Sejarah

Sejarah Bekasi (16): Sejarah Kesehatan di Bekasi; Rumah Sakit Terdekat Weltevreden dan Kematian Dr Aminoelah Tahun 1869




false
IN



























































































































































*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Dibanding wilayah lainnya, wilayah Bekasi sangat
beruntung memiliki akses ke rumah sakit berkualitas di Weltevreden, Batavia.
Hal ini karena wilayah Bekasi begitu dekat dengan Weltevreden dan Bekasi
sendiri adalah bagian dari wilayah Residentie Batavia. Jelas bahwa akses ke
rumah sakit di Weltevreden tidak mudah, apalagi bagi penduduk biasa. Untuk itu,
pemerintah kolonial Belanda mulai menempatkan satu orang Docter Djawa di kota
Bekasi. Namun sang dokter harus terbunuh pada tahun 1869.

Docter Djawa School 1902 dan kota Bekasi (Peta 1901)

Orang
Eropa/Belanda, sejak era VOC sudah mendapat layanan medis dan ditangani oleh
dokter-dokter profesional yang didatangkan dari Belanda. Akan tetapi bagi
penduduk lokal layanan medis dan ditangani oleh seorang dokter baru terjadi setelah
tahun 1851. Ini sehubungan dengan pendirian sekolah kedokteran bagi pribumi (Docter
Djawa School) di Batavia pada tahun 1851 dan lulusannya dikirim ke berbagai
tempat yang membutuhkan, termasuk Bekasi. Kebutuhan dokter lulusan Docter Djawa
School pada awalnya dipicu oleh munculnya epidemik.  

Setelah hampir satu abad Bekasi membutuhkan
tempat pelayanan kesehatan, akhirnya rumah sakit Bekasi dibangun dan dibuka
untuk umum pada tanggal 4 Februari 1939 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1939).
Rumah sakit inilah yang kelak menjadi cikal bakal rumah sakit daerah (kota)
Bekasi yang sekarang. Lantas bagaimana itu semua berproses? Mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Rumah Sakit Kota di Batavia dan Akses Penduduk Bekasi

Pada tanggal 16 November 1842 di kampong Karatan di
land Telok Poetjong, Bakassie seorang pemuda pemberani, Ramein bertarung dengan
harimau dan mendapat banyak luka di badan yang lalu dibawa ke rumah sakit kota
di Batavia (lihat Nederlandsche staatscourant, 06-04-1843). Berita inilah yang
diduga untuk kali pertama terhubung masalah medis di Bekasi dengan pusat medis
di Weltevreden di Batavia. Harimau berhasil dibunuh, Ramein tertolong dan tetap
hidup karena rumah sakit kota.
Pada
tahun 1863 terjadi peristiwa yang menyeramkan di satu kampong di land Tamboen.
Benkeng Bapa Boedien membunuh anggota keluarganya (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1863). Disebutkan Benkeng
pada pukul 9 pagi Bapa Boedien membunuh istri dan salah satu anaknya, seorang
bocah lelaki berusia sekitar 7 tahun, bernama Laidien, di rumahnya dan kemudian
juga bocah lelaki sekitar 9 tahun bernama Kaidien, menimbulkan beberapa luka. Setelah
itu Benkeng melarikan diri dan pergi ke sawahnya, tempat putra sulungnya,
seorang anak lelaki berusia sekitar 13 tahun, bernama Boedien. Setelah memberi
tahu pemuda ini untuk pulang bersamanya dan setelah tiba di sana, Bapa Boedien
segera menarik goloknya keluar dari sarungnya dan ingin membunuh bocah ini,
tetapi ia berhasil melarikan diri dari bahaya. Selanjutnya, Bcnkcug Bapa
Boedien pergi ke tempat yang jauh dari rumah ke rumah Sapi-i, dimana ia meminta
sedikit sirih pada saat kedatangan. Setelah Sapi-i membuka pintu dan memberi
Bapa Boedien sirih yang diminta. Bapa Boedien mengajak Sapi-i pergi untuk
melihat topeng tetapi Sapi-i menjawab tidak sempat. Bcnkeng Bapa Boedien, yang
datang dengan golok, memulai pembunuhannya dan memberikan lima luka besar pada
Sapi-i juga kepada istrinya, bernama Raraeh menerima luka besar di kanan di
atas dahi. Mendengar teriakan minta tolong, ayah Sapi-i, yang tengah berada di
sekitar bergegas masuk, dan dia juga segera menerima tebasan golok. Lian Bapa Sapii
kemudian bergulat dengan Bapa Boedien dan berhasil merebut golok dan dengan
demikian mengakhiri pembunuhan dan pertumpahan darah, Benkeng Bapa Boedien yang
telah mendapat beberapa luka di kepala tewas di tempat. Penyebab kekejaman ini
sejauh ini tidak diketahui. Empat orang yang terluka kemudian dikirim ke rumah
sakit kota (di Weltevreden) untuk dirawat, sementara mayat Bcnkeng Bapa Boedien
dan istrinya bernama Kentjam Ma Boedien dikubur oleh putra mereka, Laidien.
Pada tahun 1869 terjadi peristiwa kerusuhan di Tamboen. Dokter Aminoelah
yang ditempatkan pemerintah di kota Bekasi ikut terbunuh dalam kerusuhan
tersebut. Sejatinya Dr Aminoelah didatangkan ke TKP untuk memeriksa korban yang
terluka dan masih bisa ditolong dan telah berhasil menjahit luka para korban. Dr
Aminoelah saat itu sedang bertugas di Tamboen dalam mengobati penduduk penderita
cacar. Namun dalam perkembangan situasi para perusuh juga melampiaskan kemarahan
dengan membunuh Dr Aminoelah di tengah sawah (lihat Bataviaasch handelsblad, 10-04-1869).
Penolong orang Bekasi tidak dapat ditolong.
De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855

Setelah kematian Dr Aminoelah di Tamboen 1869
tidak pernah lagi terdengar tentang keberadaan dokter di Bekasi. Dr Aminoeddin
adalah alumni Docter Djawa School. Sekolah kedokteran bagi pribumi ini
didirikan pada tahun 1851 di rumah sakit kota di Weltevreden (kini RSPAD). Pada
tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie
Tapanoeli) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School (lihat De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855). Si
Asta dan Si Angan adalah dua siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School
yang berasal dari luar Jawa. Dua tahun berikutnya kembali dua siswa asal
Mandailing en Angkola diterima di Docter Djawa School. Demikian seterusnya
secara periodik.

Inilah surat terakhir dari
Dr Aminoelah yang dapat dibaca:
Atas perintah Officier van Gezondheid eerste klasse
te Batavia, saya berangkat pada tanggal 5 November ke Cheibibon untuk memberitahu
orang-orang tentang penyakit yang ada di kalangan penduduk asli dan untuk
menyediakan obat-obatan. Saya adalah orang pertama yang pergi ke desa-desa yang
terletak di Pantai Laut, dimana saya melihat bahwa orang-orang berada di rawah,
di tempat-tempat rendah. di pantai laut, sehingga setidaknya hujan bandjir
memasuki rumah mereka dan ini terus-menerus lembab dan basah. Orang-orang yang
tinggal disana menemukan mata pencaharian mereka dalam memancing dan bertani. Saya
secara khusus menyebutkan nama-nama desa sebagai berikut (tidak diulang
disini). Sebagian besar dari mereka juga dipenuhi dengan pohon-pohon yang
menghalangi ventilasi dan mengumpulkan penguapan rawa-rawa; mereka juga sama
sekali tidak bersih melalui kebersihan dan menjaga kebersihan, sehingga saya
mengklaim bahwa asal epidemi didasarkan pada penyebab miasmatik. Selain itu,
profesi pekerja sawah atau nelayan adalah pekerjaan yang basah dan tidak sehat,
yang juga berdampak buruk. Tata letak rumah-rumah juga paling mengkhawatirkan.
Jika rumah mereka masih dibangun di atas panggung, seseorang dapat menaruh
banyak kebersihan pada mereka, tetapi sekarang, ketika mereka rumah mereka berdiri
di tanah, yang tidak pernah menjadi kering, mereka benar-benar gua wabah. Tanpa
jendela atau bukaan yang memancarkan udara, selalu ada atmosfer kotor yang
tidak dapat dihilangkan sinar matahari atau hembusan angin, karena sinar dan
angin tidak memiliki akses ke sana. Apakah mengejutkan bahwa saya menemukan
banyak penderita di sana? Di antara gejala yang saya catat: 10 orang penerita Hidraemia
dan anemia (berair dan kekurangan darah); 20 penderita Physconia (pembesaran
dan pengerasan limpa.); 30 Hidrops (Gila.) Saya menganggap fenomena ini sebagai
hasil dari demam keras pada kepala, dimana orang tidak tahu apa-apa. Gambaran
umum penderita adalah Febris remiltens (demam intermiten), Felris biliosa
(demam empedu), Febris perniciosa (demam Bataviasebe), Febris eatarrhalis
(demam tenggelam). Umumnya orang meninggal akibat demam Bataviasche. Saya menduga
karena otak vesus dirasakan oleh kantuk pasien, yang sering berubah menjadi
kematian. Saya menggunakan sedikit berbeda dari kina dalam dosis 15 butir untuk
orang dewasa dan secara proporsional untuk anak-anak dan banyak mengalami
peningkatan sebagai hasilnya. Tetapi peningkatan yang memuaskan hanya bisa
diharapkan dari penataan rumah yang lebih baik dari ventitalia, kebersihan, dan
segala sesuatu yang menyertainya. Batavia, 18 Maret 1868. AMINOELAH, Dokter
Djawa (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-04-1868). Besar dugaan Dr. Aminoelah ditugaskan kembali
ke Tamboen untuk menangani epidemik hingga menemui kematiannya.

Kehadiran dokter kembali di Bekasi baru
dilaporkan pada tahun 1887 (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-02-1887). Hampir
dua dasawarsa penduduk Bekasi tidak tersentuh oleh praktek medis modern. Dalam
berita itu disebutkan pada tanggal 19 kemarin terjadi perkelahian sengit di Becassie
antara seorang djagoan pribumi di sini dan polisi, yang ingin menangkapnya.
Hasilnya adalah sang polisi terluka dengan golok di kepala. Setelah tindakan
pertama dilakukan oleh seorang Docter Djawa Becassie, polisi ini kemudian ditransfer
ke rumah sakit kota di Batavia.
Dr. Aminoelah
yang terbunuh tahun 1869 di Tamboen diduga kuat adalah kakek Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D.
Sang cucu meneruskan karir sang kakek.
Aminoeddin Pohan kelahiran Sipirok masuk STOVIA (suksesi Docter Djawa School)
pada tahun 1916. Setelah lulus ia menjadi dokter pemerintah dan kemudian melanjutkan
studi ke Belanda dan berhasil mendapat gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Leiden
1931 dengan judul desertasi: ‘Abortus, voorkomen en behandeling’. Setahun
kemudian menyusul Aminoedin Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di
bidang kedokteran di Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul
‘Abortus: voorkomen en behandeling’. Sepulang dari Belanda Aminoeddin Pohan mengundurkan
diri dari pegawai pemerintah, tetapi kemudian diusulkan oleh Dr Abdul Rasjid
Siregar (anggota Volksraads; lulus STOVIA 1912) dan bersaing dengan dokter-dokter Belanda untuk
posisi direktur rumah sakit Padang Sidempoean yang akan segera dibuka tahun
1936. Akhirnya yang dipromosikan Menteri Kesehatan ke Padang Sidempuan adalah
Aminoeddin Pohan. Setelah dua tahun menata rumah sakit Padang Sidempoean Dr.
Aminoeddin Pohan dipindahkan ke Semarang dan penggantinya di Padang Sidempoean
adalah Dr. M.M. Hilfman. Pada tahun 1940, Dr. Aminoeddin, Ph.D dipindahkan ke
Departemen Kesehatan di Batavia.
Epidemik dan Pembangunan
Rumah Sakit di Bekasi
Pada tahun 1896 terjadi epidemik. Untuk itu
pemerintah melakukan vaksinasi bagi penduduk (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1896). Disebutkan
bahwa untuk di wilayah Residentie Batavia sebanyak sepuluh distrik akan di vaksin
yaitu: Batavia, Meester Cornelis, Bekasi, Tjikarang, Tangerang, Blaradja,
Depok, Penjawoengan, Buitenzorg dan Djonggol. Tugas vaksinasi ini dilakukan
oleh Docter Djawa yang ditunjuk.
Sejak
awal rumah sakit di Weltevreden dibedakan antara rumah sakit kota
(Stadsverband) dengan rumah sakit Weltevreden (hospital). Rumah sakit
(hospital) Weltevreden adalah rumah sakit militer, suatu rumah sakit yang
pertama didirikan sejak era Pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan rumah sakit
kota adalah rumah sakit yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah untuk
melayani publik. Pada tahun 1909 di Residentie Batavia paling tidak sudah
tercatat dua buah hospital dan dua buah stadsverband (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 09-11-1909). Rumah sakit berada di Weltevreden dan di Tandjoeng
Priok, sedangkan stadsverband berada di Tjikini (Weltevreden) dan Tandjoeng Priok.
Bangunan rumah sakit baru di Batavia selesai pada tahun 1913 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 30-06-1921).  
Beberapa
tahun kemudian di Tangerang dan Buitenzorg didirikan rumah sakit. Di Tangerang
keberadaan rumah sakit paling tidak sudah diketahui tahun 1930 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 16-01-1930). Pembangunan gedung baru rumah sakit Tangerang ini
sempat ditunda tahun 1924 karena alasan keterbatasan anggaran (lihta De
Maasbode, 05-08-1924). Pembangunan gedung rumah sakit ini akan dilakukan di eks
kantor BOW yang akan memiliki kapasitas 250 pasien (lihat De Sumatra post, 07-12-1925).
Sementara di Buitenzorg didirikan rumah sakit swasta yakni Roode Kruis
Ziekenhuis. Rumah sakit ini telah menjadi rujukan di wilayah Buitezorg (lihat Bredasche
courant, 25-04-1933). Rumah sakit yang mulai didirikan tahun 1931 ini kini
dikenal sebagai rumah sakit PMI.
Akhirnya pada tahun 1939 sebuah rumah sakit
didirikan di Bekasi dan akan dibuka pada tanggal 4 Februari 1939 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 01-02-1939). Ini dengan sendiri di seluruh Residentie Batavia sudah
tersedia rumah sakit setelah sebelumnya sudah tersedia rumah sakit di Tangerang
dan Buitenzorg.
Bataviaasch
nieuwsblad, 01-02-1939

Dalam
pembukaan rumah sakit di Bekasi yang dilakukan pada Abtu pagi dihadiri oleh
banyak pihak termasuk Residen Batavia, Mr. HA van Loghem (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 06-02-1939). Disebutkan pembangunan rumah sakit ini atas inisiatif Mr.
MC Voorn (Asisten Residen Meester Cornelis) dan Dr BK Zon (dokter pemerintah di
Batavia). Rumah sakit ini dibangun terletak tidak jauh dari kantor Wedana.
Rumah sakit kecil ini terdiri dari galeri depan, juga ruang tunggu, ruang
pemeriksaan, yang ruang tengahnya diatur, sementara ruangan lain dimaksudkan
untuk rawat inap. Selain lembaga rumah sakit tersebut di dalam gedung ini juga ada
kantor konsultasi (klinik) untuk bayi dan ibu hamil di Bekassi yang dipimpin
oleh bidan yang berkualifikasi. Gedung rumah sakit ini dibangun atas dukungan
dari para landheer dari land Tamboen, land Gaboes dan land Teloekpoetjoeng.
Siapa nama landheer dari ketiga land tersebut tidak dinyatakan.

Itulah sejarah panjang
kesehatan di Bekasi dan sejarah singkat rumah sakit Bekasi. Rumah sakit ini
terus berkembang hingga ini hari yang disebut rumah sakit umum daerah Bekasi
(RSUD Kota Bekasi
i).

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top