Depok Masa Kini

Pelabuhan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Tempo ‘Doeloe’

*Artikel Sejarah Moda Transportasi di Depok Tempo Doeloe dalam blog ini Klik Disini


Laporan
Tome Pires (1513) tentang Ciliwung dan Pakuan, Pajajaran


Sungai Ciliwung dan Gunung Salak di Bogor, 1875
Sungai Ciliwung hulunya bukanlah di
Gunung Salak. Akan tetapi pemandangan Sungai Ciliwung berlatar Gunung Salak
sungguh menakjubkan. Hulu Sungai Ciliwung sebenarnya berada di Gunung
Pangrango. Oleh karenanya, sungai ini mengalir melalui Puncak via Ciawi, lalu
membelok ke barat melalui Bogor dan kemudian berbelok ke utara melalui Depok
dan Jakarta dan akhirnya bermuara ke laut di Teluk Jakarta. Inilah pemahaman
kita pada masa kini tentang Sungai Ciliwung.


Persinggungan/sejajar Ciliwung-Cisadane di Bogor

Pada masa ‘baheula’ (Sunda) atau pada
masa ‘tempo doeloe’ (Betawi). keberadaan Sungai Ciliwung pertamakali diketahui
di dalam laporan Tome Pires (1513). Di Batavia tersiar kabar yang menyebutkan
bahwa ada kerajaan Sunda yang beribukota Pakuan terletak di daerah pegunungan
dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Lokasi ibukota
kerajaan ini tepat berada pada posisi jarak terdekat di antara dua sungai yang sejajar (lihat gambar disamping). Dua sungai itu
adalah Sungai Ciliwung (timur/kanan) dan Sungai Cisadane (barat/kiri). Karena posisinya yang sejajar maka
letak ibukota Pakuan itu juga disebut sebagai Pajajaraan. Pada masa ini lokasinya antara Batu Tulis dan Empang Laporan ini ada tidak
lama setelah Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka (1511) dan Portugis juga
telah menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian
dagang terutama lada (1512).
 


Selanjutnya pada tahun 1522 di Pelabuhan
Kalapa ini dilakukan perjanjian persahabatan perdagangan antara Portugis dengan
Kerajaaan Pajajaran.  Adanya perjanjian
ini maka Portugis diperbolehkan membangun gudang dan bahkan benteng di Pelabuhan Kalapa.
Dalam perkembanganya, kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu  meminta bantuan Portugis untuk menghadapi
kemungkinan serangan oleh Demak yang beragama Islam. MoU kerjasama
ditandatangani dan sebuah ‘prasasti’ didirikan di Pelabuhan Sunda Kalapa. Namun
baru lima tahun (1527) perjanjian bilateral antara Portugis dan Pajajaran tersebut dibuat, pelabuhan pusat perdagangan ‘internasional’ ini telah dikuasai oleh
pasukan yang dipimpin Fatahillah  yang yang telah lebih dahulu sukses mengusir pasukan Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Atas kemenangan
ini, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta (Kota Kemenangan). Ini dengan
sendirinya Cirebon yang dibantu Demak lalu menyerahkan wilayah Sunda Kelapa yang dikuasai ke Banten. Dengan semakin menguatnya Banten dan Pajajaran menjadi terkurung di pedalaman, maka Banten mulai melkukan invasi besar-besar ke wilayah Pajajaran. Pada tahun 1579 Banten berhasil menyerang dan menghacurkan Pajajaran. Pasca peran besar dengan Pajajaran, Kesultanan Banten merebut sisa-sisa kerajaan Sunda
tersebut dan menjadikannya beragama Islam. Raja Sunda terakhir (Prabu Suryakancana) tampaknya enggan
memeluk Islam dan memilih meninggalkan
ibukota Pakuan tetapi meninggal dalam pelarian.



***
Sementara itu pada tahun 1595 diketahui
ada ekspedisi Belanda di bawah Cornelis de Houtman berangkat ke Hindia Belanda.
Secara perlahan-lahan Belanda menjadi penguasa wilayah yang sebelumnya dikuasai
Portugias dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang
telah menggantikan peran Majapahit sebelumnya. 
Pada awalnya perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dimanfaatkan
Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Selanjutnya kedudukan Belanda di
Maluku semakin kuat lebih-lebih dengan berdirinya VOC pada tahun 1602 yang
akhirnya Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda
berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon, demikian
pula benteng Inggris di Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Maluku.


Daftar Perang Belanda di  Nusantara
Dari Maluku keperkasaan Belanda semakin menonjol dan kemudian merangsek ke barat hingga pada tahun 1619 Jan
Pieterszoon Coen dapat menghancurkan Jayakarta. Kota Jayakarta diganti Batavia. Para pedagang Belanda yang datang pertamakali ke Jayakarta (sebelumnya
Pelabuhan Sunda Kalapa) merasakan bahwa Sungai Ciliwung lebih dalam
dibanding Sungai Banten (Cisadane) sehingga akan dimungkinkan dapat dilayari
lebih jauh ke pedalaman. 



Batavia 1730

Sungai Ciliwung adalah tempat dimana Belanda
pertama kali membangun benteng. Letak benteng ini persis berada di tepi timur muara Sungai
Ciliwung, sedang di tepi barat muaranya terdapat gedung Culemborg dan kantor
pabean. Ini berarti Kota Batavia sendiri sebenarnya terletak di selatan benteng
yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi beberapa lapis parit
pertahanan. Kemudian pada 4 Maret 1621 pemerintah kota (Stad Batavia) Kota Batavia dibentuk. Selanjutnya dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan
kekuasaan militer dan politiknya ke seluruh penjuru wilayah Nusantara. Selanjutnya Belanda pun
sibuk dengan berbagai peperangan yang beberapa diantaranya terbilang alot. Dalam fase awal di Kota Batavia ini, selama delapan tahun pertama Kota Batavia sudah meluas menjadi tiga kali lipat dan
akhirnya proses pembangunan Kota Batavia sendiri selesai pada tahun 1650.


Batavia 1750

Di dalam Kota Batavia sendiri dinamika sosial berkembang pesat. Pada masa awal Kota Batavia perahu -perahu berlayar lalu lalang disepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang ke kapal yang berlabuh di laut. Tahun 1648 Beng Gan seoarang Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Batavia) mendapat izin
dari Belanda untuk membuat kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan
yang lewat di sana. Tahun 1654 diambil alih Belanda dengan harga 1.000 real
(Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara). Kali ini oleh orang
Belanda dinamakan Molenvliet).


Batavia 1754

Sementara itu batas-batas kota juga mengalami perubahan. Setelah mencapai persetujuan dengan
Cirebon (1681), Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684) yang
mana dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Selanjutnya dengan beberapa persetujuan bersama antara Belanda dengan Banten
dan Mataram maka daerah antara Cisadane dan Citarum dianggap sebagai wilayah
Belanda. Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan
Batavia mula-mula berada di Kali Angke dan kemudian bergeser menjadi Sungai
Cisadane. 

Ekspedisi
Mr Abraham van Riebeeck 1703 ke Pakuan, Pajajaran via Ciliwung


van Riebeeck 
Suatu ekspedisi tahun 1703 menuju
Pakuan Pajajaran di hulu Sungai Ciliwung dilakukan. Keberadaan kerajaan ini juga
tercantum di dalam peta Portugis sejak awal dan juga di dalam peta yang
berjudul Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago
1498-1850. Jauh sebelumnya diketahui bahwa di sepanjang Sungai Ciliwung juga
terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya
Kerajaan Muara Beres (dekat Bojong Gede).
Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Abraham Jan van
Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1709-1713). Rute yang dilalui:
Benteng – Cililitan – Tanjung (Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Cina –
Depok – Pondok Terong – Bojong Manggis (dekat Bojonggede) –
Kedunghalang – Parungangsana (Tanah Baru). Perjalanan ini di satu sisi
menunjukkan telah adanya nama Depok sebelum Chastelein membeli tanah di Depok
(1696) sementara di sisi lain, beberapa ekspedisi tersebut tidak diceritakan
apakah dilakukan lewat sungai atau perjalanan daerah aliran sungai (DAS). Nama-nama kampung yang dilalui oleh ekspedisi Abraham Jan van Riebeeck juga tercantum dengan jelas dalam
peta topografi yang diterbitkan pada tahun 1850. Nama-nama yang disebut dalam
ekspedisi van Riebeeck ini kebetulan memang semuanya berada di pinggir (DAS) Sungai Ciliwung.


Peta Sungai Ciliwung di Depok 1850
Pondok
Cina

Peta Bojong-Pondok Cian, 1900

Pondok Cina adalah nama kampung yang
disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan
van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703.
Kampung ini diceritakan sebagai sebuah tempat transit pedagang-pedagang
Tionghoa yang berasal dari Batavia yang hendak berjualan ke Depok. Konon waktu
itu nama kampong tersebut dikaitkan dengan suatu kebijakan Cornelis Chastelein
yang melarang orang-orang Tionghoa tidak boleh tinggal di Depok. Para pedagang
ini hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh bertempat tinggal. Oleh karena para
pedagang- itu datangnya menjelang matahari terbenam, maka pada malam hari
mereka istirahat dan membuat pondok-pondok sederhana di luar wilayah Depok yang
bernama Kampung Bojong. Menjelang subuh orang-orang Tionghoa tersebut
bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok. Area sekitar tempat para pedagang
membuat pondok tersebut sering disebut sebagai Kampung Pondok Cina.



Sungai Ciliwung diTanjung Timur 1930

Dalam peta topografi berjudul ‘Bodjong:
herzien in het jaar 1900 / Topographisch Bureau’ kedua nama kampung ini
eksis.  Kampung Bojong letaknya di
sekitar Kober (sekitar fly over UI) pada masa ini, sementara Kampung Pondok
Cina berada di sekitar stasion kereta api dan tepi Sungai Ciliwung di sekitar
Margo City yang sekarang. Tepat di area Margo City yang sekarang dulunya adalah
landhuis yang boleh jadi salah satu situsnya yang dikenal sebagai Rumah Tua
Pondok Cina.

Sungai Ciliwung di
Pondok Cina 1930
 

Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui
jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut
adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari landhuis dan di belakang Margo
City yang sekarang. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan berseberangan
dengan sisi yang lain yang juga landai yang masuk Kampung Sugutamu. Antara dua
sisi sungai ini sering dan menjadi jalur lintas yang menghubungkan Kampung
Pondok Cina dan Kampung Sugutamu. Aktivitas yang selalu ramai dikedua sisi
sungai diduga Pondok Cina menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai
Ciliwung pada masa lampau.

 

Depok

Depok adalah nama kampung yang
disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan
van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703.
Kampung ini semakin terkenal ketika seorang swasta bernama Cornelis Chastelein
di bawah wewenang Kerajaan Belanda pada 18 Mei 1696 membeli tiga bidang tanah
di hutan sebelah selatan Batavia yang diveritakan hanya bisa dicapai melalui
Sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di kampung
Mampang, Karanganyar, dan Depok. ditambah sedikit wilayah Srengseng, Batavia
plus Ratujaya, Bojong Gede, Buitenzorg (Bogor).

Total Chastelein menguasai tanah
kira-kira luasnya 1.244 Ha. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang pertanian
di bilangan Seringsing (Serengseng) dan mengembangkannya di Depok degan dibantu
para budak pekerja. Menjelang ajalnya 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein menulis
wasiat berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang
telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang
merdeka. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chastelein meninggal dunia. Di dalam wasiat
itu yang ditulis dengan ejaan mirip van Ophuijsen itu adalah sepanggal kalimat
hasil terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret 1714
yang ditulis tangan Cornelis Chastelein. Penggalan wasiat tersebut adalah:

 “…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer
soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada
boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe
mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennj a tijada
sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan
itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa
djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat
toeroen-temoeroennj a,…”

Sungai Ciliwung di
Depok 1900

Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam
surat wasiat itu boleh jadi batas tanah yang berada di wilayah Kelurahan
Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok yang 
sekarang (persisnya di selatan Cinere). Saat pemerintahan Daendels,
banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga terdapat  landhuis yang dimiliki oleh para tuan-tuan
tanah. Di daerah Depok terdapat landhuis Pondok Cina, Mampang, Cinere, Citayam
dan Bojong Gede. Sungai besar yang dimaksud adalah Sungai Ciliwung. Sekalipun
istilah besar itu relatif bahkan jika diperbandingkan antar tahun-tahun yang
berbeda maka menurut pengertian saat itu Sungai Ciliwung sangat besar dan
mungkin sulit diseberangi. Soal lebar Sungai Ciliwung ini hal yang sama juga
telah digambarkan di dalam laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan
bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara “Sungai
Besar” dan “Sungai Tanggerang” (sekarang dikenal sebagai Ci
Liwung dan Ci Sadane).

Sungai Ciliwung di Depok 1930

Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui
jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut
adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Depok yang boleh
jadi lokasi tersebut adalah Kampung Parung Malela. Di area ini pinggir sungai
cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat perkampungan Depok.  Pada sisi sebelah lain Sungai Ciliwung
tampaknya cukup terjal dan menjadi batas-batas tanah Cornelis Chastelein.  Aktivitas yang selalu ramai di sisi sungai
Kampung Parung Malela ini menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai
Ciliwung pada masa lampau.

Pondok
Terong

Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong, 1900

Pondok Terong adalah sebuah kampung di
sebelah hulu Depok yang bertetangga dengan Kampung Bojong. Pada tahun 1952
beberapa kampung yang dulunya bertetangga dengan Pondok Terong dijadikan sebuah
desa yang mana nama desa diambil (kombinasi) dari dua kampong yakni Kampung
Bojong dan Kampung Pondok Terong. Di masa selanjutnya (masih era Bojong Gede),
Desa Bojong Pondok Terong ini dimekarkan yang mana desa induk tetap dengan nama
Desa Bojong Pondok Terong dan desa pemekaran dengan nama Desa Pondok Jaya.
Anehnya, Desa Pondok Jaya ini di masa lalu merupakan wilayah Kampung Pondok
Terong sebelum digabungkan menjadi Desa Bojong Pondok Terong.

Sungai
Ciliwung di Pondok Terong 1915

Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui
jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut
adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Pondok Terong. Di
area ini pinggir sungai cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat
perkampungan.  Pada sisi sebelah lain
Sungai Ciliwung tampaknya cukup terjal. 
Ini berarti dugaan pelabuhan di Sungai Ciliwung di Pondok Terong adalah
salah satu sisi
di Sungai Ciliwung pada masa lampau yang letaknya pada masa ini
tidak jauh dari perumahan Permata Depok.
Sungai
Ciliwung di Batavia dan Meester Cornelis Tempo Doeloe
Sungai Ciliwung yang terlihat sekarang
besar kemungkinan berbeda dengan gambaran Sungai Ciliwung pada masa
lampau.  Pada masa-masa awal perjalanan
menuju pakuan boleh jadi ekspedisi dapat dilakukan  lewat sungai sampai ke hulu bahkan ke Pakuan.
Namun pada masa-masa selanjutnya kapasitas sungai untuk bisa ditelusuri
misalnya sampai ke Depok tampaknya semakin sulit dijelaskan  karena kurangya bukti. Pada masa ini tidak
satu ruas pun Sungai Ciliwung dapat diarungi sekalipun sangat jelas bukti
(foto) yang masih tersisa dapat ditampilkan. Sehubungan dengan semakin
dangkalnya Sungai Ciliwung diduga gempa bumi yang terjadi pada 1699 telah
mengakibatkan kenaikan tingkat pengendapan di dalam Sungai Ciliwung khususnya
yang berada dekat muara. Hal yang sangat mungkin menyebabkan pendangkalan
sungai karena arus sungai yang tidak stabil karena adanya penggundulan hutan di
hulu atau di sepanjang Sungai Ciliwung. Cornelis Chastelein telah mengingatkan
kita di dalam wasiatnya karena ia telah menyadarinya.

Semua itu harus berakhir dan pada tahun
1918 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun Pintu Air Manggarai dan Banjir
Kanal Barat (BKB) untuk mengantisipasi luapan Sungai Ciliwung yang semakin
tidak tstabil dan tidak terkendali. BKB ini adalah sungai besar buatan untuk
mengalihkan sebagian air Ciliwung ke arah sisi barat Jakarta—Dalam kaitan ini
sejumlah kanal, sodetan dan pintu air juga dibangun. Tujuannya untuk
menyelamatkan pusat kota dan kawasan istana Gubernur Jenderal. Dalam halaman
berikut ada beberapa penampilan Sungai Ciliwung yang terekam dengan baik pada
masa doeloe di Batavia dan Meester Cornelis dapat dilihat pada lampiran. Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber berikut: -Ekspedisi Ciliwung: laporan jurnalistik Kompas : mata air, air
mata, -jakarta.go.id, -nla.gov.au, -kitlv.nl, -wikipedia.



Sungai
Ciliwung di Jatinagera 1880
Perayaan Lomba Hias Perahu Orang Tionghoa di Jatinegara 1895

Perahu
di Matraman 1890

Jembatan di Ciliwung di Matraman 1890

Perahu di Pejambon 1900
Sungai
Ciliwung di Matraman, 1900
 

Rakit
dari bamboo di Sungai Ciliwung di Jatinegara 1901


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top