Sejarah

Sejarah Jambi (16): Orang Kubu Berbahasa Melayu, Apakah Penduduk Asli di Jambi? Sebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Persebaran populasi  penduduk adalah bagian dari sejarah, sejarah
yang panjang bahkan sejak zaman kuno. Pulau Sumatra termasuk wilayah Nusantara
yang memiliki catatan sejarah yang terbilang awal. Dalam hal ini wilayah
Sumatra bagian tengah menjadi satu wilayah tersendiri di Sumatra tenntang
persebaran populasi. Terbentuknya (peradaban) Melayu, khususnya di pantai timur
Sumatra menjadikan wilayah Jambi yang sekarang menjadi penting. Dalam
perkembangannya Orang Kubu berbahasa Melayu, pada masa ini menjadi
terpinggirkan dalam peradaban baru.


Suku
Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk
masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah
khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu
Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun
dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar
menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin
Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu.
Oleh karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau
menghina. Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit
Dua Belas. Sebagian kecil ada di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh. Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan
kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan. Menurut
tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan
rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian
dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah
Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak
Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem
kekeluargaan matrilineal. Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan
animisme atau kepercayaan kepada agama tradisional. Akan tetapi, beberapa
keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas Sumatra telah
beragama Kristen atau Islam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik provinsi
Jambi tahun 2010, dari 3.205 jiwa orang Rimba yang tercatat, sebanyak 2.761
jiwa atau 86,15% menganut kepercayaan leluhur, kemudian sebanyak 333 jiwa
(10,39%) menganut agama Kristen dan sebanyak 111 jiwa (3,46%) menganut agama Islam
. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Orang Kubu berbahasa
Melayu, apakah penduduk asli Jambi?
Seperti yang disebut di atas, Orang Kubu dibedakan
dengan etnik lainnya di wilayah Sumatra khususnya di wilayah Jambi. Lalu
bagaimana sejarah Orang Kubu
berbahasa Melayu, apakah penduduk asli Jambi?
Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Orang Kubu Berbahasa Melayu, Apakah Penduduk Asli
Jambi? Persebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa

Nama Kubu sebagai nama etnik (Orang Kubu) kali
pertama diketahui pada tahun 1838 (lihat Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1838).
Pada tahun 1842 di Belanda terbit buku tentang deskripsi Orang Koeboe (lihat Groninger
courant, 15-07-1842). Buku tersebut dengan judul: ‘
Beschrijving van een’ Volkstam
op het eiland Sumatra, onder den naam van Orang Koeboe in verschillende streken
van het Palembangsche gebied gevestigd
’ (Deskripsi
sebuah suku di pulau
Sumatra,
disebut dengan nama Orang Koeboe di berbagai wilayah wilayah Palembang).


Kubu, tidak hanya merujuk pada nama yang diberikan kepada Orang Kubu,
juga kubu diartikan lain. Satu yang pasti nama kubu menjadi nama tempat di di
pantai barat Borneo yakni Koeboe Simpang (lihat Surinaamsche courant, 25-01-1825).
Kini nama kecamatan, Kubu dan juga nama kabupaten, Kubu Raya di (provinsi)
Kalimantan (Barat). Juga nama tempat dengan nama Kubu di wilayah Padangsche,
Koeboe Along (lihat Nederlandsch Indie, 07-05-1856). Nama Kubu juga ditemukan
di Riau (kini nama kecamatan) di wilayah Rokan Hilir yang sekarang (lihat Nederlandsch
Indie, 12-11-1858).
 

Bagaimana sekelompok poppulasi di wilayah
Jambi/wilayah Palembang disebut OrangKoeboe, sementara nama Koeboe sebagai nama
tempat terdapat di berbagai wilayah di Sumatra dan Borneo. Dalam artikel tahun
1838 disebutkan asal usul Orang Koeboe tidak diketahui, bahkan tidak ada
dongeng atau mitologi tentang mereka. Satu-satunya dugaan yang dapat dibuat
tentang hal ini adalah bahwa, ketika para penakluk Jawa menguasai Palembang
selama sekitar tiga abad, kemungkinan besar penduduk pertama tempat ini tidak
ingin hanya tunduk pada otoritas mereka, melarikan diri ke hutan di pedalaman dan
menghilang; dimana mereka menjalankan kehidupan secara nomaden dimana mereka
secara bertahap meninggalkan cara hidup mereka yang lebih beradab, dan akhirnya
merosot sepenuhnya menjadi apa yang mereka biasakan sekarang.


Kubu sedikit berbeda dalam hal perawakan dan ciri-ciri dari yang lain populasi
penduduk di pedalaman, bahkan dari penduduk ibukota Palembang; laki-laki
berukuran sedang, menunjukkan sikap cepat dan gagah, konsekuensi dari cara
hidup nomaden dan sederhana, dengan penampilan yang agak tidak berbudaya, yang
bagaimanapun tidak menunjukkan keganasan; para wanita tidak canggung, mereka
memiliki fitur yang teratur dan bentuk yang terbentuk dengan baik, tetapi
postur mereka sendiri yang montok, dan gaya berjalan yang berat yang disebabkan
oleh kebiasaan duduk dengan kaki kebelakang, membuat mereka cacat; warna kuliy
laki-laki dan perempuan adalah coklat muda. 

Berdasarkan laporan yang dimuat pada jurnal 1838
tersbut Orang Koeboe terdapat di daerah aliran sungai-sungai di wilayah hulu di
pedalaman Lalan, Toengkal, Baijat, Dawas, Batang, Leko dan Rawas. Catatan: Pada
masa ini wilayah Jambi yang sekarang masih bagian dari Residentie Palembang
(yang beribukota di Palembang).


Bagaimana populasi terisolir/mengisolasi Orang Koeboe disebut dengan nama
Kubu. Pada masa ini Orang Kubu yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas, Orang Kubu lebih suka disebut “Orang Rimba” atau “Anak
Suku Dalam”, karena istilah “Suku Kubu” kata “KUBU” sendiri dalam bahasa Melayu
Jambi berarti “bodoh, primitif dan terbelakang”.  Dalam hal ini nama Kubu telah bergeser makna,
karena faktanya pada masa lampau banyak nama tempat di Sumatra dan Borneo
menggunakan nama Kubu. Jika ada benarnya bahwa mereka menyingkir dari ruang
kekuasaan baru, di satu pihak mereka adalah yang memiliki integitas, tetapi di
sisi lain kemudian nama mereka sebagai Kubu diartikan orang bodoh, orang primitive
dan orang terbelakang. Lantas dalam hal ini apakah kelompok populasi Orang Kubu
yang berada di lingkungan yang berbeda dengan populasi umumnya, sebagai
kelompok populasi yang menyingkir ke pedalaman? Harus dicatat bahwa kelompok
populasi yang terpisah pada dasarnya tidak hanya Orang Kubu di Jambi, tetapi juga
kelompok populasi lain juga ditemukan di 
wilayah lain. Berdasarkan kamus bahasa Orang Kubu, bahasa Orang Kubu
lebih mirip dengan bahasa Melayu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Persebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa: Penduduk
Asli di Jambi

Seperti disebut di atas, kelompok terisolir di
Indonesia ditemukan di berbagai pulau, termasuk di pulau Jawa. Di pulau Sumatra,
kelompok populasi yang dapat dikatakan terisolasi terdapat di berbagai wilayah
seperti di Sumatra Selatan, Jambi, Riau dan Sumatra Utara. Dari berbagai
kelompok populasi terisolasi ini pada era Hindia Belanda diketahui semuanya memiliki
Bahasa mirip Bahasa Melayu. Apakah dalam hal ini mereka berasal dari kelompok
yang sama (kemudian terpencar) atau kelompok-kelompok populasi yang awalnya
berada di wilayah populasi (berbahasa) Melayu?


Di wilayah
Sumatra Utara, kelompok populasi yang dianggap terisolasi pada era Hindia
Belanda ada dua kelompok yakni Orang Loeboe (Onderafdeeling Groot Mandailing)
dan Orang Oeloe (Onderafdeeling Kleine Mandailing). Bahasa kedua kelompok
populasi tersebut mirip bahasa Melayu/Minangkabau. Diantara dua kelompok
populasi ini juga terjadi hubungan perkawinan. Kawasan dua kelompok populasi
ini berada di perbatasan Sumatra Utara dan Sumatra Barat/Riau. Dalam
perkembangannya kedua kelompok populasi semakin intens berinterakreasi dengan
kelompok populasu Batak/Mandailing dan juga menyerap Bahasa. Seperti disebut di
atas tentang Orang Koeboe, kedua kelompok populasi ini juga sulit mengidentifikasi
asal-usul. Namun, seperti Orang Koeboe, kedua kelompok populasi ini memiliki
warisan Bahasa yang mirip bahasa Melayu.

Secara teoritis, manusia pada dasarnya
bersifat sosial. Dalam hubungan sosial tidak hanya berinteraksi dengan kelompok
populasi sendiri, tetapi juga membuka komunkasi timbal balik dengan kelompok
populasi lainnya (yang berdekatan). Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa
kelompok-kelompok terisolir ini mengisilasi diri (menolak hubungan manusia
dengan pihak lain? Apakah mereka mengisolasi diri di masa lampau karena merasa
inferior atau merasa superior?


Seperti
disebut di atas, peneliti pada era Hindia Belanda berpendapat, Orang Koeboe di
wilayah Jambi diduga karena menyingkir ketika terjadi invasi Jawa. Namun tidak
ada bukti yang bisa menjelaskan. Memang dalam catatan sejarah ada invasi Jawa
di wilayah Palembang dan Jambi pada era Singhasari dan era Majapahit. Apakah
ada relasi kehadiran orang Jawa dengan pengisolasian Orang Kubu sulit dipahami.
Yang jelas fajta bahwa nama (tempat) Kubu ditemukan di berbagai wilayah.
Seperti disebut di atas, nama Kubu ditemukan di Sumatra Barat, Riau dan
Kalimantan Barat. Populasi penduduk di district Koeboe di Borneo dicatat 1.800
orang Melayu, 150 orang Cina dan 30 orang Arab (lihat Tijdschrift voor
Neerland’s Indie, 1842). Nama Kubu di distrik Kubu di Riau (di perbatasan
Sumatra Utara) terbilang wilayah populasi Melayu. Dalam hal ini apakah
populasi-populasi yang terpisah ini dimana mengidentifikasi nama geografisnya
dengan nama Kubu berasal dari kelompok populasi yang sama? Boleh jadi kelompok
populasi Orang Kubu di Jambi sudah terisolasi, juga nama mereka sebagai Kubu
dipandang negatif. Catatan: dalam sejarahnya tidak semua kelompok populasi
berbahasa Melayu adalah Orang Melayu.

Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, asal-usul
Orang Koeboe juga diduga karena terisolasi di lingkungan kebudayaan yang baru,
namun sudah kehilangan kontak dengan kebudayaan asal (lihat Tijdschrift voor
Neerland’s Indie, 1846). Oleh karena terisolasi dalam dua zaman/era yang
berbeda, lalu kemudian melakukan isolasi mandiri, karena factor penarik atau
factor pendorong. Alasan ini lebih masuk akal jika dibandingkan dengan
alasan-asalan yang disebut di atas.


Teori
ini dapat dijelaskan yang dalam hal ini Orang Koeboe di wilayah Jambi sebagai
berikut. Pada awal peradaban, penduduk asli di pedalaman bermigrasi ke wilayah
pesisir/pantai. Seiring denga proses sedimentasi jangka Panjang, terbentuk
daratan di muara-muara sungai di pantai timur Sumatra yang menyebabkan
sungai0sungai memanjang ke arah laut/pantai.Seiring dengan terbentuknya mix
population di wilayah pesisir dan terbentuknya kelompok-kelompok populasi
dengan Bahasa yang baru (terbentuknya Bahasa Melayu). Namun dalam
perkembangannya, mereka yang tergabung dalam kelompok populasi sendiri (meski
berbahasa Melayu, sebagai bahasa baru yang berbeda dengan bahasa asli) dan oleh
karena ingin mempertahankan kelompok populasinya sendiri kemudian terisolasi
diantara mix population yang berbahasa Melayu, lalu dalam perkembangannya
sebagai kelompok populasi yang berbeda (karena factor penarik dan factor
pendorong) lalu menyingkir dengan budaya leluhur yang tetap dipertahankan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, peradaban yang terus berubah, lalu
mereka yang mengisolasi diri ini menjadi benar-benar terisolisasi (tertinggal
jauh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top