Sejarah

Sejarah Banyumas (43):Tatakota Banyumas, Ibu Kota Relokasi ke Purwokerto; Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Pada
masa ini kota Purwokerto disebut kota terbesar ketiga di wilayah Jawa Tengah (setelah
Semarang dan Solo). Bagaimana dengan tempo doeloe? Nah, itu dia. Ketika
Banjoemas ibu kota residentie Banjoemas telah berkembang menjadi kota, Poerwokerto
masih kota kecil, Bahkan kota Poerbalingga, kota Bandjarnegara dan kota Tjilatjap
relative lebih besar dari kota Poerwokerto. Situasi mulai berubah, ketika ibu
kota residentie dipindahkan dari Banjoemas ke Poerwokerto tahun 1937.


Lain
dulu lain sekarang. Ibu kota adalah pusat pemerintahan. Ibu kota Hindia Belanda
pernah dipindahkan dari Batavia ke Buitenzorg. Namun itu tidak berlangsung lama.
Hal serupa dengan ibu kota Residentie Tapanoeli pernah direlokasi dari Sibolga
ke Padang Sidempoean. Saat itu kota Padang Sidempoean adalah kota terbesar
kedua di Sumatra setelah kota Padang. Pada saat Padang Sidempoean sudah menjadi
kota besar, Medan malahan masih kampong kecil. Demikian pula yang terjadi
dengan kota Banyumas. Pada saat Banyumas telah menjadi kota besar, Poerwokerto
masih kota kecil. Setekah ibu kota Residentie Banjoemas direlokasi dari
Banjoemas ke Poerwokerto tahun 1937, secara perlahanan Poerwokerto tumbuh dan
berkembang hingga masa ini menjadi kota terbesar ketiga di Jawa Tengah.

Lantas bagaimana sejarah tata kota Banyumas, ibu
kota relokasi ke Purwokerto? Seperti disebut di atas pada saat Banjoemas sudah
menjadi kota, Poerwokerto masih suatu kampong besar. Ini mengindikasikan kota
Banjoemas ditata lebih awal jika dibandingkan dengan tata kota di Puwokerto, Purbalingga,
Banjarnegara dan Cilacap. Lalu bagaimana sejarah tata kota Banyumas, ibu kota relokasi
ke Purwokerto? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.
Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Tata Kota Banyumas, Ibu Kota Relokasi ke Purwokerto;
Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap

Kota Banjoemas bermula di suatu kampong Banjoemas.
Kampong Banjoemas ini sudah diketahui sejak lama. Pada Peta 1706 di kampong
Banjoemas, di sisi selatan sungai Serajoe dibangun benteng VOC. Pada masa
permulaan Pemerintah Hindia Belanda benteng ini dijadikan garnisun militer.
Pada saat terjadi Perang Jawa (1825-1830) garnisun militer ini dijadikan
sebagai rumah sakit yang merawat militer yang luka dalam perang (sementara tentara
direlokasi ke benteng Karang Bolong untuk memperkuat pasukan yang ada di
benteng Noesa Kambangan tersebut). Dari eks benteng yang menjadi rumah sakit inilah
kemudian menjadi embrio kota Banjoemas.


Kota Purwokerto bermula dari kampong Poerwokerto. Pada era Pemerintah
Hindia Belanda kampong besar ini dipecah menjadi desa Poerwokerto Wetan, Poerwokerto
Lor dan Poerwokerto Kidoel dimana jalan raya di tengahnya (lihat Peta 1860).
Dari desa-desa inilah yang menjadi embrio kota Purwokerto yang sekarang. Pada
saat Bupati di Ajibarang direlokasi ke Poerwokerto, rumah bupati dibangun di
desa Kedoeng Watoe/desa Kranji (arah ke Adjibarang). Dari desa ini satu garis
jalan raya ke desa-desa Poerwokerto. Dari desa Kedoeng Watoe ini ke selatan
jalan menuju Tjilatjap (Jalan Sutoyo yang sekarang). Rumah bupati desa Karnaji di
jalan raya yang disamping ada jalan ke arah utara (jalan Masjid yang sekarang/alun-alun).

Pada Peta 1860 sebagai ibu kota residentie
Banjoemas, kota Banjoemas diidentifikasi sebagai gambaran kota besar, jauh lebih
besar dari kota Poerwokerto. Bahkan kota Poerbalingga dan kota Cilacap dan kota
Bandjarnegara masih lebih besar dari kota Poerwokerto. Boleh jadi hal itu
karena Poerwokerto sejatinya adalah ibu kota (afdeeling) yang baru untuk
menggantikan ibu kota yang lama di Adjibarang. Berdasarkan Almanak 1833 di kota
Poerwokerto, kota Poerbalingga dan kota Bandjarnegara sudah ditempatkan Asisten
Residen. Namun situasi di Poerwokerto berubah 10 tahun kemudian, yang
menyebabkan kota Poerwoikerto tidak berkembang.


Pada tahun 1840 dibentuk afdeeling Tjilatjap dengan menempatkan Asisten
Residen di Tjilatjap. Hal ini dilakukan seiring dengan perkembangan kota
Tjilatjap sebagai pelabuhan utama di wilayah Banjoemas (seiring dengan
berfungsinya kanal Kali Osso sebagai jalur transportasi dari pelabuhan Danon ke
wilayah hulu sungai Serajoe). Sejak tahun 1842 tidak ada fungsi Asisten residen
di Poerwokerto. Boleh jadi karena itu kota Poerwokerto tetap stagnan hingga
waktu yang lama. Hingga tahun 1860 di Poerwokerto belum ditempatkan Asisten
Residen (hanya pemimpin local Bupati saja).

Faktor kehadiran orang Eropa, terutama dimana menjadi
ibu kota (afdeeling atau residentie) menjadi pemicu penting pertumbuhan dan
perkembangan kota. Paling tidak sebagai ibu kota dibangun kantor/rumah Asisten
residen/Residen dan garnisun militer serta fungsi-fungsi pendukung lainnya
dalam pemerintahan. Seiring dengan itu jalan-jalan lebih massif dibangun.
Fasilitas umum seperti pasar berkembang dan juga dimungkinkan menjadi salah
satu titik penting dalam pengembangan jaringan jalan nasional dan jalur kereta
api. Hal itulah mengapa kota Banjoemas cepat berkembang sebagai kota besar (relative
terhadap kota Poerwokerto).


Mengapa kota Poerwokerto tidak menjadi penting di wilayah residentie
Poerwokerto? Boleh jadi karena posisinya tidak strategis. Kota Tjilatjap meski
kota yang dibentuk belakangan tetapi sebagai pelabuhan dengan sendirinya
strategis dalam arus barang dan orang. Posisinya memiliki keunggulan komparatif
dan tidak ada yang bisa menggantikan. Kota Banjoemas dalam hal ini berada di
tepay di tengah di daerah aliran sungai Serajoe. Yang ke hilir ke arah kota
Tjilatjap dan ke wilayah hulu ke Poerwokerto, Poerbalingga dan ke
Bandjarnegara. Poerwokerto yang letaknnya sangat dekat ke Banjoemas, menjadikan
Poerwokerto hanya seakan satelit saja. Hal ini berbeda dengan Poerbalingga dan
Bandjarnegara yang agak jauh, yang penempatan pejabat pemerintah setingkat
Asisten Residen menjadi sangat penting.

Kota Banjoemas dirancang sedemikian rupa, dimana
pusat orang Eropa dan pusat pribumi berada pada jarak tertentu. Pusat pribumi
dimana kantor bupati berada di sisi selatan sungai Serajoe. Kawasan ini
terbilang kerap banjir. Sementara kantor Residen dibangun di arah selatan di
dekat perbukitan. Posisi kawasan Eropa/kantor Residen memiliki posisi strategis
dengan jalan ke arah timur ke Bandjarnegara dan ke selatan terbagi dua ke barat
di Tjilatjap dan ke tenggara via Soempioeh ke Kedoe (Karang Anjar/Keboemen).
Sementara itu kawasan bupati, di sisi utara sungai terdapat jalan ke utara
hingga ke Soekaraja yang kemudian ke arah timur laut ke Poerbalingga dan ke arah
barat daya ke Poerworedjo.


Berdasarkan Peta 1841 satu-satu jalan dari dan ke Banjoemas hanya ke arah
tenggara ini (belum menuju Karang Anjar tetapi masih ke Ambal saja di pesisir).
Boleh jadi atas dasar inilah diduga mengapa kantor Residen di Banjoemas
dibangun di arah selatan kantor/rumah bupati Banjoemas. Akses ke Banjoemas umumnya
masih melalui jalur sungai (Serajoe) baik ke Poerbalingga dan Bandjarnegara,
juga ke Tjilatjap. Akses ke Poerwokerto dan Adjibarang melalu jalan darat dari
sisi utara sungai di kantor/rumah bupati Banjoemas. Peta kota Poerwokerto 1899

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap: Membandingkan
Tata Kota Banjoemas dan Kota Poerwokerto

Sejak tahun 1865 dilakukan reorganisasi
cabang-cabang pemerintahan. Residentie Banjoemas terdiri dari lima afdeeling
dan lima regentschap. Sehubungan dengan reorganisasi ini, kota Poerwokerto
mulai dianggap penting lagi. Ini seiring dengan penempatan Asisten Residen
kembali di Poerwokerto pada tahun 1867. Lebih dari dua decade kota Poerwokerto
hanya dipimpin oleh seorang bupati saja. Hal itulah diduga yang menjadi sebab
mengapa perkembangan kota Poerwokerto terbilang stagnan. Lalu bagaimana dengan
setelah kehadiran kembali Asisten Residen di kota Poerwokerto?


Pada Peta 1899 tampak bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Poerwokerto
lebih cepat. Pada Peta 1860 kota Poerwokerto hanya berada di sepanjang jalan
utama di desa Krandji dimana terdapat kantor/rumah bupati. Pada Peta 1899
jalan-jalan kota sudah semakin banyak dengan dua jalan parallel, jalan baru
dibangun di utara jalan utama (jalan Gatot Soebroto yang sekarang). Antara dua
jalan utama ini sidah terbentuk jalan-jalan penghubung. Dalam Peta 1899
diidentifikasi alun-alun kota dan juga jalur kereta api. Alun-alun tepat berada
di lokasi rumah/kantor bupati yang dulu (Peta 1860). Sementara kantor/rumah
Asisten Residen dibangun di pangkal jalan yang dari arah Banjoemas (pangkal jalan
Sutoyo yang sekarang). Sedangkan kota lama (desa-desa Poerwokerto) menjadi
perkampongan Cina (dari arah Soekaradja). Ini mengindikasikan kota Poerwokerto
telah berubah total dari kampong besar/kota kecil menjadi kota memiliki
karaktor kota besar.

Bagaimana dengan kota Banjoemas pada Peta 1899?
Secara tata kota tidak banyak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan kota
Poerwokerto. Jalan-jalan di kota Banjoemas dari wakyu ke waktu hanya itu saja
bahka sejak diidentifikasi pada Peta 1860. Satu yang penting pada Peta 1899 ini
di kota Banjoemas telah dibangun jembatan di atas sungai Serajoe yang
menghubungkan kota Banjoemas dengan kota Soekaradja di arah utara.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 



















*Akhir Matua
Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak
1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta
Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun
di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis
artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang,
utamanya jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top