Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para
wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia.
Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia
yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini
yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi
mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah
saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa
Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’
Harahap seakan terjepit ditengah dua kekuatan (pemerintah dan pers) dan
diantara dua sahabat yang sama-sama pendiriannya keras (Soekarno dan Mochtar
Lubis). Pada tahun 1951 Parada Harahap telah menerbitkan buku berjudul
Kemerdekaan Pers. Suatu buku memori Parada Harahap tentang pers bagaimana
Parada Harahap dan juga termasuk Soekarno dikekang Belanda dalam kehidupan pers
dan buku yang berisi pentingnya kebebasan pers. Parada Harahap yang sudah mulai
menua ingin lengser ke prabon dan menjauhi dunia politik.
17-01-1953: Bintang Timoer terbit kembali dengan CEO Parada Harahap, Perusahaan
baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif.
Perusahaan ini juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial
adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr.
pada tahun ini pula Soekarno dan Mochtar Lubis mulai berseteru. Mochtar Lubis
memajukan kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers). Soekarno malah berbalik
arah.
mendirikan surat kabar Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950).
Mochtar Lubis saat itu masih bersama Adam Malik di kantor Berita Antara, Adam Malik
sebagai direktur dan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi. Setahun kemudian,
Mochtar Lubis mendapat pengakuan dari PWI sebagai penulis artikel terbaik
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
19-02-1951). Tidak lama kemudian tulisan Mochtar Lubis mendapat sandungan.
Mochtar Lubis dianggap menciderai Soekarno.
yang semakin menghangat inilah yang menjadi awal munculnya ide Parada Harahap
untuk menggalang pemuda untuk berkumpul dan berkongres dengan dalih memperingati
25 tahun lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dalam Kongres Pemuda 1928.
Ancamannya: Soekarno dan Mochtar Lubis berseteru (keduanya adalah sahabatnya).
Opportunitinya: Menteri Pendidikan adalah Mohammad Yamin dan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet adalah Ketua Dewan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta (keduanya adalah
sahabatnya). Parada Harahap sendiri adalah Ketua Kopertis (dapat menjalin
hubungan dengan pemerintah) dan Direktur Akademi Wartawan Djakarta (dapat
menjalin hubungan dengan mahasiswa dan pemuda).
semua itu Kongres Pemuda 1953 dengan Sumpah Pemuda nyatanya tidak cukup untuk
mendinginkan kedua belah pihak antara Soekarno dan Mochtar Lubis. Meski
demikian keduanya terus menjalankan visi misinya. Soekarno terus bergiat
memimpin pemerintahan dan Mochtar Lubis terus bergiat memimpin pers. Soekarno
terus memperluas hubungan dengan negara sahabat, Mochtar Lubis juga semakin
meluaskan jaringannya ke pers internasional.
03-01-1955: ‘Pada tanggal 29 Desember, Indonesia Raya genap lima tahun dan itu
adalah fakta yang menyenangkan. Dalam dunia surat kabar, Indonesia Raya
Indonesia menempati tempat yang unik. Kebanyakan surat kabar di sini, jika
tidak berfiliasi partai dalam arti sempit, atau menjadi bagian dari golongan
tertentu. Dalam lagu pertama Indonesia Raya ditulis antara lain bahwa koran itu
akan tetap jauh dari satu sisi pelaporan yang yang menyenangkan tetapi
merugikan yang lain. Hal ini ingin mendidik masyarakat untuk berpikir jernih.
Terhadap tindakan tidak adil dan tidak tepat dari mereka juga datang,
bagaimanapun, akan praktek-praktek ini. Kami tidak akan ragu-ragu untuk
mengusir apa yang salah dan berbahaya, kami mendukung apa yang harus didukung
dan benar dipertimbangkan untuk kebaikan bersama. Mudah untuk menulis hal seperti
itu, tetapi sulit untuk diterapkan. Ini adalah keutamaan Indonesia Raya di
bawah pimpinan energik, Mochtar Lubis, bahwa selalu berpegang motto ini;
ancaman dan intimidasi diabaikan. Indonesia Raya dalam ketidakadilan berpikir,
melihat, bahkan menyerang, secara terbuka dan keras. Sekarang Indonesia Raya
melakukan oposisi terhadap pemerintah saat ini. Ia melakukannya karena percaya
bahwa pemerintah ini terlalu sedikit yang mengoreksinya, dan menulis di
editorial. Jika pemerintah berikutnya, tidak peduli siapa yang bemar yang akan
melakukan sesuai dengan prinsip Indonesia Raya dia akan vinoen bahwa majalah di
antara lawan-lawannya. Dan itulah tradisi bahwa Indonesia Raya dengan beberapa
surat kabar terbaik di dunia memiliki kesamaan. Selamat berdjoang, Indonesia
Raya’
paling ditakutkan oleh koran adalah pembreidelan dan yang paling ditakutkan
oleh seorang editor adalah ditangkap lalu dipenjara. Mochtar Lubis tidak takut
dipenjara, dan Indonesia Raya tidak takut dibreidel. Misi keduanya adalah
kebenaran dan mengentaskan ketidakadilan. Inilah ciri-ciri editor dan koran
yang benar-benar koran kelas dunia. Mochtar Lubis semakin menginternasional
(sebagai Ketua Pers Internasional Indonesia). Ali Mochtar Lubis yang telah
lulus Akademi Wartawan menjadi wartawan dengan latar belakang pendidikan pers.
Ali Mochtar Lubis di Indonesia Raya semakin intens tidak hanya untuk urusan
manajemen tetapi juga untuk urusan jurnalistik. Jika Mochtar Lubis berhalangan
misalnya jika tengah melawat ke luar negeri, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
menempati posisi Mochtar Lubis. Adigium Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis dan
Mochtar Lubis adalah Indonesia Raya. Kini di mata pemerintah (Soekarno) Mochtar
Lubis adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah
Mochtar Lubis. Akibatnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga kerap mendapat tekanan.
30-01-1956: ‘Percobaan kebakaran. Di atap rumah wartawan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet, yang terkait dengan surat kabar Indonesia Raya di Djalan Petodjo
Benatu nomor 8, sebuah kain yang diminyaki dilempar ke atap dan terbakar pada
Kamis malam. Percobaan pembakaran ini segera dapat dipadamkan dan oleh karena
itu insiden ini tidak menimbulkan konsekuensi serius’.
Lubis dipanggil jaksa untuk kali kedua. Pertama tahun 1951 mengenai tuduhan
terhadap Soekarno yang harus bertanggungjawab banyaknya peduduk Indonesia yang
tewas selama pendudukan Jepang dan agresi Belanda. Kini (1956), Mochtar Lubis
menyuarakan korupsi di tubuh pemerintahan Soekarno, cabinet Ali Sastroamidjojo.
Tidak hanya dipanggil jaksa tetapi juga diinterogasi oleh militer. Sementara
itu, antara jaksa (pemeritah) dan tentara (militer) tampak berseberangan.
godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-08-1956 (Tiga editor Indonesia
mempertanyakan): ‘Tiga editor Indonesia terkenal diinterogasi mengenai berita
yang telah diterbitkan tentang skandal korupsi di dada pemerintah. Dalam hal
ini Jaksa Agung Suprapto meminta Asosiasi Jurnalis Indonesia untuk bekerja
dengan membatasi publikasi berita sensasional tentang korupsi. Tiga editor yang
masih harus menjalani pertanyaan lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang.
Mochtar I.ubis, dari koran independen Indonesia Raya, koran yang pertama kali
datang dengan cerita tentang upaya untuk menangkap menteri luar negeri, Ruslan
Abdoelgani…Suhardi dari koran nasionalis, Berita Minggu menantang surat kabar Indonesia Raya, Mochtar Lubis
untuk berduel karena cerita korupsinya’. Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-10-1956: ‘Editor Indonesia Raya
Mochtar Lubis, yang Jumat telah tiba dari perjalanan ke luar negeri, akan
dituntut karena menerbitkan berita di Indonesia Raya pada 14 Agustus 1956 di
bawah judul: Ada menteri terlibat skandal Rp. 1,500.00,-. Mochtar Lubis sebagai
editor yang bertanggung jawab, dituduh telah menyinggung kehormatan dan
reputasi pemerintah (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) dan telah dikompromikan
penyelidikan dalam kasus ini serta akan ditangani oleh pengadilan. Maengkom
saat ini sebagai hakim dan mewakili Jaksa, Dali Mutiara. Mochtar Lubis sekarang
menyatakan hingga Sabtu masih belum menerima panggilan’
Mochtar Lubis ini adalah pengadilan terbesar di era kemerdakaan. Tidak hanya
prosesnya lama (beberapa kali ditunda), juga melibatkan banyak saksi, seperti:
Kolonel Kawilarang, Lic Hok Thay, Piet de Queljoe, Letkol. Prajogo. Generaal-Majoor
Nasution, Mr. Moh. Roem en adj.hoofdkommissaris Saud Wirjasendjaja. Dalam
persidangan itu sendiri terjadi perdebatan sengit antara pembela di satu sisi
dan Jaksa dan hakim di sisi lain. Namun yang menarik adalah ketika hakim
mengaitkan artikel Mochtar Lubis–edisi 14 Agustus 1955 dan edisi 6 September
1955–(Abdul Haris Nasution). Mochtar menjawab, tidak ada permusuhan dengan
Nasution, karena kami adalah kawan lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1956:
‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda akan menyiratkan permusuhan?
Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution, adalah
teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis. Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel
di Indonesia Raya menuduh Perdana Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot
Indonesia dan Indonesia Raya menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik?
Mochtar menjawab: Tidak ada maksud permusuhan, negatif dan artikel ini
mengatakan bahwa koreksi pada pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang
dimaksud dengan konspirasi politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi
politik untuk Perdana Menteri Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena
pada kenyataannya, Perdana Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama
dengan Lic Hok Thay terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’.
08-12-1956: ‘Hadiah untuk Mochtar Lubis. Himpunan Pengarang Islam, pemimpin
redaksi dari Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sebagai pengakuan atas
perjuangannya untuk kepentingan tanah air dan orang-orang, ditawarkan Qur’ani.
Asosiasi percaya bahwa Mochtar Lubis adalah salah satu wartawan Indonesia yang
berani dengan pendapatnya, dan juga pentingnya membela tanah air dan
orang-orang, meskipun dituntut. Asosiasi ini menganggap bahwa Mochtar Lubis
yang memimpin Indonesia Raya penulis yang benar-benar berani memberi komentar
untuk keluar, untuk kepentingan tanah air da berani membela, bahkan sebelumnya
dituntut’
terhadap yang berlarut-larut yang ingin membungkam Mochtar Lubis telah menyita
banyak perhatian penduduka Indonesia. Pemerintah yang korup dan pers yang
kredibel telah membuat penduduk Indonesia bereaksi. Mochtar Lubis pada malam
ketika dalam perjalanan ke rumah saudaranya Aminuddin Lubis ditangkap oleh CPM.
Sementara itu, di kantor redaksi Indonesia Raya sejumlah berkas yang akan
dimuat besok hari disita (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-12-1956). Kini, reaksi dari militer sendiri yang pro keadilan.
Lalu kemudian Mohammad Hatta, wakil presiden juga mulai gerah. Inilah awal
munculnya keretakan antara Soekarno dengan Mohammad Hatta.
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Radio Medan mengatakan: Noord
Sumatera dipisahkan dari Jakarta, Soekarno ingin menyatakan keadaan darurat,
pesan disensor. Pemberontakan militer Indonesia membentang di atas seluruh
Sumatra Tengah dan Utara, markas besar militer di Jakarta kemarin sore telah
menetapkan kebijakan penuh sensor pcrstclegrammen. Pagi ini: disebut radio
Medan, dalam siaran untuk iptriile bahwa Kolonel Simbolon, salah satu komandan
Indonesia, kekuatan di Tengah dan Noord Sumatra, ketaatan mengecam pemerintah
Ali Sastroamidjojo. Editor harian Indonesia Raya, Mochur Lubis, pagi ini ditangkap
oleh militer tetap setia kepada politie di Jakarta. Mochtar Lubis adalah orang
yang telah berbicara untuk waktu fcfchuldiging pertama korupsi terhadap Menteri
Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani’.
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Kolonel Simbolon adalah atasan
langsung dari Letnan Kolonel berusia 34 tahun, Ahmed Hussein, yang kemarin
dengan garis divisi Banteng sekitar Bukittinggi (sebelumnya Fort de Kock) telah
melakukan kudeta tak berdarah. Berita Indonesia melaporkan bahwa Soekarno
mempertimbangkan seluruh negara Indonesia kondisi darurat. Kabinet Indonesia
pada sesi khusus memutuskan untuk mengirim militer dan delegasi sipil ke Pos
Sumatra untuk bernegosiasi dengan komandan yang memberontak.
Mochtar Lubis ditangkap tadi malam, dan sejumlah berkas di kantor redaksi Indonesia Raya disita. Berkas yang disita
tentang artikel permintaan halus mengundurkan diri Sokarno dan tentang pendapat
para politisi tentang peristiwa di Sumatra Tengah. Koran independen ini pagi
ini tetap terbit dengan E. Bahauddin bertindak sebagai editor. Mochtar Lubis
dipenjara di rumah tahanan CPM (jalan) Guntur, lalu dipindahkan ke penjara
militer (jalan) Boedi Oetomo. Kini, Mochtar Lubis dibela Mohammad Yamin (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-01-1957). Lalu Mochtar Lubis didukung PWI Bandung.
dagblad: de Preangerbode, 04-01-1957: ‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan
sensor terhadap Indonesia Raya, PWI Bandung telah memprotes keras dan melakukan
di depan kantor PWI dengan tangan di kepala
dengan berjongkok sebagai bentuk protes terhadap pemberlakukan hukum
pers’.
PWI Bandung ini mudah dipahami karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya
para wartawan yang berafiliasi dengan Koran Pikiran Rakyat (yang didirikan 30
Mei 1950). Apa ada kaitan antara Indonesia Raya dengan Pikiran Rakyat kurang
jelas tetapi kedua koran ini sama-sama mengusung pakem independen dengan
semboyan yang sama pula, yakni: Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat. Kedua,
Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu dijabat oleh wartawan bernama
Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era Jepang. Sakti Alamsjah adalah
Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang juga adalah redaktur di radio
militer Jepang. Kedua orang ini berusia sama yang lahir di tahun yang sama
(1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean: Mochtar Lubis dari Kotanopan
yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi,
sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok yang lahir di Sungai Karang,
Serdang, Deli.
Lubis ditangkap, dipenjarakan di rumah tanahan CPM di Guntur dan dipenjarakan
di Boedi Oetoemo banyak protes dari berbagai kalangan dalam negeri dan luar
negeri. Namun, anehnya PWI Pusat sebagai badan tertinggi wartawan Indonesia
sejauh ini belum memberikan pernyataan. Kini, Mochtar Lubis dipindahkan dari
penjara menjadi tahanan rumah.
Lubis tidak sendiri. Semua membela Mochtar Lubis dan protes terhadap Soekarno.
Sebaliknya, Soekarno tidak sendiri membebaskan negara untuk merebut
kemerdekaan. Masih banyak yang lain. Lantas, seratus tokoh pemimpin pertama
yang telah mengambil inisiatif sebelas tahun yang lalu untuk deklarasi
kemerdekaan Indonesia, melakukan rapat saat Negara ini tengah terancam (Het
vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 24-01-1957).
penahanan dan lalu tahanan rumah, surat kabar Indonesia Raya tetap jalan di
bawah kepemimpinan Ali Mochtar Hoeta Soehoet.
Lubis didukung oleh para Sastrawan (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957), Dukungan terhadap Mochtar
Lubis tidak hanya dari dalam negeri. Tetapi juga dari luar negeri seperti:
International Press Institute (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957).
Mochtar Lubis menjalani Sidang Keenam dan mendapat dukungan dari
Pakistan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-01-1957). Dari dalam negeri, Mochtar Lubis didukung oleh
Masyumi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-01-1957), para penulis dari Himpunan Pengarang Islam
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
10-01-1957); Adam Malik minta Mochtar Lubis dilepaskan kepada Menteri
Pertahanan (Abdul Haris Nasution). Mochtar Lubis juga mendapat dukungan dari
Negara tetangga.
ketidakhadiran Mochtar Lubis, Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak takut dengan
represif. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap direlnya, Indonesia Raya tetap
mengusung kebenaran. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tampaknya telah banyak belajar
dari komandannya, Mochtar Lubis. Ali Mochtar Hoeta Soehoet, mantan Komandan
Tentara Pelajar di Padang Sidempoean telah bertrasformasi menjadi komandan pers
di Djakarta.
Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi target. Sebab Ali Mochtar Hoeta Soehoet
ternyata tidak kalah ‘galak’ dibandingkan dengan bosnya Mochtar Lubis.
[surat kabar] Indonesia Raya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet ditahan setelah
seminggu ditangkap pada tanggal 20 Agustus 1957 bersama rekannya, Mohammad
Noer, dari [surat kabar[ Indonesia Raya (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-08-1957). Mereka berdua dituduh
Komandan militer Djakarta Raya yang melanggar Pasal 23 Peraturan SOB dan Kepala
Ordo Liga 30 Juli 1957. Keduanya bestatus tahanan kota sambil menunggu
keputusan lebih lanjut.
![]() |
Trio baru Indonesia |
Mochtar Lubis tetap
dalam tahanan. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga ditahan. Indonesia Raya dilarang
terbit. Tamat sudah Indonesia Raya. Akan tetapi jiwa Mochtar Lubis dan Ali
Mochtar Lubis tetap hidup (hingga kita lihat nanti sampai umur panjang).
Mochtar Lubis baru bebas tahun 1966 (era orde baru), dibebaskan oleh seniornya
Adam Malik (Kantor Berita Antara) yang kini menjadi tokoh utama lahirnya orde
baru. Indonesia Raya terbit kembali (1967).
soal keberanian pers, Ali Mochtar Hoeta Soehoet banyak belajar dari Mochtar
Lubis sebagaimana dulu Mochtar Lubis belajar banyak dari seniornya Parada
Harahap. Namun untuk urusan pendidikan pers Ali Mochtar Hoeta Soehoet sudah
barang tentu banyak belajar dari dekannya di Akademi Wartawan Djakarta, Parada
Harahap, seorang tokoh pers sejak era Belanda yang menemukan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet di Padang Sidempoean pada era Perang Kemerdekaan.
Djakarta adalah institusi pendidikan pertama di bidang pers yang beralamat di
Decapark (seberang Istana). Akademi ini didirikan oleh Parada Harahap bulan
Februari 1951. Ali Mochtar Hoeta Soehoet termasuk salah satu mahasiswa angkatan
pertama. Setahun kemudian (April 1951) akademi baru ini dijadikan yayasan. Pada
tahun 1952 Akademi Wartawan Djakarta membuka ruang perkuliahan di Tjikini. Lalu
dalam perkembangannya, setelah wisuda pertama (1954) Akademi Wartawan Djakarta
ditingkatkan statusnya menjadi perguruan tinggi (universitas) dengan nama baru
Perguruan Tinggi Djurnalistik (Hogeschool voor journalistiek) dibawah yayasan
Perguruan Tinggi Djurnalistik. Yang mana sebagai ketua Mr. Drs. MKM Tambunan.
Ketua Kehormatan yayasan adalah Walikota Sudiro dan pelindung Wakil Perdana
Menteri Mr Wongsonegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1954).
tahun 1955, Perguruan Tinggi Djurnalistik, suksesi Akademi Wartawan Djakarta
untuk lebih meningkatkan kualitas, pemerintah menawarkan bantuan anggaran
pendidikan namun dukungan tersebut akan diberikan asalkan Perguruan Tinggi
Djurnalistik dapat dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara
keseluruhan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-02-1955).
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1955:
‘Organisasi mahasiswa jurnalistik di Jogja. Persatuan Paladjar Djurnalistik
Indonesia, Persatuan Siswa Wartawan Indonesia dan Ikatan Siswa Wartawan
Indonesia telah membentuk sebuah komisi hari ini [di Jogja] untuk melakukan
penggabungan antara tiga organisasi dan antara semua organisasi mahasiswa dan
jurnalistik di seluruh Indonesia’.
pada tahun 1956 di Perguruan Tinggi Djurnalistik dibentuk Dewan Guru (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1956) yang dipimpin oleh seorang ketua
dan sekretaris.
diketahui Mochtar Lubis sejak 1951 sudah ada indikasi antara Soekarno
(pemerintah) dan Mochtar Lubis (pers) muncul ketegangan. Lalu Mochtar Lubis di
Indonesia Raya (1956) menuduh para menteri Soekarno melakukan tindak korupsi.
Akibat itu, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya (surat kabar dimana Ali Mochtar
Hoeta Soehoet bekerja) mendapat tekanan dan harus menjalani sidang yang berlarut-larut.
Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga sempat mendapat teror Januari 1956 ketika orang
tertentu melempar api ke atap rumahnya. Pada bulan Desember 1956 Mochtar Lubis
ditangkap dan ditahan. Sejak itu pers nasional menjadi heboh yang mendapat
sorotan internasional. Bahkan masalah pers ini diduga telah memicu munculnya
pemberontakan di daerah (Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara) tahun 1957. Para
pemimpin pensdiri republik bahkan melakukan pertemuan yang mendukung Mochtar
Lubis. Kekisruhan yang terus menggerogoti kewibawan pemerintah juga telah
memicu keretakan antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebuah surat kabar
Djakarta memberi komentar: ‘Dwi Tunggal: Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal’.
Mochtar Lubis menjadi pusat perhatian dari semua pihak. Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai pemeran
pengganti di Indonesia Raya juga ditangkap dan ditahan lagi tanggal 20 Agustus
1957. Sama seperti sebelumnya surat kabar Indonsia Raya akhirnya dibreidel. Mochtar
Lubis, yang setelah ditangkap, lalu setelah empat belas hari diubah menjadi tahanan rumah, di mana tidak
ada yang bisa bertemu, tidak dapat menelepon, tidak menulis artikel untuk
korannya, dan lain-lain (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-04-1957).
Pada penangkapan yang kedua ini Mochtar Lubis dan Indonesia Raya tamat.
![]() |
Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1957 |
Penekanan
pemerintah terhadap pers dan penahanan terhadap Mochtar Lubis juga berimbas ke
perguruan tinggi. Pada tahun 1957 dosen-dosen di Perguruan Tinggi Djurnalistik
melakukan mogok mengajar (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-02-1957). Dosen-dosen yang mogok tersebut adalah
Iskandar Notobroto, Mr. St. Moh. Sjah, JW Henfling, Khouw Giok Po, Drs.
Marbangun, Mr. Dr. Prujudi Atmosudirdjo, Mr. Drs. O. Sibarani, Dr. Slamet
Muljono, Mr. Sumarto dan B. Soemitro. Alasan mogok karena ada protes yang
dilakukan tetapi tidak digubris oleh yayasan. Dosen-dosen merasa kesulitan dalam
menjalankan fungsinya. Meski tidak jelas apa yang dimaksud kesulitan dalam
menjalankan fungsinya diduga terkait dengan adanya intervensi pemerintah
melalui pimpinan yayasan.
dosen Perguruan Tinggi Djurnalistik tidak terdeteksi lagi nama perguruan tinggi
di bidang pers ini untuk selanjutnya. Boleh jadi Perguruan Tinggi Djurnalistik
mati suri lalu mati untuk selamanya. Ini mengindikasikan tidak hanya wartawan
yang ditangkap dan surat kabar dibreidel tetapi juga perguruan tinggi
jurnalistik juga ditutup?
![]() |
Java-bode, 12-06-1956 |
dimana Parada Harahap setelah Akademi Wartawan Djakarta ditutup (dan munculnya
Perguruan Tinggi Djurnalistik). Parada Harahap pada tahun 1956 diberitakan
menjabat sebagai Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik.
Perguruan tinggi ini baru dibuka di bawah yayasan Ibnu Chaldun (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1956). Dalam
pembukaan perguruan tinggi yayasan Islam ini, Parada Harahap memberikan kuliah
umum berjudul Pelatihan untuk Wartawan (de opleiding tot journalist).
![]() |
Java-bode, 12-06-1956 |
Nama Parada
Harahap dalam hal Akademi Wartawan Djakarta terakhir terdeteksi tahun 1953.
Nama Akademi Wartawan Djakarta menghilang lalu muncul nama Perguruan Tinggi
Djurnalistik. Nama Parada Harahap dalam jajaran pengurus dan dosen Perguruan
Tinggi Djurnalistik tidak terdeteksi. Parada Harahap tampak memiliki kesibukan
yang luar biasa di saat itu. Parada Harahap diangkat pemerintah sebagai
pimpinan untuk membuat rancangan pembangunan Indonesia. Rancangan ini
didasarkan atas studi banding ke 14 negara di Eropa. Pada tahun 1956 rancangan
tersebut telah selesai dan diterbitkan (ke publik). Parada Harahap aktif di
surat kabar Bintang Timoer, surat kabar yang diterbitkan kembali (surat kabar
yang didirikan di Batavia oelh Parada Harahap pada tahun 1925 dan menghilang
tahun 1937). Pada tahun ini juga buku Parada Harahap diterbitkan berjudul
Toradja. Ini buku Parada Harahap yang kesekian setelah bukunya yang pertama
berjudul: Perjalanan ke Sumatra: Dari Pantai ke Pantai tahun 1926. Parada
Harahap juga aktif di NV De Unie, percetakan yang juga penerbit surat kabar
Java Bode. Parada Harahap juga aktif di Kadin Indonesia (pemilik Beringan
Trading Coy). Ini mengindikasikan Parada Harahap yang multi talenta, jurnalis,
pengusaha, penulis dan akademisi talah mempelopori pendidikan jurnalistik
dengan mendirikan Akademi Wartawan Djakarta.
Salah satu mahasiswa angkatan pertama akademi ini adalah Ali Mochtar
Hoeta Soehoet yang kemudian menjadi ketua dewan mahasiswanya. Anehnya, setelah
selesai tahun ketiga, tepatnya setelah wisuda pertama akademi ini yang mana
satu diantaranya yang lulus adalah Ali Moehtar Hoeta Soehoet, nama akademi ini
kemudian menghilang dan muncul Perguruan Tingga Djuenalistik. Ini seolah-olah
Akademi Wartawan Djakarta diperuntukkan
Parada Harahap untuk ‘anak emasnya’ Ali Mochtar Hoeta Soehoet.
Harahap dalam kuliah umumnya itu pada intinya ingin mempromosikan jurnalisme
yang sehat. Apakah ini suatu isyarat yang terkesan menyindir bahwa dunia
jurnalis saat itu tidak sehat, yang mana Mochtar Lubis dan Indonesia Raya
tengah berjuang sendiri (dalam melawan pemerintah dan militer yang represif).
Parada Harahap bagaikan guru yang ingin membina dan juga melindungi para
juniornya.
tidak terlalu banyak di pers praktis dan lebih banyak di dunia akademik
jurnalis. Pada saat itu (1956) hanya ada sejumlah media yang tetap independen.
Pada tahun ini ada tujuh wartawan Indonesia yang berangkat ke Jepang untuk
menghadiri Konferensi Pers Internasional, yakni Adinegoro dari PIA, Adarn Malik
dari Antara, S. Tahsin dari Bintang Timur. S. Tasrif dari Abadi, Rosihan Anwar
dari Pedoman, AK Loebis dari SPS dan Mochtar Lubis dari Indonesia Raya
(Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 15-03-1956). International Press
Institute chpater Djakarta didirikan tahun 1952 dengan dewan sebagai berikut:
Mochtar Lubis (Indonesia-Raya) sebagai ketua, S. Tasrif (Abadi) sebagai
sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan Anvvar (Pedoman)
sebagai komisaris (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-02-1952). Hampir semua wartawan yang memiliki integritas
berafiliasi dengan Parada Harahap. Adinegoro adalah mantan editor Bintang
Timoer milik Parada Harahap pada tahun 1930. Adam Malik adalah anak buah Parada
Harahap yang melanjutkan kantor berita pertama yang didirikan Parada Harahap,
Alpena (bersama WR Supratman). S. Tahsin sudah barang tentu, karena Bintang
Timur diterbitkan kembali oleh Parada Harahap. AK Loebis dan Mochtar Lubis
serta BM Diah (marga Diah sebagaimana marga Hoeta Soehoet)) adalah juga mantan
anak buah Parada Harahap. Hanya dua yang tidak berafiliasi dengan Parada
Harahap yakni S. Tasrif dan Rosihan Anwar. Surat kabar Abadi yang digawangi
oleh S. Tasrif adalah surat kabar milik Masyumi (pimpinan Boerhanoeddin
Harahap) sedangkan Pedoman (milik dari PSI). Surat kabar berhaluan Islam
lainnya adalah Pemandangan dan Duta Masjarakat. Tujuh orang yang berseberangan
dengan pemerintah ini, seakan tujuh pertama orang Indonesia (yang melawan
Belanda) ke Jepang tahun 1933 di bawah pimpinan Parada Harahap. Tiga diantara tujuh
orang pertama Indonesia ke Jepang tersebut, selain Parada Harahap adalah
Abdulah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohammad Hatta
(yang baru lulus sarjana dari Belanda). Satu lagi surat kabar (independen) yang
bersuara lantang adalah Sumber, pimpinan S. Panjaitan. Surat kabar lainnya
adalah Suluh Indonesia (PNI) dan Harian Rakjat (PKI).
Surat kabar Indonesia
Raya adalah tempat dimana Ali Mochtar Hoeta Soehoet ikut mengelola manajemen
dan memimpin keredaksian. Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah sosok wartawan
revolusioner yang mengikuti dua mentornya: Parada Harahap dan Mochtar Lubis.
![]() |
Java-bode, 12-06-1956 |
Yayasan Ibnu
Chaldun bertujuan untuk mempromosikan sains di Indonesia dengan mendirikan
institusi pendidikan, melakukan penelitian ilmiah di berbagai bidang,
mendirikan perpustakaan, penerbitan buku, majalah, dll. (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1956). Kurator
Perguruan Tinggi Ibnu Chaldun ini adalah Osman Raliby. Kampus perguruan tinggi
ini memiliki masa studi lima tahun, dengan kesempatan memperoleh gelar BA dan
selanjutnya dapat dilanjutkan MA. Parada Harahap dalam kuliah umum ini
menyatakan bahwa perguruan tinggi yang dipimpinnya tidak hanya ingin
menyebarkan pengetahuan dan sains di kalangan mahasiswa, namun lebih menekankan
pada karakter, agar jurnalis yang dilatih memiliki ide baru dan berguna untuk
membangun negara ini dalam arti kata yang paling luas. Setelah usai kuliah umum
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan memberikan sambutan. Yayasan Ibnu Chaldun
dipimpin oleh H. Zainal Abidin Ahmad, Dr. Ali Akbar dan Sjamsuddin St. Makmur
sebagai Presiden. Dewan Penasehat adalah Mohd. Natsir, Mr. Jusuf Wibisono,
Adinegoro, Anwar Tjokroaminoto dan RHO Djoenaidi. Sekretariat yayasan ini
berada di Jalan Kramat 45.
![]() |
Java-bode, 14-08-1956 |
Pada
tahun ketika Ibnu Chaldun didirikan dan Parada Harahap bertindak sebagai dekan,
putrinya Parada Harahap yang super sibuk, sumringah pada saat menghadiri kelulusan putrinya bernama Aida Dalkit Harahap di
Juridische Fakulteit van de Universiteit van Indonesia (Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
Surat kabar Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-05-1956 menyebut
adalah wanita pertama sarjana hukum asal Sumatra (Eerste vrouwelijke rechter op
Sumatra). Pada tahun 1957, Parada Harahap mantu dua kali yakni pernikahan putri
Anna Delima Harahap di Djakarta (dengan Mohamad Salim Siregar) dan Aida Dalkit
Harahap dengan ahli hukum juga Datu Porkas Daulay di Pintu Padang dekat Padang
Sidempoean (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 14-08-1957). Berita pernikahan dua ahli hukum ini juga
disajikan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957. Disebutkan Mr.
Aida Dalkit Harahap adalah putri dari Parada Harahap, Direktur Java Bode.
![]() |
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957 |
Java Bode adalah
surat kabar legendaris. Surat kabar yang terbit di Semarang. Surat kabar
berbahasa Belanda ini terbit pertama kali tahun 1852. Surat kabar ini terbilang
yang tinggi tirasnya di jamannya. Pada tahun 1924 Parada Harahap menulis di
koran ini untuk menanggapi perseteruannya dengan editor Soerabaja Handelsbald,
Karel Wijbrand dalam polemik kebangsaan. Surat kabar ini pernah diakuisi oleh
pengusaha koran berdarah Tionghoa tahun 1920an dan kemudian diakuisisi lagi
oleh investor Belanda. Saat pendudukan Jepang koran ini berhenti (ditutup)
tetapi di masa agresi terbit kembali bahkan hingga pasca pengakuan kedaulatan.
Oleh karena adanya nasionalisasi pada awal tahun 1950an, Koran ini tetap terbit
tapi sahamnya dibeli oleh investor pribumi yakni Parada Harahap pada tahun
1952. Dengan kata lain setelah satu abad terbit, Parada Harahap baru bisa
memiliki koran legendaries ini.
surat kabar Indonesia Raya (Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet) yang
dibreidel tahun 1957, surat kabar Java Bode masih terbit. Pada perayaan dies
natalis pertama Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik (Sekolah Tinggi
Ilmu Jurnalisme dan Ilmu Politik) tahun 1957 melakukan”bazaar
jurnalistik” yang diadakan di Gedung Wanita di Jakarta (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-08-1957).
voor Sumatra, 06-08-1957: ‘Mochtar Lubis de beste journalist (Mochtar Lubis
adalah jurnalis terbaik). Surat kabar Indonesia Raya dan editornya Mochtar
Lubis terpilih sebagai surat kabar terbaik dan jurnalis terbaik di Indonesia
saat ini. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei yang baru-baru ini diadakan
oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik di Jakarta sebagai bagian
kegiatan tridarma pada saat dies natalis. Sebagai jurnalis terbaik kedua adalah
direktur kantor berita PIA, Adinegoro. Mochtar Lubis diberikan piala dan hadiah
mesin tik’.
hasil survei jurnalis terbaik ini, Mochtar Lubis tengah menghadapi tuntutan
dari pemerintah/militer. Hasil survei ini merupakan suara masyarakat luas yang
disurvei. Tidak lama kemudian pada bulan Agustus 1957 pemerintah/militer seakan
merespon hasil survei tersebut dengan menghukum Mochtar Lubis dengan tanahan
dan surat kabarnya Indonesia Raya yang digawangi oleh Ali Mochtar Lubis
dilarang terbit (dibreidel) untuk selamanya. Mochtar Lubis dan Ali Mochtar
Hoeta Soehoet hanya tinggal badan, jiwa mereka (Indonesia Raya) telah melayang.
Mochtar Lubis meski ditahan dalam status tahanan rumah, tetapi gerak-geriknya
dipantau, tidak boleh menjadi editor lagi, tidak boleh mengirim artikel ke
media manapun. Singkat kata: Jiwa Mochtar Lubis telah dihabisi. Hal ini berbeda
dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hanya kehilangan Indonesia Raya, tetapi masih
bisa menjadi editor di tempat lain. Ali Mochtar Hoeta Soehoet masih memiliki
saham di surat kabar Sumber (pimpinan S. Pandjaitan). Oleh karenanya Mochtar
Hoeta Soehoet masih aktif di PWI.
Hoeta Soehoet dalam suatu rapat umum PWI yang sekaligus melakukan pemilihan
direksi baru, mengajukan usul untuk membuat kode etik wartawan dan perlunya
solidaritas wartawan. Dia mengajukan empat rancangan resolusi mengenai isu
terkini saat ini di dunia pers Indonesia. Rancangan resolusi ini akan dikirim
ke pemerintah dan komandan tertinggi militer (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1957).
perkembangannya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi seorang tokoh pers yang
telah memainkan peran seperti seniornya: Parada Harahap dan Mochtar Lubis.
surat kabar Java Bode dilarang terbit oleh pemerintah karena alasan berbahasa
Belanda. Pemerintah sangat alergi dengan Belanda, karena masalah Irian Barat belum
selesai. Bahkan nama terminologi Betawi juga dilarang karena dianggap berasal
dari terminologi Batavia (namun orang Betawi protes keras). Lalu pada tahun
1959 ini juga Parada Harahap dikabarkan meninggal dunia di Jakarta dengan
tenang. Mentor Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hilang untuk
selamanya.
pers di Indonesia telah dipasung. Para editor tidak berkutik lagi. Semua media
dikontrol oleh pemerintah/militer. Semua para editor diawasi. Tidak hanya
Mochtar Lubis, tetapi juga Adam Malik dan Sakti Alamsjah. Tentu saja dalam hal
ini Ali Mochtar Hoeta Soehoet.
peristiwa G 30/S PKI (1965) dan terjadi pergeseran kepemimpinan dari rezim orde
lama (Soekarno) ke rezim orde baru (Soeharto) sedikit pers bernapas lega.
Pengekangan pers memang tidak sepenuhnya dilepas, pers justru diarahkan untuk
berafiliasi dengan militer orde baru (1966). Adam Malik sudah di pemerintahan.
Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak berafiliasi dengan pers
militer. Namun Sakti Alamsjah berafiliasi dengan surat kabar militer. Namun
kegamangan ini tidak lama, boleh jadi karena peran Adam Malik di pemerintahan,
kebebasan pers mulai dibuka (1967). Mochtar Lubis menerbitkan lagi Indonesia
Raya di Djakarta dan Sakti Alamsjah menerbitkan surat kabar Pikiran Rakyat di
Bandung (dua surat kabar ini mottonya sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk
Rakyat’.
Mochtar Hoeta Soehoet bergabung dengan surat kabar Abadi (yang berafiliasi
dengan Masyumi). Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjabat sebagai Wakil Pemimpin
Umum.
berkecimpung di media, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi bagian dari PWI. Pada
tahun 1977 Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi salah satu anggota Komisi
Pembentukan Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Pers yang berada di bawah
naungan Dewan Pers. Dua tahun sesudahnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendirikan
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) yang menjadi rektor pertama.
persoalan baru muncul kemudian. Pers dan mahasiswa memiliki padangan miring terhadap pemerintah.
Puncak kisruh ini adalah apa yang dikenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974.
Uniknya polanya sama. Jika di era orde lama Parada Harahap netral karena dekat
juga dengan Soekarno. Yang berontak saat itu adalah pers yang dipimpin Mochtar
Lubis dan mahasiswa yang dipimpin Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Kini (1973) Adam
Malik yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri netral karena dekat dengan
Soeharto. Yang berontak saat ini adalah mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman
Siregar dan pers yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Peristiwa Malari tahun 1974 pelakunya lebih banyak. Pers dibreidel termasuk
surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan surat kabar Abadi (Ali
Mochtar Hoeta Soehoet). Pimpinan mahasiswa Hariman Siregar (ketua dewan
mahasiswa Universitas Indonesia) juga ditahan. Mochtar Lubis tamat.
pembredeilan sejumlah media, pers kembali diarahkan oleh pemerintah, kata halus
untuk dikontrol. Yang tidak sejalan akan dibreidel. Hal serupa ini pernah
terjadi di era orde lama (Soekarno). Saat itu pers yang berafiliasi Partai PKI
sedikit mendapat angin. Kini di era orde baru (Soekarno), PKI telah dianggap
terlarang dan pers berafiliasi PKI hilang. Pemerintah yang mengarahkan pers
lalu untuk pers bisa bertahan harus mengikuti arahan, termasuk surat kabar
Pikiran Rakyat yang dipimpin oleh Sakti Alamsjah.
baru, sejak 1966 sudah mulai terbentuk Dewan Pers. Suatu badan pers yang
bersifat independen yang operasionalnya dilakukan oleh PWI. Namun kegiatannya baru efektif setelah
Peristiwa Malari 1974. Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers,
wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers
serta ahli-ahli di bidang lain.
tahun 1977 Dewan Pers membentuk sebuah komisi dalam upaya pembentukan lembaga pusat
pendidikan dan latihan pers. Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang tidak memiliki
media lagi, termasuk salah satu anggota komisi tersebut. Pengangkatan Ali
Mochtar Hoeta Soehoet sebagai anggota komisi karena sebelumnya sudah pernah
(berpengalaman) menjadi anggota Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang menjabat
sebagai Wakil Sekretaris (1970-1972) dan Wakil Ketua (1972-1974). Pada saat menjabat Wakil Ketua SPS ini Ali
Mochtar Hoeta Soehoet juga merangkap sebagai Ketua Bidang Pendidikan.
perguruan tinggi juga muncul pusat-pusat pendidikan dan latihan pers. Salah
satu yang menonjol adalah Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y
yang mana salah satu pentolannya yang terkenal Ashadi Siregar. Alumni SMA
Negeri 1 Padang Sidempoean dan dan dosen UGM ini juga dikenal sebagai pengarang
novel, Novel terkenalnya Cintaku di Kampus Biru. Jabatan akademik terakhir
Ashadi Siregar adalah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (1996-1999).
pembreidel sejumlah media, Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet (Abadi) kedua tokoh pers itu mulai beralih profesi. Mochtar Lubis, yang
juga sebagai penulis mulai menekuni bidang penerbitan buku-buku bermutun
(terkenal dengan Yayasan Obor). Ali Mochtar Hoeta Soehoet, lebih condong
memilih salah satu profesi seniornya Parada Harahap yakni di bidang pendidikan
(pers).
Hoeta Soehoet kemudian tahun 1979 muncul sebagai pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu
Komunikasi sebagai Dekan, suatu posisi yang pernah dijabat oleh seniornya
Parada Harahap di Akademi Wartawan Djakarta (1951-1953) dan di Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik (sejak 1956). Lalu kemudian sekolah tinggi ilmu
komunikasi ini berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Pada tahun 1985
nama dan statusnya diubah lagi menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
yang disingkat IISIP (nama ini terus eksis hingga ini hari).
masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers
(sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP
Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta
Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan
yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta
Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti
yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.
Taman Makam Pahlawan Kalibata
Mochtar Hoeta Soehoet, tokoh pers dan pendiri IISIP Jakarta, lahir di Sipirok,
Tapanuli Selatan 11 November 1928 meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2011
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta Selatan.
Hoeta Soehoet memulai kegiatan heroik ketika era Perang Kemerdekaan yang
bertindak sebagai Komandan Tentara Pelajar di Padang Sidempuan. Ali Mochtar
Hoeta Soehoet ikut mengelola surat kabar Detik, media perjuangan ketika ibukota
RI berada di pungungsian di Bukittinggi. Sejak hijrah ke Batavia, Ali Mochtar
Hoeta Soehoet aktif untuk menyelenggarakan peringatan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan dan lahirnya Sumpah Pemuda. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga aktif
mengkoreksi pemerintah demi negara yang sejahtera melalui pers. Last but not
least Ali Mochtar Hoeta Soehoet turut aktif mencerdaskan para kandidat insan
persn melalui pendidikan pers. Atas semua kegiatan yang dilaluinya itu dengan
tulus ikhlas Ali Mochtar Hoeta Soehoet diberi tanda kehormatan Bintang Gerilya,
tanda Jasa Pahlawan dan bintang-bintang Satyalantjana Peristiwa Perang
Kemerdekaan ke-I, Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan ke-II,
Satyalantjana Satya-Dharma, Satyalantjana Wira-Dharma dan Satyalantjana Penegak
(pangkat Letnan Satu).

masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers
(sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP
Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta
Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan
yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta
Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti
yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.
tokoh pers asal Padang Sidempuan tersebut saya hanya dengan Sakti Alamsjah saya
bersua. Saya bertemu dengan Sakti Alamsjah (Siregar) di Bandung tahun 1981.
Sakti Alamsjah, anak Sipirok yang sekampung dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet
bertukar kisah dengan paman saya (adik ayah saya) yang tinggal di Sukabumi dimana saya turut hadir ketika berkunjung ke
rumah Sakti Alamsjah (uwak saya yakni abang ayah saya adalah suami dari adik Sakti Almasjah). Dari sinilah awalnya saya mendengar kisah para generasi
awal asal Padang Sidempuan berjuang di Djakarta. Saat itu saya adalah Komandan Regu Pramuka Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) ke Raimuna Nasional di Cibubur, Jakarta. Ada perbedaan waktu 33 tahun, ketika Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola), 1948 dengan saya Komandan Regu Pramuka Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) tahun 1981.
Harahap telah banyak melahirkan jurnalis hebat dari dunia praktis seperti
Djamaloedin alias Adinegoro (PIA), Adam Malik (Antara), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Sakti Alamsyah (Pikiran Rakyat), BM Diah (Merdeka)
dan termasuk Boerhanoedin Harahap (Abadi). Setali tiga uang, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
juga telah banyak melahirkan jurnalis hebat melalui kampus di bidang pendidikan
publisistik, termasuk diantaranya Andy F. Noya (yang poluer dengan Kick’s
Andy).
Sakti Alamsjah dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah sedikit dari jurnalis hebat Indonesia
yang berhasil membimbing anak-anaknya di dalam keluarga. Parada Harahap
mengantarkan anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Salah satu putri
Parada Harahap adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1957)
bernama Aida Dalkit Harahap, perempuan pertama ahli hukum dari (pulau) Sumatra.
Sakti Alamsjah menyekolahkan anak-anaknya ke Eropa (Inggris), salah satu
diantaranya adalah Perdana Alamsyah yang kini menjadi Direktur Utama PT Pikiran Rakyat
Bandung. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga berhasil mendidik anak-anaknya hingga
perguruan tinggi, salah satu diantaranya Ilham Parsaulian Huta Suhut yang
menjadi Rektor IISIP Jakarta hingga sekarang. Mereka ini telah berjuang untuk RI tetapi juga tidak lalai di lingkungan keluarga.
Terlibat dalam Kongres Pemuda dan Hari Sumpah Pemuda
dua kesalahan esensial dalam penulisan sejarah Sumpah Pemuda. Pertama,
disebutkan bahwa Soekarno terlibat dalam Kongres Pemuda 1928. Faktanya adalah
Mohammad Yamin dan Amir Sjarifoedin yang banyak terlibat di Kongres Pemuda
1928. Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) pada Oktober 1928
relatif bersamaan waktunya. Ketua Panitia Kongres PPPKI adalah Parada Harahap
yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris PPPKI (Ketua PPPKI adalah MH
Thamrin). Sebagai Ketua Panitia Kongres PPPKI, Parada Harahap juga merangkap
sebagai pembina (panitia) Kongres Pemuda. Parada Harahap dkk adalah sponsor
pembiayaan Kongres Pemuda (Parada Harahap adalah Ketua Kadin Batavia). Soekarno
tidak diplot berpartisipasi dalam Kongres Pemuda, tetapi Parada Harahap
mengundang Soekarno untuk berpidato di Kongres PPPKI. Selain Soekarno, Mohammad
Hatta juga diundang untuk berpidato di Kongres PPPKI tetapi Mohammad Hatta
tidak bisa hadir karena kesibukan kuliah di Belanda (tetapi mengirim utusan Ali
Sastroamidjojo). Dengan demikian,
Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pernah berpartisipasi dalam Kongres Pemuda.
PPPKI digagas oleh Parada Harahap. Pembentukan supra organisasi ini didukung
oleh Soetan Casajangan. Pelaksanaan pembentukan PPPKI ini dilaksanakan di rumah
Husein Djajadiningrat. Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi mahsiswa
pertama di Belanda (Indisch Vereening) 1908 yang mana Ketua Soetan Casajangan
dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Parada Harahap sebagai
revolusioner, pendiri surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean 1919,
ketika hijrah ke Batavia 1923 selalu berpartisipasi dalam dua organisasi
sekaligus yakni Sumatranen Bond dan Bataksc Bond. Untuk sekadar catatan:
Sumatranen Bond didirikan oleh Sorip Tagor (kakek Inez/Risty Tagor) di Belanda
tahun 1917. Sedangkan Batakch Bond didirikan oleh Dr. Abdoel Rasjid. Dalam
konteks ini Parada Harahap adalah sekampung (sama-sama kelahiran Padang
Sidempoean) dengan senior-seniornya Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan,
Sorip Tagor (Harahap) dan Abdoel Rasjid (Siregar).
dalam Kongres Pemuda 1953 Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden juga tidak terlibat. Yang berpartisipasi langsung dalam Kongres
Pemuda 1953 adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Dua orang dibelakang Ali Mochtar
Hoeta Soehoet sebagai pembina (tidak langsung) adalah Parada Harahap dan
Mohammad Yamin. Saat itu, Parada Harahap adalah Direktur Akademi Wartawan dan
juga sebagai Ketua Kopertis (pembina Kongres Pemuda Kongres 1928). Sementara
Mohammad Yamin adalah Menteri Pendidikan (sekretaris panitia Kongres Pemuda
1928). Parada Harahap selain sekretaris PPPKI juga adalah sekretaris Sumatranen
Bond, sementara Mohammad Yamin sebagai mahasis Rechthoogeschool juga adalah
anggota Jong Sumatranen Bond. Tempat pelaksanaan Kongres Pemuda di Decapark,
kampus Akademi Wartawa yang mana sebagai Ketua Dewan Mahasiswa adalah Ali
Mochtar Hoeta Soehoet.
![]() |
Perbedaan Pendapat Selalu Ada yang Menyatukan |
1953 mengusung dua agenda. Pertama memperingati 25 tahun lagu Indonesia Raya
dikumandangkan dalam Kongres Pemuda 1928. Lagu Indonesia Raya adalah ciptaan WR
Supratman (anak buah Parada Harahap). Kedua, untuk memperbarui kesetiaan pemuda
dengan melakukan sumpah. Isi sumpah yang dibacakan adalah isi hasil keputusan
Kongres Pemuda 1928 (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa). Munculnya ide
Kongres Pemuda 1953 dan ide adanya sumpah pemuda (baca: Sumpah Pemuda) adalah
untuk menengahi permasalahan krisis bangsa yang mengutub dua kubu: Kubu petama
(Soekarno, Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo) dan kubu yang kedua (militer
Kol. Abdul Haris Nasution dan pers Mochtar Lubis). Kol. Abdul Haris Nasution sebagai panglima
sudah dipecat Soekarno 1952 karena protes, sementara Mochtar Lubis dipidana
karena menulis di surat kabar Indonesia Raya bahwa Soekarno harus bertanggungjawab
terhadap kematian jutaan rakyat Indonesia sebagai romusha di era pendudukan
Jepang yang mana Soekarno. Dalam
situasi inilah Parada Harahap mengambil peran menengahi dengan menginisiasi
diantara dua pihak yang berseteru dengan
menggalang pemuda untuk melakukang Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah
Pemuda. Parada Harahap cukup dekat kepada masing-masing dua kubu. Sementara Ali
Mochtar Hoeta Soehoet cukup dekat dengan Parada Harahap (mahasiswanya di
Akademi Wartawan) dan juga cukup dekat dengan Mochtar Lubis (stafnya di
Indonesia Raya). Parada Harahap tentu saja didukung habis oleh juniornya
Mohammad Yamin (yang kini menjadi Menteri Penidikan). Parada Harahap dan
Mohammad Yamin di posisi netral dalam situasi politik saat itu yang nota bene
berada di belakang Kongres Pemuda 1953 dan munculnya Sumpah Pemuda. Pada
dasarnya Kongres Pemuda 1953 mengusung satu agenda utama yakni memperingati 25
tahun lagu Indonesia Raya (lihat De nieuwsgier, 21-10-1953). Di dalam kongres
ini juga para pemuda memperbarui kesetiaan yang memunculkan ide para pemuda
bersumpah (Sumpah Pemuda). Mengapa Indonesia Raya dan mengapa pula Sumpah
Pemuda menjadi hal terpenting dari hasil Kongres Pemuda 1953 ini? Ini mudah
dipahami: bahwa lagu Indonesia Raya mendampingi hasil putusan kongres dalam
Kongres Pemuda 1928. Parada Harahap adalah pembina kongres dan Mohammad Yamin
adalah sekretaris panitia. Hal yang penting bagi Parada Harahap, di satu pihak
lagu Indonesia Raya diciptakan WR Supratman adalah anak buah yang sekaligus
sahabat baiknya (bukankah WR Supratman cukup lama tinggal bersama di rumah
Parada Harahap?) dan di pihak lain Indonesia Raya adalah nama surat kabar anak
buahnya yang sekaligus sahabat baiknya Mochtar Lubis. Lantas mengapa Putusan
Kongres (1928) bertransformasi menjadi Sumpah Pemuda (1953). Ini juga mudah
dipahami. Mohammad Yamin adalah pengagum Majapahit yang terkenal dengan Sumpah
Palapa. Dalam hal inilah peran Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda 1953
dikaitkan.
demikian Soekarno tidak pernah sama sekali berpartisipasi dalam Kongres Pemuda
baik tahun 1928 maupun tahun 1953. Namun demikian, Soekarno mendukung (secara
pasif) baik Kongres Pemuda 1928 dan Kongres Pemuda 1953. Setelah Kongres Pemuda
1928 tidak ada lagi kegiatan besar pemuda (semacam pelaksanaan kongres-kongres
berikutnya) hingga munculnya kemudian Kongres Pemuda 1953. Soekarno setelah
Kongres PPPKI 1928 semakin intens di PPPKI (bersama Parada Harahap, MH Thamrin
dan Soetomo). Demikian juga setelah Kongres Pemuda 1953 yang terkenal dengan
Sumpah Pemuda (pada Kongres Pemuda 1928 belum ada sumpah permuda) Soekarno
cukup intens mensosialisasikan hasil Kongres Pemuda 1953 (Sumpah Pemuda) di
setiap kesempatan. Sosialisasi ini juga dilakukan oleh Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin di setiap kesempatan. Respon inilah yang diinginkan oleh Parada
Harahap. Dan inisiatifnya untuk menggalang pemuda dan melakukan sumpah yang
dipimpin oleh Ali Mochtar Hoeta Soekoet tampaknya telah berhasil.
![]() |
Generasi Pemersatu (Persatuan dan Kesatuan) |
Cara berpikir
dan perasaan piskologis Parada Harahap mudah dipahami mengapa sangat
mengedepankan persatuan dan kesatuan. Sumatranen Bond terlalu kecil
dibandingkan dengan Boedi Oetomo dan Bataksch Bond terlalu kecil dibandingkan
dengan Sumatranen Bond. Meski hanya memiliki pendidikan formal setingkat
sekolah dasar, tetapi seorang otodidak yang cepat belajar membuatnya sangat
futuristik (melihat jauh ke depan) perlawanan terhadap Belanda (dengan
mendirikan Sinar Merdeka) tidak cukup dengan sendiri (sendiri) tetapi harus
melalui kerjasama (gotong royong) di dalam organisasi. Demikian juga
organisasi-organisasi yang terkotak-kotak juga tidak akan cukup untuk mencapai
tujuang yang besar. Sementara secara psikologis Parada Harahap sebagai orang
Batak di perantauan (jauh dari kampung halaman) merasa minoritas diantara
Sumatra dan lalu Sumatra juga minoritas diantara Jawa. Karena itulah Parada
Harahap sangat bersemangat dan mengambil inisiatif untuk membentuk persatuan
(badan) agar terjadi kesatuan (jiwa). Hal serupa ini yang dirasakan seniornya
dulu Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900 (pendiri
organisasi kebangsaan bersifat nasional Medan Perdamaan) dan Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908 (pendiri organisasi mahasiswa
bersigat nasional Indisch Vereeniging).
Inilah esensi dasar mengapa munculnya inisiatif Parada Harahap dalam pembentukan PPPKI. Meski
minoritas, Parada Harahap secara psikologis tidak terlalu lemah (tidak minder).
Saat itu, tiga seniornya masih hidup dan berkarir yakni Soetan Casajangan (pendiri
Indisch Vereeniging yang menjabat Direktur Normaal School di Meester Cornelis),
Sorip Tagor (pendiri Sumatranen Bond yang menjabat Kepala Veteriner di
Weltevreden) dan Abdul Rasjid (pendiri Bataksch Bond sebagai anggota Volksraad
dari dapil Tapanoeli). Di Volksraad juga masih ada seniornya, Abdul Firman
Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra Timur) dan Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (dari wakil golongan masyarakat bidang
pendidikan). Parada Harahap tentu saja tahu betul begitu banyak
mahasiswa-mahasiswa asal Padang Sidempoean di Batavia (STOVIA dan
Rechthoogeschool) dan Buitenzorg (Veartsen Schoo dan Lambouwschool). Cara
berpikir dan perasaan piskologis Parada Harahap terbukti berhasil dicapai.
![]() |
Afdeeling Padang Sidempoean (Afd. Mandailing dan Angkola) |
Oleh karenanya Kongres
Pemuda tahun 1928 dan Kongres Pemuda 1953 tidaklah berdiri sendiri tetapi
memiliki relasi yang kuat. Kedua kongres ini mengusung ide persatuan dan
kesatuan. Parada Harahap adalah titik sentralnya dan memainkan peran penting dan strategis. Tidak hanya itu. Perseteruan Soekarno dan Ali Sastroamidjojo di satu
pihak dan Kol. Abdul Haris Nasution dan Mochtar Lubis yang terus merenggang
ternyata dapat ditengahi kemudian. Adalah Burhanoedin Harahap yang menjadi
Perdana Menteri tahun 1954 (menggantikan PM Ali Sastroamidjojo) meminta
menterinya Abdul Hakim Harahap dapat mendamaikan Soekarno dan Abdul Haris
Nasution yang mana Abdul Haris Nasution kembali menjadi panglima (yang selama
ini diambilalih Soekarno). Sebagaimana kita ketahui begitu kuatnya ikatan
Soekarno dan Abdul Haris Nasution pada fase berikutnya. Semua legowo atas nama
persatuan dan kesatuan. Last but not least: Jika diperiksa sejarah
Indonesia, Tapanoeli adalah wilayah yang selalu dan tetap setia pada wujud
persatuan dan kesatuan (NKRI). Di wilayah ini tidak pernah terdapat ‘negara
dalam negara’ dan juga tidak pernah ada isu pemberontakan terhadap NKRI. Dari wilayah inilah berasal Dja Endar Moeda, Soetan
Casajangan, Parada Harahap, Abdul Haris Nasution dan lainnya. Tentu saja dalam
daftar ini termasuk Ali Mochtar Hoeta Soehoet: Komandan Tentara Pelajar Padang
Sidempoean, Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda dan Pendiri IISIP Lenteng Agung.
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.