Sejarah Pancasan di Kota Bogor tidak ada yang menulisnya.
Kampong ini terbentuk setelah kampong Empang dan kampong Bondongan eksis.
Kampong Pantjasan berada di seberang sungai Tjisadane di lereng gunung Salak. Kampong
Pantjasan menjadi pintu masuk (gate) menuju Pasir Koeda dan Kota Batoe. Kampong
Pantjasan belumlah setua yang dibayangkan. Nama Pantjasan tidak hanya di Bogor,
juga ditemukan di Jawa.
![]() |
Kampong Empang (Peta 1772) |
Ada yang menulis kampong Pantjasan
sudah eksis 375 tahun sebagai tempat pembuatan gong dan alat musik gamelan.
Pada masa ini di Pancasan terdapat Gong Factory. Disebutkan pemilik Gong
Factory turun temurun, sekarag generasi keenam sejak pertama kali berdiri. Lantas
bagaimana eksistensi 375 tahun dihitung dengan usia enam generasi. Jika satu
generasi, katakanlah 30 tahun, maka 6 x 30 tahun = 375 tahun? Entahlah. Boleh saja setiap orang membuat
perhitungan sendiri.
dan data. Lantas seperti apa sejarah Pancasan? Apa pentingnya sejarah Pancasan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak penting-penting amat, tetapi sebagai
bagian dari sejarah Bogor, sejarah Pancasan menjadi tidak bisa dilupakan. Satu
yang penting di awal, jembatan Pancasan dibangun pada tahun 1843 (177 tahun
yang lalu). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Bondongan dan Kampong Empang
membangun villa tahun 1745 di land Bloeboer dengan membeli persil lahan dari
bupati Kampong Baroe. Sejak inilah muncul nama Buitenzorg. Para pedagang VOC
juga menyusul membeli persil-persil lahan di land Bloeboer (lahan antara sungai
Tjiliwong dan sungai Tjisadane). Villa van Imhoff ini menjadi cikal bakal
Istana Bogor yang sekarang.
![]() |
Persawahan di Bondongan (1772) |
Gubernur
Jenderal van Imhoff menginisiasi pemgembangan pertanian bersama bupati Kampong
Baroe dan Aria Soekaradja di Buitenzorg. Pengembangan pertanian tersebut dengan
membangun kanal-kanal irigasi. Sungai Tjiliwong dibendung tahun 1749 dan
kemudian airnya dialirkan dengan membangun kanal (irigasi) menuju kampong Soekaradja,
dan sebagian dari air kanal ini diintegrasikan dengan hulu sungai Tjiloear
(dalam pengembangan irigasi sungai Tjiloear). Bersamaan dengan ini juga membangun
kanal irigasi dengan meningkatkan fungsi sungai Seuseupan dari Tadjoer menuju
Soekahati dan Batoetoelis. Sungai Tjipakantjilan dibendung untuk djadikan
sumber irigasi untuk pencetakan sawah baru di lembah (menjadi awal munculnya
kampong Bondongan). Sungai Tjipakantjilan yang airnya jatuh ke sungai Tjisadane
diempang dengan membangun kanal irigasi melalui kampong Paledang yang kemudian
diintegrasikan dengan sungai Tjiwaringin. Itulah awal pengembangan pertanian di
hulu sungai Tjiliwong dan Tjisadane.
persawahan yang luas (area antara kanal Tjipakantjilan dan sungai Tjisadane).
Tampaknya area di seberang sungai Tjisadane di lerang gunung Salak yang masih
hutan belum ada intervensi manusia, apakah untuk tujuan untuk bermukim atau
berladang. Sebab pengembangan pertanian masih terkonsentrasi di area antara
sungai Tjisadane dan sungai Tjiliwong dan area di timur sungai Tjiliwong.
kunjungan Radermacher tahun 1777 di Buitenzorg menyempatkan diri untuk melihat
pembangunan kanal irigasi baru dengan menyodet sungai Tjikeas dalam pencetakan
sawah baru ke arah timur sungai Tjikeas. Pembangunan kanal ini dipimpin oleh
Aria Soekaradja. Radermacher juga melaporkan dilakukannya peningkatan kanal
Tjipakantjilan (di sungai Tjiwaringin) dengan membangun bendungan di hilir untuk
pencetakan sawah baru yang kemudian airnya jatuh ke sungai Tjiliwong (di
sekitar Kedong Badak yang sekarang), sedangkan sisa air bendungan ini
diintegrasikan dengan sungai Tjileboet.
Kampong Pantjasan: Jembatan Tjisadane
pada tahun 1825. Ini bermula dari Mr. Cobben memasang iklan untuk menjual rumah
dengan taman yang indah di kampong Empang, Buitenzorg (lihat Bataviasche
courant, 14-12-1825). Masih di koran yang sama, terdapat iklan yang mana Mr.
Cobben juga ingin menjual logement (losmen) beserta perabotannya dan kuda,
kerbau serta pedatinya. Pembelinya diduga adalah N Engelhard yang mengiklankan
bahwa persil lahan itu akan dijualnya (lihat Javasche courant, 23-08-1831). Disebutkan
lahan yang terletak di atas kampong Empang, dijual disini yang didalamnya
terdiri dari rumah di atas pilar batu, dengan kamar luas dan pancuran outdoor
dan juga bangunan-bangunan lainnya yang luas, termasuk kamar tamu, kamar budak,
dapur, dispenser, kandang kuda untuk 16 kuda dan rumah kereta.
![]() |
Lukisan Are Empang dari Hotel Bellevue, 1868 |
Dari
keterangan ini nama kampong Empang sudah lama eksis. Cobben dalam hal ini
adalah salah satu pemilik persil lahan di Buitenzorg. Rumah dan losmen milik
Cobben tersebut besar kemungkinan berdekatan, tetapi tidak diketahui persis
posisi ‘gps’nya. Dalam sebuah buku yang diterbitkan dalam bahasa Jerman (Die
ostasiatische Inselwelt, 1868) terdapat satu lukisan dimana pemandangan ke arah
(taman) Empang dari hotel Bellevue. Pada masa ini hotel Bellevue berada di
bioskop Ramayana dan taman dalam foto tersebut berada di bawah hotel di (kampong)
Empang.
membentuk cabang pemerintahan termasuk di Buitenzorg. Dalam hubungan ini
pemerintah juga mulai menata kota Buitenzorg. Ibu kota (regentschap) Buitenzorg
direlokasi dari Kampong Baroe (sisi timur sungai Tjiliwong) ke kampong Empang
(sisi timur sungai Tjisadane).
ini diduga terkait dengan suksesnya koffiestelsel yang diperkenalkan sejak era
Gubernur Jenderal van den Bosch (1830). Area koffiestelsel ini dikonsentrasikan
di tiga wilayah yakni wilayah lereng Megamendoeng (Pangrango) dan wilayah
lereng gunung Salak. Di kampong Empang, pemerintah membangun kraton bupati
dengan menyediakan ruang spasial untuk aloen-aloen kota.
Buitenzorg, DCA van Hogendorp akan melakukan perbaikan sejumlah jembatan,
termasuk jembatan yang berada di dekat rumah Bupati (Javasche courant,
18-02-1843). Jembatan yang dimaksud ini di tentu saja jembatan bambu yang
terdapat di kampong Empang di atas sungai Tjisadane yang menjadi akses menuju
wilayah koffiestelsel di lereng gunung Salak. Pada saat koffiestelsel inilah
diduga muncul sejumlah perkampongan baru di seberang sungai Tjisadane di lereng
gunung Salak. Salah satu perkampongan baru tersebut adalah kampong Pantjasan.
![]() |
Foto kota Empang (1880) |
tahun 1844 diberitakan oleh surat kabar Dagblad van ‘s Gravenhage, 02-04-1845.
Disebutkan bahwa pada pagi hari tanggal 27 November 1844, sekitar pukul
setengah enam, di kampong Empang, Buitenzorg, terjadi kebakaran dimulai di
rumah demang budaya kopi (demang der koffijcultuur) yang bersama dengan rumah
di sebelahnya dan dua loemboeng padi telah terbakar habis. Dapat dianggap
beruntung bahwa pada saat itu tidak ada angin, karena kalau tidak rumah
pemerintah yang dihuni oleh bupati dan bahkan seluruh kampung Empang pasti akan
menjadi mangsa api. Kerusakan dilaporkan berjumlah lebih dari f5800.
Pada
tahun 1846 Asisten Residen Buitenzorg mengumumkan ke publik untuk pembangunan
bendungan (lihat Javasche courant, 03-01-1846). Disebutkan bahwa diumumkan ke
publik tanggal 7 Januari 1846 dilakukan outsourcing untuk pembangunan bendungan
di sungai Tjidani di kampung Empang dan bagi peminat tidak akan ada uang muka.
Pembangunan bendungan ini tentu saja untuk meningkatkan kapasitas debit air
kanal sungai Tjipakantjilan (dari Bondongan ke Paledang).
Bellevue. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-01-1853 memberitakan bahwa hotel tersebut telah
diakusisi oleh W. Hamstra. Hotel Bellevue juga disebut sebagai Logement
Bellevue. Selain Hotel/losmen Bellevue di Buitenzorg juga dilaporkan terdapat
losmen di Kota Batoe (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 21-05-1853). Hotel Bellevue ini kemungkinan besar adalah
logement (losmen) milik Mr. Cobben sebelumnya. Hotel Bellevue atau losmen Mr.
Cobben di kampong Empang.
![]() |
Statistiek der Assiten Residentie Buitenzorg, 1861 |
Nama
kampong Kota Batoe tidak hanya di Buitenzorg, juga ada di Kalimantan dan
Sumatra. Kampong Kotabatoe di lereng gunung Salak diduga salah satu kampong
tertua. Ketika land Tjiomas dibentuk pada tahun 1863 kampong Kota Batoe menjadi
bagian dari land Tjiomas. Berdasarkan Statistiek der Assiten Residentie
Buitenzorg, 1861 di land Tjiomas terdapat sebanyak 72 kampong yang secara keseluruhan
dihuni oleh penduduk sebanyak 15.474 jiwa. Sementara itu persil lahan yang
berada di kampong Empang yang silih berganti pemiliknya diketahui dimiliki oleh
janda Pieter Johannes Overhand dengan sertifikat sejak 1862 (lihat Nederlandsche staatscourant, 07-04-1868).
Disebutkan lahan ini Perceel No. 21 dengan nilai verponding f20.000 dimana
lahan ini di sebelah tenggara berbatasan dengan jalan ke kampong Empang dan di
sebelah utara berbatasan dengan jalan besar dan sebelah timur laut berbatasan
dengan tana pemerintah.
baru, tempat dimana Bupati tinggal, diduga kampong Empang dinilai sebagai
tempat yang strategis yang memudahkan hubungan antara kota Buitenzorg dengan wilayah
pengembangan baru di lereng gunung Salak (land Tjiomas). Adanya logement baru
di kampong Kotabatoe diduga orang Eropa-Belanda juga telah membuka ruang baru
di lereng gunung Salak.
![]() |
Kampong Pantjasan (Peta 1900) |
Pada
tahun 1874 nama-nama kampong besar di Land Tjiomas adalah Tjibogel. Kotabatoe,
Kampong Djawa, Tjikaret, Tjibeureum, Rawa Gobang, Tjiomas Oedik, Kabandoengan,
Njalindoeng, Parakan dan Kira Lawang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1887).
ditemukan keterangan. Namun nama kampong Pantjasan sudah ada, salah satu dari
72 kampong di land Tjiomas. Berdasarkan letak kampong Pantjasan
yang begitu dekat dengan kampong Empang, diduga kampong Pantjasan bukanlah
kampong tua tetapi perluasan pemukiman dari kampong Empang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.