan tidak ingin segera pulang ke tanah air. Meski dengan
akta tersebut sudah bisa menjadi asisten guru di sekolah Kweekschool, tapi
tampaknya Soetan Casajangan ingin mendapatkan akta kepala untuk bisa menjadi
direktur sekolah Kweekschool. Surat kabar besar di Belanda kemudian mengunjungi
dan mewawancarainya (lihat De Telegraaf, 03-06-1907).
Berita itu juga menjadi heboh di Hindia (lihat antara lain De Sumatra
post, 17-06-1907; Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907; De nieuwe vorstenlanden, 05-07-1907).
Pencapaian ada yang mengaitkan dengan pencapaian Willem Iskander (1874-1876)
namun meninggal di Belanda sebelum berangkat ke tanah air (lihat De Sumatra
post, 17-06-1907).
Pada bulan Juni 1908 JH Abendanon di Belanda menemui
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Apa gerangan? Saat itu Soetan
Casajangan yang tengah mengikuti pendidikan di Rijksweekschool juga merencanakan
akan mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa Indonesia di Belanda. Di Belanda Soetan
Casajangan adalah pelajar/mahasiswa senior asal Hindia. Seperti disebut di
atas, Mr JH Abendanon adalah mantan Direktur Pendidikan di Hindia Belanda
(1900-1905).
Bataviaasch nieuwsblad, 28-01-1909: ‘Indische Vereeniging didirikan.
Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, sebuah perhimpunan pribumi asal Hindia
telah dibentuk di Belanda. R Soetan Casajangan menulis kepada Colonial Weekly
untuk mengatakan hal berikut tentang perkumpulan tersebut: Pada bulan Juni
tahun 1908, JH Abendanon datang menemui saya dan bertanya apakah saya pernah
berpikir untuk mendirikan perkumpulan untuk orang Hindia. Saya menjawab
pertanyaan ini dengan iya dan kemudian dia mendesak saya untuk melanjutkan
rencana saya yang bermanfaat ini. Kemudian saya memilih salah satu orang Hindia
sebagai rekan saya, yaitu R. Soemitro Lalu kami mengirim undangan ke semua orang
Hindia yang studi di Belanda untuk menghadiri pertemuan pembentukan. Pada
tanggal 25 Oktober kami, lima belas orang Hindia, berkumpul di tempat saya, di
Leiden, dan pertemuan pertama diadakan. Saya meminta Soemitro untuk menghadiri
pertemuan; R. Hoesein Djajadiningrat adalah sekretaris sementara. Anggaran
Dasar disetujui pada prinsipnya dengan suara bulat dan diputuskan untuk
mendirikan ‘Indische Vereeniging’. Kemudian kami melanjutkan untuk memilih
pengurus. Presiden terpilih: R. Soetan Cssajangau Soripada, sekretaris dan
bendahara RM Soemitro. Sebuah komite dibentuk untuk menyusun AD/ART yang
terdiri dari dari R, Soetan Casajangan, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R
Hoesain Djajadiningat, Pada tanggal 15 November pertemuan kedua diadakan di Den
Haag. Itulah sejarah ‘Indische Vereeniging. Dalam statuta kita membaca bahwa
Vereeniging menyandang nama “Indische Vereeniging” dan didirikan di
Den Haag. Tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan bersama orang Hindia di
Belanda dan untuk tetap berhubungan dengan tanah air di Hindia, penduduk
pribumi di Hindia. Asosiasi berupaya untuk mencapai tujuan ini dengan:
mempromosikan interaksi antara orang Hindia di Belanda, mendorong orang Hindia
untuk datang dan belajar di Belanda dengan melakukannya: dengan memberikan
informasi tentang studi dan tempat tinggal di Belanda, dengan membantu orang
Hindia yang baru tiba, dan dengan memberikan semua informasi yang mungkin
tentang Belanda atas permintaan. Anggota biasa hanya boleh orang Hindia yang
tinggal di Belanda. Kami berharap asosiasi muda ini menemui keberhasilan’. Catatan:
R, Soetan Casajangan, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R Hoesain
Djajadiningrst berempat sama-sama tinggal di Leiden (yang lainnya di Amsterdam,
Den Haag, Haarlem, Delft dan Wageningen). Berita ini juga dilansir surat kabar De
nieuwe vorstenlanden, 01-02-1909 dan Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 16-02-1909.
Pada tahun 1909 ini di Leiden Raden Kartono
menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar serjana. Mr JH Abendanon sangat
perhatian terhadap pendidikan pribumi. Raden Kartono dan Soetan Casajangan
bertempat tinggal di alamat yang sama di Leiden di Oude Vest 77. Apakah dalam
konteks tersebut lalu muncul gagasan JH Abendanon untuk menulis riwayat RA
Kartini, adik perempuan Raden Kartono dengan mengumpulkan surat-surat RA
Kartini? Raden Kartono dan Soetan Casajangan adalah dua yang pertama yang
melakukan studi di Belanda.
De locomotief, 25-10-1909: ‘Den Haag, 24 Oktober. Memorial Tehupelory. Pada
penyerahan tugu peringatan di makam dokter Tehupeiory kepada Indische
Vereeniging, Van Deventer, Abendanon dan Presiden Indische Vereeniging Soetan
Casajangan berbicara. Mahasiswa Ambon Apitully mengucapkan terima kasih’. Tehupelory
meninggal pada bulan Januari 1909 (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 25-01-1909). Disebutkan jenazah dokter JE Tehupeiory, orang
Ambon sejak lahir, dimakamkan di pemakaman umum baru di Utrecht dengan penuh
minat. Th. van Deventer, anggota Tweede Kamer (Dewan Perwakilan Rakyat), adalah
orang pertama yang tampil pada sambutan, atas nama semua orang Belanda yang
menganggap dan mencintai Hindia sebagai tanah air kedua mereka, atas nama
mereka yang percaya pada masa depan Insulinde, penghormatan yang dalam dan
penuh hormat untuk mengenang Tehupeiory. JH Abendanon, mantan direktur pendidikan
di Hindia melukiskan kontras yang mencolok antara negeri yang dingin, tempat
Tehupelory sekarang dimakamkan, dan negeri yang cerah tempat ia datang satu
setengah tahun yang lalu.
Pengalaman JH Abendanon selama menjadi direktur
pendidikan di Hindia (1900-1905) dan partisipasinya di Vereeniging Oost en West
yang didirikan di Belanda. Gagasan Soetan Casajangan untuk mendirikan
organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda tahun 1908 turut didorong oleh HJ
Abendanon untuk perealisasiannya pada bulan Juni 1908 yang kemudian diformalkan
pada tanggal 25 Oktober 1908. Sejak itulah HJ Abendanon dekat kepada Soetan
Casajangan dan anggota organisasi Indisch Vereeniging dimana salah satu
anggotanya Raden Kartono. Pengalaman Abendanon betermu dengan ayah Raden
Kartono tahun 1900 di Djepara dimana mereka membicarakan RA Kartini diduga
Abendano merecall kembali, yang lalu direalisasi dengan mengumpulkan
surat-surat RA Kartini. Sebagai bentuk kontribusi untuk Hindia Belanda,
mempublikasikan tulisan RA Kartini adalah upaya Abendanon untuk mendorong
perempuan pribumi bangkit dan lebih mandiri. Sejak ini diduga Abendano memulai
pekerjaannnya untuk menulis buku yang terkait dengan surat-surat RA Kartini.
Kebetulan tahun 1909 ini merupakan ulang tahun Ver, Oost en West yang ke-10.
De locomotief, 10-06-1909: ‘”Oost en West”. Vereeniging Oost en
West merayakan hari jadinya yang ke-10 pada tanggal 3 Mei lalu. Organ asosiasi adalah
‘Het Koloniëal Weekblad’ diterbitkan pada tanggal itu dalam bentuk edisi
perayaan dimana berbagai orang yang terkait dan terkenal dengan asosiasi
tersebut mengirimkan kontribusi mereka kepada editor. Dalam edisi ini Anda akan
menemukan ucapan selamat dari Mr. Abendanon, KHO van Bennekom, CAHN Barge, Dr
HD Benjamins, Andrée Snabilié, Soetan Casajangan, F Caspersz, Gongreep, Th.
Hilgers, H van Kol dan Nellie van Kol, van der Zijl dan Ph Zilcken. Kami
mendapatkan yang berikut dari ikhtisar tentang asal usul asosiasi. Pada musim
semi tahun 1899, sebuah artikel diterbitkan di Haagsche Vaderland oleh seorang
teman Hindia, dimana artikel itu mengundang para wanita yang telah aktif di
seksi Hindia pada pameran buruh wanita yang diadakan untuk kepentingan seni dan
kerajinan pribumi koloni kita untuk terus bekerjasama. Nyonya N Van
Zuylen-Tromp kemudian mencoba memprovokasi “kerja sama untuk kepentingan
Hindia”. Di bawah judul ini, dia mengundang di surat kabar Den Haag semua
pria dan wanita yang tertarik dengan Timur dan Barat kita untuk mempromosikan
kepentingan kepemilikan luar negeri dengan cara praktis, dengan propaganda
diantara seluruh rakyat dan dengan mempromosikan industri Hindia dan kerajinan
tangan. Pada tanggal 13 April diadakan pertemuan pertama di rumah Ny. Van
Zuylen Sebuah komite ditunjuk untuk membuat draf AD/ART dan peraturan internal,
dan pada tanggal 3 Mei 1899, asosiasi dibentuk dalam pertemuan yang diadakan di
gedung “Diligentia” di Den Haag. Berawal dari 200 anggota dan kini
beranggotakan 2.000 anggota. Seperti diketahui, panitia dari asosiasi tersebut
memberikan informasi kepada mereka yang berangkat ke Hindia dan membantu warga Hindia
yang pulang kampung; ia menjalankaan restoran Indonesia di Den Haag, mengadakan
‘koempulan’ untuk bekas orang Hindia, melahirkan asosiasi ‘Boeatan’ dan mencoba
menyebarkan pengetahuan yang berguna tentang Hindia Belanda melalui majalah ‘Het
Koloniëal Weekblad’ dan tulisan-tulisan populernya. Asosiasi juga bertujuan
untuk mendukung dan membantu pemuda Indo-Belanda di Belanda, untuk membentuk
dana dukungan dan dana studi, dll. Pasangan van Kol menulis di edisi perayaan
ini: “Dengan cepat tahun-tahun berlalu; dan sepuluh tahun telah berlalu sejak
sekelompok kecil peminat mendirikan vereeniging dan majalah East and West.
Jerih payah mereka tidak sia-sia. “Namun, disini juga bagian terbesar dari
tugas itu berada di pundak beberapa orang, paling tidak pada keluarga van
Zuylen. Dan siapa yang tidak mengingat disini dengan kesedihan dan rasa syukur
pekerja yang setia, unruk Vereeniging, dan suami tercinta. yang meninggal dari Ny
van Zuylen? Tetapi dia dengan berani melanjutkan pekerjaannya, atas dorongan
hatinya sendiri dan untuk mengenangnya, bersama dengan teman-teman koloni
lainnya. “Semangat baru telah dibangunkan melalui usaha bersama dan pengabdian;
semakin banyak orang di koloni mulai melihat sesuatu selain alat keuntungan;
mulai disadari bahwa disana ada hutang besar yang harus kita bayar dan tugas
suci yang harus dilaksanakan. “Untuk satu dekade lagi, semoga kemajuan
meningkat lebih jauh lagi!”
Sementara HJ Abendanon mengumpulkan surat-surat RA
Kartini, Abendanon juga melakukan pengumpulan data dari Raden Kartono di
Belanda untuk mendapatkan gamabaran umum dan latar belakang keluarga dan
adiknya RA Kartini. Akhirnya buku tersebut sebanyak 583 halaman berhasil
diselesaikan oleh HJ Abendanon yang diberi judul: “Door Duisternis tot Licht:
gedachten over en voor het Javaansche volk”. Buku tersebut pada tahun 1911 diterbitkan
di Belanda oleh drukker/uitgever GCT van Dorp & Co yang berkantor pusat Den
Haag.
Pada tahun 1911 ini Soetan Casajangan menyelesaikan studinya dengan
mendapat akta guru MO yang setara dengan sarjana keguruan. Pada tahun 1911 ini
kepengurusa pertama Indische Vereeniging ditransfer kepada pengurus baru yang
akan dipimpin oleh Raden Noto Soeroto. Namun demikian, Soetan Casajangan untuk
mendukung sumberdaya calon dan atau pelajar/mahasiswa di Belanda, bersama
dengan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon memebtuk studiefond.
Tujuan pembentukan StudiFond ini adalah untuk menggalang dana bagi
pelajar/mahasiswa di Belanda yang membutuhkan keuangan Ketika mengalamai
kesulitan. Lagi-lagi Soetan Casajangan membuat terbodan baru dinatara
pelajar/mahasiswa asal Hindia di Belanda. Singkat kata: Pada tahun 1913 Soetan
Casajangan akan kembali ke tanah air. Administrasi StudiFond kemudian
diintegrasikan dengan administrasi Indische Vereeniging.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.