*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Nama
Melayu adalah satu hal, pertumbuhan dan perkembangan bahasa yang kemudian
diidentifikasi dengan nama tunggal Melayu adalah hal lain lagi. Pertumbuhan
bahasa yang disebut Melayu bermula di pantai timur Sumatra, bahasa yang berakar
dari bahasa Sankerta. Sebagai lingua franca, bahasa Sanskerta diperkuat bahasa
Batak dan bahasa Jawa yang kemudian bahasa baru itu disebut bahasa Melayu
(sebagai lingua franca baru menggantikan bahasa Sanskerta). Hal itu pula yang
berulang pada hari ini Bahasa Indonesia menjadi lingua franca baru (bahasa yang
berakar dari bahasa Melayu yang diperkuat bahasa daerah).

telah memperhatikan bagaimana orang-orang Indonesia (nasionalis)
menumbuhkembangkan Bahasa Indonesia (sejak 1928). Setelah merdeka, melalui
kementerian pendidikan dan kebudayaan terus mmengambangkan Bahasa Indonesia
hingga ini hari yang dilembagakan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Dalam hal ini, Bahasa Indonesia telah satu abad tumbuh dan berkembang, satu
abad pula telah menjadi perhatian para penulis/peneliti. Bagaimana dengan
bahasa Melayu? Satu abad sebelumnya (sebelum deklarasi Bahasa Indonesia 1928) para
penulis/peneliti khususnya orang-orang Belanda, Inggris dan Prancis sejak 1811 telah
membahas sejarah bahasa Melayu, mendiskusikan pertumbuhan dan perkembangannya,
dan membahas persebarannya. Paralel dengan ini penulis/peneliti Belanda
mengkaji lebih dalam bahasa-bahasa etni di Nusantara (baca: Indonesia).
Semuanya, dalam dua abad terakhir telah jelas, terang benderang tentang bahasa
Melayu dan Bahasa Indonesia. Apa yang ditulis hari ini sudah tersedia data sejak
dua abad yang lampau, hanya perlu ditambahkan sedikit untuk menyempurnakan
hasil kajian para peneliti/penulis terdahulu. Atas dasar kajian-kajian itulah
artikel ini ditulis.
Lantas
bagaimana sejarah bahasa Melayu telah meluas sebelum berkembang di Semenanjung
Malaya? Seperti disebut di atas, para penulis/peneliti terdahulu sejak dua abad
lalu khususnya orang-orang Belanda, Inggris dan Prancis plus Jerman telah
hampir semua topik bahasa mendiskusikannnya. Lalu bagaimana sejarah bahasa
Melayu telah meluas sebelum berkembang di Semenanjung Malaya? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe..
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bahasa Melayu Telah Meluas
Sebelum Berkembang di Semenanjung Malaya: Eksistensi Bahasa Sanskerta, Bahasa Batak
dan Bahasa Jawa
Banyak
orang pada masa ini salah kaprah tentang bahasa Melayu. Orang Malaysia
beranggapan bahasa Melayu berkembang di Malaka (semasa kerajaan Malaka) dan
menyebar ke Nusantara. Itu tidak sepenuhnya benar. Celakanya, belum lama ini
ada seorang guru besar Indonesia diundang dalam simposium bahasa Melayu yang
diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka berbicara bahwa Indonesia merdeka
karena bahasa Melayu. Nah ini juga berlebihan. Juga banyak yang beranggapan
bahasa Melayu yang tersebar luas di nusantara dan terbentuknya Bahasa Indonesia
merujuk pada bahasa Melayu di Riau. Ini juga sungguh berlebihan. Lantas
bagaimana sejarahnya? Sejarah bahasa Melayu inilah yang kerap salah persepsi.
Sudah banyak bukti-bukti awal, yang
menunjukkan awal tumbuh berkembang bahasa, yang kemudian disebut bahasa Melayu
bermula di pantai timur Sumatra (pada era Kerajaan Sriwijaya). Dalam prasasti
Kedoeka Boekit (682 M) yang ditemukan di Palembang, belum berbahasa Melayu.
Dalam teks itu justru bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasnkerta dan bahasa
Batak. Bahasa Sanskerta memang mirip bahasa Melayu, tetapi sebaliknya dari kosa
kata bahasa Sankertalah terbentuknya awal bahasa Melayu. Demikian juga dalam
terbentuknya bahasa Tagalog di Filipina (yang berawal di teluk Manila), akar
bahasanya berasal dari bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta adalah bahasa berasal
dari India selatan yang menjadi lingua franca di wilayah pesisir dalam
hubungannya dengan navigasi pelayaran perdagangan. Saat itu, dimana di
pulau-pulau telah eksis bahasa-bahasa etnik, terutama di pedalaman, seperti
bahasa Batak dan bahasa Jawa. Di Semenanjung, sebelum terbentuk bahasa Melayu,
bahasa asli adalah bahasa (etnik) Semang (populasi negrito, penduduk berkulit
gelap)
Bahasa
Melayu tumbuh dan berkembang sejak lama (menggantikan bahasa Sanskerta sebagai
lingua franca). Kapan bermula tidak diketahui secara pasti. Yang jelas tumbuh
dan berkembang berawal di pantai timur Sumatra. Lantas kapan bahasa Melayu
menjadi sempurna? Seperti bahasa-bahasa lainnya, yang jelas bahasa Melayu tidak
pernah berhenti berkembang. Pada masa inilah dapat dikatakan telah menjadi
lingua franca (baru) di nusantara. Sebagai lingua franca, bahasa Melayu tidak
hanya digunakan di pantai timur Sumatra, juga di pantai utara Jawa.
Hingga terjadi serangan (kerajaan Chola) ke
Selat Malaka pada tahun 1025 M tidak ada bukti nyata bahasa Melayu sudah
terbentuk sempurna dalam arti satu kesatuan bahasa. Dalam prasasti Laguna yang
ditemukan di Luzon, Filipina bertarih 900 M masih bercampur bahasa Sanskerta
dengan berbagai bahasa etnik. Akan tetapi kosa-kata dalam prasasti Laguna sudah
jauh lebih mengarah ke pembentukan bahasa Melayu. Bahasa-bahasa etnik juga
menyerap bahasa Sanskerta seperti yang ditunjukkan dalam prasasti-prasasti yang
ditemukan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa kuno (Kawi).
Perkembangan
bahasa Melayu diduga kuat baru terjadi setelah serangan Chola tahun 1025 M. Parasasti
Tanjore berbahasa Tamil. Bahasa Tamil inilah yang diduga menghalangi
perkembangan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca di nusantara. Akan tetapi penggunaan
bahasa Sanskerta kadung sudah meluas di nusantara, sebab yang diduga bahasa
Tamil tidak berkembang, dan tidak mendapat tempat yang luas di nusantara
sebagai lingua franca.
Setelah berakhir invasi Chola (hampir satu
abad), mulailah bermunculan kerajaan-kerajaan baru di selat Malaka (pantai
barat Semenanjung dan pantai timur Sumatra), kerajaan Sriwijaya eksis kembali.
Dalam fase Chola ini di tempat lain kerajaan-kerajaan semakin banyak termasuk
di Indochina, Filipina, Borneo dan Jawa hingga Sulawesi dan Maluku serta Nusa
Tenggara Barat. Oleh karena pengaruh Chola tidak sampai di Jawa, maka
kerajaan-kerajaan di Jawa lebih cepat berkembang. Salah satu kerajaan di Jawa
yang kuat adalah Kerajaan Kediri yang kemudian digantikan oleh Kerajaan
Singhasari. Salah satu relasi perdagangan kerajaan Singhasari di Sumatra adalah
kerajaan besar di pantai timur Sumatra di Padang Lawas (Tapanoeli). Hal itu
dapat diperhatikan struktur dan arsitektur candi di Padang Lawas )Kerajaan
Batak) mirip dengan candi di Singhasari (Kerajaan Jawa). Saat ini diduga bahasa
Melayu sudah terbentuk di pantai timur Sumatra yang juga digunakan di pantai
utara Jawa. Pada saat ini diduga telah sempurna aksara Jawa dan aksara Batak
(keduanya merujuk pada aksara Pallawa). Kedua aksara ini sudah ditemukan dalam
prasasti-prasasti. Meski demikian aksara Pallawa masih digunakan dalam menulis
prasasti berbahasa Melayu (kuno)..
Pasca
invasi Chola bahasa-bahasa yang eksis yang dapat dikatakan bahasa utama
(penuturnya banyak) adalah bahasa asli Batak, bahasa asli Jawa dan bahasa baru Melayu
(suksesi bahasa Sankerta). Bukti penggunaan bahasa Kawi aksara Jawa ditemukan
dalam teks Negarakertagama, penggunaan bahasa Batak aksara Batak ditemukan
dalam prasasti di Padang Lawas. Bahasa Melayu selain menggunakan aksara Pallawa
(juga akasara Batak dan aksara Jawa) sudah ada yang menggunakan aksara Jawi
(Arab gundul) seperti prasasti Trengganu 1326 M.
Keberadaan orang-orang Arab beragama Islam
sudah eksis pada zaman kenabian (sebelum prasasti-prasasti di Palembang, antara
lain Kedoekan Boekit 682 M). Keberadaan pedagang Arab ini ditemukan di Baroes
(pantai barat sumatra) dan pantai timur Tiongkok (Canton). Meski tetap eksis di
Nusantara tetapi tidak meluas karena pengaruh Hindoe/Boedha masih sangat kuat di
Sumatra danm Jawa (pengaruh Islam juga belum kuat dan baru mencapai puncaknya
di Eropa Selatan, di Spanyol seperti di Cordoba). Pada saat Perang Salib di
Eropa sekitar tahun 1000 M, peradaban Islam di Eropa menurun drastis,
orang-orang Moor beraga Islam yang membangun peradaban Islam di Eropa selatan,
mulai menyebar, tidak hanya di Afrika Utara, juga sudah ada yang mencapau pantai
barat India. Saat mana kekosongan penmgaruh Chola (Tamil India) di selat
Malaka, orang-orang Moor beragama Islam inilah yang kemudian menggantikan
kekuatan perdagangan di selat Malaka. Salah satu kota utama orang Moor berada
di pantai barat Semenanjung adalah Muar (merujuk pada Moor, Moar dan Muar).
Orang-orang Moor yang memperkuat kerajaan-kerajaan di Sumatra (bagian utara)
dan Semenanjung. Kunjungan Ibnu Batutah ke selat Malaka dan Tiongkok pada tahun
1345 wujud dari bukti komunitas Moor sudah banyak di selat Malaka.
Kerajaan-kerajaan Sumatra (bagian utara, seperti Samudra dan Padang Lawas) yang
diperkuat orang-orang Mpor semakin kuat navigasi pelayaran perdagangan yang
semakin intens ke Tiongkok, Filipina, Borneo Utara, Sulawesi hingga Maluku
bahkan Papua dan Nusa Tenggara. Semakin kuatnya pengaruh Islam yang diperankan
oleh orang-orang Moor diduga yang menyebabkan kerajaan Hindoe di Jawa yang
tengah naik daun coba berkompetis dengan orang-orang Moor. Kerajaan Hindoe di
Jawa yang kuat itu adalah Madjapahit (suksesi Singhasari).
Pada
saat mana kerajaan Hindoe Madjaphit semakin menguat di Jawa, pengaruh Islam
semakin meluas di Sumatra bagian utara dan tengah serta di Semenanjung (seperti
di Muar dan Terengganu). Bentrok antara kekuatan lama Hindoe/Boedha dengan
kekuatan baru Islam diduga menjadi sebab Kerajaan Madjapahit melakukan invasi,
khususnya ke Sumatra (Pamalayu). Kerajaan Sriwijaya di Sumatra bagian selatan
masih dipengaruhi Boedha. Salah satu dampak serangan Madjapahit di Sumatra
adalah radja-radja Boedha Sriwijaya relokasi ke pantai barat Semenanjung (diantara
Muar dan Kelang/Kedah) dan radja-radja Melayu di wilayah Jambi bergeser ke
pedalaman (era Adityawarman). Idem dito raja-raja di pantai timur Sumatra (di
bagian utara) yang beragama Islam bergeser ke utara (Atjeh) dan bergerak ke
pedalaman.

(1365 M), nama-nama tempat yang disebut di nusantara cukup banyak mulai dari barat
di ujung utara Sumatra hingga ke timur di Papua, mulai dari Jawa di selatan
hingga utara di Kalimantan Utara. Nama-nama tempat yang disebut adalah
nama-nama pelabuhan perdagangan yang diantaranya terdapat sejumlah kerajaan
kuat (Boedha, Hindoe, Islam dan pagan). Di selatan Sumatra hanya disebut nama
Palembang; sementara di Sumatra bagian tengah antara lain Jambi, Karitang,
Kampar, Kandis dan Darmasraja, sedangkan di Sumatra bagian utara antara lain
Mandailing, Padang Lawas, Rokan, Panai, Baroes, Tamiang, Perlak, Samudra dan
Lamuri. Di wilayah Semenanjung antara lain Tumasik, Ujung Medini, Muar, Kelang,
Kedah dan Langkasuka serta Trengganu. Nama-nama tempat di Sulawesi antara lain
Buton, Makasar dan Luwuk; di Maluku antara lain Maluku dan Muar; di Papua
antara lain Wonin; di Nusa Tenggara antaralain Bali, Lombok, Bima, Solor dan
Timor serta Sumba.
Dalam
teks Negarakertagama (1265) nama Malaka belum disebut (malah lebih dahulu
disebut Maluku). Di kepulauan antara Sumatra dan Kalimantan hanya dua nama yang
disebut Karimata dan Batam (plus Tumasik). Yang disebut di pantai barat
Semenanjung antara lain Muar (orang Moor), Kelang (orang India) dan Kedah
(orang Persia?). Tampaknya Batam, dekat Tumasik lebih penting saat itu
dibanding Bintan (boleh jadi Bintan bagian dari Tumasik). Dalam fase inilah
diduga perkembangan bahasa Melayu telah meluas di Nusantara.
Versi sejarah Malaka: Dengan jatuhnya Tunmasik, Raja melarikan diri ke negeri Muar dan sampai
di Malaka. Pada saat itu, Malaka merupakan wilayah kekuasaan Siam. Saat itu,
beliau mendapati penduduk Malaka sudah mulai ramai, baik dari orang Pasai,
Arab, Persia, Gujarat dan Malabar. Kemudian, Sidi Abdul Aziz, seorang ulama
yang berasal dari Jeddah, datang ke Malaka, mengajak Raja masuk Islam dengan
gelar Sultan Muhammad Syah. Ia memeluk Islam sekitar tahun 1384. Sejak itu, ia
resmi menjadi sultan negeri Malaka. Berdasarkan Sulalatus Salatin dan Suma
Oriental Kerajaan didirikan oleh Parameswara seorang pangeran yang berasal dari
Palembang yang melarikan diri karena invasi Majapahit. Kronik Dinasti Ming juga
mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di
Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.
Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok menyetujui untuk
memberikan perlindungan pada Malaka. Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah
Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara. Keberhasilan
dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan
pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat
perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada
Ming. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam
telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka, sementara berdasarkan catatan Ming,
penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan
dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti
berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh
beberapa sejarahwan. Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh
yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu
Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai
sekarang. Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,
memerintah selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam dan digantikan oleh
Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun
masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan
Mudzaffar Syah. (Wikipedia)
Kerajaan
Malaka disebut baru terbentuk pada awal abad ke-15. Kota ini berawal dari kota
perdagangan yang kecil diantara Muar dan Kelang.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Penulis dan Peneliti Sejak Dua
Abad Lalu: Bahasa Melayu dan Bahasa-Bahasa Nusantara serta Bahasa Indonesia
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.