Sejarah

Sejarah Lombok (46): Zaman Kuno di Nusa Tenggara Barat, Prasasti Batu Wadu Tunti di Bima; Lombok, Antara Bali dan Sumbawa




false
IN



























































































































































false
IN


























































































































































Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di provinsi Nusa Tenggara Barat? Tentu saja tidak berdiri
sendiri, besar kemungkinan terkait di pulau-pulau sebelah barat (provinsi Bali)
dan pulau-pulau sebelah timur (provinsi Nusa Tenggara Timur). Namun posisi
pulau Sumbawa tempat ditemukan prasasti menjadi strategis memahami sejarah
zaman kuno di kawasan. Lalu apaakah ada hubungan kerajaan-kerajaan di wilayah (pulau)
Sumbawa dengan kerajaan-kerajaan besar pada era prasasti dibuat
? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prasasti Wadu Tunti di Sumbawa: Kerajaan Majapahit dan Kerajaan
Aru

Diantara
beberapa temuan zaman kuno di provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya di
(pulau) Sumbawa, prasasti Wadu Tunti yang terpenting. Hal itu karena ada teks
yang cukup banyak beraksara Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Kuno. Itulah keutamaan
teks jika hanya sekadar gambar pada prasasti. Penemuan prasasti di Sumbawa,
dengan latar berlakang berbagai prasasti di Jawa dan Sumatra, akan memperkuat
informasi untuk lebih memahami atau debaliknya dengan prasasti-prasasti yang
ditemukan di Flores, di Seko dan di Minahasa.

Prof Kern dalam bukunya yang terbit 1919 yang
menyajikan naskah Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 dan
berbagai ulasan dan kesimpulannya paling tidak didapatkan bagaimana gambaran
Kerajaan Majaphir tahun 1365 atau sebelumnuya. Dalam hubungan dengan nama di
pulaua Lombok dan Sumbawa, Prof Kern menyatukan berbagai tempat yang menjadi
mitra persahabatan (perdagangan) Majaphit di dalam satu peta. Pada peta
tersebut di pulau Lombok disebut nama Lombok Mirah (Lombok) dan Saksak (Sasak).
Sementasi di pulau Sumbawa disebut nama Taliwang, Dompo (Dompu), Bhima,
Sanghyang Api (suatu pulau gunung api) dan Sape (Sapi). Sedangkan di sebelah
barat Lombok disebut Bali, di sebelah timur Sumbawa disebut Sumba. Dalam hal
ini tampaknya nama Sumba lebih awal dikenal dari nama Sumbawa, seperti halnya
Solor dan Timor lebih awal dikenal daripada nama Flores. Yang perlu
diperhatikan dalam posisi Lombok dan Sumbawa ini di sebelah utara sudah disebut
nama Makassar, Bantaeng dan Selayar.

Dari
prasasti Wadu Tunti (bahasa Bima untuk Batu Tulis) yang beraksara dengan bahasa
Jawa Kuno, para ahli menyebut teks pada prasasti dibuat pada era (kerajaan)
Majapahit. Dalam deskripsi Kern, tidak ada indikasi Majapahit telah menyerang
nama-nama tempat itu, tetapi pada pupuh-15 hanya disebutkan wilayah Majapahit
dalam bermitra (perdagangan). Dalam posisi tahun 1365 atau sebelumnya nama-nama
tempat di Lombok dan Sumbawa adalah nama-nama yang eksis pada era Majapahit
yang diduga sebagai pelabuhan (kerajaan) yang independen. Dalam hubungan ini
kita dapat mengutip teks prasasti Wadu Tunti sebagai berikut (hasil pembacaan Balai
Arkeologi Denpasar):

//ni wuhani.

nira sang lumiwat

ta wani winidhi sahilangnya…….a

tani bhalang geni diuputan lani balutani

ngilang panini mahilangnya nira sang ngaji
sapalu yiki

ba hanipuh apari sadatenga ni sapalu //

panglunga pidu rikasa//

………sira sang ngangatura

………ruwang nira sang ngaji

………sapalu//.

Alihbahasa (Balai Arkeologi Denpasar)

Ketahuilah

Beliau (mereka) yang melewati tempat ini
(liwat)

berani ditentukan (dipilih) akan hilang…

…..melemparkan api, gugur (duputan) langit

hilang ditiadakan (panini) hilanglah (moksa?)
beliau Sang ngaji raja sapalu ini

…..menghancurkan (hanipuh) ketika beliau datang
di negara Sapalu

pergi lenyap (panglunga) ke angkasa

…..beliau yang akan mengatur (menyampaikan)

…..teman (pengikut) beliau Sang ngaji

…..sapalu

Dari
prasasti Wadu Tunti, meski pada era Majapahit, namun tidak ada indikasi bahwa
Bhima (tempat ditemukan prasasti) tidak dalam posisi di bawah (kerajaan)
Majapahit. Yang ada dalam teks adalah nama raja Sang ngaji dan nama tempat
(kerajaan) Sapalu dan Hanipuh. Nama raja dan nama tempat ini tampaknya nama
yang mirip kita kenal pada masa ini sebagai nama Sangaji dan nama Saparua dan
Manipa. Hanya itu saja yang dapat diinterpretasi dari teks tersebut, selainnya
kita hanya menduga-duga, apakah ada hubungan nama raja Sang Haji dan nama Saparua
dan Manipa di satu sisi dengan nama Bhima.

Namun jika diperhatikan secara cermat secara
kontekstual (di luar teks), Kerajaan Bima (sesuai namanya) awalnya beragama
Hindoe, tetapi kini sudah memiliki hubungan dengan raja dari Saparua yang sudah
Islam dan bergelar haji. Kerajaan Saparua akan membantu kerajaan Bima jika ada
yang bermaksud jahat kepada (kerajaan) Bima. Dimana kerajaan Saparua berada
? Pada teks
Negarakertagama (Kern) hanya disebut nama-nama tempat di wilayah Maluku yang
sekarang adalah Hutan Kadarli (Buru), Ambuwan (Amboina), Muar, Ceram (Seram),
Wandan (Banda), Gurun, Maloko. Kern mengidentifikasi ada dua nama Gurun yakni
pulau Nusa Penida yang sekarang dan pulau di tenggara Seram, sementara Kern
megidentifikasi nama Muar tepat pada pulau Saparua yang sekarang (di tenggara
pulau Haruku). Dalam hal ini versi Kern Saparua adalah Muar, maka nama Saparua pada
teks Wadu Tunti adalah nama Muar versi Negarakertagama. Boleh jadi pada era
Majapahit Saparua (Negarakertagaa) masih diidentifikasi Muar tetapi pada era
prasasti Wadu Tunti namanya sudah menjadi Saparua. Sementara nama Hanipuh dalam
teks Wadu Tunti adalah pulau Manipa yang sekarang. Kelak pada era VOC nama
Manipa terkenal karena nama Kaptein Jonker, putra Sangaji. Dalam hubungan ini,
raja Saparua adalah Sang Haji dari Manipa. Lantas bagaimana dengan nama Haruku
yang sekarang (tetangga Saparua). Kern tidak mengidentifikasi pulau tetangga
Muar karena tidak ada di Negara Kertagama (dan juga tidak ada dala prasasti
Wadu Tunti. Pulau tetangga itu kini dikenal sebagai pulau Haruku. Seperti kita
lihat nanti nama Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor berkolaborasi dalam
navigasi pelayaran perdagangan dari pantai timur Sumatra hingga ke kepulauan
Maluku. Dalam hal ini Muar mengacu pada nama Moor (seperti di semenanjung
Malaka) dan nama Haruku merujuk pada nama Kerajaan Aru (H-aru-ku). Dengan kara
lain orang-orang Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor berada di pulau yang
berdekatan. Pulau Muat atau Saparua menjadi pusat perdagangan sementara Haruku
menjadi feeder.

Kerajaan
Saparua di tenggara Seram yang rajanya bergelar haji, sangat beralasan. Hal ini
dapat dijelaskab bahwa dua nama di wilayah Maluku yakni Maloko dan Muar lebih
mirip nama-nama para pedagang Moor yang berbasis di pantai timur Sumatra dan
pantai barat Semenanjung. Nama Maloko (mirip Maroko daripada Malaka) dan nama
Muar (merujuk pada nama Moor, nama kota di semenanjung Malaka yang menjadi
pusat komunitas orang-orang Moor) telah membentuk pelabuhan perdagangan di Moloko
(Ternate) dan dekat Amboina, yang mana nama Muar pada Negarakertanegara (Kern)
adalah tetangga pulau Haruku yang sekarang. Bukankah nama Maloko dan Muar terkesan
mirip satu sama lain (nama Moor). Orang-orang Moor adalah pedagang-pedagang
beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara. Sedangkan nama Haruku merujuk
pada nama Kerajaan Aru.

Orang-orang Moor (berasal dari Mauritania,
Maroko dan Tunisia) pasca Perang Salib di Eropa Selatan, Cordoba-Spanyol) telah
menyebar ke berbagai tempat seperti Afrika Timur (Madagasakan) hingga pantai
barat India (Gujarat, Surate dan Goa) yang lalu kemudian menemukan jalan ke
Hindia Timur yang terkonsentrasi di selat Malaka. Dengan tingginya populasi
orang-orang Moot di Hindia Timur diketahui Ibnu Batutah seorang Moor berasal
dari Tunia berkunjung ke selat Malaka dan Tiongkok pada tahun 1345. Sekitar 29
tahun sebelum Mpu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Pedagang-pedagang
Moor juga terdapat di pantai timur Sumatra (Kerajaan Aru). Berdasarkan prasasti
Batugana, dari empat raja (federasi) Kerajaan Aru dua diantaranya bergelar
Kadhi (pemimpin agama Islam) yang mana salah satu bergelar haji. Jadi sangat
masuk akal raja Saparua beragama Islam dengan gelar haji. Lantas mengapa teks
yang digunakan pada prasasti Wadu Tunti aksara dan bahasa Jawa Kuno dengan
campuran bahasa Bima, sebab saat itu lingua franca dalam navigasi pelayaran di
wilayah selatan Jawa Kuno di wilayah utara Melayu Kuno (yang keduanya berasal
dari lingua franca yang lama Sanskerta). Aksara Jawa Kuno dengan aksara Melayu
Kuno mirip satu sama lain. Prasasti Batugana yang digunakan adalah aksara dan
bahasa Melayu Kono dengan campuran bahasa Batak. Sampai sejauh ini (1365)
paling tidak sudah ada raja-raja yang beragama Islam yakani Kerajaan Aru
(parasasti Batugana) dan Saparua (prasasti Wadu Tunti) yang boleh jadi radja
Bima, raja Ternater, raja Haruku juga sudah beragama Islam. Catatan: Kerajaan
Aru berada di sungai Barumun, kawawasan yang kini dikenal Padang Lawas dengan
belasan situs candi (Tapanuli Selatan).

Pada
saat Mpu Prapanca menulis Negarakertagama 1365 sesungguhnya Kerajaan Majapahit sudah
mulai menurun, karena setahun sebelumnya (1364) disebutkan panglima Majapahit
meninggal (diduga di sekitar Solor dan Timor). Kerajaan Majapahit drastis
menurun setelah raja Majapahit yang terkenal Hayam Wuruk meninggal tahun 1389.
Lantas muncul pertanyaan kapan prasasti Wadu Tunti dibuat
? Besar dugaan setelah Raja Majapahit Hayam Wuruk
meninggal dan Kerajaan Majapahit menurun, sementara Kerajaan Aru (yang
berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor) berkembang pesat.

Kerajaan Aru atau
Kerajaan Panai adalah kerajaan besar kerajaan sepanjang masa yang diduga lebih
tua dari Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga. Kerajaan Aru sentara
kamper (lihat Ptolomeus 90-168 M) yang dalam literatur Eropa disebut Barus
adalah pelabuhan ekspor kamper pada abad ke-5. Kerajaan Aru yang beribukota
Binanga membantu Kerajaan Sriwijaya dalam menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa
(lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M). Barus di pantai barat Sumatra dan Bianga
di pantai timur Sumatra adalah dua pelabuhan Kerajaan Aru. Pengaruh Kerajaan
Aru sudah sampai di pulau Luzon, Filpina (lihat prasasti Laguna 900 M). Dalam
invasi Kerajaan Chola di India selatan yang dimulai tahuin 1022 termasuk
menyerang Kadaram (Kerajaan Kedah), Panai (Kerajaan Aru) dan Sriwijaya yang
masih berada di muara sungai Batanghari (lihat prasasti Tanjore 1030).. Pasca invasi
Chola Kerajaan Aru bangkit kembali, demikian juga Kadaram dengan suksesinya
Malaka serta kerajaan Sriwijaya. Pada era Singahsari di Jawa raja Kertangara
menjalin kerjasama (perdagangan) dengan Kerajaan Aru. Kerajaan Aru yang
beragama Boedha sekte Bhairawa membuat raja Kertanegara mengadopsi agama Bodha
Batak sekte Bhairawa. Schnitger (1935) menyimpulkan raja Kertanegara adalah
pendukung fanatik sekte Bhairawa. Hal itulah mengapa raja Kertanegara mengirim
arca kepada raja Kerajaan Mauli (Darmasraya) di hulu sungai Batanghari yang
juga pendukung sekte Bhairawa yang kemudian Singhasari menyerang Sriwijaya yang
sudah beribukota di Palembang (yang beragama Boedha non sekte Bhairawa). Raja
Kertanegara meninggal tahun 1292 (lalu di pihak lain terbentuk Kerajaan
Majapahit yang beragama Hindoe). Disebutkan Kerajaan Majapahit menyerang
kerajaan Sriwijaya yang mulai bangkit setelah sebelumnya diserang Sing dhasari.
Pada masa inilah raja Dharmasraya Adityawarman yang ada kaitannya dengan
Kerajaan Majapahit merelokasi ibu kota ke hulu sungai Indragiri (kelak disebut
kerajaan Pagaroejoeng). Radja Adityawaran juga pendukung fanatik sekte Bhairawa
.
Raja Adityawarman meninggal tahun 1375. Sementara itu dua raja Kerajaan Aru
sudah masuk Islam (lihat prasasti Butugana). Seperti disebut di atas, patih
Gajah Mada meninggal 1364, Mpu Prapanca menulis Negarakertagama 1365 dan Raja
Hayam Wuruk meninggal 1389. Hanya tinggal satu kerajaan besar yang tersisa
setelah Sriwijaya dan Majapahit menurun. Pengaruh Kerajaan Aru yang sudah
terbentuk di Borneo Utara dan Filipina meluas hingga ke Sulawesi bagian Utara
di Minahasa (lihat prasasti Watu Rerumeran) dan Sulawesi bagian selatan di Seko
dan Toraja (lihat prasasti Seko) dan Maluku di Ternate dan H-aru-ku dekat Muar
atau Saparua (lihat prasasti Wadu Tunti). Kerajaan Aru sudah sejak lama berkolaborasi
dengan pedagang-pedagang Moor (yang menyebabkan kehadiran Ibnu Batutah 1345).

Pengaruh
Kerajaan Aru bahkan sudah mencapai pulau Aru di laut Aru-furu (nama pulau
dan  laut merujuk pada nama Kerajaan Aru).
Lantas apakah Kerajaan Muar dan Haruku merujuk pada nama Moor dan Aru? Sangat-sangat
masuk akal. Hal itulah boleh jadi mengapa pada prasasti Wadu Tunti terkesan maknanya
yang menyatakan bahwa Raja Bima telah mewanti-wanti penduduk yang berhianat
akan dihukum radja Sang Haji di Saparua (yang boleh jadi telah didukung orang-orang
Kerajaan Aru di Haruku dan pedagang-pedagang Moor yang berada di pulau Muar (Saparua).
Lalu apakah nama Maluku yang sekarang merujuk pada nama Maloko (Ternate) atau
Haruku
? Yang jelas pulau Aru
merujuk pada nama Kerajaan Aru dan nama Saparua sebelumnya bernama Muar
(merujuk pada nama Moor). Sedangkan nama Bima merujuk pada nama Hindoe (diduga
dari Majapahit). Dengan demikian, pengaruh Majapahit di Sumbawa (Bima) telah
dianggantikan oleh pengaruh orang-orang Moor dan orang-orang Kerajaan Aru.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lombok dan Bima: Kerajaan Demak dan Era VOC (Belanda)

Prasasti
Wadu Tunti, seperti disebut di atas, tidak hanya teks, juga terdapat pola
(gambar) empat orang yang diduga mengindikasikan federasi empat raja (Bima,
Dompo, Sangiang dan Sape). Seperti di berbagai prasasti yang ditemukan, semua
teks dan pola yang dibuat seefisien mungkin karena digurat dalam batu, haruslah
mengandung makna yang begitu penting untuk diketahui secara luas. Seperti teks yang
telah diintetrpretasi di atas, pola (gambar) pada batu prasasti memiliki kaitan
yang erat dengan isi (makna) teks, yakni adanya pengaruh Islam dan keberadaan
empat kerajaan di bagian timur pulau Sumbawa.

Kerajaan-kerajaan di gugus kepulauan (Nusa Tenggara)
dari Bali, Lombok, Sumbawa, Solor hingga Timor sebelumnya memiliki kepercayaan
Hindoe (mangzu pada narasi Negarakertagama), tetapi narasi pada prasasti Wadu
Tunti, paling tidak empat kerajaan di bagian timur pulau Sumbawa telah
mengadopsi ajaran agama Islam (Bima, Dompo, Sangiang dan Sape). Pengaruhnya
bukan dari Jawa (tentu saja bukan dari Majapahit) tetapi datang dari arah timur
di kepulauan Maluku (Saparua, Haruku dan Manipa). Pengaruh agama Islam yang
sudah mulai menguat di Maluku (dan Sumbawa) ini boleh jadi terkait dengan makna
prasasti yang ditemukan di Seko Toraja dan Minahasa.

Lantas
apakah ada tekanan dari Majapahit (Hindoe) terhadap kehadiran pengaruh Islam di
pantai timur pulau Sumbawa
? Tampaknya tidak ada karena Kerajaan Majapahit telah
menurun yang mana patihnya yang terkenal Patih Gajah Mada meninggal 1364 dan
raja Majapahit yang terkenal Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Sebaliknya,
penetrasi Kerajaan Aru yang didukung pedagang-pedagang Moor dalam navigasi pelayaran
perdagangan di Sulawesi dan Maluku sudah mencapai pulau Sumbawa, Solor, Sumba
dan Timor yang mana empat kerajaan di pulau Sumbawa telah mengadopsi agama
Islam. Lalu apakah ada kaitan prasasti Wadu Tunti dengan prasasti batu yang
ditemukan di pulau Flores (dekat Solor)
?

Prasasti Flores di Cabo del Florist (Tanjung Bunga)
di desa Waibao yang sekarang. Prasasti Flores (bagian timur pulau Flores) ini
berada pada garis sejajar dengan ditemukan prasasti Wadu Tunti di Bima (bagian
timur pulau Sumbawa). Prasasti tampaknya tidak terhubung dengan prasasti Wadu
Tunti, tetapi prasasti Flores di Tanjung Bunga (situs Painhaka dan situs Nopin
Jaga) diduga kuat memiliki kesamaan dengan prasasti di Seko dan Minahasa. Hal
ini disarkan pada informasi yang disebutkan pada dua prasasti ini terdapat pola
gambar lingkaran kecil dan besar, telapak kaki dan rangka tulang daun. Prasasti
Wadu Tunti diduga kuat ada hubungannya dengan (kerajaan) Solor, Sumba dan Timor
(sebagaimana tiga nama ini dicatat dalam Negarakertagama).

Lalu bagaimana
pengaruh Islam mencapai pulau Sumbawa (dan mungkin pulau Solor, Sumba dan
Timor) dari arah timur
? Seperti disebut di
atas, ada kemungkikan karena Majapahit telah menurun. Ini sehubungan dengan
meninggalnya patih Gajah Mada tahun 1364. Tentang kematian Gajah Mada ini juga
ada yang berpendapat, bukan meninggal karena sakit, tetapi Gajah Mada disebutkan
meninggal tetapi ada juga yang menyatakan menghilang (moksa), bahkan ada yang
menyatakan meninggal atau moksa di wilayah timur. Apakah itu di sekitar pantai
utara pulau-pulau Nusa Tenggara
? Tentu saja kita hanya bisa bertanya saja. Lalu jika
itu benar, apakah Gajah Mada dengan pasukannya telah berperang di kawasan
melawan Bima dan sekutu-sekutunya (Sumba, Solor, Timorn plus Saparua). Sebab di
dalam Negarakertagma disebut Bima yang memberontak dan harus dihukum. Itulah
makna terpenting dari prasasti Wadu Tunti.

Prasasti Flores, seperti disebut di atas besar
dugaan mirip dengan prasasti di Seko Toraja dan prasasti Watu Rerumeran, Minahasa.
Prasasti Flores dan prasasti Seko sama-sama memiliki pola lingkaran dan juga
pola telapak kaki. Diduga kuat prasasti Seko dan prasasti Flores lebih awal (Boedha)
daripada prasasti Wadu Tunti (Islam). Sedangkan nama-nama yang disebut dalam
Negarakertagama seperti Lombok, Dompo, Bima, Sangiang, Sape, Solor, Sumba dan
Timor pada saat mana terdapat pengaruh era Majapahit (Hindoe). Seperti disebut
di atas pengaruh Majapahit di kawasan ini sudah mulai memudar dan digantikan
oleh pengaruh Kerajaan Aru (Islam) melalui Saparua.

Pada akhirnya pengaruh
Majapahit menghilang di wilayah lebih timur dari Jawa. Namun pengaruh Islam
dari arah timur (Saparua dan Bima) hanya sampai di Taliwang (pantai barat
Sumbawa). Sedangkan di Lombok (pantai utara dan timur) dan Bali (pantai utara
di Buleleng) pengaruh Islam datang dari arah barat sehubungan dengan tumbuh
kembangnya komunitas Musli di pantai utara Jawa seperti Chirebon, Semarang,
Soerabaya (pengaruh Kerajaan Malaka). Pada fase inilah adanya ekspedisi
Tiongkok di bawah Laksamana Cheng Ho (1403-1433). Adanya pengaruh Tiongkok di
Sumatra (Kerajaan Ar) dan di pantai utara Jawa, menyebabkan komunitas Islam di
Jawa semakin menguat yang pada akhirnya terbentuk Kerajaan Demak (1480an).
Kerajaan Demak semakin berkibar dan Kerajaan Majapahit tamat di Jawa.

Pengaruh Kerajaan Demak hanya mencapai Palembang di
Sumatra, pantai barat dan selatan Kalimantan (eks pengaruh Majapahit). Pengaruh
Demak ke arah timur hanya sampai di Bali (Buleleng) dan Lom,bok (pantai utara
dan teluk Lombok di timur). Islam di pulau Sumbawa sudah lama (dari timur,
Saparua dan kemudian dari utara Makassar), Pengaruh Kerjaaan Demak di Lobok dan
Bali kemudian digantikan oleh Kerajaan Jepara. Dalam laporan Cornelis de
Hourman (1597) di teluk Lombok, sejak 1593 sudah terbentuk koloni Jepara dalam
hubungannya prduksi kayu. Dalam hal ini terdapat garis continuum sejak era
Singhasari, Majapahit hingga Demak dan Japara pada kota-kota pelabuihan yang
sama. Pada era Demak-Jepara hanya sampai di Lombok. Di Sumbawa yang awalnya
Saparua bergeser menjadi Makassar (terutama pada era Kerajaan Gowa).

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top