Sejarah

Sejarah Lampung (9): Populasi Penduduk di Lampung Masa ke Masa; Zaman Kuno, Era VOC dan Transmigrasi Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Penduduk asli Lampung adalah orang Lampung
sendiri. Sejak zaman kuno sudah ada pendatang yang datang ke (wilayah) Lampung.
Para pendatang semakin massif pada era VOC/Belanda, terumata orang Malayu,
orang Jawa dan orang Bugis. Tentu saja orang Banten. Populasi penduduk di
wilayah (district/residetenti) Lampong pada era Pemerintah Hindia Belanda
semakin drastic bertambag seiring dengan program transmigrasi (yang terus
berlangsung pada era Republik Indonesia). Pada masa ini populasi penduduk
(provinsi) Lampung sebanyak 7.5 juta dengan komposisi hanya 13.6 persen orang
Lampung.

 

Provinsi
Lampung menjadi salah satu provinsi di Indonesia di luar Pulau Jawa, tempat
mayoritas penduduknya adalah suku Jawa. Pada tahun 2010 total populasi sebanyak
64,17% yang kebanyakkan berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan
sebagian Jawa Barat. Sementara penduduk asli yakni suku Lampung berjumlah
13,56%. Diposisi ketiga ada Sunda berjumlah 11,88% (sudah gabungan suku Sunda
asal Jawa Barat dan juga Sunda asal Banten). Banyaknya etnis pendatang dari
pulau Jawa ke provinsi Lampung disebabkan pulau Jawa yang tidak begitu besar
tetapi penduduknya cukup ramai dan padat maka diadakan transmigrasi besar-besaran
ke pulau lain khususnya pulau Sumatra di provinsi Lampung. Diposisi keempat dan
kelima ada suku Melayu dengan persentase 5,64% dan juga Bali 1,38%. Suku Melayu
sudah termasuk semua sub-suku Melayu asal Sumatra Selatan yang ada di provinsi
Lampung seperti: Ogan, Semendo, Mesuji, dan Palembang. Masyarakat Melayu asal
Sumatra Selatan seperti Ogan, Semendo, Mesuji, dan Palembang dapat ditemukan
signifikan karena wilayah Sumatra Selatan dan Lampung berdekatan bahkan
berbatasan langsung, mereka juga sudah lama bermigrasi ke provinsi Lampung
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah prasasti-prasasti di
Lampung
? Apakah sejarah Lampung terkait dengan sejarah Sriwijaya? Lalu apakah keberadaan prasasti di Lampung memiliki peninggalan zaman
kuno yang lain seperti candi
? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidak penting-penting amat,
tetapi jika digabungkan untuk menjawab satu pertanyaan tunggal  bisa memiliki makna: Apakah sejarah Lampung
bermula di danau Ranau
? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Populasi Penduduk Lampung Masa ke Masa; Zaman Kuno,
Era VOC hingga Era Transmigrasi Hindia Belanda

Jumlah populasi penduduk di (wilayah) Lampong
dilaporkan pertama kali oleh H Zollinger (1846). Angka yang dilaporkannnya
adalah angka yang dikumpulkan oleh pemerintah. Pada saat itu pejabat tertinggi
Pemwerintah Hindia Belanda di District Lampoeng setingkat Controleur
(Gezaghebber) yang berkedudukan di Tarabangi (kin Terbanggi Besar). Penempatan
pejabat pemerintah Pemerintah Hindia Belanda di Lampong belum lama (baru satu
dasawarsa). Angka yang dilaporkan Zollinger menjadi penting, karena data
populasi pertama (meski harus diakui belum valid, karena hanya berdasarkan
perkiran, belum ada sensus).
 


Berdasarkan
catatan Zollinger, di wilayah (district) Lampoeng orang asli dibedakan dengan
orang asing. Orang Eropa hanya ada Tarabangie
(tidak disebutkan berapa orang); Orang Cina sebanyak 2 atau 3 berada di Telok
Betong); Orang Bugis 
dan
Jawa (di pantai dan di tempat-tempat dimana terdapat intensitas perdagangan).
Dari orang asing populasi orang Bugis yang paling banyak, terutama di Telok
Betong, Menggala dan Siringkebo.

Secara keseluruhan populasi penduduk di District Lampoeng sebanyak 82.905
jiwa terdistrinusi di eman sub-district. Populasi terbanyak berada di
sub-district Toelang Bawang sebanyakl 29.450 jiwa kemudian disusul di Telok
Beoteng dan Sepoetih sebanyak 16.690 jiwa dan 14.118 jiwa. Subdistrict Maringei
adalah wilayah kecil di pantai timur Lampung. Kehadrian orang Jawa (Jawa dan
Banten) diduga sejak zaman kuno dan orang Bugis pada era VOC (pasca Perang
Gowa, 1669).


Kepadatan penduduk Lampong terbilang sedikit. Sekitar 155 jiwa per mil
Inggris. Sementara di (pulau) Jawa, paling padat penduduknya di Residentie Bagelen
lebih dari 11.000 jiwa dan paling sedikit di Residentie Krawang sebanyak 1.200
jiwa. Seperti kita lihat nanti perbedaan kepadatan inilah yang menjadi salah
satu faktor mengapa muncul gagasan (program) transmigrasi dari Jawa ke Lampong.
Sedangan diantara populasi penduduk orang Lampung sendiri menurut Zollinger,
yang membuat pertumbuhan penduduk orang Lampung sangat Lambat karena factor djoedjoer
(semacama mas kawaon) dalam perkawinan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Zaman Kuno, Era VOC hingga Era Transmigrasi Hindia
Belanda: Orang Lampung, Melayu, Jawa, Bugis dan Cina

Sejak 1857 district Lampong statusnya telah
ditingkatkan menjadi residentie dengan menempatkan Residen di Lampong dengan
kedudukan di Telok Betoeng. Dalam perkembangannya wilayah distict Lampong yang
awalnya terdiri enam subdistrict, dibagai ke dalam bentuk afdeeling. Residentie
Lampong diringkas menjadi empat afdeeling: Afd.Ommelanden van Telok Betoeng;
Afd. Semangka; Afd. Katimbang dan Afd. Sepoetih Toelangbawang.


Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 06-08-1873: ‘….Penduduk Lampong terbagi atas lapisan
sosial (kebuayan) dan hidup menurut adat dan tata krama leluhur. Cara hidup
ini, bagaimanapun, telah banyak berubah menjadi lebih baik dibawah pengaruh
pemerintah Eropa sejak 1860, dan beberapa adat, yang sepenuhnya bertentangan
dengan kepentingan negara dan rakyat, telah dihapuskan dengan persetujuan para
kepala dan penduduk. Sepengetahuan penulis, bagaimanapun, belum mungkin
menghapuskan adat djoedjur (membeli seorang wanita dari orang tua atau
kerabatnya, kadang-kadang dengan harga yang sangat mahal). Akan tetapi, dibawah
pemerintahan sekarang, tampaknya telah dibuat ketentuan-ketentuan mengenai hal
ini, dengan tujuan untuk menurunkan harga djoedjoer, sehingga sekarang bahkan
laki-laki yang lebih rendah dapat berpikir untuk mencari seorang istri. Harus
diakui bahwa adat djoedjoer, seperti dulu dalam mode, adalah salah satu praktik
buruk Lamponger, dan telah menjadi penyebab sangat sedikit pernikahan, dan
populasi sebagai konsekuensi alami dari ini. jiwa tidak bertambah atau bertambah
sedikit. Kebanggaan si Lamponger, bagaimanapun, juga terletak pada kenyataan
bahwa, jika mungkin, dia menikahi putrinya dengan harga tinggi, yaitu bahwa
pemuda itu membayar djoedjoer yang tinggi untuknya….’.

Pada tahun 1911. Jumlah populasi pendduduk
(Residentie) Lampong sebanyak 154.474 jiwa. Jumlah ini sudah sangat jauh meningkat
dibandingkan setengah abad yang lalu (1846). Ada penambahan jumlah penduduk
lebihdari 50 ribu jiwa. Suatu pertambahan penduduk yang sangat cepat. Boleh
jadi itu karena wilayah Lmpong semakin terbuka dari pendatang seiring situasi
dan kindisi yang semakin kondusif dimana pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda
semakin efektif. Pada tahun 1910, paling tidak sudah diketahui adanya komunitas
orang Jawa di (wilayah) Gedong Tataan. Status kesehatan penduduk yang terus
meningkat dan peningkatan ekonomi penduduk yang juga meningkat diduga menjadi factor
peningkatan pertumbuhan penduduk alamian yang meningkat (kelahiran-kematian).


Berdasarkan data penduduk Lampung tahun 1911 (lihat Rapport Nopens den
Annleg van Staatssooorwegen in Zuid Sumatra, 1911), distribusi penduduk lebih
dari separuh berada di afdeeling Sepoetih Toelang Bawang, suatu afdeeling di
wilayah utara. Lebih dari separuh berada di onderfadeeling Toelang Bawang. Di
wilayah sekitar Teloek Betoeng (onderfadeeling Ommelanden van Teloek Betoeng) dimana
ibu kota baru di Telok Betoeng hanya sekitar 28 ribu jiwa. Di wilayah afd Katimbang
(ibu kota di Kalianda) dan di afd Semangka (ibu kota di Kota Agoeng) hanya
belasan ribu saja, bahkan masih lebih banyak populasi di onderafd. Sekampoeng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top