De Sumatra post, 18-05-1922
Klub Sahata dibentuk pada tahun
1935 oleh Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap. Klub Sahata merupakan
gabungan dari dua klub sebelumnya yang berkompetisi di OSVB yakni klub HVV
(Horas Voetbal Vereeniging) dan PSV (Persadaän Sport Vereeniging). Merger dan
berubah nama lainnya adalah DCV dan LSV menjadi DLSV; UKVC (Unie Kampong
Voetbal Club) berubah nama menjadi UVV (1933); MCVC menjadi SCSA dan CSC; dan DSM
menjadi Deli Mij. Boleh jadi pendirian klub Sahata ini di satu sisi untuk
membentuk klub yang kuat di Medan dan di sisi lain untuk menunjukkan harga diri
bangsa (pribumi). Hal ini sulit dicapai di Jawa yang mana klub-klub pribumi nyaris
tak pernah mendapat tempat di kompetisi elit (Belanda) kecuali hanya satu-dua
klub pribumi seperti BVV (Bataksche Voetbal Vereeniging) di VBO Batavia. Inilah
yang mendasari munculnya federasi PSSI pasca Kongres Pemuda 1928 (Satu Nusa,
Satu Bangsa dan Satu Bahasa). Di OSVB jumlah klub pribumi sangat banyak tetapi
dan terdapat perimbangan jumlah antara klub pribumi dan klub Belanda di kompetisi
elit, tetapi jarang mendapat apresiasi. Klub Sahata tampaknya mengusung misi
ganda (kompetisi dan politik). Tentu saja Abdul Hakim Harahap di Medan dan
Parada Harahap di Batavia terus berinteraksi. Sebagaimana diketahui Parada
Harahap pernah menjadi pemimpin BVV yang mana salah satu pemainnya adalah Abdul
Hakim Harahap. Parada Harahap sendiri adalah sekretaris PPPK yang didirikan
tahun 1927 (ketua MH Thamrin) yang merupakan pembina dan sponsor keuangan Panitia
Kongres Pemuda 1928 (yang mana Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai bendahara).
Suasana politik semakin menghangat, sehungan dengan diadilinya Ir. Soekarno.
Lebih-lebih baru-baru ini (1934) Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner
Indonesia ke Jepang yang membuat gerah pemerintah baik di Nederlandsche Indie
(baca: Indonesia) maupun di negeri Belanda (Moerderland). Tujuh orang revolusioner
itu termasuk Abdullah Lubis (pemimpin Pewarta Deli) dan Mohammad Hatta (yang
baru pulang ke tanah air setelah meraih sarjana di Belanda). Situasi dan
kondisi inilah yang diduga mengapa perlu Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen
Harahap di Medan menyatukan barisan dan memperkuat kegiatan sepak bola dengan membentuk
klub Sahata. Terbukti klub Sahata prestasinya di OSVB cukup moncer. Diantara
klub pribumi di Medan, klub Sahata yang kerap melakukan lawatan ke berbagai
daerah termasuk Siantar, Tandjong Balai, Sibolga (Tapanoeli). Saat-saat
prestasi klub-klub pribumi mulai diperhitungkan di Medan, GB Joshua Batubara pemimpin
baru klub Sahata (menggantikan Abdul Hakim Harahap) pada tahun 1940 melancarkan
protes kepada pengurus OSVB karean orang pribumi tidak pernah diakomodir di jajaran
teras pengurus OSVB. Karena protes tidak ditanggapi, Sahata dan klub-klub
pribumi lainnya (UVV dan MSV) keluar dari OSVB dan membentuk asosiasi PERSEDELI
(akibatnya OSVB lumpuh). Ketua PERSEDELI didaulat Dr. Pirngadi (Ketua klub MSV). Dr. Djabangoen Harahap adalah adik kelas Dr. Pirngadi di SOVIA dan hubungan antara mereka sangat akrab. Ini karena terhubung dengan pendiri Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di Belanda tahun 1908 yang mana Ketua adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (saudara sepupu Djabangoen Harahap) dan Sekretaris adalah Husein Djajadiningrat (saudara sepupu Pirngadi). Setelah lulus, Pirgandi ditempatkan di Padang Sidempoean (kampung halaman Djabangoen Harahap), sementara Djabangoen Harahap ditempatkan ke Banten (kampung halaman Pirngadi). Di Batavia, Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond) mempelopori dibentuknya organisasi supra kebangsaan yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI (Ketua MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap). Pembentukan PPPKI ini di rumah Husein Djajadiningrat yang juga turut dihadiri Soetan Casajangan. Lalu kemudian dari Padang Sidempoean Dr. Pirngadi dipindahkan ke Medan dan Dr. Djabangoen Harahap dari Banten dipindahkan ke Karo baru ke Medan. Keduanya menjadi satu kantor di rumah sakit kota di Medan. Dua sahabat ini sama-sama gibol, Dr. Djabangoen di klub Sahata dan Dr. Pirngadi di klub MSV.
![]() |
Soetan Casajangan di tengah dan Husein Dj. (Leiden 1908) |
Selanjutnya, pada saat pendudukan Jepang tokoh-tokoh
yang berlawanan dengan Belanda semakin menguat. Ir. Soekarno dan M Hatta
menjadi ketua dan wakil dewan pribumi di pusat; Parada Harahap menjadi
koordinator media militer Jepang, Abdul Hakim Harahap menjadi ketua dewan di
Tapanoeli; Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Pirngadi tetap di rumah sakit kota
Medan serta GB Joshua Batubara terus mengelola Perguruan Joshua. Pada perang
kemerdekaan melawan Belanda, Abdul Hakim Harahap berjuang bersama militer/penduduk
sebagai Residen Tapanoeli; di Medan (seiring dengan munculnya NST dengan wali
negara Dr. Mansoer) Dr. Djabangoen Harahap menjadi Ketua Front Nasional dan
wakilnya GB Joshua Batubara. Dr. Pirngadi menjadi pejabat penghubung antara warga Republik yang dipimpin Dr. Djabangoen Harahap di Sumatra Timur dengan para pemimpin Republik di Tapanoeli. Lalu pada masa dualisme pemerintahan RIS (Federal vs
Republik), Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Mansoer yang dulu sekelas di STOVIA
menjadi berseberangan di Sumatra Timur. Dr. Djabangoen Harahap pro-Republik dan
Dr. Mansoer pro-federalis. Inilah yang menjadi sebab munculnya Kongres Rakyat
di Medan. Akhirnya Republiken (Republik pro-Djogjakarta) memenangkan
pertarungan yang mana NST (federalis pro Belanda) harus dibubarkan dan
terbentuk NKRI di Sumatra Timur (juga di seluruh wilayah Indonesia). Saat itu
Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia di Djogjakarta adalah Abdul Hakim
Harahap (pendiri klub Sahata). Itu belum cukup. Abdul Hakim Harahap pada
Januari 1951 menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama (pasca pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda).
Marah Halim Cup pada Era
PSMS
Halim Harahap. Estafet sepak bola Medan berlanjut dari Abdul Hakim Harahap
kepada Marah Halim Harahap. Tanda-tanda adanya estafet itu sudah kelihatan ketika
Abdul Hakim Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara periode pertama
pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1951-1953). Saat itu, Gubernur
Abdul Hakim Harahap mencalonkan Kota Medan sebagai kota penyelenggara PON III
(1953) sekaligus sebagai Penanggung Jawab. Dalam susunan Panitia PON III terdapat
tiga nama tokoh penting: GB Joshua Batubara (Ketua); Kamaroeddin Panggabean
(Ketua Bidang Sepakbola); dan Kapten Marah Halim Harahap (Ketua Bidang
Keamanan). Hasil yang terpenting dari PON III di Medan adalah Tim Sepakbola
Sumatra Utara sebagai juara (medali emas).
situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim Harahap yang
tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul ke
permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah Halim
yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah
melalui mekanisme Sidang DRPD Provinsi Sumatera Utara. Marah Halim Harahap
diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 31 Maret 1967. Ada jarak
16 tahun ketika Abdul Hakim Harahap memulai tugas gubernur (1951) dan ketika
Marah Halim Harahap memulainya pada tahun 1867. Uniknya jarak 16 tahun tersebut
adalah juga jarak usia kedua gubernur Sumatra Utara tersebut. Abdul Hakim
Harahap lahir tahun 1905 dan Marah Halim Harahap lahir tahun 1921.
Harahap. Saat Marah Halim Harahap diangkat sebagai gubernur Sumatra Utara
tanggal 31 Maret 1967 salah satu hal yang perlu ditingkatkan Marah Halim
Harahap adalah prestasi sepak bola Sumatra Utara khususnya Kota Medan. Prestasi
sepakbola adalah jalan pintas (bersifat instan dan hasilnya langsung) untuk
segera mendapatkan perhatian di Indonesia agar Sumatra Utara lebih dikenal.
Dalam hal ini PSMS dapat dijadikan sebagai mesin turbo pembangkit energi. Di sisi
lain, Marah Halim Harahap dalam soal sepak bola mempunyai misi khusus yakni
mewujudkan impian ‘abangnya’ Abdul Hakim Harahap agar sepak bola Sumatra
Utara/Medan disegani di seluruh penjuru tanah air.
gibol, pendiri dan merangkap pemain klub Sahata (1936) telah merintis jalan
agar Kota Medan memiliki stadion bertaraf internasional. Itulah yang diwujudkan
pertama oleh Abdul Hakim Harahap ketika menjadi gubernur tahun 1951 melalui
strategi jalan pintas (instan) dengan mencalonkan kota Medan sebagai kota
penyelenggara PON III (1953). Langkah pertama untuk menyongsong PON III,
Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai menggalang dana masyarakat Sumatra Utara.
Sebab perhitungan anggaran PON III akan menelan biaya Rp 7 Juta yang mana Rp 5
Juta untuk pembangunan stadion baru (kemudian bernama Stadion Teladan).
Sementara bantuan pemerintah pusat (Djakarta) yang diterima cuma Rp 750 Ribu.
Tidak hanya itu, Gubernur menginginginkan stadion PON III 1953 (Teladan Medan)
lebih megah dari stadion PON II 1951 (Ikada Djakarta) dan meminta arsitek
terkenal di Djakarta (arsitek yang sebelumnya membangun stadion Ikada
Djakarta). Terbukti hasilnya: juara (medali emas) sepak bola PON III adalah Tim
Sumatra Utara. Abdul Hakim Harahap boleh jadi memiliki moto: cabang olah raga
lain boleh kalah, tetapi tidak untuk cabang sepak bola.
Kapten Infantri Marah Halim (Ketua Bidang Keamanan PON III). Misi inilah yang akan
diwujudkan Marah Halim Harahap sebagai tahun pertamanya sebagai Gubernur
Sumatra Utara pada tahun 1967. Langkah pertama yang dilakukan adalah memanggil
Ketua Pengurus PSMS Medan. Rencana strategis lalu ditetapkan untuk menjuarai
Kejuaraan Antar Perserikatan pada tahun 1967.
![]() |
Het nieuwsblad Sumatra, 30-07-1957 |
PSMS berada di grup wilayah
barat yang terdiri dari PSMS, PSDS Deli Serdang, Persija Jakarta, PSB Bogor, Persib
dan PSIM (Djokjakarta). PSMS sebagai runner-up mendampingi Persib ke semi final
yang akan dilaksanakan di stadion Utama Senayan Djakarta. Pada leg-1 tanggal 6
September 1967 PSMS dikalahkan oleh Persebaya dengan skor 0-1. Pada leg-2
tanggal 7 September 1967 PSMS berhasil mengalahkan Persebaya dengan skor 2-0.
Secara agregat PSMS unggul 2-1 dan PSMS maju ke final pada tanggal 10 September
1967. Di partai final PSMS mengalahkan Persib Bandung dengan skor 2-0. PSMS menjadi
Juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1967. Inilah untuk kali pertama PSMS menjadi
juara Kejuaraan Antar Perserikatan sejak kali pertama PSMS berpartisipasi tahun
1952. Capaian tertinggi sebelumnya adalah sebagai peringkat kedua dalam
klassemen akhir partai 6 Besar tahun 1954. Hasil serupa terjadi pada partai 7
Besar tahun 1957. Pada pertandingan terakhir tanggal 29 Juli 1957 di Padang, PSMS
mengalahkan Persidja dengan skor 4-1 (2-1). Dengan hasil ini PSMS menggeser
posisi Persib dengan poin 9 (peringkat kedua di bawah PSM yang menjadi juara
dengan poin 11). Persija tetap berada di peringkat empat dengan poin 6 (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-07-1957).
hadiah pertama Marah Halim Harahap di tahun pertamanya menjabat sebagai
Gubernur Sumatra Utara. Juara tahun 1967 ini seakan mengulang sukses Tim Sumatra
Utara yang menjuarai cabang sepak bola pada PON III tahun 1953 saat Abdul Hakim
Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Sukses Marah Halim Harahap ini
mengangkat PSMS menjadi juara sepak bola Indonesia tidak sempat lagi dilihat
Abdul Hakim Harahap (meninggal dunia di Djakarta tahun 1961.
Perserikatan berikutnya partai 8 Besar diadakan di stadion Utama Senayan
Djakarta 1971. Format pertandingan setengah kompetisi. PSMS pada klassemen
akhir berada pada pringkat pertama. Ini untuk kali kedua PSMS menjadi juara
secara berturut-turut. Untuk peringkat 1-4 (PSMS, Persebaya, Persidja dan PSM)
diundang untuk mengikuti turnamen Piala Presiden (Soeharto) yang pertama yang
akan diadakan di stadion utama Senayan Desember 1972.
menyabet gelar Juara Kejuaraan Antar Perserikatan. Kejuaraan ini dilangsungkan
selama sebulan di stadion Senayan (2 September-6 Oktober 1971) diikuti oleh 10
tim yang dibagi dua grup. Lalu kemudian empat tim terbaik dibuat satu grup
baru. Pada klassemen akhir PSMS berada posisi teratas. PSMS juara. Ini menjadi kali
kedua secara berturut-turut PSMS menjadi Champion Indonesia. Dunia sepakbola
Indonesia menjadi heboh. PSMS menjadi Raja Sepakbola Indonesia.
beberapa waktu sebelumnya ketika klub raksasa Belanda PSV Eindhoven melawan
PSMS dalam tur ke Asia Tenggara. Sebelum melawan PSMS, klub PSV melawan Timnas
Singapoera yang berakhir dengan skor 13-0 (Limburgsch dagblad, 15-06-1971). Di
Medan, PSMS mampu melakukan perlawanan meski kalah dengan 0-4. PSV kemudian ke
Surabaya melawan Persebaya yang berakhir dengan skor 9-1 dan yang terakhir PSV
mengalahkan Timnas Indonesia dengan skor 6-0. Dari hasil-hasil yang diraih PSV
terkesan hanya PSMS yang menyulitkan PSV.
Gubernur Marah Halim Harahap sumringah. Cita-cita
seniornya Abdul Hakim Harahap telah tercapai. Tibalah giliran Marah Halim
Harahap untuk membuat PSMS lebih besar lagi dengan membuat turnamen sepak bola
di Medan sebelum turnamen Piala Presiden diadakan pada bulan Desember 1972.
Inilah gaya khas rap-rap Medan: Jika dulu Djakarta punya stadion Ikada,
Gubernur Abdul Hakim membangunan stadion Teladan yang lebih mewah. Kini,
Djakarta punya rencana membuat turnamen sepak bola domestik (Piala Presiden),
Medan tidak mau kalah dan segera mendahului membuat turnamen bertaraf
internasional.
ini, lantas Marah Halim mengundang tokoh-tokoh sepakbola Sumatra Utara. Di
dalam rumah dinas gubernur awal tahun 1972, Marah Halim menyambut tiga gibol:
Kamaruddin Panggabean, TD Pardede dan Muslim Harahap. Ketiga orang ini tidak asing
dengan sepakbola Medan dan PSMS. Kamaruddin Panggabean pernah menjadi
sekretaris PSMS pada periode 1951-1952 (mantan pemain klub Sahata Medan di era
kolonial dan pada tahun 1955 sebagai Komisaris PSSI di Sumatra Utara); TD
Pardede adalah seorang pengusaha besar dan mantan bendahara PSMS pada periode
1952-1953 (bendahara Persidja dalam kepengurusan yang baru tahun1950 adalah BC
Harahap, seorang pengusaha di Djakarta); dan Muslim Harahap, mantan Ketua Umum
PSMS pada periode 1959-1960 dan pernah menjadi Manajer Tim PSMS ketika melawan
Persidja di Djakarta 1954. Pada periode tersebut (1950-1960) Marah Halim
Harahap sendiri adalah perwira menengah di jajaran komando pertahanan di Medan. Kini (1972), pada usia mereka yang tidak muda
lagi, empat gibol yang sudah saling kenal sejak lama ini sepakat untuk membuat
satu turnamen sepakbola (yang pertama di Indonesia). Gubernur Marah Halim
Harahap meminta Kamaruddin Panggabean, yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris
untuk menjadi ketua pengelola turnamen sekaligus urusan luar negeri; TD Pardede
diminta untuk mendukung untuk suksesnya turnamen dan mengajak pengusaha lainnya
untuk berpartisipasi; dan Muslim Harahap diminta untuk memfasilitasi dan
mengkoordinasikan dengan stakeholder lainnya terutama dari pihak pemerintah
sekaligus urusan dalam negeri. Tugas ini tampaknya tidak sulit baginya, sebab
Muslim Harahap Harahap adalah sekreatis pertama Komite Olahraga Indonesia di
Sumatra Utara (KOI-SU) yang dibentuk tahun 1955 (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 11-03-1955). Lantas tiba-tiba Muslim Harahap bertanya: ‘Apa nama
turnamennya, Jenderal?’ (Marah Halim selama menjadi gubernur telah mendapat
kenaikan pangkat dua kali menjadi Mayor Jenderal). Marah Halim menjawab: ‘Saya
tidak tahu, cari sendirilah. Tapi perlu dipikirkan baik-baik. Tapi saya tahu
bahwa dulu pernah ada turnamen hebat di Medan ini’. TD Pardede bertanya:
‘Turnamen apa namanya, friend?’. Marah Halim menjawab: ‘Turnamen Mathewson
Beker, yang penyelenggaraannya pada era Nederlandsche Indie, dimulai tahun 1915.
Penggagasnya adalah Mr. Mathewson, konsul Inggris yang ditempatkan di Medan…’.
Kamaruddin Panggabean memotong kisah dari Marah Halim itu, lalu spontan: ‘Kalau
begitu, nama turnamennya Marah Halim Cup saja’. Muslim Harahap menyahut: ‘Itu
sudah pas, lae. Ada historisnya dan itu menjadi mudah membuat dasar
legalitasnya’. Pertemuan ditutup.
sekaligus menyambut ulang tahun PSMS tanggal 21 April. Tim yang diundang adalah
lima tim besar: Persidja, Persib, Persebaya, PSM, dan Persema (Malang). Format
pertandingan dibagi dua grup, lalu babak semi final dan babak final.
Pertandingan pertama dimulai tanggal 7 April dan berakhir tanggal 16 April
1972.
mengalahkan Persema 1-0. Pada pertandingan kedua PSMS imbang dengan PSM. Dalam
klassemen akhir grup-1 PSMS peringkat satu dengan poin 3 dan maju ke semi
final. Di partai semi final PSMS mengalahkan Persidja dengan skor 1-0. Pada babak
final pada PSMS mengalahkan Persebaya dengan skor 3-0. Lengkap sudah, PSMS
menjuarai Kejuaraan Antar Perserikatan dua kali berturut-turut (1967 dan 1971)
plus juara Marah Halim Cup yang pertama (1972).
Selanjutnya PSMS
bersiap-siap untuk mengikuti turnamen di Djakarta, Piala Presiden yang akan
diadakan bulan Desember 1972. Turnamen ini dianggap penting, karena baru saja
PSMS menjadi juara turnamen Marah Halim Cup yang pertama. Memenangkan turnamen
Piala Presiden yang pertama tidak hanya untuk mempertahankan gelar raja sepak
bola Indonesia tetapi juga untuk membuktikan apakah juara Piala Presiden dapat
disandingkan dengan juara Marah Halim Cup.
dengan skor 0-1. PSMS segera bangkit dan pada pertandingan keduanya 15 Desember
PSMS mampu mengalahkan PSM dengan skor 3-1. Pada pertandingan ketiga (terakhir)
tanggal 19 Desember, PSMS berbagi angka dengan Persebaya dengan skor 3-3. Dalam
klassemen akhir, PSMS berada pada peringkat pertama (juara) dengan poin 5. Lagi-lagi PSMS juara kembali setelah sebelumnya tunamen Marah Halim Cup
yang pertama (April 1972), juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1971 dan juara
Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1967.
luar negeri juga mendengar kekuatan PSMS. Pada tahun kedua turnamen 1973 panitia
Marah Halim Cup tidak hanya mengundang tim dalam negeri tetapi juga tim luar
negeri: Persija; PSM, Persebaya, Persib, PON DI Aceh; Singapore, Malaysia,
Thailand, Burma dan Hong Kong. Lagi-lagi PSMS juara setelah mengalahkan Persija
di partai final dengan skor 1-0. Pada turnamen tahun 1874 peserta diperlus
dengan mengundang tim dari Jepang dan Korea Selatan dan Vietnam dan Khmer. PSMS
mulai mendapat perlawanan sehingga PSMS hanya menjadi runner-up setelah di
final dikalahkan oleh tim dari Jepang.
Antar Perserikatan tahun 1973 PSMS hanya berada pada peringkat ketiga dibawah
Persija dan Persebaya. Meski demikian, PSMS masih mampu mengimbangi Persija
dengan skor 2-2. Yang jelas PSMS tajinya mulai tumpul. Tidak hanya gagal di
Kejuaraan Antar Perserikatan (1973) tetapi juga gagal meraih juara di Turnamen
Marah Halim Cup (1974).
kembali, Panitia Marah Halim Cup mengundang lagi lawan tanding PSMS dengan
mengundang tim-tim luar negeri. Hal ini karena Marah Halim Cup dibuat untuk
terus mengasah kemampuan PSMS. Pada turnamen 1975 tim yang diundang selain para
langganan seperi Persija, Persebaya, Persib dan PSM, juga mengundang tim luar
negeri yang sudah berpartisipasi seperti Jepang, Singapoere, Malaysia, Korea
Selatan dan Thailand, juga menambah tim luar negeri yang lain yakni India, Taiwan
dan Western Australia. Namun sayang, PSMS hanya mendapat jatah juara ketiga
setelah mengalahkan tim Thailand, sementara juara adalah Australia setelah
mengalahkan Korea Selatan di final. Namun demikian, meski gagal di turnamen
Marah Halim Cup tetapi PSMS masih bisa bernapas lega karena PSMS mampu ke babak
final Kejuaraan Antar Persikatan tahun 1975. Di Partai Final antara PSMS vs
Persija terjadi kisruh sehingga pertandingan tidak bisa dilanjutkan ketika skor
sementara 1-1. Panitia yang ditengahi oleh PSSI memutuskan PSMS dan Persija
dianggap sebagai juara bersama. Juara tetapi tidak sempurna.
kali pertama terjadi pada tahun 1952 ketika untuk pertama kali PSMS mengikuti Kejuaraan
Antar Persikatan. PSMS kalah 0-4 lawan Persija. Pada kejuaraan berikutnya tahun
1954 PSMS dan Persija memperebutkan posisi peringkat pertama (juara) pada
pertandingan terakhir babak 6 Besar. Pada pertandingan yang terakhir ini waist
dianggap berat sebelah lalu PSMS melakukan protes. Manajer Tim PSMS Muslim
Harahap meminta easit diganti tetapi panitia tidak meresponnya lalu tim PSMS
tidak melanjutkan pertantandingan. Pantia memustuskan PSMS dianggap kalah dan
poin persija menjadi bertamabh dua sehingga menjadi juara (PSMS berada
diperingkat kedua). Kasus rivalitas PSMS vs Persija tahun 1954 seakan berulang
kembali pada tahun1975. Lagi-lagi PSMS yang melakukan protes. PSSI tampak lebih
arif dan memustuskan kedua tim sama-sama juara.
terus tergerus. Hanya berada pada peringkat keempat setelah Koera Selatan
mengalahkan PSMS di semi final. Di perebutan tempat ketiga PSMS gagal
mengalahkan tim Burma. Yang menjadi juara adalah tim Australia setelah
mengalahkan Tim Korea Selatan di final. PSMS yang sudah mulai loyo bersiap-siap
untuk mengikuti Piala Presiden 1976 di Jakarta. Lagi-lagi PSMS rontok dan hanya
berada diposisi kelima klassemen akhir dari enam tim. Juara adalah Persija.
PSMS dan Persija yang menjadi juara bersama tahun pada kejuaraan sebelumnya,
Persija bisa melanjutkan tren positifnya (menjadi juara) sementara PSMS semakin
terbenam.
sebanyak 24 negara, yakni: Singapore, Malaysia, Thailand, Burma, Irak, Hong Kong, Jepang, Korea
Selatan, Vietnam, Khmer, India, Taiwan, Australia, China, Turki, Iran,
Luxembourg, Hungaria, Italia, Yugoslavia, Inggris, Belanda, Islandia, Jerman
Barat. Daftar seakan menggambarkan distribusi peta kekuatan sepak bola di tuga benua:
Asia (Barat, Selatan, Timur dan Tenggara),
Eropa (Barat, Utara, Selatan dan Timur) dan Australia. Suatu rekor yang belum
terpecahkan hingga ini hari di Indonesia sekalipun itu penyelenggaranya adalah
PSSI.
Presiden 1976, Persija datang ke Medan untuk mengikuti Turnamen Marah Halim Cup
tahun 1977 dengan percaya diri. Ternyata terbukti. Persija berhasil menjadi
juara Marah Halim Cup 1977 setelah mengalahkan tim Jepang di final. Jika pada
turnamen Marah Halim Cup 1974 PSMS dikalahkan Jepang di final, maka turnamen
kali ini tim Jepang ditumbangkan oleh Persija. Sejak tahun 1974 PSMS tidak
pernah lagi di final. Kini, Persija berada di atas angin.
turnamen Marah Halim Cup 1977 tidak pernah lagi ada tim dalam negeri yang
menjuarai Marah Halim Cup hingga pada penyelenggaraan selanjutnya. Tim dalam
negeri yang mampu mencapai ke final hanya PSMS.yakni pada tahun 1978, 1983 dan
1988. Turnamen Marah Halim Cup telah menjadi milik (tim) luar negeri dan piala
bergelir itu tidak pernah lagi disimpan di Indonesia dan terus beredar di luar
negeri. Daftar juara-juara Marah Halim Cup sebagai berikut: Koera Selatan (3
kali juara); Burma (2), Jepang (2), PSMS (2), Belanda (2), Australia (2) dan
masing-masing satu kali untuk tim China, Irak, Persija, Jerman Barat dan Yugoslavia
(dan Medan Jaya).
negeri, tim Belanda yang mengikuti Marah Halim Cup ternyata sangat menarik
perhatian media di Belanda. Apa pasal? Faktanya media Belanda cukup intens
memberitakan kehadiran tim Belanda di Medan (Marah Halim Cup). Sudah barang
tentu para jurnalis di Belanda masih punya memori dengan klub-klub yang bermain
di bond Medan di era NIVU atau VUVSI. Selain itu dalam satu dasawarsa terakhir
klub-klub Belanda selalu kesulitan melawan tim Medan. Pada tahun 1971 klub PSV
Eindhoven mendapat perlawanan sengit dari PSMS Medan. Pada tahun 1975 klub Ajax
Amsterdam dihajar tim Medan dengan skor 2-4.
Belanda untuk Olimpiade. Tim Belanda berada di grup-B bersama Burma, Iran,
Perksesa 78 dan PSMS. Sementara di grup-A adalah Luxembourg, Korea Selatan,
Jepang, Niac Mitra, Pardedetex dan Thailand. Pada pertandingan pertama Tim
Belanda mengalahkan Perkesa 78 dengan skor 3-0 dan 2-0 pada turun minum(lihat surat
kabar Amigo, Nieuwsblad van het Noorden dan Trouw edisi 04-05-1980). Judul
berita itu dibuat bombastis Belanda mengalahkan Indonesia. Media Belanda
menyebut tak disangka PSMS memberikan perlawan sengit terhadap tim Belanda dan
hanya kalah 0-1. Itupun karena gol bunuh diri dari Maradi di mednit 14 (lihat Leeuwarder
courant: hoofdblad van Friesland, 10-05-1980). Surat kabar Nieuwsblad van het
Noorden, 10-05-1980 menyebut Maradi sebagai striker PSMS. Pada awal babak kedua
PSMS hanya bermain 10 orang ketika bek Soepardjo mendapat kartu merah karena
menekel striker Harry de Haas. Pada pertandingan terakhir grup-A Tim Belanda
mengalahkan Iran dengan skor 2-1 (Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 13-05-1980), Dengan demikian Tim Belanda di grup-A memuncaki klassemen
akhir dengan poin sempurna 8 (main 4 kali tidak pernah kalah). Diantara tim grup-A
tampaknya hanya PSMS yang mampu mengimbangi Tim Belanda (hanya kalah 0-1). Pada
semi final Burma mengalahkan Luxembourg dan Belanda mengalahkan Korea Selatan
(3-0). Di partai Final Tim Belanda mengalahkan Burma dengan skor 4-2, Tim
Belanda juara. Meski PSMS tidak lolos dari fase grup, tetapi hanya PSMS yang
mampu megimbangi Tim Juara Belanda.
tunamen internasional Marah Halim Cup. Kini Tim Belanda yang dipimpin Pelatih
Nasional diperkuat sebanyak 10 pemain profesional, sebab tujuannya untuk
mempertahankan juara yang diraih tahun lalu (Nieuwsblad van het Noorden, 17-04-1981).
Pemain terbaik Marah Halim Cup tahun lalu Rob Krul tidak bisa ikut ketika
dipanggil karena sedang cedera (Limburgsch dagblad, 23-04-1981). Ini
menunjukkan keseriusan KNVB (PSSInya Belanda) di satu sisi dan sisi lain paham
sepak bola Indonesia khususnya di Medan secara historis (sejak era kolonial
Belanda) memiliki potensi besar. Tim Belanda akan dilepas KNVB dan berangkat ke
Medan tanggal 23 April dan kembali tanggal 13 Mei.
bertemu PSMS di grup-A bersama Persija, Thailand dan Singapoera. Tim Nasional
Belanda melakukan pertandingan pertama melawan Persija Jakarta yang berakhir
dengan kemenangan 3-2 (2-1) (Nieuwsblad van het Noorden, 28-04-1981). Pada pertandingan
kedua Tim Belanda mengahkan Thailand 1-0 (Het Parool, 30-04-1981), Pada
pertandingan ketiga, Tim Belanda mengalahkan Singpaoera dengan skor 3-0 (0-0).
Dengan hasil ini Tim Belanda maju ke semifinal (Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 02-05-1981). Pada pertandingan terakhir yang tidak menentukan dalam melawan
PSMS, tetapi bagi PSMS ini sangat berarti
karena PSMS baru memiliki poin satu saat imbang melawan Thailand. Pertandingan
yang diselengerakan tanggal 4 Mei Tim Belanda berhasil mengalahkan PSMS dengan
skor 4-2. Seperti tahun lalu Tim Belanda di fase grup tidak terkalahkan. Pada
partai semi final Tim Belanda dikalahkan Jepang dengan skor 2-3. Ini seakan
Belanda dikalahkan Jepang di Indonesia di era kolonial Belanda. Namun demikian
Tim Belanda masih mampu meraih tempat ketiga setelah membatai Thailand dengan
skor 4-0. Yang menjadi juara turnamen internasional Marah Halim Cup pada tahun
1981 ini adalah Korea Selatan setelah mengalah Jepang dengan skor 3-2.
Bagaimana dengan pencapaian PSMS di Kejuaraan Antar
Perserikatan selanjutnya? Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1978, PSMS
kembali hadir di partai 8 Besar. Format kometisi dibuat dua grup. Masing-masing
juara dan runner up grup melaju ke partai semi final. Di semi final PSMS
dikalahkan oleh Persija. Lagi-lagi Persija selalu menjadi batu sandungan buat
PSMS. Pada perebutan tempat ketiga PSMS sedikit bernapas karena mampu
mengalahkan PSM. Yang membuat tambah kelegaan bagi PSMS, karena di final
rivalitas Persija mampu dikalahkan Persebaya. PSMS dan Persija hanya beda-beda
tipis: PSMS peringkan ketiga, Persija peringkat kedua (runner up).
Perserikatan tahun 1979 rivalitas PSMS dan Persija semakin ketat. Format
kompetisi 5 Besar dengan kompetisi penuh (home and away) tetapi semua
pertandingan diadakan di stadion utama Senayan. Pada pertandingan yang terakhir
tanggal 12 Januari 1979 menyisakan dua pertandingan yakni antara Persija vs
PSMS dan PSM vs Persebaya. Posisi dalam klassemen sementara PSMS berada
diperingkat pertama dengan poin 11 (gol 20-13), sementara Persija 9 (gol 14-8),
sedangkan Persebaya 9 dan PSM 4. Ini artinya antara PSMS dan Persija adalah
pertandingan yang menentukan siapa yang menjadi juara, sebab Persebaya dan PSM
tidak mungkin lagi untuk meraih juara siapa pun yang menang. Jika PSMS imbang
dengan Persija maka PSMS yang menjadi juara, namun jika PSMS kalah maka juara
akan ditentukan selisih gol. Akhirnya pertandingan dimenangkan oleh Persija
dengan skor 1-0. Meski menang tipis dengan hanya 1 gol tetapi menentukan buat
Persija. Akibatnya poin PSMS dan Persija sama-sama 11. Nah, posisi gol Persija
menjadi (15-8) dengan selisih gol 7 dan gol PSMS (20-14) dengan selisih gol 6.
Persija lalu menjadi juara karena hanya beda 1 gol itu. PSMS kalah meradang,
Persija menang histeris. Kejadian ini untuk kali ketiga PSMS vs Persija dalam
posisi genting ketika terjadi pertandingan yang menentukan juara pada Kejuaraan
Antar Perserikatan (1954, 1975 dan 1979 ini).
stadion utama Senayan, pertandingan antara PSMS vs Persija pada tanggal 23
Agustus berakhir imbang (1-1). Secara keseluruhan, baik Persija maupun PSMS tak
berdaya. Pada klassemen akhir PSMS berada di posisi ketiga dengan poin 6 dan
Persija di posisi keempat dengan poin 5. Anehnya, di peringkat pertama dan
peringkat kedua justru tim yang selama ini tidak diperhitingkan. Peringkat
pertama Persipura dengan poin 8 dan Persiraja pada peringkat kedua dengan poin
7. Lalu dua peringkat atas ini dipertemukan lagi di partai grand final. Pertandiengan
yang dilangsungkan tanggal 31 Agustus itu Pesiraja mampu mengalahkan Persipura
dengan skor 3-1. Ini berari Persiraja Banda Aceh menjadi juara. Juara baru.
1983 PSMS kembali menjadi juara. Ini untuk kali keempat PSMS menjadi juara
nasional. Ini juga menjadi rekor juara PSMS menyamai rekor PSM dan Persija.
Format pertandingan sebagai berikut: Dibagi dua wilayah (barat dan timur) masing-masing
dengan lima tim. PSMS dan Persib lolos kualifikasi wilayah barat dan Persebaya
dan PSM dari wilayah timur. Empat tim ini kemudian dibuat satu pool (4 Besar).
Pada klassemen akhir pool ini peringkat pertama Persib dengan poin 6 tak
terkalahkan dan peringkat kedua PSMS dengan poin 3 yang mana menang satu kalim
draw sekali dan kalah satu kali. PSMS kalah dari Persib dengan skor 1-2. Meski
demikian kedua tim maju ke babak grand final yang diadakan pada tanggal 10
November 1983 di stadion utama Senayan. Haslinya imbang dengan skor 0-0. Lalu
dilanjutkan dengan adu penalti. PSMS sukses dengan 3 penalti, sedangkan Persib hanya
sukses 2 penalti.
partai grand final. Format pertandingan sebagai berikut: seperti kejuaraan
sebelumnya dibagi dua wilayah (barat dan timur) yang masing-masing dengan 6 tim
dalam dua putaran. Dari barat yang lolos Persib, Perseman dan Persib. Dari
wilayah timur lolos Persipura, PSM dan Persebaya. Kemudian dibuat satu pool (6
Besar) dengan satu putaran. Dalam klassemen akhir PSMS berada peringkat pertama
dengan poin 6 dan Persib pada peringkat dua dengan poin 6. Lalu dilanjutkan
pada partai grand final pada tanggal 23 Februari di stadion utama Senayan.
Hasilnya PSMS vs Persib berakhir imbang (2-2). Kemudian dilanjutkan adu
penalti. Dihadapan penonton 150.000 adu penalti in menjadi sangat menegangkan bagi
kedua tim. PSMS hanya sukses dengan dua penalti, sementara Persib hanya sukses
satu penalti. Akibatnya PSMS juara. Juara kembali. Untuk kedua kali Persib
meradang. Tampaknya PSMS lebih berpengalaman karena ini untuk yang kelima kali
juara sedangkan Persib belum sekalipun juara. Rekor juara ini membuat PSMS
mengungguli rekor juara PSM dan Persija.
dari Persija menjadi Persib. Dalam kejuaraan tahun 1985 sebelum partai grand
final PSMS vs Persib sudah bertemu tiga kali. Pada putaran pertama wilayah
barat PSMS vs Persib imbang (2-2). Pada putaran kedua juga imbang (0-0). Pada
partai 6 Besar PSMS menang 1-0. Dengan demikian head to head PSMS menang 1 kali
dan draw 2 kali; Persib draw 2 kali dan kalah 1 kali.
intens. Pada putaran pertama wilayah barat PSMS vs Persib imbang (0-0) dan pada
putaran kedua PSMS kalah 0-1. Pada partai 6 Besar kembali PSMS dan Persib
imbangb (0-0). Namun dalam klassemen akhir Persib pada posisi kedua maju ke
grand final sementara PSMS hanya puas pada peringkat keempat. Pada partai grand
final Persib berhasil mengalahkan Perseman dengan skor 1-0. Persib juara, juara
untuk kali pertama.
berikutnya Persib berhasil dua kali juara yakni pada tahun 1990 dan tahun 1994
(kejuaraan yang terakhir di era perserikatan). PSMS hanya sekali tampil di grand
final yakni pada tahun 1992 dan kalah dari PSM.
sesuai dengan paradigma sepakbola perserikatan yang berubah dari bond
(perserikatan) menjadi berbasis klub sebagaimana sebelumnya sudah dimulai pada
liga Galatama (sejak 1978). Pada tahun 1994 semua klub yang ada dan klub yang
baru dibentuk (seperti PSMS) disatukan menjadi satu liga yang disebut Liga
Indonesia dengan beberapa divisi. Namun demikian, romantisme kompetisi
perserikatan menyisakan rekor penonton yang fantastik. Berdasarkan catatan
rekor penonton yang beredar, pada pertandingan final antara PSMS vs Persija
tahun 1975 mencetak rekon penonton fantastik sebanyak 125.000 di stadion utama
Senayan. Rekor penonton ini baru terpecahkan pada final tahun 1985 antara PSMS
vs Persib dengan jumlah penonton 150.000 orang. Super fantastik (terbanyak
didunia). Dari rekor-rekor tersebut tampaknya faktor PSMS menjadi magnit
tersendiri.
![]() |
PSMS vs Persib (Final Kejuaraan Antar Perserikatan 1985) |
sesungguhnya pernah menjadi suporter PSMS. Saya menjadi suporter PSMS karena
permintaan para suporter Persib Bandung di Bogor. Ini bermula tahun 1985
(ketika saya masih kuliah), saya sebagai warga (KTP) Bogor tentu saya menjadi
suporter Persib ketika tiap kali warga RT/RW saya melakukan nonton bareng
Kejuaraan Antar Perserikatan 1985. Saat bersua Persib dan PSMS saya didaulat
untuk menjadi suporter PSMS (karena di RT tersebut hanya saya yang berasal dari
Sumatra Utara). Padahal saya sebelumnya tidak pernah menjadi suporter PSMS
(karena BTL, tidak pernah ke Medan).
Atas desakan ketua RT saya terima. Ketika Persib membobol gawang PSMS
saya disuruh diam sementara mereka berjingkrak-jingkrak. Sebalikya jika PSMS
yang menyarangkan gol ke gawang Persib, saya lalu di angkat ramai-ramai ke
udara sambil teriak-teriak hidup PSMS, hidup PSMS. Lalu kemudian, hari ketika
Persib dan PSMS berjumpa lagi di final saya kedatangan empat teman kuliah
sekampung alumni SMA Medan mengajak nonton ke stadion Senayan, tetapi saya
enggan karena saya sudah ada agenda nonton bareng di rumah Pak RT. Akhirnya
saya terus didesak dan mengalah. Sebelum berangkat saya lapor ke Pak RT absen
nonton bareng. Ada kejadian aneh ketika berangkat dari terminal Bogor.
Teman-teman rupanya sudah menyiapkan spanduk. Ketika mau naik dekat pintu tol
Jagorawi, teman-teman saya itu melakukan nego kepada kondektus bis (mungkin
Lorena saya lupa-lupa ingat): ‘Kami hanya mau naik jika spanduk kami
dibentangkan di belakang bis’ demikian permintaan teman saya kepada kondektur
(pembicaraan ini berada di luar bis, sambil bis merangsek dengan jalan pelan-pelan).
Kondektur bis tampak sekali mati langkah, sebab ada lima calon penumpang tetapi
ingin bentangkan spanduk (sementara bis sudah mau memasuki jalan tol). Mungkin
kondektur berpikir daripada bangku belakang kosong, tak apalah. Nego sepakat.
Saya dan dua teman segera naik ke bangku kosong di belakang sementara dua yang
lain masih berada di luar berlari-lari mengikuti lajunya bis sambil mengulurkan
tali spanduk dari luar. Spanduk yang sebelumnya telah disiapkan pemberat (air
dalam plastik di bagian bawah spanduk agar tidak terbang) terpasang di belakang
bis, dua teman itu juga bergegas naik. Tarik!. Bis pun melaju kencang di jalan
tol. Awalnya tenang tenteram, tetapi jelang Sentul mulai ada yang meneriakkin
kata-kata permusuhan dari bis sebelah ke bis kami. Anggapan penumpang bis
sebelah yang saya duga datang dari Bandoeng, Cianjur dan Sukabumi yang notabene
suporter Persib menganggap seisi bis kami adalah semua suporter PSMS (padahal
cuma lima orang toh!). Penumpang bis kami yang berada di bagian depan yang sebagian
besar tampaknya adalah suporter Persib asal Bogor merasa bingung mengapa
bis-bis sebelah yang melewati bis kami selalu teriak-teriak yang tidak terlalu
jelas ngomong apa (karena banyaknya bis yang menuju Jakarta. Cilaka!. Saya
mulai tidak nyaman, tetapi teman saya bilang tenang saja: ‘Tenang saja lae,
penumpang dalam bis ini tidak ada yang tahu apa yang ada di belakang bis, hanya
kondektur yang sempat lihat tadi’. Akhirnya bis kami sampai di terminal
Cililitan (terminal kampung Rambutan belum ada). Alhmadulillah, tidak terjadi
apa-apa di tengah perjalanan sepanjang jalan tol Jagorawi, Di terminal
Cililitan, kami cepat turun dan segera spanduk dilipat kembali, lalu kami naik
ke bis jurusan Blok M dan memilih bis yang tampak dari jauh dipenuhi oleh suporter
PSMS yang datang dari berbagai tempat seperti Bekasi. Setiba di stadion Utama
Senayan (belum bernama SUGBK), wuh sangat luar biasa jumlah penonton. Kami
mengambil tempat di tribun timur bagian atas (tempat suporter PSMS). Menurut
penyiar siaran pandangan mata (RRI) jumlah penonton yang hadir ditaksir 150.000
orang. Fantastik! Kami memang sengaja membawa radio ketika
menonton itu. Jika tidak salah reporternya adalah Sambas, Abraham Isnan
Simanjuntak dan Samsul Muin Harahap.
![]() |
Harian Kompas edisi MInggu 24 Februari 1985 |
Lantas mengapa
suporter PSMS menggema di dalam stadion padahal suporter PSMS tidak banyak dan
hanya terdiri dari tiga sektor di tribun timur bagian atas? Mungkin teorinya
begini: Tiga sektor itu berada
persis di tengah tribun timur bagian atas. Di luar tiga sektor itu umumnya
suporter Persib. Ini dapat diamati jika Persib menciptakan gol, seluruh stadion
menggema yang mana tampak suporter Persib berdiri mengangkat tangan kegirangan,
sementara suporter PSMS duduk terdiam. Sebaliknya, saat PSMS menyarangkan bola,
suporter PSMS di tiga sektor atas meloncat sambil berteriak histeris sepuas-puasnya.
Meski suporter relatif sedikt lalu mengapa begitu menggema di seluruh stadion? Hal
ini karena teriakan histeris itu berasal dari bagian atas stadion yang berada
di tengah-tengah stadion (jadi terjadi echo) yang merupakan jarak terdekat ke
posisi ruang hampa di atas lapangan. Jika posisi suporter PSMS dipindah
misalnya ke belakang gawang, teriakan suporter PSMS akan lebih tertelan karena
ada space yang lebih luas. Gema ketika menyanyikan yel-yel A Sing Sing So
menjadi terdengar lebih menggema lagi karena yel-yel itu sendiri nadanya memang
berat apalagi diulang-ulang. Oleh karenanya, posisi dan nada berat yang diulang
menimbulkan efek resonansi berganda (apalagi semakin malam udara semakin
dingin, tekanan udara akan
memantulkan kembali suara ke bumi). Satu hal lagi yel-yel ini dinyanyikan secara spontan dengan koor yang kompak
(seirama). Itulah mengapa gema suporter PSMS dan gema suporter Persib nilai
desibelnya relatif hampir sama tingginya (meski jumlah suporter berbeda jauh). Padahal
saat itu belum dikenal soporter membawa alat-alat pengeras suara ataupun drum. Praktis
hanya mengandalkan suara nyanyian. Anggaplah itu sebagai dukungan paling efisien. Esok paginya, harian Kompas, tanpa malu-malu mengakui dengan mengutip yel-yel A Sing Sing So sebagai judul headline-nya. Paling tidak hal itu yang saya rasakan saat
itu. Idem dito di bis yang kami tumpangi dari Bogor: dengan hanya lima suporter
PSMS dikira suporter Persib seisi bis kami adalah suporter PSMS.
Harahap dan Marah Halim Harahap
ibukota Provinsi Sumatra Utara saat ini. Kota Medan menjadi mentroplitan saat
ini bermula dari suatu area kosong tidak berpenghuni di lokasi seputar Lapangan
Merdeka yang sekarang. Saat itu (1869) ada tiga kampung kecil yang
masing-masing terdiri dari beberapa bangunan rumah. Kampung-kampung kecil itu
bernama Medan Poetri, Kesawan dan Kampong Baroe. Kampong Baroe ini kira-kira di
sekitar Medan Baru yang sekarang. Sedangkan Kampong Medan Poetri berada di sisi
barat sungai Deli (pertemuan sungai Babura). Saat itu, satu-satunya di wilayah
Sumatra Utara yang sekarang yang disebut sebuah kota (town) hanyalah Padang
Sidempoean (bahkan kota terbesar kedua di Sumatra, setelah Padang).
![]() |
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Di sisi timur sungai Deli ini
Nienhuys membuka kebun baru pada tahun 1869 dan mulai mendirikan perusahaan
yang disebut Deli Mij. Pada tahun 1863 pemerintah Hindia Belanda menempatkan
seorang Controelur di Laboehan (yang sekaligus ibukota Afdeeling Deli). Pada
tahun 1865 datang Nienhuys dan dua investor membuka kebun tembakau di dekat
Laboehan. Perkebunan Nienhuys kemudian tumbuh pesat hingga tiba waktunya
membuka lahan baru sekitar pertemuan sungai Babura dengan sungai Deli (yang
kini disebut Lapangan Merdeka). Pada tahun 1869 Deli Mij selain membuka lahan
baru juga mambangun kantor, pabrik dan gudang tembakau sebagai pusat semua unit
lahan-lahan kebun tembakau mereka. Dalam perkembangannya Deli Mij membangun
ruma sakit (semacam klinik untuk karyawan) dan juga mendirikan toko (warung)
kebutuhan rumah tangga. Lokasi ini kemudian menjadi sangat strategis karena
lokasi ini menjadi persimpangan ke lahan-lahan lain yang baru dibuka ke arah
barat di Timbangan (Binjai), ke arah timur (Serdang) dan ke arah selatan di
Deli Toea. Para planter-planter baru kerap beristirahat sebelum menuju lokasi
mereka di Deli Mij setelah melakukan perjalanan jauh (dengan kuda) dari
Laboehan. Deli Mij juga membangun mes (semacam pesanggrahan) bagi
planter-planter lain yang sedang transit. Lambat laun sekitar Deli Mij menjadi
semacam perkampungan yang ramai. Perkampungan baru ini menggunakan nama Medan
Poetri yang mengacu pada kampung penduduk asli di seberang sungai. Lambat-laun
nama Medan Poetri mengalami reduksi sehingga hanya disebut Medan saja.
onderafdeeling, yakni Onderafdeeling Laboehan dan onderafdeeling Medan. Di
Medan (dekat Deli Mij) ditempat seorang Controleur, sementara status Controleur
di Laboehan ditingkatkan menjadi Asisten Residen Deli. Rumah/kantor Controleur
Medan ini berada di sekitar Jalan Sukamulia yang sekarang (suatu area kosong
antara lahan Deli Mij dengan Kampong Kesawan). Pada tahun 1879 ibukota
Afdeeling dipindahkan dari Laboehan ke Medan yang mana Asisten Residen di Medan
dan di Laboehan ditempatkan seorang Controleur (tukar guling). Sejak inilah
pertumbuhan dan perkembangan Kota Medan menjadi sangat cepat. Pada tahun 1885
ibukota Residentie Oostkust Sumatra di Bengkalis dipindahkan ke Medan. Seiring dengan perpindahan
ini, Bengkalis dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Riaouw dan status
Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen. Juga terjadi perubahan
Controleur di Tandjong Poera (Langkat) dinaikkan statusnya menjadi Asisten Residen
dan di Timbang (Bindjai) ditempatkan seorang Controleur. Di Tandjoeng Balai
tetap seorang Asisten Residen (sudah ada sejak era Bengkalis). Pejabat-pejabat pribumi di Bengkalis juga turut dipindahkan ke Medan (Bengkalis dan Padang Sidempoean relatif berdekatan via Pasir Pangaraian di Rokan). Sekali lagi: Ini
berarti Bengkalis (Riaouw) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota wilayah Oostkust
Sumatra yang baru di Medan; idem dito, sebelumnya tahun 1905 Padang (Wsrt
Sumatra) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota Tapanoeli di Sibolga. Kelak,
Residentie Oostkust Sumatra dan Residentie Tapanoeli dibentuk menjadi Provinsi
Sumatra Utara (seperti yang sekarang ini).
bernama Mohamad Yacoub datang dari Tapanoeli (Padang Sidempoean) merantau ke
Laboehan melalui kapal via Singkel dan Kota Radja (kini Banda Aceh). Oleh
karena bisa baca tulis dan berhitung (tamat sekolah dasar) lalu mendapat
pekerjaan sebagai krani (juru tulis) di Kesultanan Serdang di Rantau Pandjang. Anak-anak
muda yang berpendidikan terus mengalir dari Padang Sidempoean ke Medan dan
sekitarnya untuk bekerja sebagai krani di perkebunan-perkebuan yang semakin
banyak. Setelah beberapa tahun di Rantau Pandjang Mohamad Yacoub pindah ke
Medan (yang sudah menjadi kota kecil) karena mendapat pekerjaan ketika
Hattenbach membuka toko serba ada. Boleh dikata Mohamad Yacoub adalah orang
Padang Sidempoean pertama di (kota Medan) sementara teman-temannya yang lain di
pelosok-pelosok di tengah rimba di dalam perkebunan-perkebunan yang baru. Saat
itu di Deli belum ada sekolah. Sementara di Mandailing Angkola sudah terdapat
12 sekolah (dari 15 sekolah di Tapanoeli) yang mana empat diantaranya di Kota
Padang Sidempoean plus sekolah Eropa (ELS) dan sekolah guru (Kweekschool). Dalam
perkembanganya, seorang Djaksa di Sipirok tahun 1885 (Angkola) bernama Soetan
Goenoeng Toea dipindahkan ke Medan (sebagai Djaksa pertama di Medan). Soetan
Goenoeng Toea kelak dikenal sebagai kakek dari Amir Sjarifoeddin Harahap
(Perdana Menteri RI kedua).
Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust), Dja Endar Moeda membuka
percetakan di Medan. Pada tahun 1905 muncul dua klub pribumi setelah sebelumnya
didirikan klub Medan Sportclub (1900) dan Langkat Sportcalub (klub orang-orang
Inggris di Langkat yang berbasi di Timbang) tahun 1903. Klub pribumi itu adalah
Tongkoe di Bindjai dan Letterzetter di Medan. Klub Letterzetter (LZ Club) ini
merupakan klub karyawan percetakan Dja Endar Moeda dan orang-orang Mandailing
en Angkola lainnya yang berdomisili di Kota Medan.
![]() |
Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola) |
Pada tahun 1905 (saat
gentingnya Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaradja XII dan Perang
Atjeh kedua) Residenti Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Konsekuensi
status Gubernur Sumtra’s Westkust diturunkan menjadi Residen. Pada saat inilah
migrasi orang-orang Mandailing dan Angkola mengalir deras k Medan. Tujuan
rantau bergeser dari Padang ke Medan. Investasi pengusaha-pengusaha orang-orang
Mandailing dan Angkola di Padang dan Sibolga sebagian direlokasi ke Kota Medan
(yang tengah berkembang pesat). Jalur migrasi tidak melalui laut lagi tetapi
melalui darat menuju Rantau Prapat dan kemudian dilanjutkan dengan moda
transportasi kereta api ke Medan.
![]() |
De locomotief, 21-08-1902 |
Pada tahun 1907 didirikan organisasi sosial Sjarikat Tapanoeli untuk
mengimbangi kekuatan orang-orang Tionghoa (di bidang bisnis). Organisasi ini dipelopori
dan dipimpin oleh Dja Endar Moeda (Haji Saleh Harahap) dan Mohamad Yacoub gelar
Soetan Kinajan (setelah pulang dari Mekkah menjadi Sjech Ibrahim). Sebelumnya,
Dja Endar Moeda telah mendirikan organisasi sosial pertama di Padang yang
diberi nama Medan Perdamaian ((lihat Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 20-02-1900). Pada tahun ini juga dibentuk NV Sjarikat
Tapanoeli dan Tapanoeli Voetbalclub (suksesi Letterzetter VC). Organisasi
sosial Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli yang digagas oleh
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda sudah ada jauh sebelum didirikannya
organisasi sosial Boedi Oetomo. Organisasi sosial Medan Perdamaian telah
membantu pendidikan di Semaramg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 21-08-1902). Bahkan disebut Boedi Oetomo adalah copy paste
format Medan Perdamaian (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).
Voortwaarts, klub orang Belanda) mempelopori didirikannya perserikatan
sepakbola yang disebut Deli Voetbalbond (DVB) di Medan dan melakukan kompetisi
dalam dua divisi. Pada tahun 1909 (Medan menjadi Gemeente) Docter Djawa Voetbal
Club yang berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond (BVB) saat jeda kompetisi
datang ke Medan untuk bertandingan melawan Tapanoeli VC. Klub Docter Djawa VC
(klub mahasiswa kedokteran STOVIA) ini dipimpin oleh Kapten Tim Radjamin
Nasution.
![]() |
De Sumatra post, 30-12-1909 |
Pada tahun 1909 NV Sjarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar Pewarta Deli
yang mana sebagai ketua editor Dja Endar Moeda dan wakil editor Kamaroedin
(anak Dja Endar Moeda) (lihat De Sumatra post, 30-12-1909). Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda alumni Kwekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Dja Endar Moeda
sebelumnya telah memiliki surat kabar Pertja Barat di Padang (1899),
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli di Sibolga (1900) dan
menerbitkan majalah Insulinde di Padang (1901) dan surat kabar berbahasa
Belanda di Padang, Sumatra Nieuwsblad (1904) dan surat kabar Pembrita Atjeh di
Kota Radja (1907).
ditingkatkan statusnya menjadi Kota Praja (Geemeente). Gemeente Medan terdiri
dari dua wijk (keluarahan). Satu kelurahan di area orang-orang Eropa/Belanda
dipimpin oleh orang Belanda sedangka satu kelurahan lain dipimpin oleh Sjech
Ibrahim alias Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan. Sjeh Ibrahim adalah
kamponghoofd pertama di Kota Medan.
Province (dipimpin oleh seorang Gubernur). Pada tahun 1915 inilah perserikatan
sepakbola Oost Sumatra (OSVB) dibentuk (dan DVB melebur ke OSVB). Lalu pada
tahun 1918 Wali Kota (Burgemeester) Gemeente Medan diangkat (Daniel Mackay).
Sejak 1909 Gemeente Medan (dengan dua kelurahan) masih dipimpin langsung oleh Asisten
Residen Medan dan baru tahun 1918 ini dialihkan kepada seorang Wali Kota
(baru).
kota (gemeenteraad) Medan dipilih melalui pemilihan umum. Sejak 1909 anggota
dewan kota yang dipimpin oleh Asisten Residen prosesnya hanya ditunjuk oleh
pemerintah. Para anggota dewan adalah para pengusaha pertanian (planter),
direktur perusahan lainnya, kapitein/major der Chinees, para pangeran dari Kesultanan.
Sejak 1981 (bersamaan dengan pengakatan Burgemeester) penentuan anggota dewan dengan cara demokratis melalui
pemilihan. Para pemilih dibagi ke dalam kelompok Eropa, pribumi dan timur
asing. Untuk pemilih orang Eropa adalah syaratnya dewasa (17 tahun), tetapi
untuk orang pribumi dan timur asing mensyaratkan calon pemilih didasarkan pada
kriteria tingkat pendapatan tertentu. Jadi, tidak semua penduduk dewasa orang
pribumi dan timur asing sebagai pemilih. Pribumi pertama yang terpilih di
Medan, untuk menjadi anggota gemeenteraad adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng, seorang mantan guru dan kini menjadi penilik sekolah di Oostkust
Sumatra yang berkantor di Medan.
dan cukup terkenal antara lain: Abdullah Lubis (Direktur Perwata Deli), penerus
Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Lalu kemudian pada periode berikutnya
berlanjut kepada Abdul Hakim Harahap, GB Josua Batubara dan Dr. Gindo Siregar.
Abdul Hakim Harahap, pejabat keuangan di Kantor Bea dan Cukai Medan/Belawan
terpilih tahun 1930 (tiga periode hingga 1938). Abdul Hakim Harahap yang lahir
di Sarolangoen Djambie tahun 1905 berarti masih bermur 25 tahun untuk menjadi
anggota dewan kota. Pada tahun 1935 Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata
yang juga bertindak sebagai pemain. Pada tahun 1938 pimpinan klub Sahata
diteruskan oleh GB Joshua Batubara (pemilik Joshua Instituut) dan juga menjadi
anggota dewan kota. Sebelumnya, pada tahun 1924 untuk kali pertama (pulau)
Sumatra dibagi ke dalam empat dapil: Province Oostkust Sumatra, Noord Sumatra
Sumatra dan Zuid Sumatra diberi jatah untuk masing-masing satu wakil ke dewan
pusat (Volksraad) di Batavia. Anggota Volksraad yang terpilih dari dapil Noerd
Sumatra
Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon. Untuk periode berikutnya
dari Nord Sumatra terpilih Dr. Abdul Rasjid Siregar dan dari Oost Sumatra
kembali terpilih Mangaradja Soangkoepon. Untuk periode selanjutnya hingga berakhirnya
era kolonial Belanda kedua anggota Volksraad ini tidak terkalahkan. Dengan
demikian selama empat periode Mangaradja Soangkoepon mewakili Provinsi
Ooostkust Sumatra di Volksraad (menjadi anggota dewan seumur hidup dari Sumatra
Timur); sedangkan Dr. Abdul Rasjid Siregar anggota Volksraad selama tiga
periode. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (kelahiran Padang
Sidempoean) adalah abang kandung dari Dr. Abdul Rasjid Siregar (kelahiran
Padang Sidempoean).
pertama saat pemilihan Volksraad tahun 1924. Wilayah Noord Sumatra dalam hal
ini meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Dengan demikian (pulau)
Sumatra terdiri dari empat pemilihan: Oost, Noord, West dan Zuid. Lalu
kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945), pada tanggal 22
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang mana
ditunjuk tiga orang anggota untuk memimpin Sumatra: Mr T Mohammad Hasan sebagai
Gubernur dan Dr. Amir sebagai Wakil Gubernur yang bertugas untuk menyusun
pemerintahan serta Mr. Abdul Abbas Siregar untuk membentuk Komite Nasional
Indonesia (KN) dan Dewan Daerah. Setelah PPKI menetapkan ibukota Provinsi
Sumatra di Medan ketiga tokoh ini berangkat ke Sumatra. Pada tanggal 29 Agustus
1945 Gubernur dan Wakil Gubernur tiba di Kota Medan. Namun sebelum mereka tiba
di Medan sudah lebih dahulu tiba pasukan peninjau sekutu. Kelambanan inisiatif
untuk bergerak Mr T Mohammad Hasan dan Dr. Amir di Medan menjadi awal perkara.
Proklamasi kemerdekaaan RI baru diumumkan keduanya ke publik baru terjadi pada
tanggal 30 September 1945. Sementara di Residentie Tapanoeli berita
kemerdekaaan Indonesia sudah sejak lama beredar luas. Pada tanggal 3 Oktober
1945 Provinsi Sumatra dibagi ke dalam 10 keresidenan: Tapanoeli, Atjeh; Sumatera
Timur, Sumatera Barat. Untuk Residen Sumatra Timur diangkat M. Yusuf (kemudian
digantikan oleh Mr. Luat Siregar), sementara Residen Tapanoeli diangkat Dr. FL
Tobing (kemudian digantikan oleh Abdul Hakim Harahap), sedangkan Mr. Abdul
Abbas Siregar (Anggota PPKI), anak Medan diangkat menjadi Residen Lampoeng
(kemudian digantikan oleh Mr. Gele Haroen Nasution). Sejumlah penasehat
gubernur diangkat antara lain Mangaradja Soangkupon dan Dr. Pirngadi. Sementara
untuk wali kota angkat empat orang: Hasan juga mengangkat empat Wali Kota untuk
empat kota madya di Sumatera yaitu; Mr.
Luat Siregar di Medan, Dr. Abdul Hakim Nasution di Padang, Barnawi di Bukit
Tinggi dan Ibrahim di Palembang. Di Residentie Sumatra Timur diangkat ketua KNI
yakni Dr. Djabangoen Harahap. Dalam perkembangannya, ekskalasi politik yang
meningkat di Medan dan Sumatra Timur sehubungan dengan semakin menguatnya
sekutu/Belanda, ibukota Provinsi Sumatra dipindahkan ke Pematang Siantar.
Setelah agresi militer Belanda pertama (1947) ibukota dipindahkan ke Bukitinggi.
Sejak itu Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi (Sumatera Tengah, Sumatera
Utara, dan Sumatera Selatan) yang dipimpin oleh residen. Residen Sumatra Utara
adalah Mr. SM Amin Nasution dan Residen Sumatra Tengah Mr. Masdoelhak Nasution
Ph.D. Namun tidak lama kemudian Masdoelhak ditarik ke Djogjakarta sebagai
penasehat hukum Soekarno dan M. Hatta. Pada serangan agresi militer Belanda tanggal
19 Desember 1948 ke Djogjakarta Masdoelhak Nasution diculik militer Belanda dan
lalu dibunuh, sementara Soekarno dan M. Hatta ditahan dan diasingkan.
Pembunuhan terhadap Masdoelhak Nasution, intelektual muda Indonesia membuat PBB
marah dan meminta Den Haag untuk melakukan penyelidikan.
1949, pemerintahan mulai dibentuk sebagai hasil perjanjian KMB. Presiden
Soekarno membentuk kabinet RIS (federal) yang dipimpin oleh M. Hatta, tetapi di
Djogjakarta dibentuk kabinet tandingan (Republik) yang mana sebagai Wakil
Perdana Menteri adalah Abdul Hakim Harahap. Dalam fase dualisme pemerintahan
inilah muncul Kongres Rakyat di Medan dan kemudian terbentuk NKRI (NST
dibubarkan). Dalam proses reorganisasi pemerintah di Medan dibentuk Provinsi Sumatra Utara (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Nama Sumatra Utara sendiri sudah muncul sejak 1924 yang meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Sejak Atjeh dibentuk menjadi provinsi pasca pemberontakan Atjeh maka Sumatra Utara hanya tinggal Tapanuli dan Sumatra Timur. Hanya tinggal Tapanuli sebagai ahli waris nama Sumatra Utara.
sebelumnya, Abdul Hakim Harahap pada tahun 1951 diangkat menjadi Gubernur
pertama Provinsi Sumatra Utara (pasca pengakuan kedaultan RI oleh Belanda).
Sebelumnya pada tahun 1950, GB Joshua Bataubara, Wakil Ketua Front Nasional
Medan (Ketua adalah Dr. Djabangoen Harahap) menjadi Ketua Panitia Perayaan Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk kali pertama di Medan dan untuk kali
pertama di Medan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada Perayaan Hari Proklamasi
Kemerdekaan tahun 1951 Ketua Panitia adalah Gubernur Suimatra Utara Abdul Hakim
Harahap.
![]() |
Tiga tokoh utama sepakbola Medan (antar generasi) |
Secara historis, sejatinya ada empat tokoh penting yang juga gibol di
Medan yang memberi kontribusi sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan
sepak bola (pribumi) di Medan. Empat tokoh penting beda generasi tersebut adalah
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Abdul Hakim Harahap dan GB Joshua
Batubara serta Marah Halim Harahap. Keempatnya kebetulan sama-sama berasal dari
Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda dapat dikategorikan sebagai perintis karena
mendirikan klub pribumi pertama di Medan (Letterzetter VC 1903 yang kemudian
menjadi Tapanoeli VC 1907). Abdul Hakim Harahap dapat dikategorikan sebagai
penggalang dengan mendirikan klub Sahata 1935 (dan penggagas pembangunan stadion Teladan, 1952). GB Joshua Batubara dapat
dikategorikan sebagai pendobrak, atas nama klub Sahata melakukan protes
terhadap pengurus OSVB yang menyebabkan klub-klub pribumi (Sahata, UVV dan MSV)
keluar dari OSVB dan membentuk perserikatan sepak bola pribumi (PERSEDELI)
tahun 1941. Selanjutna tokoh berdirinya PSMS (yang baru) pada tanggal 21 April 1950 adalah GB
Joshua Batubara (sebagai Wakil Ketua Front Nasional Medan dan pimpinan klub
Sahata). Marah Halim Harahap (Gubernur
Sumatra Utara sejak 1967) dapat dikategorikan sebagai penegak dengan
membesarkan PSMS melalui penyelenggaraan turnamen sepakbola Marah Halim Cup
(1972-1995).
gubernur, akhirnya Marah Halim Harahap lengser keprabon pada tahun 1978.
Seperti apa figur tokoh sepak bola Medan ini saya dapat memahami. Ketika saya
masih mahasiswa, pada tahun 1985 saya pernah bertemu Marah Halim Harahap di
kediamannya di Jakarta. Marah Halim Harahap berumur panjang. Marah Halim
Harahap meninggal dunia dalam usia 94 tahun. Meninggal pada hari Kamis, 3
Desember 2015 pukul 06.00 WIB di rumah sakit Permata Bunda, Medan. Dimakamkan
pada hari yang sama di Taman Makam Pahlawan, Medan.
Hari
Lahir PSMS Sebenarnya: 7 Juli
1907 (07-07-07)