*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Raja Surakarta masa ini disebut Sri Susuhunan
Pakubuwana XIII (Susuhunan XII), lahir 28 Juni 1948 yang bertakhta sejak 2004. Namun
dalam hal ini yang dibicarakan adalah Susuhunan Pakubuwana XII. Nama
Soesoehoenan dan Pakoeboewono adalah dua nama penting di wilayah Soerakarta
dari masa ke masa, sejak era VOC (bahkan hingga masa ini).

Letnan Jenderal TNI (Tit.)
Susuhunan Pakubuwana XII (14 April 1925-11 Juni 2004) adalah susuhunan
Surakarta, masa pemerintahannya 59 tahun (1945-2004). Nama aslinya adalah Raden
Mas Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI. Suryo Guritno pernah bersekolah di ELS Pasar
Legi, Surakarta. Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Tahun 1938
Suryo Guritno berhenti sekolah sekitar lima bulan, karena harus mengikuti
ayahandanya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda
untuk menghadiri peringatan 40 tahun takhta Ratu Wilhelmina. Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikan ke HBS di Bandoeng. Belum tamat, pecah Perang Pasifik
dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang. Raden Mas Suryo Guritno naik
takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII,
secara terpisah mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi
pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari
sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6
September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam
Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno. Susuhunan Pakubuwana XII pernah
menerima kunjungan Presiden Soekarno tahun 1946. Selama perang kemerdekaan Pakubuwana
XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari
Presiden Soekarno. Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal
mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia,
sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di
Yogyakarta. Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis
Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal
bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik
Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah
Indonesia (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Susuhunan XII
Pakubuwana XIII? Seperti disebut di atas, Pakuboeowono XIII adalag raja
Soerakarta terlama, naik takhta 11 Juni 1945 dan meninggal di Kota Surakarta 11
Juni 2004. Susuhunan XII berkuasa di Soerakarta berbeda dengan para pendahulunya
pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah ada perbedaannya? Lalu bagaimana sejarah
Susuhunan XII Pakubuwana XIII? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Susuhunan XII Pakubuwana XIII; Naik Takhta 11 Juni
1945, Meninggal di Kota Surakarta 11 Juni 2004
Susuhunan X Pakubuwana XI meninggal dunia di Soerakarta
(lihat Het Parool, 07-06-1945). Disebutkan Soesoehoenan Solo meninggal. Radio Djakarta
(yang dilansir ANP di Merbourne) mengumumkan pada hari Senin bahwa Soesoehoenan
Solo meninggal pada hari Sabtu tanggal 1 Juni di istananya pada usia 61/71
tahun. Sebagai Paku Buwono XI ia menggantikan ayahnya Paku Buwono X sebagai
Soesoehoenan van Solo pada tanggal 26 April 1939. Dia dikukuhkan dalam posisi
ini, setelah Jepang tiba di Jawa, pada tanggal 30 Juli 1942. Menurut Domei, ia
akan digantikan putra sulungnya yang akan menyandang gelar Paku Buwono XII.
Wikipedia: Berdasarkan tradisi maka KGPH Mangkubumi, putra sulung
Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan takhta. Namun peluang
itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI),
telah mendahului wafat pada tahun 1910 sehingga tidak berkesempatan diangkat
sebagai permaisuri tatkala suaminya mewarisi takhta kerajaan. Maka terbukalah
peluang untuk Suryo Guritno bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur
paling muda. Sebelum naik takhta sebagai raja, Suryo Guritno diangkat sebagai
putra mahkota dengan gelar KGPH Puruboyo. Versi lain menyebutkan, pengangkatan
Suryo Guritno itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno.
Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta
tahan terhadap situasi. Rencana penobatan Suryo Guritno itu sempat mendapat
tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Raden
Mas Suryo Guritno naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945.
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik
Indonesia. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari, ia sering kali didampingi ibunya, GKR Pakubuwana, yang dikenal
dengan julukan Ibu Ageng. Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena
merupakan Susuhunan Surakarta pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.
Saat pergantian raja di Soerakarta ini, jaman telah
berubah. Saat ini adalah masa pendudukan Jepang. Sementara itu nun disana di Eropa,
dilaporkan dari Den Haag bahwa Ratu Belanda diperkirakan akan segera kembali ke
istana di Den Haag (setelah lama di pengasingan di Inggris, dimana Jerman
menduduki Belanda pada bulan Mei 1940). Sang Ratu diperkirakan akan kembali ke
Den Haag ketika orang Jerman terakhir telah meninggalkan Belanda. Lalu apakah
Belanda ingin menguasai Kembali Indonesia?
Ibarat roda pedate berputar ada waktunya di atas, ada pula saatnya berada
di bawah. Raja Belanda (dalam hal ini Ratu) tengah berada di bawah, berada di
pengasingan, melarikan diri saat invasi Jerman dimulai Mei 1940. Pada tahun
dimana Ratu Belanda melarikan diri, Ir Soekarno masih di pengasingan di
Bengkoeloe. Pendudukan Jepang di Indonesia bulan Maret 1942 menyebabkan Ir
Soekarno terbebaskan dan kemudian diangkat Jepang untuk memimpin rakyat
Indonesia. Pada saat Ratu Belanda kembali ke Belanda, di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang Raja Soerakarta meninggal dan yang menjadi pemimpin rakyat
Indonesia adalah Ir Soekarno.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Naik Takhta 11 Juni 1945, Meninggal di Kota Surakarta
11 Juni 2004: Riwayat Susuhunan/Pakubuwana di Soerakarta Masa ke Masa
Saat mana Kaisar Jepang menyatakan takluk kepada
Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat melalui radion tanggal 14 Agustus 1945,
tiga hari kemudian bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Hany aitu yang
dapat dilakukan, orang Jepang di Indonesia mati langkah, orang Eropa/Belanda
masih di dalam kamp tahanan yang dijaga militer Jepang. Ratu Belanda yang belum
lama pulang dari pengasingan, proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak digubris
orang-orang Belanda. Nafsu berkuasa Belanda terus memuncak. Apakah dalam hal
ini orang-orang Belanda dalam konteks orang-orang Indonesia, orang Eropa yang
tidak tahu diri? Boleh jadi.
Ketika orang Eropa/Belanda dibebaskan Sekutu/Inggris dari kamp militer
Jepang di Indonesia, mereka trauma, mereka dievakuasi, mereka banyak sakit dan
banyak yang menderita sangat. Mereka ini tahu diri. Sebaliknya, orang-orang
Belanda yang bebas, terutama yang dipengasingan seperti di Inggris dan
Australia berbondong-bondong datang ke Indonesia di belakang Sekutu/Inggris
ingin menguasai Indonesia. Nah, ini dia nih. Lalu para eks interniran di
Indonesia mulai menyadari, mereka sudah lama di Indonesia, mereka tidak
mengenal lagi Belanda, banyak diantaranya menikah dengan orang Indonesia, mereka
nyaris tidak diakui di Belanda (karena ada rasis; orang Indo dianggap bukan
orang Belanda-totok), lalu berbalik ikut ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Sedangkan orang-orang Belanda yang jatuh miskin selama pendudukan Jerman di Belanda
banyak yang berharap ke Indonesia, karena sumber kemakmuran ada di Indonesia.
Saat Belanda/NICA mulai menguat dan sebagian orang
Indonesia yang menderita selama pendudukan Jepang, kehadiran Belanda dianggap
sebagai penolong lalu bekerjasama dengan orang-orang Belanda untuk memusihi
orang Indonesia yang menentang kehadiran orang-orang Belanda. Banyak raja-raja
di berbagai tempat telah didudukkan Kembali sebagai raja. Lalu bagaimana dengan
raja-raja di Vorstenlanden seperti di Soerakarta dan Jogjakarta?
Pusat pemerintahan Republik Indonesia di Djakarta. Seiring dengan pembentukan
komite nasional Indonesia, lalu, dengan semakin intensnya pertempuran di
Djakarta dan sekitar, komite nasional Indonesia di Jogjakarta mengajukan
permintaan agar pemerintahan RI dipindahkan ke Jogjakarta. Hal ini boleh jadi
karena Jogjakarta saat itu dianggap laing sesuai karena di Jogjakarta sendiri
sudah sejak beberapa waktu didirikan Akademi Militer Indonesia di bawah
pimpinan Oerip Soemohardjo. Apakah permintaan dari Jogjakarta tersebut direspon
Presiden Soekarno?
Seorang penulis Belanda bertanya di surat kabar
dalam tulisannya: ‘Orang berkelahi di Jawa, tapi siapa sebenarnya yang
berkelahi? Pemerintahan republik yang merdeka telah terbentuk di Jawa, namun
apa kata para penguasa Jawa di Jawa Tengah tentang hal ini, Sultan Djokarta dan
Susuhunan Surakarta. Kami tidak mendengar kabar dari mereka. Apakah mereka juga
menjadi Republikan? (lihat De Graafschapper, 05-12-1945). Pertanyaan sangat
jamak diantara orang Belanda. Diantara orang-orang Belanda, mereka sangat
membutuhkan Soeltan Jogja dan Soesoehoenan Soerakarta. Mengapa? Sebaliknya
diantara orang-orang Indonesia juga mungkin bertanya apakah para raja-raja
condong ke Republik atau ke pangkuan Belanda?
Algemeen Handelsblad, 20-12-1945: ‘Sebuah pernyataan resmi telah dibuat
atas nama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang telah diserahkan kepada
Pemerintah Belanda dan Inggris sebelum dipublikasikan, mengungkapkan harapan
yang sungguh-sungguh bahwa semua pihak di Hindia Belanda akan mengenali
kebutuhan untuk melihat dimulainya kembali pembicaraan lebih awal dengan maksud
untuk mencapai solusi damai atas konflik tersebut…Harapan diungkapkan bahwa
pembicaraan akan mengarah pada pengakuan aspirasi alami rakyat Indonesia dan
hak dan kepentingan Belanda yang sah… Tentang perjalanan Sjahrir,
Sukarno, dan Hatta serta Amir Sjarifoeddin Harahap ke Jawa Tengah, kabarnya
mereka juga disambut di Soerakarta oleh Soesoehunan, Ketua Panitia Nasionalis
lokal dan Kepala Markas Barisan Banteng, organisasi kepemudaan Pemoeda. Soekarno
mempersilakan para koresponden luar negeri untuk meyakinkan diri sendiri bahwa
“kaum nasionalis cukup mampu, untuk menjalankan negara”. Tambah Soekarno lagi “Semuanya
berjalan dengan baik”. Perkelahian dan penembakan dilaporkan dari Buitenzorg,
Batavia dan Semarang. Pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)
berpartisipasi dalam pembersihan di pinggir Batavia’. De Volkskrant, 20-12-1945
menginformasikan selama di Soerakarta ‘Soetan Sjahrir, Soekarno dan Mohamad Hatta
serta Amir Sjarifoeddin Harahap telah berpidato di majelis rakyat. Hatta
mencontohkannya. bahwa setiap bagian dari negara adalah bagian dari
“Indonesia Raya” dan bahwa “tidak ada yang berjuang untuk
dirinya sendiri, tetapi semua harus berjuang untuk seluruh bangsa”. Soekarno
meminta perhatian pada perlunya mengikuti perintah Pemerintah. Soekarno mengatakan:
“Belanda berusaha mengatakan kepada dunia bahwa kita belum siap merdeka dan
hanya bisa membunuh perempuan dan anak-anak. Tapi koresponden asing melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa kita cukup mampu menjalankan negara ini.
Semuanya berjalan baik di Indonesia. Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 20-12-1945 mengutip pidato Soekarno di
hadapan 20,000 orang di lapangan, setelah menggambarkan “eksploitasi”
Belanda di Hindia, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia telah berlayar sejauh
ini, tetapi bahwa Indonesia, setelah merdeka, akan tetap demikian selamanya. Kunjungan para pemimpin
republik ke Soerakarta bertepatan dengan ulang tahun keempat bulanan proklamasi
kemerdekaan republik.
Kunjungan ke Jawa Tengah (Jogjakarta) merupakan
kinjungan para pemimpin Indonesia pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sejak proklamasi, empat tokoh penting Indonesia (4 the Founding Father) ini sangat
disibukkan dalam berbagai hal di Djakarta. Diantara berempat yang sudah pernah
ke Jogjakarta sebelumnya adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (yang bertindak
sebagai Menteri Pertahanan) dalam hubungannya dengan pertahanan dan soal organisasi
militer yang akan ditingkatkan dengan berbicara dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Mr Amir Sjarifoeddin Harahap juga sebelumnya Bersama Presiden Soekarno ke
Soerabaja dalam hubungannnya dengan pertempuran Soerabaja pada bulan November.

Kunjungan pendahuluan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap
ke Jogjakarta dan kemudian kunjungan para pemimpin Indonesia pada tanggal 17
Desember 1945 ke Jogjakarta dan Soerakarta menjadi sinyal Soeltan Jogja dan Soesoehoenan
Soerakarta menerima lapang dada para pemimpin republic dan secara khusus
Soeltan Jogja membuka pintu untuk menjadikan Jogjakarta sebagai ibu kota
Republik yang baru. Pada tanggal 3 Januari Sorkarno, Mohamad Hatta dan Amir
Sjarifoeddin Harahap pindah ke Jogjakarta (hanya menyisakan Soetan Sjahrir
masih di Djakarta). Sebelumnya Soesoehoenan Soerakarta telah menanggalkan gelar
radjanya (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 25-01-1946). Disebutkan di dalam surat kabar “Kedaulatan Rakyat” yang
terbit di Solo kita baca: Soesoehoenan yang merupakan bagian dari perjalanan
presiden menyatakan dalam rapat umum di Pati bahwa mulai sekarang ia lebih suka
dipanggil “Boeng”. ingin dikenal sebagai Boeng Pakoe Boewono. Dalam sebuah
resepsi di Tjepoe, Boeng Pakoe Boewono, setelah memperkenalkan dirinya kepada
hadirin, memberikan salam merdeka dan kemudian memproklamirkan dengan kepalan
tangan: “Berontak”.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.