Sejarah

Sejarah Kota Padang (4): Nama-Nama Kampong Tempo Doeloe di Kota Padang; Dari Rural (Etnik) Hingga Urban (Wijk)




false
EN-US




























































































































































false
EN-US



























































































































































Dari
nama-nama kampong dan area ini seakan menggambarkan penduduk Kota Padang masa
itu (1860an) sebagai kota melting pot (beragam suku bangsa). Kota Padang masih
didominasi oleh orang-orang Melayu. Kota Padang tampaknya belum menjadi tujuan
migrasi (swakarsa) orang-orang Minangkabau di Padangsch Bovelanden maupun orang-orang
Batak di Tapanoeli (Mandailing en Angkola), namun Kota Padang, sebagai ibukota
pemerintahan dan pusat perdagangan utama di Sumatra’s Westkust sudah menjadi
tujuan komuter (berdiam untuk beberapa waktu) orang-orang Minangkabau, terutama
dari Padang Pandjang dan Solok.
Wijk
Nama wijk (kelurahan) diperkenalkan (Peta 1885)
Semakin berkembangnya Kota Padang,
wilayah-wilayah yang dulunya berupa kampong dan area yang terbilang semakin
dipadati oleh penduduk yang terus berdatangan (migrasi) dari berbagai penjuru
(Padangsch Bovenlanden, Bengcolen dan Tapanoeli) dan seiring dengan perubahan
administrasi pemerintahan (yang awalnya di Jawa), wilayah perkotaan yang
semakin padat diperlukan system pemerintahan sendiri yang berbeda dengan system
pemerintahan yang selama ini berlaku. Wilayah-wilayah perkotaan yang padat
penduduk ini disebut wijk (kurang lebih pada masa ini sebagai kelurahan).
Pemimpin wijk tidak lagi dipimpin oleh seorang penghoeloe yang dipilih oleh
penduduk (soekoe) tetapi ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah kota. Pemerintahan wijk ini dimulai pada tahun 1868.
Urbanisasi
Kota
Padang yang awalnya berada di Moeara (Kampong Moearo), lambat laun terintegrasi
dengan kampong-kampong lain. Antara satu kampong dengan kampong lainnya dulunya
tampak berjauhan semakin dekat satu sama lain. Hal ini karena terus
meningkatnya penduduk pendatang yang bermukin di kampong-kampong lama tersebut
maka kemudian terbentuk area pemukiman baru. Disamping itu juga,
fasilitas-fasilitas pemerintah maupun bangunan-bangunan swasta semakin
bertambah sehubungan dengan denyut nadi perekonomian yang berlangsung. Kota
Padang tidak hanya semakin meluas, tetapi juga semakin padat penduduknya
(urbanisasi).
Peta Kota Padang 1879 dan 1903

Area yang dulunya
sangat sepi dan bersifat rural, lambat laun karakteristik area (kumpulan dari
kampong-kampong) sudah mengindikasikan urban. Sistem pemerintahan local yang
dulunya dikepalai seorang penghoeloe (berbasis suku) kemudian area perkotaan
ini ditata ulang dengan membentuk wijk yang dikepalai oleh kepala wijk yang
diangkat oleh pemerintah. Bandingkan area Djati (Djatilaan) tahun 1879 dengan
tahun 1903. Pada tahun 1870 area Djati ini masih bersifat rural (perswahan)
dimana baru terdapat tiga situs: Rumah gubernur, Gardizoen dan Kantin militer.
Pada tahun 1903 (status Gubernur diturunkan menjadi Residen) rumah eks Gubernur
yang menjadi rumah Residen di sekitarnya sudah sangat padat.

*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top