Dari
keterangan ini paling tidak area yang disebut Rawasari yang luasnya 20 hektare sekitar
luas rata-rata usaha pertanian saat itu. Lokasi area Rawa Sari ini berdekatan
dengan dua lahan yang lain (Pondok Rawa dan Modjo Rawa). Ketiga lahan ini
berpusat pada area basah (rawa). Pada Peta 1890 area rawa tersebut masih
teridentifikasi dalam peta. Satu keterangan yang paling penting adalah lahan
Rawa Sari dilalui oleh sebuah kanal. Pada Peta 1866 kanal ini sudah
teridentifikasi memotong jalan.
yang dimaksud dalam hal ini adalah jalan yang bermula di jalan pos (Grooteweg)
di Struiswijk. Pada era VOC lahan (land) Struis adalah lahan tertua yang telah
diusahakan oleh para pedagang VOC. Land Struis ini kini kampus UI dan RSCM.
Jalan ini adalah Jalan Salemba Tengah yang sekarang. Jalan ini adalah
satu-satunya jalan. Setelah ujung Jalan Salemba Tengah (belum ada jalan Paseban)
lurus menuju lahan Tjempaka Poetih dan ke arah sisi timur lurus ke lahan Rawa
Mangoen (melalui Pasar Genjing dan jalan Utan Kayu yang sekarang; jalan Pramuka
yang sekarang belum ada). Dua jalan (lama) ini dipotong oleh sebuah kanal (bukan
sungai), karena bentuknya yang terbilang lurus. Seperti teori jembatan, teori
kanal juga menarik garis lurus agar pembangunannya lebih pendek (dan biaya
lebih murah). Tiga lahan milik van Hoeven ini berada di antara kampong Salemba (Tengah)
dan kampong Tjempaka Poetih.
Sari tidak diketahui secara jelas. Namun secara epistemologi, nama Rawa Sari
sudah muncul sebelum adanya (pembangunan) kanal (vaart). Jika pada Peta 1866
sudah diidentifikasi kanal, maka nama lahan Rawa Sari sudah dikenal jauh
sebelumnya. Lahan-lahan di seputar rawa ini bukan termasuk wilayah
(administrasi) Struiswijk tetapi masuk wilayah Tanah Tinggi.
![]() |
Peta 1866 |
Kanal
baru ini dibangun dengan menyodet sungai Tjipinang di sekitar Meester Cornelis.
Seperti umumnya pembangunan kanal-kanal di Batavia, dimaksudkan untuk banyak
fungsi. Fungsi utama untuk mengalirkan air bersih (air irigasi) untuk
pengembangan pertanian. Fungsi lainnya adalah sebagai drainase. Secara teoritis
kanal yang dibangun dari Tjipinang untuk pencetakan sawah baru hingga ke Tanah
Tinggi melalui lahan Rawa Sari maka dengan sendirinya lahan-lahan di sekitar
lahan Rawa Sari mulai kering yang kemudian lahan kering tersebut (weiland)
dikapitalisasi oleh van Hoeven.
Sebagaimana disebut di atas, van Houven akan menjual lahan kering Rawa Sari itu
pada tahun 1872.
suatu wilayah atau suatu area. Jalan Percetakan Negara yang sekarang yang
merupakan jalan penghubung antara (kampong) Salemba (Tengah) hingga ke ujung
jalan di kampong Tjempaka Poetih diduga adalah jalan kuno yang sudah eksis
sejak lama. Jalan kuno ini melalui rawa yang mana penduduk merintis jalan di
tengah rawa dengan memilih dan mengikuti tanah-tanah kering.
![]() |
Peta 1904 |
Rawa ini terus eksis karena air yang tersimpan di lahan yang lebih rendah
terjebak dan tidak memiliki jalan keluar menuju sungai atau pantai/laut. Kasus
ini adalah kasus umum (tipologi) lahan-lahan diantara lahan yang lebih tinggi
(seperti Tanah Tinggi) dengan sungai atau pantai/laut. Hal inilah yang
menyebabkan di seputar Batavia (juga di kota-kota pantai lainnya) ditemukan
banyak rawa (seperti dalam hal ini Rawa Sari, Rawa Mangoen, Rawa Bangke dan
Rawa Malang). Peta 1904
VOC/Belanda. Ini mudah dijelaskan. Jalan Salemba (Tengah) pada era VOC adalah
jalan rintisan menuju perkampongan orang-orang Jawa, Makassar dan Ambon. Mereka
ini awalnya adalah anggota pasukan pribumi yang direkrut dari Jawa (sekitar
benteng Missier), (pulau) Ambonia dan kerajaan Gowa (Makassar). Mereka ini
ditempatkan di sujumlah titik di uar Batavia hingga ke sungai
Tangerang/Tjisadane di barat dan hingga ke sungai Karawang/Tjitaroem di timur. Untuk
menambah penghasilan mereka membuka perkampongan dan mengusahakan pertanian.
Hal inilah yang menyebabkan diujung jalan rintisan dari kampong Salemba Tengah
ini terbentuk kampong Jawa, kampong Makassar dan kampong Ambon. Besar dugaan
mereka inilah yang membangun jalan (kini jalan Percetakan Negara dan jalan
Rawasari Selatan).
Nama Rawasari diduga bukan
nama asli. Namun nama yang diduga diperkenalkan oleh orang Jawa yang bertempat
tinggal di kampong Jawa yang besar dugaan dari desa Rawasari di Jawa Tengah. Seperti
disebutkan di atas terdapat tiga lahan milik van Hoeven (Rawa Sari, Modjo Rawa
dan Pondok Rawa), ketiga lahan ini berada diantara kampong Jawa dan kanmpong
Makassar. Lahan-lahan ini sebelum diakuisisi dan dalam perkembangan terakhir
dimiliki dan diusahakan oleh van Hoeven adalah lahan-lahan yang diusahakan oleh
penduduk di kampong Jawa. Karena itu nama lahan-lahan itu muncul sebagai Rawa
Sari, Modjo Rawa dan Pondok Rawa. Seperti biasanya, orang-orang Belanda tidak
mengubah nama yang sudah ada, karena nama geografis (kmpong, sungai dan rawa)
adalah penanda navigasi.
area rawa ini di sana-sini terbentuk lahan kering yang kemudian diokupasi (dikapitalisasi)
sebagai lahan yang potensial untuk pembangunan pertanian, termasuk Rawa Sari. Dalam
hubungan ini, sebagaimana terbentuknya jalan, terbentuknya kanal juga mengikuti
hukum alam. Jalan terbentuk mengikuti lahan yang lebih tinggi dan kanal
terbentuk mengikuti lahan yang lebih rendah di hilirnya.
kasus Jembatan Serong di lahan Rawa Sari, kanal (vaart) baru ini telah memotong
jalan (bukan sebaliknya jalan memotong sungai/kanal). Kanal ini memotong jalan
kuno antara kampong Salemba dan kampong Tjempaka Poetih. Perpotongan kanal
dengan jalan kono ini berada tepat di GPS tertentu dimana jalan tidak tegak
lurus dengan desain kanal. Oleh karenanya, untuk menghubungkan jalan di atas
kanal, dibangun jembatan (awalnya terbuat dari kayu) yang arahnya serong
merujuk pada kanal tetapi lurus sesuai jalan yang telah ada. Inilah penjelasan
Teori Jembatan Serong.
serong di atas kanal dalam perkembangannya penduduk menyebunya sebagai Jembatan
Serong. Memang sangat jarang terjadi jembatan dibuat serong, karena itu
penduduk menganggapnya sangat unik dan secara spesifik untuk penanda navigasi bagi
penduduk dengan menyebutnya Jembatan Serong.
![]() |
Pembangunan Kanal Rawasari (Peta 1904) |
Idem
dito dengan nama Jembatan Serong di Depok. Sejak jaman kuno sudah terbentuk
jalan kuno di sisi timur sungai Pesanggarahan dari Bodjong Gede hingga ke
Pitara (Depok) melalui kampong Tjipajoeng. Untuk membangun persawahan antara
lahan Bodjoeng Gede dengan Tjinere dibangun kanal baru yang selesai pada tahun
1875 [Kanal ini merupakan terusan kanal dari bendungan Empang di Buitenzorg
melalui Kedong Badak dan Tjiliboet]. Di kampong Tjipajoeng, kanal baru ini
memotong jalan yang sudah terbentuk sejak lama (dari Tjipajoeng ke Sawangan).
Di atas kanal ini lalu dibangun jembatan yang arahnya serong merujuk pada kanal
tetapi mengikuti garis lurus jalan. Dalam hal ini, kasus nama Jembatan Serong
di Rawa Sari dan di Tjipajoeng, Depok kurang lebih sama asal-usulnya.
Lanjut Area (Kampong) Rawasari Menjadi Kelurahan (Wijk)
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.