Sejarah

Sejarah Menjadi Indonesia (727): Bahasa di Parlemen Indonesia dan Malaysia; Voksraad hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa waktu yang lalu Perdana Menteri Malaysia
mengusulkan kepada Presiden Indonesia untuk menjadi Bahasa Melayu sebagai Bahasa
resmi ASEAN. Tentu saja PM Malaysia beranggapan bahwa Bahasa Indonesia adalah Bahasa
Melayu. Namun bisa ditebak Presiden Indonesia menganggap Bahasa Indonesia bukan
lagi Bahasa Melayu tetapi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan di
Indonesia. Saat mana PM Malaysia menyampaikan usul itu kepada Presiden
Indonesia menggunakan Bahasa apa tidak diketahui secara jelas, apakah Bahasa Melayu,
Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.


Tampaknya usul PM Malaysia kepada Presiden Indonesia
agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN jauh panggang dari api. Di luar
bangsa Cina dan India, faktanya di negara (federasi) Malaysia semua lapisan masyarakat
tidak konsisten berbahasa Melayu. Perdana Menteri Malaysia sendiri dalam
wawancara di media berbahasa campuran bahasa Melayu dan bahasa Inggris. Sementara
Presiden Indonesia konsisten menggunakan Bahasa Indonesia. Dalam sidang-sidang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia setiap anggota berbicara dalam Bahasa
Indonesia. Semua dokumen DPR dalam satu bahasa Bahasa Indonesia. Di Dewan
Rakyat Malaysia, para anggota berbicara dengan bahasa Inggris yang merusak
penggunaan bahasa Melayu itu sendiri. Jadi, sebenarnya apa maksud PM Malaysia
mengusulkan kepada Presiden Indonesia agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa
resmi ASEAN? Dengan memahami bahwa semua lapisan masyarakat Malaysia berbahasa
bercampur bahasa Melayu dengan bahasa Inggris, maka usul itu mudah ditebak.

Lantas bagaimana sejarah penggunaan Bahasa Bahasa
Indonesia di parlemen sejak era Hindia Belanda?
Seperti disebut di atas, ada perbedaan penggunaan Bahasa
di parlemen Indonesia dengan di parlemen Malaysia. Di parlemen Malaysia hingga
hari ini para anggota bercakap dengan bahasa Inggris yang merusak penggunaan
bahasa Melayu.
Lalu bagaimana sejarah penggunaan
Bahasa Bahasa Indonesia di parlemen sejak era Hindia Belanda? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa di Parlemen Indonesia dan Parlemen Malaysia;
Voksraad hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Setelah Bahasa Indonesia dideklarasikan pada Kongres
Pemuda 1928, keinginan orang pribumi untuk menggunakan Bahasa Indonesia di
dewan rakyat (Volksraad) semakin mengerucut. Namun tidak segera terwujud.
Anggota Eropa/Belanda masih keberatan karena kurang memahami sepenuhnya Bahasa
Indonesia. Usulan semakin deras segera setelah Kongres Bahasa Indonesia di Solo
tahun 1938.


Pada tahun 1930 saat mana di pengadilan, kepada saksi ditanyakan mengapa
Ir Soekarno di dalam rapat umum yang dihadiri oleh orang-orang Sunda
menggunakan Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh penerjemah, sementara Soekarno
sendiri bisa berbahasa Sunda. Lalu spontan saksi menjawab: ‘Dia ingin
meninggikan Bahasa Indonesia’ (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-10-1930). Ini mengindikasikan bahwa Ir Soekarno mematuhi
keputusan Kongres Pemuda 1928 yang tidak dihadirinya (Soekarno masuk golongan
senior). Selanjutnya pada Kongres Bahasa Indonesia (pertama) di Solo tampil
sejumlah pembicara, antara lain (pada sesi pertama) Sanoesi Pane membawakan
makalah ‘Asal Usul dan Sejarah Bahasa Indonesia’. Salah satu dari delapan pembicara
lainnya adalah Soekardjo Wirjopranoto dengan makalahj berjudul ‘Bahasa
Indonesia dalam Badan Perwakilan Rakyat’. Sanoesi Pane adalah salah satu pembicara
dalam Kongres Pemuda 1928 dan Soekardjo saat ini adalah anggota dewan rakyat
(Volksraad).

Akhirnya penggunaan Bahasa Indonesia disetujui dalam
suatu persidangan (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 15-07-1938).
Salah satu anggota siding yang hadir (ketua IEV) menanyakan: ‘Apakah Bahasa Melayu
atau Bahasa Indonesia yang akan digunakan di Volksraad?”. Sang ketua sidang (Mr
WH van Helsdingen) menjawab: .”Bahasa Indonesia’. Sang ketua menlanjutkan: ‘Gerakan
nasional percaya bahwa Bahasa Indonesia memiliki kualitas (meski belum tertata
dengan baik) untuk menjangkau semua kelompok penduduk dan melalui bahasa
komunikasi, mereka ingin menciptakan persatuan di antara orang-orang Hindia.
Jawa serta Sundaneczcn. Atjchers juga Minangkabauer’. Sah Bahasa Indonesia diadopsi
sebagai salah satu Bahasa yang digunakan di Volksraad (selain Bahasa Belanda).


Sejak itu mulai ada kritik di pers berbahasa Bahasa Indonesia yang
mengkritik, jika anggota dewan pribumi bisa berbahasa Belanda di dewan, seharusya
anggota dewan yang berasal dari Eropa/Belanda juga harus bisa belajar berbahasa
Bahasa Indonesia, meskipun sebagai kemampuan mendengar. Diantara orang-orang
Belanda sendiri sudah banyak yang bisa berbicara Bahasa Indonesia (bahkan
dengan fasih). Dengan diadopsinya Bahasa Bahasa Indonesia di dewan, maka
kemungkinan tokoh politik yang tidak sepenuhnya bisa berbahasa Belanda akan banyak
yang maju dalam pemilihan berikutnya.

Pada persidagangan berikutnya sejumlah anggota sidang
telah menggunakan Bahasa Indonesia (lihat De Sumatra post, 20-07-1938).
Disebutkan fakta bahwa “Bahasa Indonesia” secara resmi terdengar
untuk pertama kalinya di Volksraad pada hari Senin, dimana, selain tuan-tuan
dari faksi nasional, Tuan Doeve dan De Hoog juga menggunakan Bahasa Indonesia meskipun
hanya dengan cara yang terbata-bata. Yang menggunakan Bahasa Indonesia hari itu
antara lain 
oleh Datoek Kajo dan Soeroso. Mereka tidak dengan bahasa
Melayu, melainkan Bahasa Indonesia. Pak Soeroso mengakuinya sendiri. dia telah
mencoba berbicara Bahasa Indonesia dan upaya-upaya dimana Bahasa Indonesia
belum tertata, masih terus berkembang.


Disebutkan lebih lanjut bahwa pers pribumi juga mengkitik bahwa orang
Belanda sendiri juga saling mengkritik penggunaan bahasa Belanda yang buruk,
sementara tata bahasa dan konstruksi bahasa semuanya telah diurus sampai ke
detail terakhir. Oleh karena itu, kritik harus dibatasi pada bahasa yang
digunakan dalam Volksraad. Pers prubumi menulis bertentangan dengan pernyataan
Soetardjo bahwa keputusan fraksi nasional untuk berbicara Bahasa Indonesia tersebut
adalah hasil dari ketidakpuasan terhadap sikap Pemerintah terhadap permohonan
Soetardjo dan munculnya Bahasa Indonesia dalam Volksraad merupakan hasil dari
upaya memajukan bahasa dan budaya sendiri.

Dalam hal ini Bahasa Indonesia digunakan di parlemen
adalah hasil perjuangan para nasionalis Indonesia (pada era Hindia Belanda).
Lalu bagaimana Bahasa Melayu di parlemen Malaysia? Pada awal
  terbentuknya parlemen di Malaysia semasa
Federasi Malaya (sebelum kemerdekaan dan sebelum pembentukan Federasi Malaysia)
umumnya semua anggota dewan menggunakan Bahasa Melayu (sebab tidak ada orang
Eropa/Inggris yang duduk di dewan/parlemen Federasi Malaya). Hingga kini parlemen
Indonesia masih konsisten dalam siding-sidang menggunakan Bahasa Indonesia. So,
lantas mengapa kini di parlemen Malaysia dalam siding-sidang bercampur Bahasa Melayu
dengan Bahasa Inggris?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Indonesia: Perjuangan Penggunaan Bahasa
Indonesia di Volksraad ErA Hindia Belanda

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top