Sejarah

Sejarah Manado (15): Perang Kemerdekaan, Manado 14 Februari 1946; AE Kawilarang Berjuang di Padang Sidempuan, Tapanuli




false
IN



























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini
 

Tanggal 14 Februari 1946 penting bagi Kota
Manado. Hal tersebut karena 14 dijadikan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Manado.
Pada tanggal 14 Februari 1946 di Kota Manado terjadi suatu pemberontakan yang
ditujukan kepada Pemerintah Belanda-NICA. Akibat kejadian ini sejumlah komandan
yang pro Republik Indonesia ditangkap, ditahan dan oleh pengadilan militer NICA
Taula dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Ada dua
pemuda bersahabat di Bandung. Dua pemuda tersebut bersama TB Simatupang
dipromsikan untuk mengikuti pendidikan perwira profesional di akademi militer
di Bandoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-03-1941). Dua pemuda tersebut
adalah Alex Kawilarang dan Abdoel Haris Nasoetion. Ketiganya lulus pendidikan
dengan pangkat Luitenant. Pada awal perang kemerdekaan Abdoel Haris Nasoetion
berjuang dan memimpin pasukan di Bandoeng dan Alex Kawilarang di Bogor. Untuk
mendukung kekuatan di Sumatra Utara khususnya di wilayah Padang Sidempuan,
Majoor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion meminta sobatnya Kolonel Alex
Kawilarang
.

Lantas bagaimana sejarah perang kemerdekaan di
Manado di kampong halaman Alex Kawilarang? Yang jelas di Manado ada nama Taula.
Oleh karena itu Alex Kawilarang tidak perlu khawatir. Namun Abdoel Haris
Nasoetion sangat khawatir di kampong halamannya dan karena itu meminta Alex
Kawilarang ke Tapanoeli. Bagaimana itu semua terjadi? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Perang Kemerdekaan: NICA di Manado

Pendudukan tentara Sekutu di Manado, paling tidak
sudah diketahui pada bulan September 1945 (lihat Veritas: katholiek 14-daagsch
blad voor Maastricht, 25-09-1945). Namun kapan tepatnya tidak diketahui secara
jelas. Seseorang di Morotai (Halmahera Utara) menulis surat bertanggal 16 September
segera setelah pembebasan mereka yang dimuat surat kabar (lihat Amigoe di
Curacao, 06-10-1945). Itu berarti pembebasan interniran Eropa-Belanda sudah
mendahului ketika operasi tentara Sekutu-Inggris di Jawa dimulai.

Setelah
diumumkan oleh Kaisar Jepang menyerah tanggal 14 Agustus 1945, pasukan Sekutu
yang dipimpin oleh Inggris akan melakukan pelucutan senjata militer Jepang dan
pembebasan interniran Eropa-Belanda di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Tanggal 17 Agustus 1946 Ir Soekarno di Djakarta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Dalam fase sunyi di Manado-Minahasa orang-orang Jepang mengisiasi
pembentukan pemerintahan Indonesia yang menjanjikan kepada penduduk dan para
pemimpin lokal akan segera menjanjikan kemerdekaan. Mengapa bisa begitu
? Gaung proklamasi kemerdekaan Indonesia belum
sampai ke seluruh wilayah Indonesia (sementara tidak ada alat komunikasi, masih
dikuasai militer Jepang). Penduduk di Manado dan Minahasa tentu bingung ketika
pasukan Sekutu mendarat di Manado (tanpa ada perlawanan dari orang-orang Jepang
secara terbuka). Hal itulah yang menyebabkan situasi dan kondisi di Manado dan
Minahasa begitu sunyi senyap (berbeda dengan Jawa, kehadiran Sekutu disambut
dengan perang oleh penduduk dan para pemimpin perlawanan).

Kapal perang Sekutu-Inggris merapat di pelabuhan
Tandjoeng Priok pada tanggal 29 September 1945 (lebih cepat dari yang
diperkirakan tanggal 4 Oktober). Disebutkan bahwa pada awal Oktober Letnan
Jenderal Dr. HJ van Mook akan meninggalkan Brisbana dan akan mendarat bersamaan
dengan pasukan Sekutu di Batavia. Sebagaimana diketahui Belanda-NICA bergerak
di belakang Sekutu-Inggris untuk menggantikan posisi Jepang (dan dengan
demikian mengabaikan Republik Indonesia).

Setelah
melakukan pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang serta pembebasan
interniran Eropa-Belanda, pasukan Sekutu-Inggris merangsek ke Buitenzorg
tanggal 15 Oktober 1945. Sementara itu, dilaporkan untuk keberangkatan sebanyak
2.500 tentara Belanda (mantan tahanan perang) dari Bangkok ke Jawa beberapa
hari ditunda karena kesulitan transportasi. Mereka saat ini berlatih di sekitar
Bangkok dan dipersenjatai. Sementara itu sebanyak 5.000 Belanda yang juga
merupakan tawanan perang Jepang di Singapura dipersenjatai dan akan dikirim ke
Indonesia (lihat De patriot, 18-10-1945). Dalam perkembangannya, tanggal 18
Oktober 1945 pasukan Sekutu-Inggris memasuki Bandoeng; 20 Oktober 1945 mendarat
di Semarang; dan 25 Oktober 1945 mendarat di Soerabaja.

Apa yang telah terjadi tampaknya baru disadari
oleh penduduk dan pemimpin lokal di Manado dan Minahasa ketika orang-orang Eropa-Belanda
yang telah dibebaskan telah mengkomunikasikan apa yang terjadi dengan penduduk.
Bagaimana sambutan yang diberikan oleh penduduk dan pemipin lokal ketika
rombongan Belanda tiba (lihat Twentsche courant, 17-12-1945). Hal ini terungkap
dari laporan seorang reporter yang menyertai orang-orang Belanda tersebut.

Twentsche
courant, 17-12-1945: ‘Di bandara Langkawan–bandara untuk kota Menado dan
Tomohon—romborangan kami disambut oleh kerumunan orang Menado, yang berkumpul
di sekitar pesawat Catalina dengan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. Saya
mendiskusikan masalah kemerdekaan dengan para peimpin lokal. Hampir selalu
pertanyaan pertama adalah: ‘Mengapa Soekarno dibebaskan?’ Pandangan umum
tampaknya: ‘Kami ingin kemerdekaan atau pemerintahan sendiri, tetapi tidak
sekarang. Kami harus bekerja dengan Belanda untuk memulihkan daerah kami ke
sesuatu menyerupai situasi sebelum perang Kami memiliki keyakinan penuh pada
kata-kata Ratu Pemerintah Belanda. Kepuasan penuh tampaknya hanya bekerja dalam
hal ini–dan ini merupakan perbedaan penting– dari pemerintah sebelum perang bahwa orang-orang Indonesia terkemuka dipilih
dan diangkat dalam jabatan-jabatan yang sebelum perang hanya dianggap oleh
Belanda’.

Apa yang dilaporkan reporter surat kabar ini idem
dito dengan kesan seorang pejabat Sekutu-Inggris yang baru pulang dari
Kalimantan dan Sulawesi
(lihat Amigoe
di Curacao, 22-12-1945). Disebutkan bahwa seorang pejabat Sekutu yang baru
kembali dari perjalanan ke Kalimantan dan Sulawesi meyakinkan bahwa Belanda di
pulau-pulau ini disambut hangat oleh penduduk. Di Menado, khususnya, ada
keinginan yang besar untung mendatangkan para ahli dan material dari Belanda
untuk membuat pelabuhan dan institusi lain untuk dapat digunakan kembali.

Leeuwarder
koerier, 08-01-1946: ‘Di dataran tinggi Tondano di Minahassa, Catalina kami
mendarat dua hari yang lalu di atas tanah yang dibangun oleh Jepang, dimana
sisa-sisa mesin mereka yang hancur masih menempel di namanya. Pilot kami
berputar tiga kali untuk menjelajahi wilayah tak dikenal itu. Saat itu para
kuli melambai riang, yang bekerja di bandara, berlarian di bawah kami. Keempat
kalinya pesawat mendarat, dan ketika menara meriam dibuka untuk membiarkan udara
pegunungan yang sejuk, disana berdiri kerumunan yang bersorak-sorai seolah-olah
menyambut seorang pangeran….Penduduk Minahassa sebagian besar beragama
Kristen dan banyak dari mereka adalah orang Belanda. Disini bukan ‘Tabeh Tuan’,
tapi ‘Wellkomm!’ yang diteriakkan untuk menemui kami bahkan sebelum kami sempat
berpikir untuk keluar. Dan kemudian, saat rombongan kami berada di lapangan di
tengah semua wajah cokelat yang tersenyum, keheningan datang. Mereka mengatur
diri mereka sendiri dalam kelompok dan tiba-tiba nyanyian Wilhelmus terdengar
di sana,..Dan kemudian: ‘Hip hip Hore!’ dan lagi dan lagi! Puluhan suara
kemudian keluar dengan cerita heboh tentang orang Jepang dan betapa kejamnya
mereka…Tolong dicatat! Tak seorang pun disini yang tahu kami akan datang. Tak
satu pun dari para pekerja ini yang menyadari bahwa salah satu perwakilan
tertinggi pemerintah hadir disini dalam diri Tuan Van Hoogstraten, Direktur
Urusan Ekonomi (yang akan bertanggungjawab untuk Urusan Minahasa). Mereka tidak
melakukan apa-apa selain menyapa sekelompok Belanda yang tiba-tiba jatuh dari
langit. Tidak ada bedanya dengan perjalanan dingin kami melewati pegunungan
dari bandara ke Tomohon, tempat kami bermalam. Sepanjang jalan, anak-anak menyerbu
keluar rumah, berteriak, ‘Bye!’ Dimana-mana orang berdiri dan melambai. Daég!
….” Para wanita dan gadis-gadis muda melambai, dan memberi hormat dengan
gembira. Ini, berminggu-minggu setelah pembebasan, masih seperti masuknya
pasukan pembebasan. Seseorang menjadi lelah menjawab begitu banyak salam
berulang kali. Seseorang menjadi lelah, tetapi itu berhasil. hati baik. Namun,
jauh di lubuk hati itu menghilang dengan cepat pada saat itu kenangan yang
sangat besar tentang jalan yang sepi melalui kota yang gelap’.

Itulah gambaran di Manado dan Minahasa pada fase
transisi antara era pendudukan militer Jepang dan era kehadiran kembali Belanda (NICA).
Bendera Dai Nippon telah berganti menjadi bendera Tri Color. Tidak ada indikasi
sejauh ini muncul bendera Merah Putih. Secara umum terkesan ikatan lama dengan
Belanda bersemi kembali.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Alex Kawilarang: Bandoeng, Tapanoeli dan Minahasa

Sejak akhir tahun 1945 hingga pertengahan tahun
1946 ibu kota RI telah dipindahkan dari Djakarta (Batavia) ke Djogjakarta.
Tahap pertama adalah Kementerian Keamanan (Pertahanan) yang dipimpin Mr Amir
Sjarifoeddin Harahap. Selanjutnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Miohamad
Hatta pindah ke Djogjakarta pada awal bulan Januari 1946. Saat ini pasukan
Sekutu-Inggris masih bekerja dan pasukan Belanda-NICA secara bertahap mengambil
alih komando pasukan Sekutu-Inggris.

Komandan
TRI West Java di Bandoeng adalah Kolonel Abdoel Haris Nasoetion. Sementara sahabatnya
Overste Alexander Evert Kawilarang sebagai komandan TRI di wilayah hulu sungai
Tjisadane dan Tjiliwong (Tangerang en Buitenzorg). Menteri Pertahanan Amir
Sjarifoeddin Harahap, Kepala Staf (Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo) dan
kepala intelijen Kolonel Zulkifli Lubis di Djogjakarta. Seperti dilihat nanti, rombongan
terakhir Pemerintah RI yang hijrah dari Djakarta ke Djogjakarta terjadi pada
tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan
Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Overste Mr.
Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djogjkarta
yang diawasi oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946).

Pada tanggal 14 Februari 1946 di Manado terjadi
pemberontakan militer. Pemberontakan ini dilacarkan oleh Taula dkk. Semua pria
dan wanita Belanda ditangkap oleh Taula dkk dan menahannya. Tidak ada laporan
tentang perilaku tidak tertib, penjarahan atau upaya pembunuhan. Untuk
menyelidikinya telah dikirim sebuah misi ke Menado yang terdiri dari perwira
Inggris dan Belanda.

Algemeen Handelsblad, 20-02-1946: ‘Letnan Jenderal Spoor telah
menerima delegasi dari Amboneesche di Batavia yang menyatakan kesetiaannya
kepada otoritas Belanda, tetapi bersikeras untuk patuh janji-janji yang dibuat
selama perang. Di Sulawesi yang sampai sekarang damai, kaum nasionalis di bawah
pimpinan Dr. Ratulangie telah memutuskan kerjasama dengan Belanda, sementara di
Menado terjadi kasus pemberontakan di antara pasukan pribumi.  Leeuwarder koerier, 22-02-1946: ‘Diantara
tentara pribumi KNIL. Pemberontakan tentara pecah di Menado. Penyebabnya
tampaknya: ketidakpuasan dengan perbedaan gaji dan gizi. Otoritas militer dan
sipil telah diambil alih oleh para kapten. Semua pria dan wanita Belanda telah
ditangkap. Penyimpangan tampaknya tidak terjadi sebaliknya. Perwira Inggris dan
Belanda akan menyelidiki’. Nieuwsblad van het Zuiden : dagblad met ochtend-
en avond-editie, 22-02-1946
: ‘Pemberontakan diantara pasukan pribumi di
Menado. Kemarin malam komunike resmi berikut dikeluarkan di Batavia.
Pemberontakan tentara pribumi pecah di Menado. Sebagai alasan pemberontakan dipicu
perbedaan upah dan makanan yang akan dibuat. Semua otoritas militer dan sipil
telah diambilalih oleh para pemimpin pemberontak. Semua pria dan wanita Belanda
telah ditangkap dan kapten telah menyatakan bahwa mereka dijaga dengan baik.
Sebuah misi telah tiba di Menado yang terdiri dari perwira Inggris dan Belanda yang
akan melakukan penyelidikan dan mencoba untuk mengklarifikasi situasi. Tidak
ada laporan tentang perilaku tidak tertib, penjarahan atau upaya pembunuhan’.

Dalam perkembangannya pemberontakan yang terjadi
di Manado dipicu karena adalanya perbedaan gaji dan yang ransum antar anggota
KNIL-NICA. Pemberontakan ini dipimpin oleh para komandan pribumi (anggota
KNIL-Belanda) berpangkat kapten (Taula dkk) yang diantaranya datang dari
Makassar. Anggota KNIL pribumi ini melakukan tindakan makar terhadap (otoritas)
Peerintahan NICA dengan menangkap para pejabat NICA di Manado dan kemudian
menahannya, Ini sepintas terkesan permasalahan internal antara sesama anggota
KNIL antara yang berasal Belanda vs yang berasal dari pribumi, sebab seperti
yang diberitakan tidak ada gangguan yang terjadi pada masyarakat.

Kapten
Taula tentu saja bukan orang bodoh, boleh saja isunya soal perbedaan gaji dan
ransum tetapi pada waktu relatif yang bersamaan diberitakan bahwa Dr Sam
Ratulangi (di Makassar) telah memutuskan kerjasama dengan Pemerintah
NICA-Belanda. Apakah dua peristiwa ini saling terhubung
? Namu
persoalannya, Sam Ratulangi dan Taula dkk hanyalah segelintir orang anti
Belanda dibandingkan keseluruhan populasi Manado-Minahasa. Seperti dikatakan
sebelum dan sesudah kejadian tidak terjadi permasalahan yang berdampak pada
masyarakat. Kekejaman Jepang di Manado-Minahasa sudah berlalu dan kini
kelembutan Belanda sudah di depan mata. Itu satu hal, persoalan Sam Ratulangi
dan Taula dkk adalah hal lain. Kehidupan di Manado-Minahasa kemudian berjalan
apa adanya.

Sementara itu, nun jauh disana di Jawa, seorang pemuda
bermarga Manado-Minahasa berjuang melawan Belanda (NICA) tanpa henti. Pejuang
itu bernama Alex Kawilarang dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel RI). Alex
Kawilarang berada di bawah komando West Java yang dipimpin Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion.

Alex
Kawilarang lahir di Meester Cornelis (kini Jatinegara Jakarta) dan bergabung
dengan TKR pada bulan Oktober 1945 tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Sebelumya Dr Sam Ratulangi di Djakarta telah turut mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia yang tergabung dalam PPKI yang dipimpin oleh Ir Soekarno.
Pada awalnya Alex Kawilarang sebagai petugas penghubung dan kemudian melakukan
pekerjaan staf  di West Java. Pada saat
inilah diduga Alex Kawilarang bertemu kawan lama, komandan TRI West Java di
Bandoeng Kolonel Abdoel Haris Nasoetion. Tentu saja Abdoel Haris Nasoetion
menganggap tidak tepat pada urusan staf dan menjadi alasan bagi Abdoel Haris
Nasoetion meminta bantuan Alex Kawilarang untuk menangani pasukannya di wilayah
barat West Java (hulu sungai Tjisadane Tangerang dan hulu sungai Tjiliwong
Buitenzorg). Pada bulan Februari 1946 (Overste) AE Kawilarang resmi menangani
pasukan teritorial (militer). Markas komando Kolonel Abdoel Haris Nasoetion
berada di antara Bandoeng dan Poerwakarta. Abdoel Haris Nasoetion menjadi lega
karena di barat sudah ada Overste Kawilarang dan di utara sudah ada Overste
Sadikin. Pasukan dari Midden Java dan Oost Java sudah ada yang bergabung di
kesatuan West Java ini. Salah satu diantaranya Overste Ir MO Parlindoengan (AFP
Siregar) ahli senjata kimia dan bom lulusan teknik kimia Universiteit te Delft.

Pada bulan Maret 1946 Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion di Bandoeng harus menghadapi situasi sulit karena di satu sisi
Sekutu-Inggris (setelah terjadi kesepakatan dengan PM Soetan Sjahrir) memberi
ultimatum (paling telat tanggal 24 aret) untuk mengosongkan wilayah pertempuan
di Bandoeng Utara sementara di sisi lain mendesak untuk perang frontal. Dalam
situasi ini Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan kereta
bergegas dari Djogjakarta untuk menemui Kolonel Abdoel Haris Nasoetion di
Bandoeng.

Kolonel
Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi Siliwangi, untuk menghindari hal yang
tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk
meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini
terjadi pembakaran. Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai
‘Bandung Lautan Api’ (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946).

Demikialah seterusnya pertempuran semakin intens,
lebih-lebih setelah pasukan Belanda-NICA mengambil alih posisi Sekutu-Inggris.
Namun kekuatan militer NICA yang terus mengalir dari Belanda membuat kekuatan
TRI menjadi tidak sebanding, Meski demikian perang gerilya menjadi pilihan.
Posisi militer di Bandoeng menjadi terbagi dua satu bagian ke selatan-barat
Bandoeng dan satu bagian yang lain ke utara-timur (yang berpusat di Markas
Besar di Poerwakarta). Pasukan yang berada di bawah komando Kawilarang juga
bergeser ke selatan Buitenzorg (antara wilayah selatan Soekaboemi dan selatan
Tangerang-Djasinga). Pasukan Kawilarang ini terhubung dengan pasukan yang
berada di wilayah selatan-barat Bandoeng (sekitar Palaboehan Ratoe).

Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 08-08-1947:
‘Bagian kota Soekaboemi terbakar habis, sebelah timur kota, pertempuran antara
TNI dan militer Belanda. Republik tanpa henti melakukan kampanye intimidasinya,
yang akan membutuhkan tindakan yang sangat ketat. Pengumuman Overste Kawilarang
dari TNI bahwa semua yang bekerja sama dengan Belanda akan dihukum berat, Pada
saat pengumuman sebanyak 56 pejabat Indonesia secara spontan berhenti bekerja
pada hari Kamis karena takut. Sementara itu operasi pembersihan oleh Belanda terus
berlanjut dengan patroli dan terjadi pertempuran di daerah pegunungan. Mungkin
sekitar seribu prajurit TNI telah berlindung di pegunungan sekitar Soekabumi,
dimana mungkin juga amunisi dan tempat penyimpanan bensin dan persediaan lain
disembunyikan. Di Segaranten terdapat konsentrasi ekspatriat yang telah dibawa
sebagai tahanan politik bersama mereka. Dalam oeprasi ini secara umum, hanya
sedikit senjata yang ditemukan. Sekarang telah diketahui bahwa TNI memiliki senjata
dari Jepang dan senjata Amerika.

Gencatan senjata kemudian dilakukan perundingan
antara Belanda-NICA dan Republik Indonesia (yang dipimpin oleh Perdana Menteri
RI Mr Amir Sjarifoeddin Harahap) Januari 1948. Dalam klausal hasil perjanjian
(Renville) pasukan Indonesia harus mengosongkan wilayah pendudukan Belanda. Hasil
yang tidak memuaskan ini Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mengundurkan diri sebagai
Perdana Menteri (kemudian digantikan Mohaad Hatta). Namun proses itu
membutuhkan waktu. Pasukan Siliwangi terpaksa harus mengungsi ke
Djogjakarta-Midden Java. Dalam fase persiapan ini para pasukan Belanda tampak
lega (dan menjadi perjuangan berat bagi pasukan TNI berangkat ke ibu kota RI di
Djogjakarta)

 

Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-02-1948: ‘Divisi
Taugerang. Selama satu setengah tahun pasukan ini, yang tergabung dalam Divisi
Tangera.ng yang terkenal, telah bertahan di pegunungan. Dipimpin oleh Overste Kawilarang
yang terkenal, mereka melawan tentara Belanda dari tempat persembunyian dan
penyergapan mereka. Perjuangan itu sulit, terutama dalam beberapa bulan
terakhir, ketika koneksi militer kami terancam.
Selama
satu setengah tahun tentara kami telah mencoba untuk meniadakan pengaruh para
pengganggu perdamaian dan ketertiban ini. Hanya nama beberapa komandan yang
dikenal bolak-balik; tabrakan tak terduga, tembakan tiba-tiba dari jarak jauh,
bayangan sosok yang melarikan diri di dekat koridor patroli malam, ini adalah
satu-satunya kontak yang pernah dimiliki seseorang. Pertempuran telah terjadi
di kedua sisi tanpa ampun; di sisi kita dengan tugas melindungi bangsa dan
negara dari bandit dan teror, di sisi lain dalam pemenuhan idealisme yang
kurang lebih peduli. Dan pertarungan antara akal dan rasa tanggung jawab di
satu sisi dan perasaan yang tidak terkendali dan fanatisme yang kejam di sisi
lain, yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun di pegunungan sekitarnya,
kini telah berakhir. Tetapi penyebab konflik telah hilang, Pada pertemuan
pertama ini, menjadi semakin jelas dari sebelumnya betapa berbedanya wawasan
tentang poin-poin utama yang mengatur konflik ini’.

Diantara pasukan Siliwangi yang turut hijrah ke
Djogjakarta adalah brigade yang dipimpin oleh Overste Kawilarang dengan pusat
peberangkatan stasion Soekaboemi. Pasukan Siliwingai tiba di Djogjakarta pada
tanggal 11 Februari 1948.

Di
Djogjakarta selama kepemimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta, struktur TNI
mengalami perubahan. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion diangkat menjadi Wakil Panglima
Perang Republik Indonesia (mendampingi Jenderal Soedirman).

Untuk memperkuat pertahanan di Sumatra, Wakil
Panglima Perang Republik Indonesia Abdoel Haris Nasoetion meminta sobatnya
Overste Kaliwarang untuk ke Tapanoeli. Pada bulan Agustus 1948 Overste
Kawilarang berangkat ke Bukittinggi untuk selanjutnya ke Tapanoeli.

Seperti
halnya di Jawa, republik berpusat di Djogjakarta, di Sumatra berpusat di
Bukittinggi (Fort de Kock). Boleh jadi ini sehubungan dengan terusirnya para
TNI dari wilayah pendudukan Belanda. Pada masa ini Perdana Menteri adalah
Mohamad Hatta (menggantikan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Seperti halnya di
Jawa, organisasi TNI di Sumatra juga sudah terbentuk. Komandan TNI di Sumatra
bagian Tengah yang berpusat di Bukittinggi adalah Kolonel Hidayat dan Komandan
di Sumatra bagian Selatan adalah Kolonel Simbolon. Di Sumatra bagian Utara
gubernur militer adalah Majoor Jenderal Dr Gindo Siregar.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top