Sejarah

Sejarah Kupang (39): Labuan Bajo, di dekat Pulau Komodo, Kini Ibu Kota Manggarai Barat; Menatap Destinasi Wisata Dunia




false
IN


























































































































































 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Beberapa
tahun terakhir ini, nama Labuan Bajo mulai populer. Banyak orang tidak
mengetahui Labuan Bajo kini adalah ibu kota kabupaten Manggarai Barat di
provinsi Nusa Tenggara Timur. Labuan Bajo lebih dikenal dengan adanya reptil
raksasa di pulau Komodo. Labuan Bajo awalnya hanya sebagai ibu kota kecamatan
Komodo yang berbatasan langsung dengan provinsi Nusa Tenggara Barat (di
kabupaten Bima; di tengah kecamatan Sape, di utara kecamatan Wera dan di
selatan kecamatan Lambu). Nama Labuan Bajo sendiri diduga kuat merujuk pada
pelabuhan (Labuan) dan Bajo (mungkin dari Wajo).

Kabupaten Manggarai Barat adalah pemekaran dari
Kabupaten Manggarai (ibu kota di Ruteng). Penduduk di Kabupaten Manggarai (juga
barat dan timur) di
Pulau Flores ini mengidentifikasi diri sebagai Orang
(suku) Manggarai dengan menggunakan bahasa (dialek) Manggarai. Sebelum orang
Portugis menyebut nama pulau Flores dan juga pernah disebut sebagai pulau Ende
pada era VOC, namanya adalah pulau Mangarai (menjadi atau Manggarai). Rai dalam
bahasa Manggarai adalah reptil besar komodo itu sendiri. Dengan kata lain nama
pulau lebih dulu disandang Manggarai daripada Flores. Mengapa
? Hal serupa juga berlaku untuk penamaan pulau
Sumbawa (sama-sama merujuk dari barat).

Lantas
bagaimana sejarah Labuan Bajo sendiri
? Tentu saja, seperti disebut di atas, sejarah Labuan
Bajo tidak berdiri sendiri, paling tidak terkait dengan nama Manggarai dan
Komodo dan bahkan nama Sape (selat yang memisahkan pulau Sumbawa dan pulau Manggarai
atau pulau Flores yang mana di selat ini termasuk pulau Komodo). Lalu apa
pentingnya sejarah Labuan Bajo
? Kini nama Labuan Bajo mulai popoler bahkan lebih
populer dari nama kabupatennya sendiri. Dalam rangka, Labuan Bajo sebagai tujuan
destinasi wisata dunia, bagaimana sejarahnya menjadi penting. Se
perti
kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya
ada permulaan
. Untuk
ntuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe
.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Labuan Bajo: Komodo dan
Manggarai

TPulau
Flores memanjang dari barat ke timur sekitar 355 Km. Pada era Hindia Belanda,
pulau Flores secara tradisional terbagi ke dalam tiga wilayah: Flores Barat
yang disebut Manggai, Flores Tengah disebut Endeh dan Flores Timur disebut
Larntuka. Batas antara Manggarai dan Endeh dibentuk oleh Pota di pantai utara
dan Nanga Ramoe di pantai selatan. Secara umum penduduk Flores adalah ras
campuran antara Melayu dan Papua. Wilayah Manggarai ini mengakui Kesultanan
Bima. Sisa Flores secara administratif dimasukkan ke Timor (lihat De locomotief,
28-08-1907).

Pada tahun 1889 pada wilayah batas barat dan
tengah pulau Flores ini terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
yang dipimpin oleh tokoh berpengaruh Angga Molo. Setelah kedatangan pasukan
tambahan dari Makassar, perlawanan dapat dipadamkan dan dilakukan perdamaian (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1890
). Hal itulah kemudian Conttroleur Bima JW Meerbrug melakukan perjalan ke
pedalaman Manggarai pada tahun 1892. Rute yang dilalui dari Reo tangga; 14
April ke Koi, Tjiba, Dege, Rote[ng], Lolah dan Todo dan terus ke Ranga Ramoe
tanggal 6 Mei 1890 (lihat laporannya yang diuat dalam majalah Indische T, L en
Volkenkunde Vol 2 1892).

Secara
spesifik hanya yang berada di pantai utara yang mengakui kekuasaan Sultan Bima,
terutama kampung Bari, Reo dan Pota yang mana satu-satunya subjek adalah Pota
yang sebagian besar penduduknya terdiri dari Bima, Bugis dan Manggarai.
Penduduk di pedalaman sebagian ada yang sudah Katolik dan lebih banyak masih
pagan. Penduduk Flores secara umum dari pertanian, hasil hutan dan penangkapan
ikan yang diperdagangkan ke Singapoera, Bali dan Koepang yang terutama dilakukan
oleh orang Bugis, Makassar, Boeton, Saleyer, Koepanger, Soemba dan Solor.
Berkenaan dengan pelayaran di Flores, tempat berlabuh untuk kapal-kapal berikut
harus diingat: kampung Badjo di pantai barat, Teluk Watoe lpoe di kampung
Meborong, Teluk Aimereh, Teluk Endeh, Teluk Spih, Lila. Sika, semua di pantai
selatan Flores, Teluk Toreng, Sosalape atau Teluk Wai Lobab, Mauwari baai, Maumeri
dan Geliting semua di pantai utara. Ada sebuah kampung yang cukup besar di
Maumeri, yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik; mereka memiliki misi
Katolik di sini dengan biara. Laporan ini dibuat oleh Kaptein Christofel di
Endeh 10 Agustus 1907.

Tampaknya hingga 1907 satu-satunya pelabuhan
yang disinggahi kapal-kapal perdagangan di wilayah Manggarai yang sekarang
hanya kampong Badjo. Ekspedisi yang dipimpin Christofel menyarankan perluanya di
semua wilayah Flores untuk dilakukan pemerintah (1) mematahkan semua perlawanan
di Flores, (2) mengadakan kontrak kepada pemimpin seperti yang dilakukan di
Aceh, (3) penghapusan perbudakan, (4) memperkenal pemerintahan sendiri tanpa
pengawasan, (5) pengamanan, pendaftaran dan pembangunan jalan dan lain-lain,
(6) survei geologi tanahm (7) generalisasi kondisi reguler dan keamanan diantara
penduduk Flores, yang masih berada di bawah ancaman dari penduduk yang berada
di pedalaman.

Jika
memperhatikan eskalasi politik yang ada awal abad ke-20 ini wilayah Flores juga
termasuk wilayah terakhir yang melakukan administrasi, karena dua wilayah
lainnya yakni wilayah (residentie) Aceh minus Atjeh Besar (Perang Aceh 2) dan wilayah Residentie Tapanoeli di afdeeling Bataklanden minus Silindung (perlawanan Sisingamangaraja). Berdasarkan rekomendasi
Christofel 1907 ini diduga dalam memulai pemerintahan dan pembangunan di
seluruh pulau Flores, maka diduga akan terjadi pemisahan wilayah Manggarai
Barat yang sejak lama berada di wilayah yurisdiksi Residentie Bima dimasukkan ke wilayah
Residentie Timor..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Labuan Bajo: Antara Manggarai
dan Bima

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top