Sejarah

Sejarah Kota Medan (60): Sejarah PSMS Sebenarnya; Letterzetter VC, Tapanoeli VC dan SAHATA (Abdul Hakim-Marah Halim)




false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































De Sumatra post, 18-05-1922

Klub Sahata dibentuk pada tahun
1935 oleh Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap. Klub Sahata merupakan
gabungan dari dua klub sebelumnya yang berkompetisi di OSVB yakni klub HVV
(Horas Voetbal Vereeniging) dan PSV (Persadaän Sport Vereeniging). Merger dan
berubah nama lainnya adalah DCV dan LSV menjadi DLSV; UKVC (Unie Kampong
Voetbal Club) berubah nama menjadi UVV (1933); MCVC menjadi SCSA dan CSC; dan DSM
menjadi Deli Mij. Boleh jadi pendirian klub Sahata ini di satu sisi untuk
membentuk klub yang kuat di Medan dan di sisi lain untuk menunjukkan harga diri
bangsa (pribumi). Hal ini sulit dicapai di Jawa yang mana klub-klub pribumi nyaris
tak pernah mendapat tempat di kompetisi elit (Belanda) kecuali hanya satu-dua
klub pribumi seperti BVV (Bataksche Voetbal Vereeniging) di VBO Batavia. Inilah
yang mendasari munculnya federasi PSSI pasca Kongres Pemuda 1928 (Satu Nusa,
Satu Bangsa dan Satu Bahasa). Di OSVB jumlah klub pribumi sangat banyak tetapi
dan terdapat perimbangan jumlah antara klub pribumi dan klub Belanda di kompetisi
elit, tetapi jarang mendapat apresiasi. Klub Sahata tampaknya mengusung misi
ganda (kompetisi dan politik). Tentu saja Abdul Hakim Harahap di Medan dan
Parada Harahap di Batavia terus berinteraksi. Sebagaimana diketahui Parada
Harahap pernah menjadi pemimpin BVV yang mana salah satu pemainnya adalah Abdul
Hakim Harahap. Parada Harahap sendiri adalah sekretaris PPPK yang didirikan
tahun 1927 (ketua MH Thamrin) yang merupakan pembina dan sponsor keuangan Panitia
Kongres Pemuda 1928 (yang mana Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai bendahara).
Suasana politik semakin menghangat, sehungan dengan diadilinya Ir. Soekarno.
Lebih-lebih baru-baru ini (1934) Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner
Indonesia ke Jepang yang membuat gerah pemerintah baik di Nederlandsche Indie
(baca: Indonesia) maupun di negeri Belanda (Moerderland). Tujuh orang revolusioner
itu termasuk Abdullah Lubis (pemimpin Pewarta Deli) dan Mohammad Hatta (yang
baru pulang ke tanah air setelah meraih sarjana di Belanda). Situasi dan
kondisi inilah yang diduga mengapa perlu Abdul Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen
Harahap di Medan menyatukan barisan dan memperkuat kegiatan sepak bola dengan membentuk
klub Sahata. Terbukti klub Sahata prestasinya di OSVB cukup moncer. Diantara
klub pribumi di Medan, klub Sahata yang kerap melakukan lawatan ke berbagai
daerah termasuk Siantar, Tandjong Balai, Sibolga (Tapanoeli). Saat-saat
prestasi klub-klub pribumi mulai diperhitungkan di Medan, GB Joshua Batubara pemimpin
baru klub Sahata (menggantikan Abdul Hakim Harahap) pada tahun 1940 melancarkan
protes kepada pengurus OSVB karean orang pribumi tidak pernah diakomodir di jajaran
teras pengurus OSVB. Karena protes tidak ditanggapi, Sahata dan klub-klub
pribumi lainnya (UVV dan MSV) keluar dari OSVB dan membentuk asosiasi PERSEDELI
(akibatnya OSVB lumpuh). Ketua PERSEDELI didaulat Dr. Pirngadi (Ketua klub MSV). Dr. Djabangoen Harahap adalah adik kelas Dr. Pirngadi di SOVIA dan hubungan antara mereka sangat akrab. Ini karena terhubung dengan pendiri Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di Belanda tahun 1908 yang mana Ketua adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (saudara sepupu Djabangoen Harahap) dan Sekretaris adalah Husein Djajadiningrat (saudara sepupu Pirngadi). Setelah lulus, Pirgandi ditempatkan di Padang Sidempoean (kampung halaman Djabangoen Harahap), sementara Djabangoen Harahap ditempatkan ke Banten (kampung halaman Pirngadi). Di Batavia, Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond) mempelopori dibentuknya organisasi supra kebangsaan yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI (Ketua MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap). Pembentukan PPPKI ini di rumah Husein Djajadiningrat yang juga turut dihadiri Soetan Casajangan. Lalu kemudian dari Padang Sidempoean Dr. Pirngadi dipindahkan ke Medan dan Dr. Djabangoen Harahap dari Banten dipindahkan ke Karo baru ke Medan. Keduanya menjadi satu kantor di rumah sakit kota di Medan. Dua sahabat ini sama-sama gibol, Dr. Djabangoen di klub Sahata dan Dr. Pirngadi di klub MSV. 

Soetan Casajangan di tengah dan Husein Dj. (Leiden 1908)

Selanjutnya, pada saat pendudukan Jepang tokoh-tokoh
yang berlawanan dengan Belanda semakin menguat. Ir. Soekarno dan M Hatta
menjadi ketua dan wakil dewan pribumi di pusat; Parada Harahap menjadi
koordinator media militer Jepang, Abdul Hakim Harahap menjadi ketua dewan di
Tapanoeli; Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Pirngadi tetap di rumah sakit kota
Medan serta GB Joshua Batubara terus mengelola Perguruan Joshua. Pada perang
kemerdekaan melawan Belanda, Abdul Hakim Harahap berjuang bersama militer/penduduk
sebagai Residen Tapanoeli; di Medan (seiring dengan munculnya NST dengan wali
negara Dr. Mansoer) Dr. Djabangoen Harahap menjadi Ketua Front Nasional dan
wakilnya GB Joshua Batubara. Dr. Pirngadi menjadi pejabat penghubung antara warga Republik yang dipimpin Dr. Djabangoen Harahap di Sumatra Timur dengan para pemimpin Republik di Tapanoeli. Lalu pada masa dualisme pemerintahan RIS (Federal vs
Republik), Dr. Djabangoen Harahap dan Dr. Mansoer yang dulu sekelas di STOVIA
menjadi berseberangan di Sumatra Timur. Dr. Djabangoen Harahap pro-Republik dan
Dr. Mansoer pro-federalis. Inilah yang menjadi sebab munculnya Kongres Rakyat
di Medan. Akhirnya Republiken (Republik pro-Djogjakarta) memenangkan
pertarungan yang mana NST (federalis pro Belanda) harus dibubarkan dan
terbentuk NKRI di Sumatra Timur (juga di seluruh wilayah Indonesia). Saat itu
Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia di Djogjakarta adalah Abdul Hakim
Harahap (pendiri klub Sahata). Itu belum cukup. Abdul Hakim Harahap pada
Januari 1951 menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama (pasca pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda).    

Marah Halim Cup pada Era
PSMS

Spirit Abdul Hakim Harahap ini kelak dilanjutkan oleh Gubernur Marah
Halim Harahap. Estafet sepak bola Medan berlanjut dari Abdul Hakim Harahap
kepada Marah Halim Harahap. Tanda-tanda adanya estafet itu sudah kelihatan ketika
Abdul Hakim Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara periode pertama
pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1951-1953). Saat itu, Gubernur
Abdul Hakim Harahap mencalonkan Kota Medan sebagai kota penyelenggara PON III
(1953) sekaligus sebagai Penanggung Jawab. Dalam susunan Panitia PON III terdapat
tiga nama tokoh penting: GB Joshua Batubara (Ketua); Kamaroeddin Panggabean
(Ketua Bidang Sepakbola); dan Kapten Marah Halim Harahap (Ketua Bidang
Keamanan). Hasil yang terpenting dari PON III di Medan adalah Tim Sepakbola
Sumatra Utara sebagai juara (medali emas).
Dengan semakin membaiknya
situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim Harahap yang
tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul ke
permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah Halim
yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah
melalui mekanisme Sidang DRPD Provinsi Sumatera Utara. Marah Halim Harahap
diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 31 Maret 1967. Ada jarak
16 tahun ketika Abdul Hakim Harahap memulai tugas gubernur (1951) dan ketika
Marah Halim Harahap memulainya pada tahun 1867. Uniknya jarak 16 tahun tersebut
adalah juga jarak usia kedua gubernur Sumatra Utara tersebut. Abdul Hakim
Harahap lahir tahun 1905 dan Marah Halim Harahap lahir tahun 1921.
Puncak prestasi sepak bola Medan terjadi pada masa Gubernur Marah Halim
Harahap. Saat Marah Halim Harahap diangkat sebagai gubernur Sumatra Utara
tanggal 31 Maret 1967 salah satu hal yang perlu ditingkatkan Marah Halim
Harahap adalah prestasi sepak bola Sumatra Utara khususnya Kota Medan. Prestasi
sepakbola adalah jalan pintas (bersifat instan dan hasilnya langsung) untuk
segera mendapatkan perhatian di Indonesia agar Sumatra Utara lebih dikenal.
Dalam hal ini PSMS dapat dijadikan sebagai mesin turbo pembangkit energi. Di sisi
lain, Marah Halim Harahap dalam soal sepak bola mempunyai misi khusus yakni
mewujudkan impian ‘abangnya’ Abdul Hakim Harahap agar sepak bola Sumatra
Utara/Medan disegani di seluruh penjuru tanah air.
Abdul Hakim Harahap sebagai
gibol, pendiri dan merangkap pemain klub Sahata (1936) telah merintis jalan
agar Kota Medan memiliki stadion bertaraf internasional. Itulah yang diwujudkan
pertama oleh Abdul Hakim Harahap ketika menjadi gubernur tahun 1951 melalui
strategi jalan pintas (instan) dengan mencalonkan kota Medan sebagai kota
penyelenggara PON III (1953). Langkah pertama untuk menyongsong PON III,
Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai menggalang dana masyarakat Sumatra Utara.
Sebab perhitungan anggaran PON III akan menelan biaya Rp 7 Juta yang mana Rp 5
Juta untuk pembangunan stadion baru (kemudian bernama Stadion Teladan).
Sementara bantuan pemerintah pusat (Djakarta) yang diterima cuma Rp 750 Ribu.
Tidak hanya itu, Gubernur menginginginkan stadion PON III 1953 (Teladan Medan)
lebih megah dari stadion PON II 1951 (Ikada Djakarta) dan meminta arsitek
terkenal di Djakarta (arsitek yang sebelumnya membangun stadion Ikada
Djakarta). Terbukti hasilnya: juara (medali emas) sepak bola PON III adalah Tim
Sumatra Utara. Abdul Hakim Harahap boleh jadi memiliki moto: cabang olah raga
lain boleh kalah, tetapi tidak untuk cabang sepak bola.  
Semua impian Gubernur Abdul Hakim Harahap tentu saja telah didengar oleh
Kapten Infantri Marah Halim (Ketua Bidang Keamanan PON III). Misi inilah yang akan
diwujudkan Marah Halim Harahap sebagai tahun pertamanya sebagai Gubernur
Sumatra Utara pada tahun 1967. Langkah pertama yang dilakukan adalah memanggil
Ketua Pengurus PSMS Medan. Rencana strategis lalu ditetapkan untuk menjuarai
Kejuaraan Antar Perserikatan pada tahun 1967.
Het
nieuwsblad Sumatra, 30-07-1957

PSMS berada di grup wilayah
barat yang terdiri dari PSMS, PSDS Deli Serdang, Persija Jakarta, PSB Bogor, Persib
dan PSIM (Djokjakarta). PSMS sebagai runner-up mendampingi Persib ke semi final
yang akan dilaksanakan di stadion Utama Senayan Djakarta. Pada leg-1 tanggal 6
September 1967 PSMS dikalahkan oleh Persebaya dengan skor 0-1. Pada leg-2
tanggal 7 September 1967 PSMS berhasil mengalahkan Persebaya dengan skor 2-0.
Secara agregat PSMS unggul 2-1 dan PSMS maju ke final pada tanggal 10 September
1967. Di partai final PSMS mengalahkan Persib Bandung dengan skor 2-0. PSMS menjadi
Juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1967. Inilah untuk kali pertama PSMS menjadi
juara Kejuaraan Antar Perserikatan sejak kali pertama PSMS berpartisipasi tahun
1952. Capaian tertinggi sebelumnya adalah sebagai peringkat kedua dalam
klassemen akhir partai 6 Besar tahun 1954. Hasil serupa terjadi pada partai 7
Besar tahun 1957. Pada pertandingan terakhir tanggal 29 Juli 1957 di Padang, PSMS
mengalahkan Persidja dengan skor 4-1 (2-1). Dengan hasil ini PSMS menggeser
posisi Persib dengan poin 9 (peringkat kedua di bawah PSM yang menjadi juara
dengan poin 11). Persija tetap berada di peringkat empat dengan poin 6 (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-07-1957).   

PSMS Medan menjadi juara pada Kejuaraan Antar Perserikatan 1967 menjadi
hadiah pertama Marah Halim Harahap di tahun pertamanya menjabat sebagai
Gubernur Sumatra Utara. Juara tahun 1967 ini seakan mengulang sukses Tim Sumatra
Utara yang menjuarai cabang sepak bola pada PON III tahun 1953 saat Abdul Hakim
Harahap menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara. Sukses Marah Halim Harahap ini
mengangkat PSMS menjadi juara sepak bola Indonesia tidak sempat lagi dilihat
Abdul Hakim Harahap (meninggal dunia di Djakarta tahun 1961.
Pada Kejuaraan Antar
Perserikatan berikutnya partai 8 Besar diadakan di stadion Utama Senayan
Djakarta 1971. Format pertandingan setengah kompetisi. PSMS pada klassemen
akhir berada pada pringkat pertama. Ini untuk kali kedua PSMS menjadi juara
secara berturut-turut. Untuk peringkat 1-4 (PSMS, Persebaya, Persidja dan PSM)
diundang untuk mengikuti turnamen Piala Presiden (Soeharto) yang pertama yang
akan diadakan di stadion utama Senayan Desember 1972.
Pada tahun 1971 adalah tahun emas PSMS yang berhasil manis dengan
menyabet gelar Juara Kejuaraan Antar Perserikatan. Kejuaraan ini dilangsungkan
selama sebulan di stadion Senayan (2 September-6 Oktober 1971) diikuti oleh 10
tim yang dibagi dua grup. Lalu kemudian empat tim terbaik dibuat satu grup
baru. Pada klassemen akhir PSMS berada posisi teratas. PSMS juara. Ini menjadi kali
kedua secara berturut-turut PSMS menjadi Champion Indonesia. Dunia sepakbola
Indonesia menjadi heboh. PSMS menjadi Raja Sepakbola Indonesia.
Performa PSMS sudah terlihat
beberapa waktu sebelumnya ketika klub raksasa Belanda PSV Eindhoven melawan
PSMS dalam tur ke Asia Tenggara. Sebelum melawan PSMS, klub PSV melawan Timnas
Singapoera yang berakhir dengan skor 13-0 (Limburgsch dagblad, 15-06-1971). Di
Medan, PSMS mampu melakukan perlawanan meski kalah dengan 0-4. PSV kemudian ke
Surabaya melawan Persebaya yang berakhir dengan skor 9-1 dan yang terakhir PSV
mengalahkan Timnas Indonesia dengan skor 6-0. Dari hasil-hasil yang diraih PSV
terkesan hanya PSMS yang menyulitkan PSV.

Gubernur Marah Halim Harahap sumringah. Cita-cita
seniornya Abdul Hakim Harahap telah tercapai. Tibalah giliran Marah Halim
Harahap untuk membuat PSMS lebih besar lagi dengan membuat turnamen sepak bola
di Medan sebelum turnamen Piala Presiden diadakan pada bulan Desember 1972.
Inilah gaya khas rap-rap Medan: Jika dulu Djakarta punya stadion Ikada,
Gubernur Abdul Hakim membangunan stadion Teladan yang lebih mewah. Kini,
Djakarta punya rencana membuat turnamen sepak bola domestik (Piala Presiden),
Medan tidak mau kalah dan segera mendahului membuat turnamen bertaraf
internasional.

Untuk merealisasikan gagasan
ini, lantas Marah Halim mengundang tokoh-tokoh sepakbola Sumatra Utara. Di
dalam rumah dinas gubernur awal tahun 1972, Marah Halim menyambut tiga gibol:
Kamaruddin Panggabean, TD Pardede dan Muslim Harahap. Ketiga orang ini tidak asing
dengan sepakbola Medan dan PSMS. Kamaruddin Panggabean pernah menjadi
sekretaris PSMS pada periode 1951-1952 (mantan pemain klub Sahata Medan di era
kolonial dan pada tahun 1955 sebagai Komisaris PSSI di Sumatra Utara); TD
Pardede adalah seorang pengusaha besar dan mantan bendahara PSMS pada periode
1952-1953 (bendahara Persidja dalam kepengurusan yang baru tahun1950 adalah BC
Harahap, seorang pengusaha di Djakarta); dan Muslim Harahap, mantan Ketua Umum
PSMS pada periode 1959-1960 dan pernah menjadi Manajer Tim PSMS ketika melawan
Persidja di Djakarta 1954. Pada periode tersebut (1950-1960) Marah Halim
Harahap sendiri adalah perwira menengah di jajaran komando pertahanan di Medan.  Kini (1972), pada usia mereka yang tidak muda
lagi, empat gibol yang sudah saling kenal sejak lama ini sepakat untuk membuat
satu turnamen sepakbola (yang pertama di Indonesia). Gubernur Marah Halim
Harahap meminta Kamaruddin Panggabean, yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris
untuk menjadi ketua pengelola turnamen sekaligus urusan luar negeri; TD Pardede
diminta untuk mendukung untuk suksesnya turnamen dan mengajak pengusaha lainnya
untuk berpartisipasi; dan Muslim Harahap diminta untuk memfasilitasi dan
mengkoordinasikan dengan stakeholder lainnya terutama dari pihak pemerintah
sekaligus urusan dalam negeri. Tugas ini tampaknya tidak sulit baginya, sebab
Muslim Harahap Harahap adalah sekreatis pertama Komite Olahraga Indonesia di
Sumatra Utara (KOI-SU) yang dibentuk tahun 1955 (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 11-03-1955). Lantas tiba-tiba Muslim Harahap bertanya: ‘Apa nama
turnamennya, Jenderal?’ (Marah Halim selama menjadi gubernur telah mendapat
kenaikan pangkat dua kali menjadi Mayor Jenderal). Marah Halim menjawab: ‘Saya
tidak tahu, cari sendirilah. Tapi perlu dipikirkan baik-baik. Tapi saya tahu
bahwa dulu pernah ada turnamen hebat di Medan ini’. TD Pardede bertanya:
‘Turnamen apa namanya, friend?’. Marah Halim menjawab: ‘Turnamen Mathewson
Beker, yang penyelenggaraannya pada era Nederlandsche Indie, dimulai tahun 1915.
Penggagasnya adalah Mr. Mathewson, konsul Inggris yang ditempatkan di Medan…’.
Kamaruddin Panggabean memotong kisah dari Marah Halim itu, lalu spontan: ‘Kalau
begitu, nama turnamennya Marah Halim Cup saja’. Muslim Harahap menyahut: ‘Itu
sudah pas, lae. Ada historisnya dan itu menjadi mudah membuat dasar
legalitasnya’. Pertemuan ditutup.
Turnamen Marah Halim Cup yang pertama diadakan pada bulan April 1972 yang
sekaligus menyambut ulang tahun PSMS tanggal 21 April. Tim yang diundang adalah
lima tim besar: Persidja, Persib, Persebaya, PSM, dan Persema (Malang). Format
pertandingan dibagi dua grup, lalu babak semi final dan babak final.
Pertandingan pertama dimulai tanggal 7 April dan berakhir tanggal 16 April
1972.
Pada pertandingan pertama, PSMS
mengalahkan Persema 1-0. Pada pertandingan kedua PSMS imbang dengan PSM. Dalam
klassemen akhir grup-1 PSMS peringkat satu dengan poin 3 dan maju ke semi
final. Di partai semi final PSMS mengalahkan Persidja dengan skor 1-0. Pada babak
final pada PSMS mengalahkan Persebaya dengan skor 3-0. Lengkap sudah, PSMS
menjuarai Kejuaraan Antar Perserikatan dua kali berturut-turut (1967 dan 1971)
plus juara Marah Halim Cup yang pertama (1972).  

Selanjutnya PSMS
bersiap-siap untuk mengikuti turnamen di Djakarta, Piala Presiden yang akan
diadakan bulan Desember 1972. Turnamen ini dianggap penting, karena baru saja
PSMS menjadi juara turnamen Marah Halim Cup yang pertama. Memenangkan turnamen
Piala Presiden yang pertama tidak hanya untuk mempertahankan gelar raja sepak
bola Indonesia tetapi juga untuk membuktikan apakah juara Piala Presiden dapat
disandingkan dengan juara Marah Halim Cup.

Pada pertandingan pertama, 11 Desember 1972, PSMS dikalaahkan Persidja
dengan skor 0-1. PSMS segera bangkit dan pada pertandingan keduanya 15 Desember
PSMS mampu mengalahkan PSM dengan skor 3-1. Pada pertandingan ketiga (terakhir)
tanggal 19 Desember, PSMS berbagi angka dengan Persebaya dengan skor 3-3. Dalam
klassemen akhir, PSMS berada pada peringkat pertama (juara) dengan poin 5.
Lagi-lagi PSMS juara kembali setelah sebelumnya tunamen Marah Halim Cup
yang pertama (April 1972), juara Kejuaraan Antar Perserikatan 1971 dan juara
Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1967.
PSMS tidak hanya hebat di mata lawan-lawannya di dalam negeri. Tim-tim
luar negeri juga mendengar kekuatan PSMS. Pada tahun kedua turnamen 1973 panitia
Marah Halim Cup tidak hanya mengundang tim dalam negeri tetapi juga tim luar
negeri: Persija; PSM, Persebaya, Persib, PON DI Aceh; Singapore, Malaysia,
Thailand, Burma dan Hong Kong. Lagi-lagi PSMS juara setelah mengalahkan Persija
di partai final dengan skor 1-0. Pada turnamen tahun 1874 peserta diperlus
dengan mengundang tim dari Jepang dan Korea Selatan dan Vietnam dan Khmer. PSMS
mulai mendapat perlawanan sehingga PSMS hanya menjadi runner-up setelah di
final dikalahkan oleh tim dari Jepang.
Pada partai 8 Besar Kejuaraan
Antar Perserikatan tahun 1973 PSMS hanya berada pada peringkat ketiga dibawah
Persija dan Persebaya. Meski demikian, PSMS masih mampu mengimbangi Persija
dengan skor 2-2. Yang jelas PSMS tajinya mulai tumpul. Tidak hanya gagal di
Kejuaraan Antar Perserikatan (1973) tetapi juga gagal meraih juara di Turnamen
Marah Halim Cup (1974).
Gengsi PSMS yang mulai kendor, coba bangkit lagi dengan mengasah kemampuan
kembali, Panitia Marah Halim Cup mengundang lagi lawan tanding PSMS dengan
mengundang tim-tim luar negeri. Hal ini karena Marah Halim Cup dibuat untuk
terus mengasah kemampuan PSMS. Pada turnamen 1975 tim yang diundang selain para
langganan seperi Persija, Persebaya, Persib dan PSM, juga mengundang tim luar
negeri yang sudah berpartisipasi seperti Jepang, Singapoere, Malaysia, Korea
Selatan dan Thailand, juga menambah tim luar negeri yang lain yakni India, Taiwan
dan Western Australia. Namun sayang, PSMS hanya mendapat jatah juara ketiga
setelah mengalahkan tim Thailand, sementara juara adalah Australia setelah
mengalahkan Korea Selatan di final. Namun demikian, meski gagal di turnamen
Marah Halim Cup tetapi PSMS masih bisa bernapas lega karena PSMS mampu ke babak
final Kejuaraan Antar Persikatan tahun 1975. Di Partai Final antara PSMS vs
Persija terjadi kisruh sehingga pertandingan tidak bisa dilanjutkan ketika skor
sementara 1-1. Panitia yang ditengahi oleh PSSI memutuskan PSMS dan Persija
dianggap sebagai juara bersama. Juara tetapi tidak sempurna.
Pertemuan pertama tim PSMS dan Persija
kali pertama terjadi pada tahun 1952 ketika untuk pertama kali PSMS mengikuti Kejuaraan
Antar Persikatan. PSMS kalah 0-4 lawan Persija. Pada kejuaraan berikutnya tahun
1954 PSMS dan Persija memperebutkan posisi peringkat pertama (juara) pada
pertandingan terakhir babak 6 Besar. Pada pertandingan yang terakhir ini waist
dianggap berat sebelah lalu PSMS melakukan protes. Manajer Tim PSMS Muslim
Harahap meminta easit diganti tetapi panitia tidak meresponnya lalu tim PSMS
tidak melanjutkan pertantandingan. Pantia memustuskan PSMS dianggap kalah dan
poin persija menjadi bertamabh dua sehingga menjadi juara (PSMS berada
diperingkat kedua). Kasus rivalitas PSMS vs Persija tahun 1954 seakan berulang
kembali pada tahun1975. Lagi-lagi PSMS yang melakukan protes. PSSI tampak lebih
arif dan memustuskan kedua tim sama-sama juara.
Pada turnamen Marah Halim Cup tahun 1976 tim PSMS tingkat pencapaiannya
terus tergerus. Hanya berada pada peringkat keempat setelah Koera Selatan
mengalahkan PSMS di semi final. Di perebutan tempat ketiga PSMS gagal
mengalahkan tim Burma. Yang menjadi juara adalah tim Australia setelah
mengalahkan Tim Korea Selatan di final. PSMS yang sudah mulai loyo bersiap-siap
untuk mengikuti Piala Presiden 1976 di Jakarta. Lagi-lagi PSMS rontok dan hanya
berada diposisi kelima klassemen akhir dari enam tim. Juara adalah Persija.
PSMS dan Persija yang menjadi juara bersama tahun pada kejuaraan sebelumnya,
Persija bisa melanjutkan tren positifnya (menjadi juara) sementara PSMS semakin
terbenam.
Partisipan dari luar negeri selalu ada setiap tahun. Total terdapat
sebanyak 24 negara, yakni:
Singapore, Malaysia, Thailand, Burma, Irak, Hong Kong, Jepang, Korea
Selatan, Vietnam, Khmer, India, Taiwan, Australia, China, Turki, Iran,
Luxembourg, Hungaria, Italia, Yugoslavia, Inggris, Belanda, Islandia, Jerman
Barat. Daftar seakan menggambarkan distribusi peta kekuatan sepak bola di tuga benua:
Asia (Barat, Selatan, Timur dan Tenggara),
Eropa (Barat, Utara, Selatan dan Timur) dan Australia. Suatu rekor yang belum
terpecahkan hingga ini hari di Indonesia sekalipun itu penyelenggaranya adalah
PSSI.
PSMS masih tenggelam, sementara Persija terus meroket.Setelah juara Piala
Presiden 1976, Persija datang ke Medan untuk mengikuti Turnamen Marah Halim Cup
tahun 1977 dengan percaya diri. Ternyata terbukti. Persija berhasil menjadi
juara Marah Halim Cup 1977 setelah mengalahkan tim Jepang di final. Jika pada
turnamen Marah Halim Cup 1974 PSMS dikalahkan Jepang di final, maka turnamen
kali ini tim Jepang ditumbangkan oleh Persija. Sejak tahun 1974 PSMS tidak
pernah lagi di final. Kini, Persija berada di atas angin.
Anehnya, setelah Persija juara
turnamen Marah Halim Cup 1977 tidak pernah lagi ada tim dalam negeri yang
menjuarai Marah Halim Cup hingga pada penyelenggaraan selanjutnya. Tim dalam
negeri yang mampu mencapai ke final hanya PSMS.yakni pada tahun 1978, 1983 dan
1988. Turnamen Marah Halim Cup telah menjadi milik (tim) luar negeri dan piala
bergelir itu tidak pernah lagi disimpan di Indonesia dan terus beredar di luar
negeri. Daftar juara-juara Marah Halim Cup sebagai berikut: Koera Selatan (3
kali juara); Burma (2), Jepang (2), PSMS (2), Belanda (2), Australia (2) dan
masing-masing satu kali untuk tim China, Irak, Persija, Jerman Barat dan Yugoslavia
(dan Medan Jaya).
Diantara tim-tim luar
negeri, tim Belanda yang mengikuti Marah Halim Cup ternyata sangat menarik
perhatian media di Belanda. Apa pasal? Faktanya media Belanda cukup intens
memberitakan kehadiran tim Belanda di Medan (Marah Halim Cup). Sudah barang
tentu para jurnalis di Belanda masih punya memori dengan klub-klub yang bermain
di bond Medan di era NIVU atau VUVSI. Selain itu dalam satu dasawarsa terakhir
klub-klub Belanda selalu kesulitan melawan tim Medan. Pada tahun 1971 klub PSV
Eindhoven mendapat perlawanan sengit dari PSMS Medan. Pada tahun 1975 klub Ajax
Amsterdam dihajar tim Medan dengan skor 2-4.
Tim Belanda berpartisipasi pada Marah Halim Cup pertama tahun 1980. Tidak tanggung-tanggung, yang datang adalah Tim Nasional
Belanda untuk Olimpiade. Tim Belanda berada di grup-B bersama Burma, Iran,
Perksesa 78 dan PSMS. Sementara di grup-A adalah Luxembourg, Korea Selatan,
Jepang, Niac Mitra, Pardedetex dan Thailand. Pada pertandingan pertama Tim
Belanda mengalahkan Perkesa 78 dengan skor 3-0 dan 2-0 pada turun minum(lihat surat
kabar Amigo, Nieuwsblad van het Noorden dan Trouw edisi 04-05-1980). Judul
berita itu dibuat bombastis Belanda mengalahkan Indonesia. Media Belanda
menyebut tak disangka PSMS memberikan perlawan sengit terhadap tim Belanda dan
hanya kalah 0-1. Itupun karena gol bunuh diri dari Maradi di mednit 14 (lihat Leeuwarder
courant: hoofdblad van Friesland, 10-05-1980). Surat kabar Nieuwsblad van het
Noorden, 10-05-1980 menyebut Maradi sebagai striker PSMS. Pada awal babak kedua
PSMS hanya bermain 10 orang ketika bek Soepardjo mendapat kartu merah karena
menekel striker Harry de Haas. Pada pertandingan terakhir grup-A Tim Belanda
mengalahkan Iran dengan skor 2-1 (Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 13-05-1980), Dengan demikian Tim Belanda di grup-A memuncaki klassemen
akhir dengan poin sempurna 8 (main 4 kali tidak pernah kalah). Diantara tim grup-A
tampaknya hanya PSMS yang mampu mengimbangi Tim Belanda (hanya kalah 0-1). Pada
semi final Burma mengalahkan Luxembourg dan Belanda mengalahkan Korea Selatan
(3-0). Di partai Final Tim Belanda mengalahkan Burma dengan skor 4-2, Tim
Belanda juara. Meski PSMS tidak lolos dari fase grup, tetapi hanya PSMS yang
mampu megimbangi Tim Juara Belanda.
Pada tahun berikutnya Tim Belanda kembali datang ke Medan untuk mengikuti
tunamen internasional Marah Halim Cup. Kini Tim Belanda yang dipimpin Pelatih
Nasional diperkuat sebanyak 10 pemain profesional, sebab tujuannya untuk
mempertahankan juara yang diraih tahun lalu (Nieuwsblad van het Noorden, 17-04-1981).
Pemain terbaik Marah Halim Cup tahun lalu Rob Krul tidak bisa ikut ketika
dipanggil karena sedang cedera (Limburgsch dagblad, 23-04-1981). Ini
menunjukkan keseriusan KNVB (PSSInya Belanda) di satu sisi dan sisi lain paham
sepak bola Indonesia khususnya di Medan secara historis (sejak era kolonial
Belanda) memiliki potensi besar. Tim Belanda akan dilepas KNVB dan berangkat ke
Medan tanggal 23 April dan kembali tanggal 13 Mei.
Tim Nasional Belanda kembali
bertemu PSMS di grup-A bersama Persija, Thailand dan Singapoera. Tim Nasional
Belanda melakukan pertandingan pertama melawan Persija Jakarta yang berakhir
dengan kemenangan 3-2 (2-1) (Nieuwsblad van het Noorden, 28-04-1981). Pada pertandingan
kedua Tim Belanda mengahkan Thailand 1-0 (Het Parool, 30-04-1981), Pada
pertandingan ketiga, Tim Belanda mengalahkan Singpaoera dengan skor 3-0 (0-0).
Dengan hasil ini Tim Belanda maju ke semifinal (Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 02-05-1981). Pada pertandingan terakhir yang tidak menentukan dalam melawan
PSMS, tetapi bagi PSMS ini sangat berarti 
karena PSMS baru memiliki poin satu saat imbang melawan Thailand. Pertandingan
yang diselengerakan tanggal 4 Mei Tim Belanda berhasil mengalahkan PSMS dengan
skor 4-2. Seperti tahun lalu Tim Belanda di fase grup tidak terkalahkan. Pada
partai semi final Tim Belanda dikalahkan Jepang dengan skor 2-3. Ini seakan
Belanda dikalahkan Jepang di Indonesia di era kolonial Belanda. Namun demikian
Tim Belanda masih mampu meraih tempat ketiga setelah membatai Thailand dengan
skor 4-0. Yang menjadi juara turnamen internasional Marah Halim Cup pada tahun
1981 ini adalah Korea Selatan setelah mengalah Jepang dengan skor 3-2.

Bagaimana dengan pencapaian PSMS di Kejuaraan Antar
Perserikatan selanjutnya? Pada Kejuaraan Antar Perserikatan tahun 1978, PSMS
kembali hadir di partai 8 Besar. Format kometisi dibuat dua grup. Masing-masing
juara dan runner up grup melaju ke partai semi final. Di semi final PSMS
dikalahkan oleh Persija. Lagi-lagi Persija selalu menjadi batu sandungan buat
PSMS. Pada perebutan tempat ketiga PSMS sedikit bernapas karena mampu
mengalahkan PSM. Yang membuat tambah kelegaan bagi PSMS, karena di final
rivalitas Persija mampu dikalahkan Persebaya. PSMS dan Persija hanya beda-beda
tipis: PSMS peringkan ketiga, Persija peringkat kedua (runner up).

Pada Kejuaraan Antar
Perserikatan tahun 1979 rivalitas PSMS dan Persija semakin ketat. Format
kompetisi 5 Besar dengan kompetisi penuh (home and away) tetapi semua
pertandingan diadakan di stadion utama Senayan. Pada pertandingan yang terakhir
tanggal 12 Januari 1979 menyisakan dua pertandingan yakni antara Persija vs
PSMS dan PSM vs Persebaya. Posisi dalam klassemen sementara PSMS berada
diperingkat pertama dengan poin 11 (gol 20-13), sementara Persija 9 (gol 14-8),
sedangkan Persebaya 9 dan PSM 4. Ini artinya antara PSMS dan Persija adalah
pertandingan yang menentukan siapa yang menjadi juara, sebab Persebaya dan PSM
tidak mungkin lagi untuk meraih juara siapa pun yang menang. Jika PSMS imbang
dengan Persija maka PSMS yang menjadi juara, namun jika PSMS kalah maka juara
akan ditentukan selisih gol. Akhirnya pertandingan dimenangkan oleh Persija
dengan skor 1-0. Meski menang tipis dengan hanya 1 gol tetapi menentukan buat
Persija. Akibatnya poin PSMS dan Persija sama-sama 11. Nah, posisi gol Persija
menjadi (15-8) dengan selisih gol 7 dan gol PSMS (20-14) dengan selisih gol 6.
Persija lalu menjadi juara karena hanya beda 1 gol itu. PSMS kalah meradang,
Persija menang histeris. Kejadian ini untuk kali ketiga PSMS vs Persija dalam
posisi genting ketika terjadi pertandingan yang menentukan juara pada Kejuaraan
Antar Perserikatan (1954, 1975 dan 1979 ini).
Pada Kejuaraan Antar Perseikatan tahun 1980 pada partai 6 Besar di
stadion utama Senayan, pertandingan antara PSMS vs Persija pada tanggal 23
Agustus berakhir imbang (1-1). Secara keseluruhan, baik Persija maupun PSMS tak
berdaya. Pada klassemen akhir PSMS berada di posisi ketiga dengan poin 6 dan
Persija di posisi keempat dengan poin 5. Anehnya, di peringkat pertama dan
peringkat kedua justru tim yang selama ini tidak diperhitingkan. Peringkat
pertama Persipura dengan poin 8 dan Persiraja pada peringkat kedua dengan poin
7. Lalu dua peringkat atas ini dipertemukan lagi di partai grand final. Pertandiengan
yang dilangsungkan tanggal 31 Agustus itu Pesiraja mampu mengalahkan Persipura
dengan skor 3-1. Ini berari Persiraja Banda Aceh menjadi juara. Juara baru.
Pada kejuaraan berikutnya tahun
1983 PSMS kembali menjadi juara. Ini untuk kali keempat PSMS menjadi juara
nasional. Ini juga menjadi rekor juara PSMS menyamai rekor PSM dan Persija.
Format pertandingan sebagai berikut: Dibagi dua wilayah (barat dan timur) masing-masing
dengan lima tim. PSMS dan Persib lolos kualifikasi wilayah barat dan Persebaya
dan PSM dari wilayah timur. Empat tim ini kemudian dibuat satu pool (4 Besar).
Pada klassemen akhir pool ini peringkat pertama Persib dengan poin 6 tak
terkalahkan dan peringkat kedua PSMS dengan poin 3 yang mana menang satu kalim
draw sekali dan kalah satu kali. PSMS kalah dari Persib dengan skor 1-2. Meski
demikian kedua tim maju ke babak grand final yang diadakan pada tanggal 10
November 1983 di stadion utama Senayan. Haslinya imbang dengan skor 0-0. Lalu
dilanjutkan dengan adu penalti. PSMS sukses dengan 3 penalti, sedangkan Persib hanya
sukses 2 penalti.
Pada kejuaraan berikutnya tahun 1985 PSMS kembali bertemu Persib pada
partai grand final. Format pertandingan sebagai berikut: seperti kejuaraan
sebelumnya dibagi dua wilayah (barat dan timur) yang masing-masing dengan 6 tim
dalam dua putaran. Dari barat yang lolos Persib, Perseman dan Persib. Dari
wilayah timur lolos Persipura, PSM dan Persebaya. Kemudian dibuat satu pool (6
Besar) dengan satu putaran. Dalam klassemen akhir PSMS berada peringkat pertama
dengan poin 6 dan Persib pada peringkat dua dengan poin 6. Lalu dilanjutkan
pada partai grand final pada tanggal 23 Februari di stadion utama Senayan.
Hasilnya PSMS vs Persib berakhir imbang (2-2). Kemudian dilanjutkan adu
penalti. Dihadapan penonton 150.000 adu penalti in menjadi sangat menegangkan bagi
kedua tim. PSMS hanya sukses dengan dua penalti, sementara Persib hanya sukses
satu penalti. Akibatnya PSMS juara. Juara kembali. Untuk kedua kali Persib
meradang. Tampaknya PSMS lebih berpengalaman karena ini untuk yang kelima kali
juara sedangkan Persib belum sekalipun juara. Rekor juara ini membuat PSMS
mengungguli rekor juara PSM dan Persija.
Rivalitas PSMS telah bergeser
dari Persija menjadi Persib. Dalam kejuaraan tahun 1985 sebelum partai grand
final PSMS vs Persib sudah bertemu tiga kali. Pada putaran pertama wilayah
barat PSMS vs Persib imbang (2-2). Pada putaran kedua juga imbang (0-0). Pada
partai 6 Besar PSMS menang 1-0. Dengan demikian head to head PSMS menang 1 kali
dan draw 2 kali; Persib draw 2 kali dan kalah 1 kali.
Pada kejuaraan berikutnya tahun 1986, rivalitas PSMS dan PSMS semakin
intens. Pada putaran pertama wilayah barat PSMS vs Persib imbang (0-0) dan pada
putaran kedua PSMS kalah 0-1. Pada partai 6 Besar kembali PSMS dan Persib
imbangb (0-0). Namun dalam klassemen akhir Persib pada posisi kedua maju ke
grand final sementara PSMS hanya puas pada peringkat keempat. Pada partai grand
final Persib berhasil mengalahkan Perseman dengan skor 1-0. Persib juara, juara
untuk kali pertama.
Pada kejuaraan-kejuaraan
berikutnya Persib berhasil dua kali juara yakni pada tahun 1990 dan tahun 1994
(kejuaraan yang terakhir di era perserikatan). PSMS hanya sekali tampil di grand
final yakni pada tahun 1992 dan kalah dari PSM.  
Kejuaraan yang dimulai sejak 1951 harus berakhir pada tahun 1994. Hal ini
sesuai dengan paradigma sepakbola perserikatan yang berubah dari bond
(perserikatan) menjadi berbasis klub sebagaimana sebelumnya sudah dimulai pada
liga Galatama (sejak 1978). Pada tahun 1994 semua klub yang ada dan klub yang
baru dibentuk (seperti PSMS) disatukan menjadi satu liga yang disebut Liga
Indonesia dengan beberapa divisi. Namun demikian, romantisme kompetisi
perserikatan menyisakan rekor penonton yang fantastik. Berdasarkan catatan
rekor penonton yang beredar, pada pertandingan final antara PSMS vs Persija
tahun 1975 mencetak rekon penonton fantastik sebanyak 125.000 di stadion utama
Senayan. Rekor penonton ini baru terpecahkan pada final tahun 1985 antara PSMS
vs Persib dengan jumlah penonton 150.000 orang. Super fantastik (terbanyak
didunia). Dari rekor-rekor tersebut tampaknya faktor PSMS menjadi magnit
tersendiri.
PSMS vs Persib (Final Kejuaraan Antar Perserikatan 1985)
Saya
sesungguhnya pernah menjadi suporter PSMS. Saya menjadi suporter PSMS karena
permintaan para suporter Persib Bandung di Bogor. Ini bermula tahun 1985
(ketika saya masih kuliah), saya sebagai warga (KTP) Bogor tentu saya menjadi
suporter Persib ketika tiap kali warga RT/RW saya melakukan nonton bareng
Kejuaraan Antar Perserikatan 1985. Saat bersua Persib dan PSMS saya didaulat
untuk menjadi suporter PSMS (karena di RT tersebut hanya saya yang berasal dari
Sumatra Utara). Padahal saya sebelumnya tidak pernah menjadi suporter PSMS
(karena BTL, tidak pernah ke Medan). 
Atas desakan ketua RT saya terima. Ketika Persib membobol gawang PSMS
saya disuruh diam sementara mereka berjingkrak-jingkrak. Sebalikya jika PSMS
yang menyarangkan gol ke gawang Persib, saya lalu di angkat ramai-ramai ke
udara sambil teriak-teriak hidup PSMS, hidup PSMS. Lalu kemudian, hari ketika
Persib dan PSMS berjumpa lagi di final saya kedatangan empat teman kuliah
sekampung alumni SMA Medan mengajak nonton ke stadion Senayan, tetapi saya
enggan karena saya sudah ada agenda nonton bareng di rumah Pak RT. Akhirnya
saya terus didesak dan mengalah. Sebelum berangkat saya lapor ke Pak RT absen
nonton bareng. Ada kejadian aneh ketika berangkat dari terminal Bogor.
Teman-teman rupanya sudah menyiapkan spanduk. Ketika mau naik dekat pintu tol
Jagorawi, teman-teman saya itu melakukan nego kepada kondektus bis (mungkin
Lorena saya lupa-lupa ingat): ‘Kami hanya mau naik jika spanduk kami
dibentangkan di belakang bis’ demikian permintaan teman saya kepada kondektur
(pembicaraan ini berada di luar bis, sambil bis merangsek dengan jalan pelan-pelan).
Kondektur bis tampak sekali mati langkah, sebab ada lima calon penumpang tetapi
ingin bentangkan spanduk (sementara bis sudah mau memasuki jalan tol). Mungkin
kondektur berpikir daripada bangku belakang kosong, tak apalah. Nego sepakat.
Saya dan dua teman segera naik ke bangku kosong di belakang sementara dua yang
lain masih berada di luar berlari-lari mengikuti lajunya bis sambil mengulurkan
tali spanduk dari luar. Spanduk yang sebelumnya telah disiapkan pemberat (air
dalam plastik di bagian bawah spanduk agar tidak terbang) terpasang di belakang
bis, dua teman itu juga bergegas naik. Tarik!. Bis pun melaju kencang di jalan
tol. Awalnya tenang tenteram, tetapi jelang Sentul mulai ada yang meneriakkin
kata-kata permusuhan dari bis sebelah ke bis kami. Anggapan penumpang bis
sebelah yang saya duga datang dari Bandoeng, Cianjur dan Sukabumi yang notabene
suporter Persib menganggap seisi bis kami adalah semua suporter PSMS (padahal
cuma lima orang toh!). Penumpang bis kami yang berada di bagian depan yang sebagian
besar tampaknya adalah suporter Persib asal Bogor merasa bingung mengapa
bis-bis sebelah yang melewati bis kami selalu teriak-teriak yang tidak terlalu
jelas ngomong apa (karena banyaknya bis yang menuju Jakarta. Cilaka!. Saya
mulai tidak nyaman, tetapi teman saya bilang tenang saja: ‘Tenang saja lae,
penumpang dalam bis ini tidak ada yang tahu apa yang ada di belakang bis, hanya
kondektur yang sempat lihat tadi’. Akhirnya bis kami sampai di terminal
Cililitan (terminal kampung Rambutan belum ada). Alhmadulillah, tidak terjadi
apa-apa di tengah perjalanan sepanjang jalan tol Jagorawi, Di terminal
Cililitan, kami cepat turun dan segera spanduk dilipat kembali, lalu kami naik
ke bis jurusan Blok M dan memilih bis yang tampak dari jauh dipenuhi oleh suporter
PSMS yang datang dari berbagai tempat seperti Bekasi. Setiba di stadion Utama
Senayan (belum bernama SUGBK), wuh sangat luar biasa jumlah penonton. Kami
mengambil tempat di tribun timur bagian atas (tempat suporter PSMS). Menurut
penyiar siaran pandangan mata (RRI) jumlah penonton yang hadir ditaksir 150.000
orang. Fantastik!
Kami memang sengaja membawa radio ketika
menonton itu. Jika tidak salah reporternya adalah Sambas, Abraham Isnan
Simanjuntak dan Samsul Muin Harahap.

Harian Kompas edisi MInggu 24 Februari 1985

Lantas mengapa
suporter PSMS menggema di dalam stadion padahal suporter PSMS tidak banyak dan
hanya terdiri dari tiga sektor di tribun timur bagian atas? Mungkin teorinya
begini
:
Tiga sektor itu berada
persis di tengah tribun timur bagian atas. Di luar tiga sektor itu umumnya
suporter Persib. Ini dapat diamati jika Persib menciptakan gol, seluruh stadion
menggema yang mana tampak suporter Persib berdiri mengangkat tangan kegirangan,
sementara suporter PSMS duduk terdiam. Sebaliknya, saat PSMS menyarangkan bola,
suporter PSMS di tiga sektor atas meloncat sambil berteriak histeris sepuas-puasnya.
Meski suporter relatif sedikt lalu mengapa begitu menggema di seluruh stadion? Hal
ini karena teriakan histeris itu berasal dari bagian atas stadion yang berada
di tengah-tengah stadion (jadi terjadi echo) yang merupakan jarak terdekat ke
posisi ruang hampa di atas lapangan. Jika posisi suporter PSMS dipindah
misalnya ke belakang gawang, teriakan suporter PSMS akan lebih tertelan karena
ada space yang lebih luas. Gema ketika menyanyikan yel-yel A Sing Sing So
menjadi terdengar lebih menggema lagi karena yel-yel itu sendiri nadanya memang
berat apalagi diulang-ulang. Oleh karenanya, posisi dan nada berat yang diulang
menimbulkan efek resonansi berganda (apalagi semakin malam udara semakin
dingin, tekanan udara akan
memantulkan kembali suara ke bumi
). Satu hal lagi yel-yel ini dinyanyikan secara spontan dengan koor yang kompak
(seirama). Itulah mengapa gema suporter PSMS dan gema suporter Persib nilai
desibelnya relatif hampir sama tingginya (meski jumlah suporter berbeda jauh). Padahal
saat itu belum dikenal soporter membawa alat-alat pengeras suara ataupun drum. Praktis
hanya mengandalkan suara nyanyian. Anggaplah itu sebagai dukungan paling efisien. Esok paginya, harian Kompas, tanpa malu-malu mengakui dengan mengutip yel-yel A Sing Sing So sebagai judul headline-nya. Paling tidak hal itu yang saya rasakan saat
itu. Idem dito di bis yang kami tumpangi dari Bogor: dengan hanya lima suporter
PSMS dikira suporter Persib seisi bis kami adalah suporter PSMS.

Kota Medan: Abdul Hakim
Harahap dan Marah Halim Harahap

Kota Medan adalah
ibukota Provinsi Sumatra Utara saat ini. Kota Medan menjadi mentroplitan saat
ini bermula dari suatu area kosong tidak berpenghuni di lokasi seputar Lapangan
Merdeka yang sekarang. Saat itu (1869) ada tiga kampung kecil yang
masing-masing terdiri dari beberapa bangunan rumah. Kampung-kampung kecil itu
bernama Medan Poetri, Kesawan dan Kampong Baroe. Kampong Baroe ini kira-kira di
sekitar Medan Baru yang sekarang. Sedangkan Kampong Medan Poetri berada di sisi
barat sungai Deli (pertemuan sungai Babura). Saat itu, satu-satunya di wilayah
Sumatra Utara yang sekarang yang disebut sebuah kota (town) hanyalah Padang
Sidempoean (bahkan kota terbesar kedua di Sumatra, setelah Padang).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota

Di sisi timur sungai Deli ini
Nienhuys membuka kebun baru pada tahun 1869 dan mulai mendirikan perusahaan
yang disebut Deli Mij. Pada tahun 1863 pemerintah Hindia Belanda menempatkan
seorang Controelur di Laboehan (yang sekaligus ibukota Afdeeling Deli). Pada
tahun 1865 datang Nienhuys dan dua investor membuka kebun tembakau di dekat
Laboehan. Perkebunan Nienhuys kemudian tumbuh pesat hingga tiba waktunya
membuka lahan baru sekitar pertemuan sungai Babura dengan sungai Deli (yang
kini disebut Lapangan Merdeka). Pada tahun 1869 Deli Mij selain membuka lahan
baru juga mambangun kantor, pabrik dan gudang tembakau sebagai pusat semua unit
lahan-lahan kebun tembakau mereka. Dalam perkembangannya Deli Mij membangun
ruma sakit (semacam klinik untuk karyawan) dan juga mendirikan toko (warung)
kebutuhan rumah tangga. Lokasi ini kemudian menjadi sangat strategis karena
lokasi ini menjadi persimpangan ke lahan-lahan lain yang baru dibuka ke arah
barat di Timbangan (Binjai), ke arah timur (Serdang) dan ke arah selatan di
Deli Toea. Para planter-planter baru kerap beristirahat sebelum menuju lokasi
mereka di Deli Mij setelah melakukan perjalanan jauh (dengan kuda) dari
Laboehan. Deli Mij juga membangun mes (semacam pesanggrahan) bagi
planter-planter lain yang sedang transit. Lambat laun sekitar Deli Mij menjadi
semacam perkampungan yang ramai. Perkampungan baru ini menggunakan nama Medan
Poetri yang mengacu pada kampung penduduk asli di seberang sungai. Lambat-laun
nama Medan Poetri mengalami reduksi sehingga hanya disebut Medan saja.

Pada tahun 1875 pemerintah membagi Afdeeling Deli ke dalam dua
onderafdeeling, yakni Onderafdeeling Laboehan dan onderafdeeling Medan. Di
Medan (dekat Deli Mij) ditempat seorang Controleur, sementara status Controleur
di Laboehan ditingkatkan menjadi Asisten Residen Deli. Rumah/kantor Controleur
Medan ini berada di sekitar Jalan Sukamulia yang sekarang (suatu area kosong
antara lahan Deli Mij dengan Kampong Kesawan). Pada tahun 1879 ibukota
Afdeeling dipindahkan dari Laboehan ke Medan yang mana Asisten Residen di Medan
dan di Laboehan ditempatkan seorang Controleur (tukar guling). Sejak inilah
pertumbuhan dan perkembangan Kota Medan menjadi sangat cepat. Pada tahun 1885
ibukota Residentie Oostkust Sumatra di Bengkalis dipindahkan ke Medan. Seiring dengan perpindahan
ini, Bengkalis dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Riaouw dan status
Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen. Juga terjadi perubahan
Controleur di Tandjong Poera (Langkat) dinaikkan statusnya menjadi Asisten Residen
dan di Timbang (Bindjai) ditempatkan seorang Controleur. Di Tandjoeng Balai
tetap seorang Asisten Residen (sudah ada sejak era Bengkalis)
. Pejabat-pejabat pribumi di Bengkalis juga turut dipindahkan ke Medan (Bengkalis dan Padang Sidempoean relatif berdekatan via Pasir Pangaraian di Rokan). Sekali lagi: Ini
berarti Bengkalis (Riaouw) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota wilayah Oostkust
Sumatra yang baru di Medan; idem dito, sebelumnya tahun 1905 Padang (Wsrt
Sumatra) ditinggalkan dengan menetapkan ibukota Tapanoeli di Sibolga. Kelak,
Residentie Oostkust Sumatra dan Residentie Tapanoeli dibentuk menjadi Provinsi
Sumatra Utara (seperti yang sekarang ini).
Seorang anak muda kelahiran Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola)
bernama Mohamad Yacoub datang dari Tapanoeli (Padang Sidempoean) merantau ke
Laboehan melalui kapal via Singkel dan Kota Radja (kini Banda Aceh). Oleh
karena bisa baca tulis dan berhitung (tamat sekolah dasar) lalu mendapat
pekerjaan sebagai krani (juru tulis) di Kesultanan Serdang di Rantau Pandjang. Anak-anak
muda yang berpendidikan terus mengalir dari Padang Sidempoean ke Medan dan
sekitarnya untuk bekerja sebagai krani di perkebunan-perkebuan yang semakin
banyak. Setelah beberapa tahun di Rantau Pandjang Mohamad Yacoub pindah ke
Medan (yang sudah menjadi kota kecil) karena mendapat pekerjaan ketika
Hattenbach membuka toko serba ada. Boleh dikata Mohamad Yacoub adalah orang
Padang Sidempoean pertama di (kota Medan) sementara teman-temannya yang lain di
pelosok-pelosok di tengah rimba di dalam perkebunan-perkebunan yang baru. Saat
itu di Deli belum ada sekolah. Sementara di Mandailing Angkola sudah terdapat
12 sekolah (dari 15 sekolah di Tapanoeli) yang mana empat diantaranya di Kota
Padang Sidempoean plus sekolah Eropa (ELS) dan sekolah guru (Kweekschool). Dalam
perkembanganya, seorang Djaksa di Sipirok tahun 1885 (Angkola) bernama Soetan
Goenoeng Toea dipindahkan ke Medan (sebagai Djaksa pertama di Medan). Soetan
Goenoeng Toea kelak dikenal sebagai kakek dari Amir Sjarifoeddin Harahap
(Perdana Menteri RI kedua).

   

Pada tahun 1903 seorang pengusaha media (dan pemilik percetakan) di
Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust), Dja Endar Moeda membuka
percetakan di Medan. Pada tahun 1905 muncul dua klub pribumi setelah sebelumnya
didirikan klub Medan Sportclub (1900) dan Langkat Sportcalub (klub orang-orang
Inggris di Langkat yang berbasi di Timbang) tahun 1903. Klub pribumi itu adalah
Tongkoe di Bindjai dan Letterzetter di Medan. Klub Letterzetter (LZ Club) ini
merupakan klub karyawan percetakan Dja Endar Moeda dan orang-orang Mandailing
en Angkola lainnya yang berdomisili di Kota Medan.
Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola)

Pada tahun 1905 (saat
gentingnya Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaradja XII dan Perang
Atjeh kedua) Residenti Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Konsekuensi
status Gubernur Sumtra’s Westkust diturunkan menjadi Residen. Pada saat inilah
migrasi orang-orang Mandailing dan Angkola mengalir deras k Medan. Tujuan
rantau bergeser dari Padang ke Medan. Investasi pengusaha-pengusaha orang-orang
Mandailing dan Angkola di Padang dan Sibolga sebagian direlokasi ke Kota Medan
(yang tengah berkembang pesat). Jalur migrasi tidak melalui laut lagi tetapi
melalui darat menuju Rantau Prapat dan kemudian dilanjutkan dengan moda
transportasi kereta api ke Medan.

De locomotief, 21-08-1902

Pada tahun 1907 didirikan organisasi sosial Sjarikat Tapanoeli untuk
mengimbangi kekuatan orang-orang Tionghoa (di bidang bisnis). Organisasi ini dipelopori
dan dipimpin oleh Dja Endar Moeda (Haji Saleh Harahap) dan Mohamad Yacoub gelar
Soetan Kinajan (setelah pulang dari Mekkah menjadi Sjech Ibrahim). Sebelumnya,
Dja Endar Moeda telah mendirikan organisasi sosial pertama di Padang yang
diberi nama Medan Perdamaian ((lihat Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 20-02-1900). Pada tahun ini juga dibentuk NV Sjarikat
Tapanoeli dan Tapanoeli Voetbalclub (suksesi Letterzetter VC). Organisasi
sosial Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli yang digagas oleh
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda sudah ada jauh sebelum didirikannya
organisasi sosial Boedi Oetomo. Organisasi sosial Medan Perdamaian telah
membantu pendidikan di Semaramg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 21-08-1902). Bahkan disebut Boedi Oetomo adalah copy paste
format Medan Perdamaian (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).

Pada tahun 1907 Tapanoeli VC (bersama
Voortwaarts, klub orang Belanda) mempelopori didirikannya perserikatan
sepakbola yang disebut Deli Voetbalbond (DVB) di Medan dan melakukan kompetisi
dalam dua divisi. Pada tahun 1909 (Medan menjadi Gemeente) Docter Djawa Voetbal
Club yang berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond (BVB) saat jeda kompetisi
datang ke Medan untuk bertandingan melawan Tapanoeli VC. Klub Docter Djawa VC
(klub mahasiswa kedokteran STOVIA) ini dipimpin oleh Kapten Tim Radjamin
Nasution.  
De Sumatra post, 30-12-1909

Pada tahun 1909 NV Sjarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar Pewarta Deli
yang mana sebagai ketua editor Dja Endar Moeda dan wakil editor Kamaroedin
(anak Dja Endar Moeda) (lihat De Sumatra post, 30-12-1909). Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda alumni Kwekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Dja Endar Moeda
sebelumnya telah memiliki surat kabar Pertja Barat di Padang (1899),
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli di Sibolga (1900) dan
menerbitkan majalah Insulinde di Padang (1901) dan surat kabar berbahasa
Belanda di Padang, Sumatra Nieuwsblad (1904) dan surat kabar Pembrita Atjeh di
Kota Radja (1907).

Pada tahun 1909 Kota Medan
ditingkatkan statusnya menjadi Kota Praja (Geemeente). Gemeente Medan terdiri
dari dua wijk (keluarahan). Satu kelurahan di area orang-orang Eropa/Belanda
dipimpin oleh orang Belanda sedangka satu kelurahan lain dipimpin oleh Sjech
Ibrahim alias Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan. Sjeh Ibrahim adalah
kamponghoofd pertama di Kota Medan.
Pada tahun 1915 status Residentie Oostkust Sumatra ditingkatkan menjadi
Province (dipimpin oleh seorang Gubernur). Pada tahun 1915 inilah perserikatan
sepakbola Oost Sumatra (OSVB) dibentuk (dan DVB melebur ke OSVB). Lalu pada
tahun 1918 Wali Kota (Burgemeester) Gemeente Medan diangkat (Daniel Mackay).
Sejak 1909 Gemeente Medan (dengan dua kelurahan) masih dipimpin langsung oleh Asisten
Residen Medan dan baru tahun 1918 ini dialihkan kepada seorang Wali Kota
(baru).
Pada tahun 1918 anggota dewan
kota (gemeenteraad) Medan dipilih melalui pemilihan umum. Sejak 1909 anggota
dewan kota yang dipimpin oleh Asisten Residen prosesnya hanya ditunjuk oleh
pemerintah. Para anggota dewan adalah para pengusaha pertanian (planter),
direktur perusahan lainnya, kapitein/major der Chinees, para pangeran dari Kesultanan.
Sejak 1981 (bersamaan dengan pengakatan Burgemeester) penentuan  anggota dewan dengan cara demokratis melalui
pemilihan. Para pemilih dibagi ke dalam kelompok Eropa, pribumi dan timur
asing. Untuk pemilih orang Eropa adalah syaratnya dewasa (17 tahun), tetapi
untuk orang pribumi dan timur asing mensyaratkan calon pemilih didasarkan pada
kriteria tingkat pendapatan tertentu. Jadi, tidak semua penduduk dewasa orang
pribumi dan timur asing sebagai pemilih. Pribumi pertama yang terpilih di
Medan, untuk menjadi anggota gemeenteraad adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng, seorang mantan guru dan kini menjadi penilik sekolah di Oostkust
Sumatra yang berkantor di Medan.
Anggota dewan Kota Medan berikutnya yang berasal dari Padang Sidempuan
dan cukup terkenal antara lain: Abdullah Lubis (Direktur Perwata Deli), penerus
Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Lalu kemudian pada periode berikutnya
berlanjut kepada Abdul Hakim Harahap, GB Josua Batubara dan Dr. Gindo Siregar.
Abdul Hakim Harahap, pejabat keuangan di Kantor Bea dan Cukai Medan/Belawan
terpilih tahun 1930 (tiga periode hingga 1938). Abdul Hakim Harahap yang lahir
di Sarolangoen Djambie tahun 1905 berarti masih bermur 25 tahun untuk menjadi
anggota dewan kota. Pada tahun 1935 Abdul Hakim Harahap mendirikan klub Sahata
yang juga bertindak sebagai pemain. Pada tahun 1938 pimpinan klub Sahata
diteruskan oleh GB Joshua Batubara (pemilik Joshua Instituut) dan juga menjadi
anggota dewan kota. Sebelumnya, pada tahun 1924 untuk kali pertama (pulau)
Sumatra dibagi ke dalam empat dapil: Province Oostkust Sumatra,  Noord Sumatra Residentie Tapanoeli West
Sumatra dan Zuid Sumatra diberi jatah untuk masing-masing satu wakil ke dewan
pusat (Volksraad) di Batavia. Anggota Volksraad yang terpilih dari dapil Noerd
Sumatra Tapanoeli adalah Dr. Alimoesa Harahap dan dari Oostkust Sumatra
Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon. Untuk periode berikutnya
dari Nord Sumatra terpilih Dr. Abdul Rasjid Siregar dan dari Oost Sumatra
kembali terpilih Mangaradja Soangkoepon.  Untuk periode selanjutnya hingga berakhirnya
era kolonial Belanda kedua anggota Volksraad ini tidak terkalahkan. Dengan
demikian selama empat periode Mangaradja Soangkoepon mewakili Provinsi
Ooostkust Sumatra di Volksraad (menjadi anggota dewan seumur hidup dari Sumatra
Timur); sedangkan Dr. Abdul Rasjid Siregar anggota Volksraad selama tiga
periode. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (kelahiran Padang
Sidempoean) adalah abang kandung dari Dr. Abdul Rasjid Siregar (kelahiran
Padang Sidempoean).
Nama Noord Sumatra muncul kali
pertama saat pemilihan Volksraad tahun 1924. Wilayah Noord Sumatra dalam hal
ini meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Dengan demikian (pulau)
Sumatra terdiri dari empat pemilihan: Oost, Noord, West dan Zuid. Lalu
kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945), pada tanggal 22
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang mana
ditunjuk tiga orang anggota untuk memimpin Sumatra: Mr T Mohammad Hasan sebagai
Gubernur dan Dr. Amir sebagai Wakil Gubernur yang bertugas untuk menyusun
pemerintahan serta Mr. Abdul Abbas Siregar untuk membentuk Komite Nasional
Indonesia (KN) dan Dewan Daerah. Setelah PPKI menetapkan ibukota Provinsi
Sumatra di Medan ketiga tokoh ini berangkat ke Sumatra. Pada tanggal 29 Agustus
1945 Gubernur dan Wakil Gubernur tiba di Kota Medan. Namun sebelum mereka tiba
di Medan sudah lebih dahulu tiba pasukan peninjau sekutu. Kelambanan inisiatif
untuk bergerak Mr T Mohammad Hasan dan Dr. Amir di Medan menjadi awal perkara.
Proklamasi kemerdekaaan RI baru diumumkan keduanya ke publik baru terjadi pada
tanggal 30 September 1945. Sementara di Residentie Tapanoeli berita
kemerdekaaan Indonesia sudah sejak lama beredar luas. Pada tanggal 3 Oktober
1945 Provinsi Sumatra dibagi ke dalam 10 keresidenan: Tapanoeli, Atjeh; Sumatera
Timur, Sumatera Barat. Untuk Residen Sumatra Timur diangkat M. Yusuf (kemudian
digantikan oleh Mr. Luat Siregar), sementara Residen Tapanoeli diangkat Dr. FL
Tobing (kemudian digantikan oleh Abdul Hakim Harahap), sedangkan Mr. Abdul
Abbas Siregar (Anggota PPKI), anak Medan diangkat menjadi Residen Lampoeng
(kemudian digantikan oleh Mr. Gele Haroen Nasution). Sejumlah penasehat
gubernur diangkat antara lain Mangaradja Soangkupon dan Dr. Pirngadi. Sementara
untuk wali kota angkat empat orang: Hasan juga mengangkat empat Wali Kota untuk
empat kota madya di Sumatera yaitu;  Mr.
Luat Siregar di Medan, Dr. Abdul Hakim Nasution di Padang, Barnawi di Bukit
Tinggi dan Ibrahim di Palembang. Di Residentie Sumatra Timur diangkat ketua KNI
yakni Dr. Djabangoen Harahap. Dalam perkembangannya, ekskalasi politik yang
meningkat di Medan dan Sumatra Timur sehubungan dengan semakin menguatnya
sekutu/Belanda, ibukota Provinsi Sumatra dipindahkan ke Pematang Siantar.
Setelah agresi militer Belanda pertama (1947) ibukota dipindahkan ke Bukitinggi.
Sejak itu Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi (Sumatera Tengah, Sumatera
Utara, dan Sumatera Selatan) yang dipimpin oleh residen. Residen Sumatra Utara
adalah Mr. SM Amin Nasution dan Residen Sumatra Tengah Mr. Masdoelhak Nasution
Ph.D. Namun tidak lama kemudian Masdoelhak ditarik ke Djogjakarta sebagai
penasehat hukum Soekarno dan M. Hatta. Pada serangan agresi militer Belanda tanggal
19 Desember 1948 ke Djogjakarta Masdoelhak Nasution diculik militer Belanda dan
lalu dibunuh, sementara Soekarno dan M. Hatta ditahan dan diasingkan.
Pembunuhan terhadap Masdoelhak Nasution, intelektual muda Indonesia membuat PBB
marah dan meminta Den Haag untuk melakukan penyelidikan.
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggak 27 Desember
1949, pemerintahan mulai dibentuk sebagai hasil perjanjian KMB. Presiden
Soekarno membentuk kabinet RIS (federal) yang dipimpin oleh M. Hatta, tetapi di
Djogjakarta dibentuk kabinet tandingan (Republik) yang mana sebagai Wakil
Perdana Menteri adalah Abdul Hakim Harahap. Dalam fase dualisme pemerintahan
inilah muncul Kongres Rakyat di Medan dan kemudian terbentuk NKRI (NST
dibubarkan). Dalam proses reorganisasi pemerintah di Medan dibentuk Provinsi Sumatra Utara (Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Nama Sumatra Utara sendiri sudah muncul sejak 1924 yang meliputi Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Sejak Atjeh dibentuk menjadi provinsi pasca pemberontakan Atjeh maka Sumatra Utara hanya tinggal Tapanuli dan Sumatra Timur. Hanya tinggal Tapanuli sebagai ahli waris nama Sumatra Utara.
Sebagaimana di deskripsikan
sebelumnya, Abdul Hakim Harahap pada tahun 1951 diangkat menjadi Gubernur
pertama Provinsi Sumatra Utara (pasca pengakuan kedaultan RI oleh Belanda).
Sebelumnya pada tahun 1950, GB Joshua Bataubara, Wakil Ketua Front Nasional
Medan (Ketua adalah Dr. Djabangoen Harahap) menjadi Ketua Panitia Perayaan Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk kali pertama di Medan dan untuk kali
pertama di Medan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada Perayaan Hari Proklamasi
Kemerdekaan tahun 1951 Ketua Panitia adalah Gubernur Suimatra Utara Abdul Hakim
Harahap.   
Tiga tokoh utama sepakbola Medan (antar generasi)

Secara historis, sejatinya ada empat tokoh penting yang juga gibol di
Medan yang memberi kontribusi sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan
sepak bola (pribumi) di Medan. Empat tokoh penting beda generasi tersebut adalah
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Abdul Hakim Harahap dan GB Joshua
Batubara serta Marah Halim Harahap. Keempatnya kebetulan sama-sama berasal dari
Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda dapat dikategorikan sebagai perintis karena
mendirikan klub pribumi pertama di Medan (Letterzetter VC 1903 yang kemudian
menjadi Tapanoeli VC 1907). Abdul Hakim Harahap dapat dikategorikan sebagai
penggalang dengan mendirikan klub Sahata 1935 (dan penggagas pembangunan stadion Teladan, 1952). GB Joshua Batubara dapat
dikategorikan sebagai pendobrak, atas nama klub Sahata melakukan protes
terhadap pengurus OSVB yang menyebabkan klub-klub pribumi (Sahata, UVV dan MSV)
keluar dari OSVB dan membentuk perserikatan sepak bola pribumi (PERSEDELI)
tahun 1941. Selanjutna tokoh berdirinya PSMS (yang baru) pada tanggal 21 April 1950 adalah GB
Joshua Batubara (sebagai Wakil Ketua Front Nasional Medan dan pimpinan klub
Sahata). Marah Halim Harahap (Gubernur
Sumatra Utara sejak 1967) dapat dikategorikan sebagai penegak dengan
membesarkan PSMS melalui penyelenggaraan turnamen sepakbola Marah Halim Cup
(1972-1995)
.

Setelah 10 tahun menjabat
gubernur, akhirnya Marah Halim Harahap lengser keprabon pada tahun 1978.
Seperti apa figur tokoh sepak bola Medan ini saya dapat memahami. Ketika saya
masih mahasiswa, pada tahun 1985 saya pernah bertemu Marah Halim Harahap di
kediamannya di Jakarta. Marah Halim Harahap berumur panjang. Marah Halim
Harahap meninggal dunia dalam usia 94 tahun. Meninggal pada hari Kamis, 3
Desember 2015 pukul 06.00 WIB di rumah sakit Permata Bunda, Medan. Dimakamkan
pada hari yang sama di Taman Makam Pahlawan, Medan.

Hari
Lahir
PSMS Sebenarnya: 7 Juli
1907 (07-07-07)

Pada tanggal 19 Maret 1950 diadakan rapat umum untuk menentukan penyelenggaraan
Kongres Rakyat di Medan. Perlunya Kongres Rakyat diprakarsai oleh Front
Nasional Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-03-1950). Front Nasional adalah
gerakan di depan oleh pejuang Republik Indonesia (Republiken) untuk mendukung
NKRI. Front Nasional tidak hanya di Medan tetapi juga ada di Soerabaja. Ketua Front
Nasional Medan adalah Dr. Djabangoen Harahap dan Wakil Ketua Mr. GB Joshua
Batubara. Untuk penyelenggaraan Kongres Rakyat yang akan diadakan di Medan dibentuk
panitia yang mana sebagai Ketua Panitia adalah Mohammad Said (Pemimpin Harian
Waspada). Kongres Rakyat akan diadakan beberapa hari yang akan dimulai pada tanggal
27 April 1950.
Untuk menyemarakkan kegiatan Kongres
Rakyat akan diadakan turnamen sepakbola yang diikuti oleh empat klub. Hasil
penjualan tiket dari turnamen sepak bola tersebut akan disumbangkan untuk
Kongres Rakyat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-04-1950). Hasil pertandingan
hari pertama (14-03-1950) klub Sahata vs Deli Mij yang dimenangkan klub Sahata
dengan skor 4-2. Pada hari kedua bertemu klub Medan Poetra vs Black and White
dengan kedudukan 6-0. Klub Sahata menjadi juara turnamen pada tanggal 16 April
(Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-04-1950). Pimpinan klub Sahata adalah GB
Joshua Batubara dan Manajer Tim klub Sahata adalah Kamaroeddin Panggabean
(mertua Djadjang Nurdjaman, Pelatih PSMS yang sekarang).
Muncul reaksi dari pihak Negara Sumatra Timur (NST) dengan membuat
kongres tandingan yang disebut Permusjawaratan Rakjat (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 19-04-1950). Di Djakarta, RIS yang dipimpin oleh M. Hatta coba
mempengaruhi Kongres Rakyat (paling tidak menunda dulu). Lalu Djakarta (RIS)
menawarkan konferensi vierhoeks-conferentie (empat pihak) pada tanggal 25 April
di Djakarta (Algemeen Handelsblad, 20-04-1950). Dr Mansoer (Wali NST) tengah
berada di Djakarta menentang keras upaya RI melikuidasi NST. Letak keberatan
utama Dr. Mansoer adalah bukan soal kesatuannya tetapi lebih pada dominasi
Djokja (ibukota RI).
Saat itu terdapat dualisme
pemerintahan di Indonesia: Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Republik
Indonesia (RI). Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dibentuk RIS pada
tanggal 20 Desember 1949 di Djakarta yang dipimpin oleh M. Hatta (sebagai
Perdana Menteri). Pada tanggal yang sama dibentuk kabinet RI di Djokjakarta.
Pada saat kisruh RI vs RIS di NST yang menjadi Perdana Menteri RI di
Djokjakarta adalah Abdul Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim Harahap. Delegasi
RI ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Abdul Hakim Harahap, Residen
Tapanoeli yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis)
bertindak sebagai penasehat ekonomi RI (ketua delegasi adalah M. Hatta).
Sepulang dari KMB tampaknya antara Abdul Hakim Harahap dan M. Hatta memiliki
cara pandang yang berbeda tentang Indonesia. M. Hatta melihat Indonesia sebagai
RIS (negara-negara federal) sedangkan Abdul Hakim Harahap melihat Indonesia
sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Abdul Hakim Harahap semasa
muda di Medan adalah pendiri klub Sahata yang juga pemain inti.
Pada tanggal 23 April 1950 Ketua Panitia Kongres Rakyat, Mohammad Said
pulang dari Djakarta yang mana kemudian M. Hatta menarik keberatannya atas
penyelenggaraan Kongres Rakyat. Sebab, para Republiken di Medan tetap teguh
pada tanggal Kongres Rakyat 27 April  (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 24-04-1950). Keraguan M. Hatta tentang Kongres Rakayat
tidak begitu jelas, tetapi Komandan APRI di Sumatra Utara, Kolonel M Simbolon
menjamin Kongres Rakyat akan aman (Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-04-1950). Lalu di Medan, agenda
Kongres Rakyat diumumkan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950). Isi
pengumuman itu antara lain waktu kongres dari tanggal 27 sampai 30 April
(Kamis-Minggu). Pada saat jelang hari Kongres Rakyat, Tim Sepakbola Medan
berangkat ke Djakarta.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950:
‘Tim Perserikatan sepak bola Medan (Bondsteam) berangkat ke Jakarta. Dengan penerbangan
GIA pagi ini, para pemain dan offisial tim sepak bola Medan, yang akan ambil
bagian dalam Kejuaraan Antar Kota 1950 di Jawa, meninggalkan bandara Medan yang
dilepas oleh sejumlah pegiat olahraga. Seperti yang Anda tahu, Medan akan
memainkan tiga pertandingan pertamanya di turnamen ini pada akhir minggu
mendatang’.
Keberangkatan tim sepak bola Medan ke Djakarta dalam rangka Kejuaraan
Antar Kota 1950 yang diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS (suksesi NIVU). Federasi
NIVU diaktifkan kembali tanggal 29 Desember 1946 di Batavia, lalu
menyelenggarakan kejuaraan pada tahun 1947 dan 1948. Jelang berakhirnya
kejuaraan tahun 1948 pada bulan Oktober NIVU diubah menjadi VUVSI/ISNIS.
Pada kejuaraan tahun 1949 Tim Medan diundang tetapi mengundurkan diri dan
baru pada kejuaraan tahun 1950 Tim Medan bisa hadir. Tim Medan (VBMO/PSMS) akan
memulai pertandingan di Djakarta pada tanggal 29 April 1950 melawan Tim Bandoeng.
Sementara Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan oleh PSSI di Semarang
baru terjadi pada tanggal 2,3 dan 4 September 1950. Bersamaan dengan kejuaraan
ini diselenggarakan Kongres PSSI pertama (setelah perang kemerdekaan). Pada
tanggal 2 September diproklamirkan PSSI yang baru (PSSI diaktifkan kembali).
Sementara tim yang bertanding hanya diwakili oleh juara dari empat wilayah yakni
PSIS (Jawa Tengah), Persebaya (Jawa Timur), Persidja dan Persib (Jawa Barat).
Juara adalah Persebaya. PSMS tidak hadir karena tidak siap, tetapi ada dua
pemain PSMS yang dipinjam oleh Persidja yakni Agus Ramlan dan Abidin. Uniknya
salah satu pemain (Chaeruddin Siregar) yang dikirim VBMO/PSMS pada Kejuaraan
Antar Kota VUVSI/ISNIS pada bulan April 1950 tidak kembali ke Medan dan menetap
di Djakarta dan kemudian bergabung dengan Persidja. Sehingga dengan demikian,
dalam Tim Persidja di Semarang terdapat tiga pemain asal Medan.
Tim Medan (VBMO/PSMS) yang berangkat ke Djakarta adalah sebagai berikut: Oesmansjah, [Remus] Tobing, Gus Ramlan, Cornel [Simanjuntak], Rais, Chairuddin
[Siregar], Sunarjo, T. Dzat, Ramli, Foeng Min, Kliwon, Sarpi, T. Effendi,
Rikimah, Firdaus en Mahrum (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-04-1950).
Disebutkan para pemain Tim Medan ini akan diantar oleh Madja Purba (voorzitter
der VBMO-PSMS), Soeleiman Siregar (Bondssecretaris), T. Harris Hafas
(bestuurslid), Mochtar Siregar en Panangaran Siregar (leden van de keuzecommissie). Tim
Medans akan menghadapi Bandung pada tanggal 29 April,  30 April melawan Jakarta dan kemudian pada
tanggal 1 Mei melawan Semarang.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-04-1950
menyebutkan terlah terjadi perubahan, Firdaus digantikan oleh Pesch (orang
Belanda) dan Rikimahu juga digantikan oleh Dangas. Untuk Tim Manajer ditunjuk
Soeleiman Siregar. Sebagai pemimpin delegasi ini, Bondsvoorzitter, Madja Purba akan
menghadiri pertemuan tahunan VUVSI/ISNIS  yang diadakan setiap tahun setelah usai
Kejuaraan Antar Kota.
Soeleiman Siregar, T.
Harris Hafas, Mochtar Siregar dan Panangaran Siregar adalah orang-orang yang
terlibat sepak bola sejak lama. Soeleiman Siregar pemain MSV (Sumatra post,
03-08-1934) dan juga pegawai kantor inspectiekantoor van Financiën, te Medan
(Bataviaasch nieuwsblad, 04-04-1941); Mochtar Siregar adalah mantan pemain UKVC
dan Deli Mij sebelum pendudukan Jepang, Sementara Panangaran Siregar adalah
pemain PSV Medan ketika masih di bangku sekolah MULO di Medan (De Sumatra post,
12-05-1932) dan pemain klub Unie Tebingtinggi bersama Mochtar Siregar (De
Sumatra post, 18-11-1933). Panangaran Siregar juga adakalanya menjadi wasit (De
Sumatra post, 09-04-1936), dan pemain Sahata bersama Kamaroeddin Panggabean (De
Sumatra post, 04-07-1938). Selanjutnya Panangaran Siregar kerap menjadi wasit
pertandingan. T. Harris Hafas adalah abang dari T Razali Hafas yang mana Razali
Hafas adalah pemain Medan Poetra yang didirikan pertengahan tahun 1947.  Razali Hafas memulai karir sepak bola di Medan
tahun 1939 bermain di Medanse Sport Vereeniging (MSV). Pada tanggal 20 Oktober
1949 Razali Hafas berangkat ke Belanda. Ayah mereka T Hafas, Direktur Kabinet
NST Dr Mansoer, pada era kolonial Belanda adalah pemain MSV. Panangaran Siregar
cetak gol (De Sumatra post, 04-07-1938).
Para offisial VBMO/PSMS yang berangkat ke Djakarta adalah Madja Poerba (Ketua
VBMO/PSMS), Soeleiman Siregar (Sekretaris VBMO/PSMS), T. Harris Haf (Ketua
Komisi VBMO/PSMS), Mochtar Siregar dan Panangaran Siregar (anggota Komisi VBMO/PSMS).
Mereka ini adalah pengurus VBMO/PSMS yang berangkat dari Medan tanggal 26 April
1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-04-1950).
Kembali ke pertanyaan
awal. Mengapa kelahiran PSMS disebut tanggal 21 April 1950. Faktanya bahwa
VBMO/PSMS masih eksis dan tengah mengikuti Kejuaraan Antar Kota yang
diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS. Tim yang mewakili Djakarta adalah Tim VBO dan
Tim Soerabaja adalah Tim SVB/PSS. Dengan kata lain saat ini bukan Persidja yang
mewakili Djakarta demikian juga bukan Persebaya yang mewakili Soerabaja. Tentu
saja, Tim Medan tidak diwakili oleh PSMS melainkan VBMO/PSMS. Para pengurus
VBMO/PSMS adalah para tokoh federalis (NST): Madja Purba, anggota delegasi NST
dalam proses integrasi ke NKRI; T Harris Hafas, anak dari T Hafas Direktur
Kabinet Wali Negara Dr. Mansoer; Soeleiman Siregar, alumni STOVIA, pemain sepak
bola di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1949); dan Panangaran
Siregar, Kepala Departemen Tenaga Kerja Departemen Urusan Sosial Departemen NST
(Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-08-1950) yang kemudian menjadi pejabat di
Kementerian Tenaga Kerja RI (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 03-10-1951); serta Mochtar Siregar, pegawai swasta di
Medan, mantan pemain sepak bola di Medan.

Kongres Rakyat di Medan yang dimulai tanggal 27
April diikuti oleh 417 Anggota Kongres dan dihadiri sebanyak 225 pengamat (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 28-04-1950). Hasil Keputusan adalah bahwa NST harus
dilikuidasi (dibubarkan) dan RI membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Keputusan Kongres Rakyat di Medan berbeda dengan Hatta. Keputusan lain,
RIS harus mengakui Kongres Rakjat sebagai parlemen demokratis, yang dapat
dianggap mewakili 1,5 juta penduduk Sumatra Timur. Dengan suara bulat meminta NST
dibubarkan karena NST adalah warisan dari van Mook. Kemudian lima orang panitia
ditunjuk yang masing-masing sebuah komisi (politik, ekonomi, budaya, agama dan
sosial). Panitia ini akan mempelajari saran dari Kongres Rakyat secara lebih
rinci dan melaporkan berbagai aspek masalah ini. Masing-masing ketua komisi
mewakili dan terwakili semua kelompok politik, yakni GB Joshua Batubara, M.
Jusuf, Jusuf Adjitorop, Hadji Rahman Shihab dan H. Silitonga. Lalu dalam
perkembangannya jumlah komisi ditambah yakni dari golongan progresif  Dr. Gindo Siregar dan golongan Karo. Dalam
hubungan keterwakilan ini, Asosiasi Belanda adalah bahwa mereka tidak ingin
ikut campur dalam politik domestik negeri ini. Sementara kelompok Tionghoa
menerima undangan tersebut dan mengirim tiga perwakilan. Sedangkan kelompok
India belum ada jawaban yang diterima. Di lain pihak, dari Permusjawaratan
Rakyat dilaporkan hanya dua wilayah yang tidak mengakui Hasil Kongres Rakyat
yakni satu wilayah yang memiliki penduduk sebanyak 4.200 orang dan satu wilayah
lagi yang berpenduduk 1.200 orang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1950).

Hasil dari Kejuaraan Antar Kota
VUVSI/ISNIS 1950, di Djakarta pada tanggal 29 April Tim Medan mengalahkan Tim
Bandung dengan skor 3-0. Hari berikutnya Tim Medan dikalahkan oleh Tim Djakarta
dengan sekor 0-2 dan pada hari ketiga (1 Mei) Tim Medan imbang dengan Tim
Semarang (2-2) (lihat Het nieuwsblad
voor Sumatra, 02-05-1950)
. Pada putaran terakhir yang diselenggarakan di Bandung tanggal
25 Mei Tim Medan mengalahkan Tim Makassar dengan skor 2-1. Dua nari
berikutntnya Tim Medan dikalahkan Tim Surabaya dengan skor 0-1 dan pertandingan
berikutnya tanggal 29 Mei Tim Medan dikalahkan oleh Tim Malang dengan skor 1-3.
Dalam klassemen akhir Tim Medan hanya berada di posisi kelima (juara adalah Tim
Soerabaja).
Setelah pusat (Djakarta) menyetujui hasil Kongres Rakyat di Medan, maka dalam
proses likuidasi NST tersebut dan dalam proses menjadi NKRI di Sumatra Timur masing-masing
diwakili oleh tim perwakilan. Salah satu dari pihak RI adalah GB Joshua
Batubara dan Madja Purba sebagai salah satu dari pihak NST. GB Joshua Batubara
adalah pemilik Perguruan Joshua, pimpinan klub Sahata dan Wakil Ketua
Front Nasional Medan. Sedangkan Madja Purba adalah Ketua Pengurus VBMO/PSMS (sejak 27
Januari 1950).  
Sementara itu, apakah
PSMS yang berafiliasi dengan PSSI sudah ada? Tidak diketahui secara jelas.
Namun
demikian, Tim PORI-Sepakbola Djakarta (yang kemudian berubah menjadi Persidja)
datang melawat ke Medan di bawah koordinasi Panitia Pembangunan Djokja [ibukora
RI] di lapangan Medan Poetra di Djalan Radja (Het nieuwsblad voor Sumatra,
15-11-1949). Dijadwalkan tanggal 22 November tim kombinasi Sahata/Deli Mij  vs PORI, 23 Novvember antara Medan Poetra vs
PORI dan 26 November antara Tim Perserikatan Indonesia (Indonesisch Bondselftal)
vs PORI. Dalam hal ini dapat ditambahkan bahwa PORI Djakarta memiliki divisi
sepakbola, sedangkan PORI Medan tidak/belum memiliki divisi sepakbola. PORI
Medan antara lain memiliki divisi basket yang mana dalam hal ini Sahata sendiri
memiliki klub basket di dalam PORI Medan.
Dengan memperhatikan deskripsi di atas, apakah tanggal 21 April 1950
adalah hari lahir PSMS? Dari pihak VBMO/PSMS tidak ada alasan menyatakan tangal
21 April 1950 sebagai hari lahir, sebab VBMO/PSMS yang diketuai oleh Madja
Purba (federalis/NST) sejak 27 Januari 1950 masih aktif yang diperankan oleh JJ
Barends (sekretaris). Tim VBMO/PSMS ini yang diduga kuat berangkat pada tanggal
26 April 1950 ke Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS di Jawa.
Tim VBMO/PSMS yang
berangkat pada tanggal 26 April 1950 ke Kejuaraan Antar Kota VUVSI/ISNIS di
Jawa faktanya terdapat Ketua VBMO/PSMS Madja Purba.
Logo PSMS

Lantas apakah tanggal 21 April
1950 sebagai hari kelahiran PSMS versi Republiken? Boleh jadi, sebab Tim PORI-Djakarta
yang Republiken sudah datang ke Medan bulan November 1949 melawan tim-tim
pribumi. Satu hal lagi, jelang Kongres Rakyat (yang dimulai 27 April 1950)
diadakan turnamen pada tanggal 14, 15 dan 16 April 1940 yang mana juara adalah
klub Sahata. Hasil penjualan tiket dari turnamen ini diberikan kepada (Panitia)
Kongres Rakyat, yang notabene adalah kongres para Republiken. Apakah pada
tanggal 21 April, setelah turnamen telah diproklamirkan PSMS yang baru (versus
VBMO/PSMS). Masuk akal, tetapi tidak cukup data/informasi pendukung.
Di sisi lain, cukup banyak data yang tersedia di sekitar tanggal 21 April
ini Adinegoro dan Dr. Pirngadi tidak berada lagi di Medan. Oleh karenanya buku
yang menyebutkan (juga telah dikutip Wikipedia) yang menyatakan PSMS didirikan
tanggal 21 April 1950 oleh enam klub dan enam tokoh Adinegoro, Dr. Pirngadi,
Madja Purba, T. Harris, Soeleiman Siregar dan Tedja Singh, jelas-jelas tidak
berdasar (tidak bersifat empiris). Angka enam yang muncul juga dikaitkan pula dengan enam helai daun yang
terdapat dalam logo PSMS yang sekarang. Meski ini di satu sisi tampak
mengada-ada, tetapi di sisi lain hal itu justru menjadi masalah serius. Apakah
sejarah kelahiran PSMS telah dipalsukan?

Dalam perkembangannya, NST bubar dan NKRI terbentuk di Sumatra Timur.
Pengesahan NKRI (NST dibubarkan) terjadi tanggal 14 Agustus 1950. Lalu dibentuk
perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di Medan pada tanggal 17 Agustus 1950
(yang kali pertama dilakukan di Medan). Ketua Panitia Perayaan 17 Agustus 1950
adalah GB Joshua Batubara.
Apakah di Medan sebelum tanggal 17 Agustus sebagai hari Proklamasi
Kemerdekaan RI sudah terjadi proklamasi PSMS yang baru?
Setelah NST bubar dan NKRI
terbentuk di Sumatra Timur yang berpusat di Medan, pada akhirnya kabinet Mohammad
Hatta (federal) maupun kabinet Abdul Hakim Harahap (republik) sama-sama
dibubarkan pada tanggal 6 September 1950 dan lalu digantikan oleh kabinet
Mohammad Natsir (republik). Inilah kemenangan faham republik atas faham federal
di bumi Indonesia yang telah merdeka dan telah diakui oleh Belanda. Dengan kata
lain, perjuangan NKRI dimulai di Sumatra Timur. Ingat KNRI, ingat Sumatra Utara
(Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Tidak lama kemudian setelah kabinet
Mohammad Natsir bekerja, proses pembentukan provinsi Sumatra Utara juga kelar.
Untuk menempati posisi Gubernur Sumatra Utara yang pertama diangkat Abdul Hakim
Harahap pada 25 Januari 1951. Abdul Hakim Harahap adalah juga pendiri dan
sekaligus pemain inti klub Sahata Medan. Dalam perkembangan berikutnya nanti Gubernur
Abdul Hakim Harahap meminta para stakeholder sepak bola di Medan untuk
mereorganisasi PSMS dan memilih pengurus (yang kemudian terlaksana pada tanggal
24 Februari 1952). Ketua terpilih adalah Komisari Amir Hamzah (mantan pemain
klub VOP/polisi di era kolonial Belanda yang kini menjadi ketua klub POP/polisi)
dan sekretaris adalah Kamaroeddin Panggabean (mantan pemain klub Sahata di era
kolonial Belanda yang kini menjadi pengurus inti klub Sahata). Tamat era Madja
Purba/JJ Barends, berkibar era Amir Hamzah/Kamaroeddin Panggabean. Tamat
VBMO/PSMS, muncul PSMS (saja).
Untuk menggairahkan jelang perayaan ini diadakan turnamen sepak bola
dalam dua divisi yang dimulai tanggal 12 Agustus 1950 (jelang pengesahan NKRI
tanggal 14 Agustus 1950). Final Divisi-1 (kelas utama) dilangsungkan di
stadion Keboen Boenga (yang selama ini menjadi markas VBMO/PSMS) pada hari perayaan
17 Agustus antara klub Sahata vs klub Medan Poetra. Klub Sahata menjadi juara.
Klub Sahata didirikan tahun 1935, sedangkan klub Medan Poetra didirikan
tahun 1947 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-10-1949).
Versi lain bahwa hari
lahir PSMS yang baru boleh jadi tanggal 12 Agustus 1950. Hal ini didasarkan
pada permulaan menaikkan bendera PSMS pada tanggal 12 Agustus 1955 dalam rangka
perayaan lustrum (ulang tahun kelima) PSMS. Rencana lustrum PSMS ini diumumkan
pada tanggal 28 April 1955 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1955).
Lalu sebuah komite lustrum dibentuk di bawah kepemimpinan (Komisaris Polisi) I
Gastina, Lalu perayaan kenyataannya diundur hingga bulan Agustus. Disebutkan
bendera PSMS yang berkibar sejak tanggal 12 Agustus 1955 lalu diturunkan pada
hari terakhir perayaan pada tanggal 28 Agustus 1950 (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 29-08-1955). Apakah pengikibaran bendera PSMS tanggal 12 Agustus 1955
sebagai hari lahir PSMS yang dikaitkan dengan permulaan turnamen sepak bola 12
Agustus 1950 sebagai prakondisi untuk pengesahaan NKRI tanggal 14 Agustus 1950.
Akan tetapi interpretasi (hasil analisis) ini yang menduga kelahiran PSMS
tanggal 12 Agustus 1950 sangat lemah karena tidak ada informasi yang menyatakan
secara eksplisit demikian. Oleh karenanya, tanggal 12 Agustus sebagai hari
lahir PSMS (sebagaimana hari permulaan perayaan lustrum tanggal 12 Agustus)
tidak dapat diklaim sebagai hari kelahiran PSMS. Sementara itu, jika memang pada
tanggal 21 April 1950 sebagai hari lahir PSMS, itu berarti pengumuman lustrum yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 1955 adalah seminggu setelah tanggal 21 April
1950. Namun persoalannya tidak ada informasi yang menyatakan bahwa hari lahir
PSMS jatuh pada tanggal 21 April 1950.
Sekali lagi, mengapa tanggal 21
April diklaim sebagai hari lahir PSMS sebagaimana yang diyakini hingga
sekarang? Hasil analisisnya sebagai berikut. Pertama, VBMO/PSMS yang (masih) dipimpin oleh Madja Purba tidak ada alasan untuk menetapkan tanggal lahir karena
VBMO/PSMS masih eksis ketika mengikuti Kejuaraan Antar Kota yang diselenggarakan
oleh VUVSI/ISNIS. Madja Purba seorang yang pro federalis (NST) ikut sebagai
delegasi ke kejuaraan tersebut yang berangkat tanggal 26 April 1950. Kedua,
embrio PSMS versi Republik sudah muncul jelang Kongres Rakyat pada tanggal 27
April 1950. Kongres Rakyat bertujuan untuk membubarkan NST dan mendirikan NKRI.
Jelang kongres dilakukan turnamen kecil yang berakhir pada tanggal 16 April dengan
juara klub Sahata yang hasil keuntungan pertandingan diberikan kepada (panitia)
Kongres Rakyat. Ketiga, lustrum pertama PSMS diadakan pada tahun 1955 dan itu
berarti tahun kelahiran PSMS adalah tahun 1950. Pengurus PSMS tahun 1955 adalah
tokoh-tokoh Republik (NKRI) dan hanya Mochtar
Siregar yang tetap setia selama lima tahun sejak 1950 terlibat di PSMS.
Lantas mengapa menetapkan hari lahir PSMS tanggal
21 April (1950)? Hal itu diduga karena tanggal 21 April 1950 hari penentuan akan
dilangsungkannya Kongres Rakyat. Dengan kata lain, hari itu adalah awal
perjuangan NKRI dimulai di Sumatra Timur. Hasil selanjutnya: NST dibubarkan, NKRI
didirikan dan para Republiken (NKRI) mulai menata Indonesia di Sumatra Timur di
segala bidang, termasuk menata kegiatan sepakbola. Namun demikian, dasar
penetapan tanggal 21 April (1950) sebagai hari lahir PSMS tentu saja masih
bisa diperdebatkan. 

Lepas dari tanggal 21 April 1950 sebagai hari
kelahiran PSMS yang diketahui selama ini, sesungguhnya PSMS memiliki garis lurus
ke belakang yakni VBMO/PSMS, lalu mundur ke belakang lagi yakni OSVB dan lalu
mundur lagi lebih ke belakang yakni DVB. Hal ini karena, sejarah PSMS bermula
dari DVB. Secara eksplisit para stakeholder sepak bola di Medan memulai rapat
umum pertama pembentukan perserikatan pada tanggal 7 Juli 1907 (lihat De
Sumatra post, 08-07-1907). Lalu kemudian, dengan dibentuknya OSVB pada tahun
1915, DVB secara terbuka menyatakan bersedia integrasi dengan OSVB (proses
fusi). Sesuai perkembangan situasi dan kondisi, wilayah cakupan OSVB tidak
efektif lagi, pada bulan September 1949 stakeholder sepak bola di Medan membentuk
VBMO (proses fisi). Oleh karena untuk menyesuaikan kebijakan VUVSI (suksesi
NIVU) pada tahun 1948 untuk menerjemahkan VUVSI sebagai ISNIS, maka VBMO yang
dibentuk juga diterjemahkan sebagai PSMS dan lalu perserikatan sepak bola Medan
disebut VBMO/PSMS.

Namun satu hal dalam proses panjang organisasi sepak bola di Medan ini
ada satu hal yang tidak berubah yakni para stakeholdernya. Para pemain dan klub
sepak bola di Medan sejak DVB didirikan pada tanggal 7 Juli 1907 terdiri dari Eropa/Belanda
(Voortwaarts VC), pribumi (Tapanoeli VC) dan Tionghoa (CSC). Demikian juga pada
era OSVB dan juga pada era VBMO/PSMS juga terwakili antara lain klub Sahata
(pribumi), Tionghoa (Black and White) dan Eropa/Belanda (Juliana). Riwayat di
Medan ini juga ditemukan di Makassar. Akan tetapi berbeda dengan di Jawa yang
memang secara kontinu terdapat paling tidak tiga buah federasi (Belanda,
pribumi, Tionghoa). Di Medan sempat terjadi muncul federasi sepak bola pribumi
pada tahun 1923 dengan mengambil nama DVB (diprakarsai oleh Dr. Radjamin
Nasution) dan pada tahun 1941 yang diprakarsai oleh GB Joshua (pimpinan klub
Sahata) dengan membentuk federasi PERSEDELI. Namun klub-klub pribumi melebur
kembali ke federasi OSVB dan federasi VBMO/PSMS.
Dengan demikian, sejak DVB dibentuk tanggal 7 Juli 1907 sebagai
organisasi sepak bola di Medan secara alamiah sejatinya tidak pernah berubah
secara radikal. Kisruh memang ada, tetapi kisruh diantara para stakeholder
dalam soal teknis sepak bola dan organisasi, dan bukan kisruh secara politis.
Di Jawa sendiri meski ada kisruh antara federasi Belanda dengan pribumi tetapi
kisruh yang ada tidak bermuatan politik. Olah raga ya olah raga, sepak bola
ya sepak bola. Urusan politik adalah urusan pemerintahan. Pemerintahan selama
era kolonial Belanda tidak pernah membeda-bedakan antara satu federasi dengan
federasi yang lain. Bagi pemerintah federasi sepak bola berbau Belanda, berbau Tionghoa
dan berbau pribumi sama pentingnya. Pemerintah melihat federasi-federasi
tersebut telah turut menggairahkan penduduk, karena sepak bola menjadi hiburan
massal dan yang lebih penting bagi pemerintah dari kegiatan sepak bola
terbentuk pendapatan (pemasukan) bagi pemerintah.
Pengurus PSMS tempo doeloe

Masih segar dalam ingatan
bagaimana kisruh dalam soal dualisme federasi sepakbola Indonesia antara PSSI
vs KPSI.

Pada tahun 2010 muncul Liga
Primer Indonesia sebagai reaksi kepada PSSI. Kompetisi yang dinaungi oleh KPSI
ini tidak direstui oleh PSSI. Namun di mata pemerintah KPSI/LPI sah-sah saja
dan lalu pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga memberi izin. Sementara
di internal klub juga muncul dualisme di sejumlah klub seperti PSMS dan
Persebaya. Namun persoalannya tidak hanya di sisi domestik tetapi menjadi
persoalan di mata FIFA yang hanya merestui satu federasi. Akibatnya sepak bola Indonesia
ditangguhkan dan diberi sanksi oleh FIFA tahun 2015. Sebagaimana kita ketahui,
FIFA baru merestui sepak bola Indonesia ketika terjadi reorganisasi di dalam PSSI
dengan struktur kepemimpinan yang baru sebagai ketua PSSI terpilih Edy
Rahmayadi pada tahun 2017. Dengan struktur kepemimpinan yang baru liga
Indonesia bergulir kembali dan kemudian PSSI diakui kembali oleh FIFA. Klub
PSMS yang sempat kisruh selama dualisme federasi sepak bola Indonesia dengan
munculnya dua versi PSMS lalu berproses hingga terbentuk PSMS seperti semula.
PSMS di Liga Indonesia berada di Divisi-2 (Liga-2) dan berhasil promosi ke
Liga-1 (Divisi-1) dengan pelatih baru Djadjang Nurdjaman (menantu tokoh sepak
bola Medan, Kamaroeddin Panggabean, mantan pemain klub Sahata di era kolonial
Belanda).

Oleh karena itu, organisasi sepak bola di Medan, sesungguhnya pula
tidaklah harus dan hanya mengacu pada sisi politis (yang diduga lahirnya PSMS
tanggal 21 April 1950), tetapi juga tidak salah secara alamiah organisasi sepak
bola di Medan (yang kini disebut PSMS) memang secara historis cikal bakalnya
adalah DVB yang dibentuk tanggal 7 Juli 1907. Bukankah pada era dualisme PSSI
juga PSMS terbelah tetapi pada akhirnya PSMS tetap lestari dengan tetap mengacu
pada hari kelahiran 21 April 1950?
Kronologisnya sebagai berikut:
Pada Liga Indonesia ISL 2009/2010 PSMS terdegradasi. Pada fase dualisme
federasi 2011/2012 PSMS muncul dua versi dan sama-sama masuk di Divisi-1 baik
Liga ISL maupun Liga IPL. Namun keduanya mengalami nasib yang sama: yakni
sama-sama terdegradasi, Pada tahun 2014 kembali menjadi liga tunggal (ISL).
PSMS masih terbenam di Divisi-2. Pada tahun 2015 PSSI diberi sanksi FIFA. Pada
tahun 1916 saat PSSI masih disanksi FIFA muncul Liga Torabica. Nama PSMS tidak
ada (muncul PS TNI). Pada tahun 2017 PSSI reorganisasi dengan ketua terpilih
Edy Rahmayadi dan Sanksi FIFA dicabut; Liga baru dimulai yang mana PSMS masuk
di Liga-2 (Divis-2). PSMS akhirnya promosi ke Liga-1 (Divisi-1). Masa galau yang cukup lama tujuh tahun (2010-2017)0 para suporter PSMS mulai cerah.
Masa galau yang cukup lama tujuh tahun (2010-2017) secara perlahan mulai
dilupakan dan kini para suporter PSMS mulai terlihat cerah.
Namun masih ada soal yang tersisa. Mungkin suporter PSMS sangat galau
jika klub sebesar PSMS digolongkan kelahirannya masih muda dan hanya disebut
lahir tahun 1950.  Faktanya tidaklah
demikian. Ini tentu saja bagi suporter tidak fair. Sementara itu para suporter
klub-klub legendaris yang lain sangat bangga hari lahirnya mengacu pada umur
tua (PSM sejak 1915; Persebaya, 1927, Persidja 1928, PSIS 1930 dan Persib
1933). Berccrmin dari klub-klub legendaris lainnya, memang terkesan sangat naif jika PSMS hanya
diklaim lahir tahun 1950. Lantas apakah masih ada yang dibanggakan dari nama
PSMS? Jika mengacu pada kelahiran DVB, seharusnya PSMS lahir tahun 1907, suatu
angka tahun yang jauh lebih tua dari klub-klub legendaris yang lain. Toh juga
secara historis sepak bola di Medan adalah sepak bola tertua di Indonesia yang
dimulai tahun 1893 (ketika di kota-kota lain belum ada pertandingan sepakbola).
Oleh karenanya kelahiran PSMS perlu kiranya direvisi dengan mengubah tanggal
kelahiran 21 April 1950 menjadi 7 Juli 1907. Tanggal kelahiran PSMS ini dapat
diringkas menjadi 07-07-07. Angka cantik, bukan? Demikian.
Ik hoop dat PSMS wint.
Dank je. Horas.

Jasmerah!

*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top