*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini
Sebelum
dikenal Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Technische Universiteit Delft (TU Delft) pada masa ini,
pada masa lampau dikenal Polytechnische School di Delft dimana Raden Kartono
diterima pada tahun 1896. Dalam perkembangannya politeknik ini diubah statusnya
menjadi perguruan tinggi teknik (Technische Hoogeschool te Delft) yang menjadi
cikal bakal TU Delft. Bagaimana dengan di Indonesia? Itu bermula di Bandoeng dengan
didirikannya tahun 1920 Technische Hoogeschool te Bandoeng (yang menjadi cikal
bakal ITB).
Technische
Universiteit Delft (TU Delft) adalah sekolah sulit tapi prestisius. Salah satu pribumi
yang studi di sekolah tinggi teknik ini di masa lalu adalah direktur pertama
PT. PINDAD Bandung (1950-1954) Ir AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang
Parlindoengan. Sejak doeloe, selain TU Delft sebagai jalur mahasiswa asal
Indonesia di bidang eksak adalah Fakultas Kedokteran Universiteit van
Amsterdam, salah satu alumninya adalah perempuan Indonesia pertama bergelar
Doktor (PhD) di bidang kedokteran tahun 1931 Dr Ida Loemongga Nasoetion, PhD.
Satu lagi universitas yang sulit di Belanda adalah Fakultas Kedokteran Hewan
Universiteit Utrecht yang mana salah satu alumninya adalah orang Indonesia
pertama berlisensi Eropa sebagai Dokter Hewan tahun 1920 Dr Sorip Tagor
Harahap, dokter hewan yang memulai karir di Istana Gubernur Jenderal yang kemudian
dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kedokteran Hewan Province West Java di
Bandoeng (Dr Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek Inez/Risty Tagor).
Lantas bagaimana sejarah perguruan tinggi teknik
dan tata kota di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut
di atas, perguruan tinggi teknik (Technische Hoogeschool) dobuka tahun 1920 di
Bandoeng yang menjadi cikal bakal ITB sekarang. Lalu bagaimana sejarah perguruan
tinggi teknik dan tata kota di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Perguruan Tinggi Teknik dan Tata Kota di Indonesia
Sejak Pemerintah Hindia Belanda; THS hingga ITB
Seperti disebut pada artikel sebelumnya, di Belanda
sudah banyak mahasiswa pribumi asal Hindia, dan diantaranya sejumlah mahasiswa
studi di Technische
Hoogeschool te Delft. Sejauh ini semua mahasiswa dengan biaya
sendiri. Mahasiswa juga memanfaatkan dana studi (Studiefond) yang dibentuk
Soetan Casajangan dan Mangaradja Soangkoepon pada tahun 1912 (yang kemudian
diintegrasikan di dalam Indische Vereeniging). Praktis tidak ada kontribusi
pemerintahan (Pemerintah Hindia Belanda) kepada siswa yang studi ke luar negeri
(dalam hal ini Belanda). Dengan latar belakang itu Pemerintah Hindia Belanda merencanakan
pengiriman siswa untuk studi ke Delft.
Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) di Batavia membuat rencana pada tahun 1916 untuk
memenuhi kebutuhan di Hindia Belanda akan mengirim pegawai muda pribumi untuk
pelatihan (opleiding) ke Technische Hoogeschool te Delft pada tahun anggaran
1916 sebanyak 77 orang dan 1917 sebanyak 95 orang (lihat De Preanger-bode,
26-07-1916). Rencana ini tampaknya,
dengan melihat jumlah yang dikirim, bukan untuk program sarjana (ingenieur), dan
juga bukan untuk sekolah menengah (karena di di Hindia sudah ada Technisch
Schooo), tetapi untuk program diploma.
Rencana Pemerintah Hindia Belanda ini tampaknya
adalah untuk merespon tekanan para pakar dan pemerhati Hindia Belanda di
Belanda yang tergabung dalam Vereeniging
Moederland en Kolonien. Soetan Casajangan, ketua Indische Vereeniging (1908-1911) pada tahun 1911 diundang untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam forum yang
diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan,
berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul:
‘Verbeterd Inlandsch Onderwijs’ (peningkatan pendidikan pribumi). Berikut beberapa petikan
penting isi pidatonya:
‘Geachte
Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). ..saya selalu berpikir tentang
pendidikan bangsa saya…cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah
luntur…dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir
dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku
untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang
indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan
yang lebih tinggi…hak yang sama bagi semua…sesungguhnya dalam berpidato ini
ada konflik antara ‘coklat’ dan ‘putih’ dalam perasaan saya (melihat
ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
saja menyelesaikan pendidikan sarjana keguruan di Belanda memahami bentuk arti pendidikan
bagi orang pribumi di Hindia. Soetan Casajangan dengan sangat santun dalam pidatonya tetapi memberi makna yang
dalam yang menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan
dan bahkan profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda. Kutipan pidato
Soetan Casajangan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia
Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di
Hindia Belanda dengan sendirinya sudah saling mengetahui problem dan harapan
yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan. Namun selama bertahun-tahun
tidak pernah terealisasikan.
Soetan Casajangan tentu saja
sulit menyampaikan hal seperti itu kepada Pemerintah Hindia Belanda. Akan
tetapi akan berbeda jika disampaikan di dalam forum Vereeniging Moederland en
Kolonien di Belanda yang mengundangnya. Politik etik bagi Soetan Casajangan
tampaknya sudah usang. Soetan Casajanagan menyuarakan isi hatinya di hadapan
orang-orang yang memiliki hati: “cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah
luntur…dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya...saya
ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk
pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk
rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah.
Rencana Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengirim siswa ke
Delft tidak
jadi diwujudkan. Hal ini karena di Belanda dan di Hindia Belanda tahun 1917 terjadi polemic, bukan mendatangkan
siswa-siswa ke Belanda tetapi mengirim dosen-dosen di Belanda untuk mendirikan perguruan tinggi teknik di Hindia Belanda. Vereeniging Moederland en
Kolonien sudah barang tentu telah memainkan peran penting dalam munculnya polemic
tersebut. Sultan
Djogja merespon dengan positif dan bahkan bersedia menyediakan lahan meski dia
tahu Bandoeng menjadi kandidat kuat dimana usulan perguruan tinggi teknik didirikan (lihat De Preanger-bode,
19-08-1917).
Sebelumnya sudah beredar informasi bahwa rencana perguruan tinggi teknik itu
sedang mempertimbangkan Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 25-07-1917).
Sementara itu di Delft sudah dibentuk komisi
yang dipimpin oleh Prof. Klopper. Bagaimana komisi ini dibentuk? Tentu saja tidak atas otorisasi Pemerintah
Hindia Belanda. Untuk urusan setingkat ini adalah otorisasi Menteri Koloni di
Belanda. Sudah barang tentu otorisasi Menteri Koloni ini akan terhubung dengan
parlemen (Tweede Kamer) di Belanda, yang dengan sendirinya Vereeniging Moederland
en Kolonien sebagai ‘ormas’ di dengar oleh Menteri Koloni maupun oleh para
anggota dewan di Tweede Kamer. Prof. Klopper dalam hal ini ditunjuk/diangkat sebagai ketua
komisi di bawah otorisasi (Menteri Koloni).
Dalam perkembangannya
diketahui di Delft Prof. Klopper mendapat masukan dari Ir. HA Brouwer, seorang
insinyur di Kementerian PU di Hindia Belanda yang baru tiba di Delft karena
diangkat sebagai dosen di Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1918). Ir. HA Brouwer tidak mewakili Pemerintah Hindia
Belanda, tetapi mewakili dirinya sebagai akademisi (yang memiliki otonomi
sendiri). Komisi di Delft ini sudah mulai menggeser kegiatannya ke Hindia
Belanda.
De Telegraaf, 12-05-1919 melaporkan bahwa Technische Hoogeschool te Bandoeng rencana akan
dibuka tahun 1921. Persiapan fisik Technische
Hoogeschool didukung oleh Gemeente Bandoeng. Penawaran dilakukan sejak 1 Mei
dan pemerintah lokal telah mempresentasikan di hadapan komite dan Pemerintah
Hindia Belanda (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 09-07-1919). Namun dalam perkembangannya rencana ini dimajukan
menjadi akhir Juli 1920, perkuliahan selama empat tahun dan Ijzzermann dan
Klopper melakukan persiapan di Hindia Belanda. Sekolah tinggi ini hanya satu
fakultas, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant,
16-08-1919). Pada tanggal 18 September Prof. Klopper akan berangkat ke Hindia
Belanda untuk persiapan pembukaan Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 05-09-1919). Ini mengindikasikan sebelum kedatangan Prof.
Klopper, Bandoeng sudah ditetapkan sebagai lokasi Technische Hoogeschool. Ini
dengan sendirinya harapan Djogja sirna. Dalam
analisis Prof. Klopper pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng sangat
masuk akal (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919) karena juga memungkinkan orang
Belanda di Hindia Belanda (baca: Indo) tidak harus ke Delft. Prof. Klopper
menyatakan sebagian besar mereka gagal di Delft.
Bagaimana gagasan pendirian perguruan tinggi teknik di
Hindia bermula di Belanda. Dalam hal ini di awal ada suara Soetan Casajangan
yang kemudian diadopsi oleh Vereeniging Moederland en Kolonien di Belanda (yang
menjembatani antara Menteri Koloni dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda), namun
ketika kegiatannya telah berada di Hindia Belanda tampaknya Prof. Klopper telah dikooptasi Pemerintah
Hindia Belanda. Sebab dalam pernyataan Prof. Klopper sejauh ini tidak menyinggung siswa-siswa
pribumi sebagai kandidat di sekolah tinggi teknik. Apakah suara hati Soetan Casajangan telah
dipinggirkan dan dilupakan?
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1919: ‘Sambil menunggu penyelesaian
bangunan kampus, Prof Klopper sudah berhasil menghimpun
(mengadministrasikan) sebanyak 23 dosen dan sebanyak 87 kandidat mahasiswa.
Dalam hal ini tentu saja tidak sulit
menemukan kandidat dosen maupun kandidat mahasiswa. Sebab di Hindia Belanda
sudah sejak lama terdapat banyak insiyur lulusan di Belanda dan beberapa tahun
terakhir ini jumlah HBS (afdeeling-B/Eksak) semakin banyak.
Akhirnya Technische Hoogeschool
te Bandoeng mulai terwujud. Prof.
Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia
Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Apakah ini mengindikasikan Prof. Ir, J. Klopper sepenuhnya patuh terhadap Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Lalu apakah peran Tweede Kamer dan Vereeniging Moederland en Kolonien di
Belanda telah selesai? Yang jelas perkuliahan di Technische Hoogeschool te Bandoeng
akan dimulai Juni 1920.
Salah satu persiapan adalah diadakannya pameran studi (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Juga disebutkan dalam berita ini bahwa Dewan
Persatoean Indo-Eropa (Indo-Europeesch
Verbond) dalam pertemuannya 26 Januari
memutuskan untuk menggalang dana melalui anggotanya untuk penyediaan beasiswa
bagi kandidat mahasiswa yang kurang mampu. Menurut perkiraan setiap mahasiswa
selama empat tahun termasuk pemondokan akan menghabiskan dana sebesar f6,000.
Suatu angka yang besar. Selain itu juga diberitakan diadakan Kongres Insinyur
di Batavia yang juga turut dihadiri pengurus pusat di Belanda. Salah satu
keputusan kongres ini Persatuan Insinyur Belanda chapter Hindia Belanda berpindah kantor ke Bandoeng (lihat De Sumatra post, 18-02-1920). Satu hal yang memunculkan
pertanyaan, setelah Prof. Ir, J. Klopper tidak menyinggung soal kandidat mahasiswa pribumi, idem dito dari Indo-Europeesch Verbond juga tidak terinformasikan.
Lalu bagaimana dengan pembangunan kampus di
Bandoeng? Perencanaan pembangunan konstruksi dilakukan oleh perusahaan
konstruksi di bawah pimpinan arsitek Ir. Maclaine Pont. Sedangkan pelaksana
konstriksi bangunan dikerjakan oleh pimpinan Kapten (genie) MT van Staveren.
Pekerjaan konstruksi terdiri tiga bagian: pertama dua gedung A dan B; kedua bidang lanskap; ketiga
bangunan ruangan perkuliahan termasuk jalan dan trotoar. Pekerjaan konstruksi
akan selesai tanggal 1 Juli 1920 (lihat
De Preanger-bode, 21-02-1920). Siapa Ir.
Maclaine Pont? Seperti disebut dalam artikel
sebelumnya Ir.
Maclaine Pont sama-sama lulus dengan Ir
HT Karsten dari Delft (bouwkundige ingenieur) tahun 1909.
Technische Hoogeschool te Bandoeng dengan satu fakultas Faculteit der
Weg- en Waterbouwkande (opleiding tot
civiel-ingenieur) sudah menjelang pembukaan yang akan
dilakukan pada tanggal 3 Juli 1920. Rektor telah menginformasikan melalui media/surat kabar tentang peraturan dan
persyaratan registrasi kandidat mahasiswa di seluruh Hindia Belanda (lihat De Sumatra post, 14-05-1920).
Dalam pembukaan perguruan
tinggi
ini akan dihadiri Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum yang
dimulai pukul sembilan dan diakhir dengan makan siang di Concordia yang dijamu
oleh (pemerintah daerah) Gementee Bandoeng. Kereta api
Weltevreden-Bandoeng diperbanyak, Untuk konfimasi kedadiran dapat menghubungi Prof. Klopper yang berkantor
(sementara) di Riaouwstraat 38 Bandoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-06-1920).
Akhirnya tanggal 3 Juli 1920 perguruan tinggi teknik di
Bandoeng resmi
dibuka oleh Gubernur Jenderal (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920). Disebutkan Ketua Dewan Direksi Technische
Hoogeschool, KAR Bosscha memberikan kata sambutan untuk menyambut hadirin dan
kemudian Wakil Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Tinggi Pendidikan Teknik
Tinggi Hindia Belanda Ir. RA van Sandick memberikan kata sambutan di hadapan
Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum.
Sandick menjelaskan sejarah yayasan itu sangat singkat, dimulai tahun
1917 berkumpul dari berbagai pihak dan mulai mengumpulkan dana dari berbagai
kalangan seperti perusahaan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran yang
hingga tahun 1919 terkumpul dana sebesar 3,3 juta gulden dan kemudian terbentuk Koninklijk
Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang mana bernegosiasi
dengan pemerintah (perwakilan Menteri Koloni) sehingga muncul fungsi baru yang
mana saya ditunjuk. Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in
Nederlandsch-Indie menawarkan untuk pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia
Belanda dan lalu para pendiri membentuk Dewan Direksi lalu menugaskan tiga
orang untuk mulai mengerjakannnya yakni (1) Prof. Ir. CW Weys, mantan Hoofdingenieur der BOW, mantan
Hoogleeraar in de tropische waterbouwkunde aan de Technische Hoogeschool te
Delft, yang sekarang menjabat sebagai Directeur der NV Rijstlanden Michiels-Arnold; (2) Prof. Dr. S. Hoogewei, mantan Rector
magnificus der Technische Hoogeschool te Delft, pengajar di bidang kimia; dan (3) saya sendiri merangkap
sebagai sekretaris. Tim ini merancang untuk dua program studi yakni insinyur
sipil dan insinyur kimia. Oleh karena pembiayaan yang besar untuk kimia dan
teknologinya sehingga (untuk sementara) hanya untuk teknik sipil saja. Pada
tanggal 1 Mei 1919 ditunjuk Prof. Klopper dan melakukan kunjungan kesini untuk
bernegosiasi dan pembicaaan dengan Pemerintah Hindia Belanda dan kemudian menetapkan lokasi
di Bandoeng… bulan Juli 1919 dilakukan sebuah upacara yang termasuk peletakan
batu pertama dan penanaman empat pohon yang melambangkan harapan…arsitek
bangunan Ir H. Madame Pont dan pengerjaan proyek konstruksi dipimpin oleh mantan Kolonel
genie VL Slors dan Kapten genis MT van Staveren dari angkatan darat….Tujuan
kami adalah bahwa insinyur
lulusan Technische
Hoogeschool te Bandoeng di masa depan akan setara dengan insinyur dari
perguruan tinggi teknik terbaik di
Westersche terbaik, yang mana kurikulum kami akan mengacu (copy paste) dari
kurikulum Technische Hoogeschool te Delft…’.
Jika diperhatikan secara cermat
dari hasil analis Prof, Klopper yang tidak sedikitpun menyinggung tentang
kandidat mahasiswa pribumi. Namun dalam perkembangan berikutnya ketika
menjelang Technische Hoogeschool te Bandoeng kandidat pribumi diakomodir (lihat De Preanger-bode, 03-07-1920). Apakah mahasiswa pribumi
yang diterima kapabel? Sebab prosesnya cepat (berbeda dengan seleksi untuk non
pribumi yang dilakukan jauh sebelumnya). Lantas mengapa muncul tarik ulur? Tidak
jelas. Namun yang jelas, pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan
diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar
bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di
hadapan para anggotanya. Tentu saja Soetan Casajangan (yang saat itu menjadi asisten Inspektur Pendidikan
Pribumi) di Batavia menetahui persis apa yang terjadi pada detik-detik
pembukaan perguruan tinggi tekni di Bandoeng. Dalam forum yang diadakan pada
tanggal 28 Oktober 1920 di Belanda,
Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda
dengan makalah 19 halaman yang berjudul ‘De associatie-gedachte in de
Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda).
Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and
Gentlemen).
….saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum,
ketua organisasi…yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada
saya…di hadapan forum ini….pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun
lalu)…saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor
pendidikan bagi pribumi…ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan
pendidikan bagi bangsa saya…(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di
negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri
saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa)
pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk
merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa
perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang
saya lakukan pada tahun 1911…saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan
bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah
(politik etik) dalam pendidikan…tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih…saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri…mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini…karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan…saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya…karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah
kolonial]…’
Soetan Casajangan dengan caranya sendiri tetap
santu. Isi
pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische
Hoogeschool te Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal
ketidaksetaraan sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar
mahasiswa baru di tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya
terdapat dua jatah pribumi (yang hanya diakomodir pada detik-detik pembukaan). “saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan
bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah
(politik etik) dalam pendidikan…tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih…saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri…mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini…karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan…saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya…karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan Hindia [yang dipimpin Gubernur
Jenderal]…’
Yang tidak terduga, dalam forum yang diselenggarakan di belanda ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogja [yang
pernah secara sekarela menawarkan lahan untuk pendirian Technische Hoogeschool] di Jogjakarta. Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran
Soeltan sangat strategis dan boleh jadi menjadi
bentuk protes. Pada saat itu boleh dikatakan kedua tokoh ini sangat
memerhatikan pendidikan penduduk pribumi. Oleh karenanya kedua tokoh ini tidak
hanya tokoh perubahan tetapi juga berani berkorban: Soetan Casajangan dengan
memikirkn kata-kata yang cukup tajam dengan cara penyampaian yang diplomatis
dan Soeltan Djogja dengan tulus ikhlas menyedikan lahan.
Lantas apakah setelah Soetan Casajangan berpidato di hadapan Vereeniging Moederland en
Kolonien pada bulan Oktober 1920
yang juga turut dihadiri Soeltan Jogjakarta akan berubah kebijakan yang
diterapkan di Technische
Hoogeschool di Bandoeng?
Seperti disebut di atas, inisiatif pendirian Technische Hoogeschool pada dasarnya berasal dari Vereeniging Moederland en
Kolonien di Belanda yang membentuk Yayasan
dengan menunjuk Prof Klopper sebagai ketua komite pendirian (yang kemudian
diangkat Gubernu Jenderal Hindia Belanda) sebagai rector di Bandoeng. Dalam
kasus jatah dan system penerimaan pada pembukaan Technische Hoogeschool, lalu berkesempatan Soatan
Casajangan bersuara kembali yang kebetulan juga turut dihadiri Soeltan Jogja.
Jelas bahwa dalam hal ini yang bisa
mengubah kebijakan di Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya satu-satunya yang bisa menjembatani suara
pribumi adalah Vereeniging
Moederland en Kolonien yang memiliki hubungan langsung dengan istitusi lain
seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in
Nederlandsch-Indie di
Belanda yang notabene memayungi Technische
Hoogeschool te Bandoeng.
Soetan Casajangan tidak hanya
pemikir yang brilian, juga Soetan Casajangan mendapat apresiasi yang luas dari
kalangan orang-orang Belanda. Soetan Casajangan sudah lama dikenal di Belanda. Soetan Casajangan yang menginisiasi pendirian
organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda, Indische Vereeninging pada
tahun 1908. Soetan Casajangan, seorang guru yang
melanjutkan studi keguruan di Belanda (dan telah mendapat gelar sarjana pendidikan
pertama) tetap konsisten dalam memperjuangkan pendidikan bagi orang pribumi.
Guru tetaplah guru.
Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan
Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk sudah lama terinformasikan. WJ Giel mengungkapkan
kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama
Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in
Nederland’ yang ditulis tanggal 23 Maret 1913 dan atikel dengan judul (n.l.de Batakker M. Soetan
Casajangan Soripada)’ yang diterbitkan
di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi
tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener
lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den
vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een
ontwikkelde Inlander (nl. Soetan
Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3
(1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van
Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition];
dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee,
Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp,
1914.
Hingga sejauh ini (1920) tidak seorang pun yang berbicara
tentang pendidikan tinggi diantara orang pribumi hingga munculnya Technische Hoogeschool te
Bandoeng kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir
tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en
Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di
Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk
berbicara/pidato di hadapan para anggotanya (tahun
1911 dan tahun 1920).
Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng
mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi lebih banyak dengan proses penerimaan yang lebih baik. Salah satu diantaranya yang diterima adalah Soekarno lulusan HBS di
Soerabaja pada bulan Juli 1921. Nama-nama mahasiswa pribumi yang seangkatan
dengan (Raden) Soekarno (angkatan kedua) adalah M. Soetoto, M. Anwari, M.
Koesoemaningrat, M. Soetedjo dan JAH Ondang. Catatan: dua mahasiswa pertama yang diterima di Technische Hoogeschool te
Bandoeng yang memiliki masalah saat
penerimaan (R. Katamso
dan R. Soeria Nata Legawa) diduga
gagal di tahun kedua karena nama mereka berdua tidak ada lagi pada hasil ujian transisi 1922 (lihat De Preanger-bode,
08-05-1922).
Seiring dengan jumlah jatah dan proses penerimaan
yang benar di Technische
Hoogeschool te Bandoeng, terbukti semua mahasiswa pribumi yang diterima tahun 1922 (seperti kita
lihat nanti) semuanya pada tahun 1926 lulus mendapat gelar insinyur (lihat De Indische courant,
07-05-1926). Tentu saja, diterimanya di Technische Hoogeschool te
Bandoeng dan lulusnya Soekarno dkk (angkatan kedua dan
seteriusnya) diperngaruhi banyak factor, namun bagaimanapun kontribusi Soetan
Casajangan sedikit banyak ada disitu.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, nama Soetan Casajangan telah terabaikan,
terlupakan, bahkan mungkin juga telah dikesampingkan dalam perebutan ‘gelar tanda jasa’. Akan tetapi, Soetan
Casajangan, yang hanya seorang guru ‘kampung’ di Padang Sidempuan, tetapi di
pentas pendidikan nasional dan pentas akademik internasional, jasanya tertulis
dengan tinta emas dan cetak tebal di berbagai artikel. Sepak terjang dan karya-karya Soetan Casajangan di
abad teknologi informasi ini tersimpan dengan baik di puluhan library
uiniversitas terkenal di berbagai negara yang bisa diakses. Soetan Casajangan
meninggalkan nama baiknya, reputasinya dan keteladanannya dalam berbagai bentuk (perilaku, semangat dan perjuangan serta karya) yang
tertulis dalam data sejarah. Gagasan, pemikiran dan tindaklanjut disuarakan
lewat tulisan (artikel dan buku) yang sudah diketahui oleh bangsa asing, tetapi
sangat kurang oleh bangsanya sendiri. Suaranya telah didengar oleh para
ahli/pakar Belanda di masa lalu. Lantas mengapa para ahli/pakar Indonesia pada
masa ini tidak/belum mengakuinya?
Tunggu deskripsi lengkapnya
THS hingga ITB: Stedebouw dan Planologie hingga Departmen
Perencanaan Wilayah dan Kota
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.