Sejarah

Sejarah Bahasa (80): Bahasa Bengkulu Kota Bengkulu Dialek Melayu; Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang dan Kaur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku
Melayu Bengkulu adalah kelompok etnis rumpun Melayu yang mendiami Provinsi
Bengkulu. Suku ini tersebar di wilayah Kota Bengkulu dan sekitarnya (terutama
di wilayah pesisir). Suku Melayu Bengkulu merupakan kelompok etnis terbesar
kelima di provinsi Bengkulu. Pada umumnya, masyarakat Melayu Bengkulu bermukim
di Kota Bengkulu.


Bahasa
Melayu Bengkulu atau Baso Bengkulu adalah salah satu bahasa atau isolek dalam
Melayu Tengah yang dituturkan oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu khususnya
masyarakat di Kota Bengkulu. Bahasa ini juga merupakan salah satu dari sembilan
bahasa asli Provinsi Bengkulu bersama dengan bahasa Mukomuko, Pekal, Serawai,
Pasemah, Enggano, Lembak, Rejang, dan Kaur (Mulak). Secara khusus bahasa ini
merupakan bahasa asli yang dituturkan oleh etnis Melayu Bengkulu yang menghuni
Kota Bengkulu. Namun bahasa ini telah menjadi lingua franca atau bahasa
pengantar di antara etnis yang beragam di Provinsi Bengkulu, selain bahasa
Indonesia, sehingga bahasa ini telah menjadi identitas bagi Provinsi Bengkulu. Bahasa
ini mempunyai kemiripan dengan bahasa di sekitarnya, seperti dengan Bahasa
Melayu Palembang dan Bahasa Melayu Jambi karena banyaknya kosakata yang
diakhiri dengan huruf vokal “o”. Bahasa ini juga mempunyai kemiripan
dengan dialek Negeri Sembilan di Malaysia, yang sama-sama mendapat pengaruh
dari Minangkabau.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bengkulu, dialek
Melayu di Kota Bengkulu? Seperti disebut bahasa Bengkulu dituturkan di kota
Bengkulu. Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur. Lalu bagaimana sejarah
bahasa Bengkulu, dialek Melayu di Kota Bengkulu? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Bengkulu, Dialek Melayu di Kota Bengkulu;
Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur 

Bahasa Melayu menunjukkan Namanya. Namanya bahasa
Bengkulu. Lantas mengapa bahasa Bengkulu menjadi dialek Melayu? Lalu mengapa kemudian
disebut bahasa Melayu Bengkulu? Ini mirip dengan nama bahasa Melayu Jambi,
bahasa Melayu Palembang, dan lainnya. Nama tempat dalam nama bahasa mununjukkan
dimana bahasa Melayu dituturkan. Pemberian nama tempat pada nama bahasa Melayu
menjadi dialek bahasa Melayu di tempat yang disebutkan.


Bahasa-bahasa asli non Melayu disebut dengan nama tertentu. Namanya sulit
dirujuk sejak kapan nama itu muncul. Misalnya bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa
Minangkabau, bahasa Lampung. Lantas apakah ada bahasa Jawa Medan, bahasa Batak
Medan, bahasa Jawa Jakarta, bahasa Minangkabau Palembang, bahasa Lampung
Bengkulu?

Nama bahasa Bengkulu adalah satu hal. Nama tempat
Bengkulu adalah hal lain lagi. Dalam hal itulah kita membicarakan bahasa Melayu
di satu sisi dan penutur bahasa Melayu di sisi lain di (tempat/kota) Bengkulu. Lalu
sejak kapan muncul nama Bengkulu?


Kapan nama Bengkulu bermula tidak diketahui secara pasti. Namun yang
jelas nama Bengkulu sudah terinformasikan dalam Peta 1655 yang diidentifikasi
dengan nama Boncolo. Meski demikian, pantai barat Sumatra sudah dikenal
pelaut-pelaut Belanda sejak awal (bahkan sejak era pelaut-pelaut Portugis). Dalam
sketsa tahun 1665 yang dibuat pelaut VOC/Belanda (Johannes Vingboons) juga
dengan nama Boncolo. Sebelum tahun 1665 wilayah pantai barat Sumatra pengaruh perdagangan
Atjeh dari utara mencapai kota Indrapoera; pengaruh perdagangan Banten dari
selatan mencapau kota Sillebar. Artinya ada wilayah yang terkesan kosong yakni
antara Indrapoera dan Silebar. Pada tahun 1665 atas permintaan pemimpin local,
militer VOC mengusir pedagang Atjeh dari pantai barat Sumatra hingga batas
Troemon/Singkil. Lalu pada tahun 1684 VOC berkolaborasi dengan kesultanan
Banten. Lalu setahun kemudian, pada tahun 1685 Inggris membuka pos pedagangan
di muara sungai Benculo. Namun sejatinya tempat itu tidak sehat bagi
orang-orang Inggris, sehingga pos perdagangan tersebut direlokasi ke suatu tempat,
satu jam perjalanan ke arah selatan, dan kemudian membangun benteng Inggris
(kelak benteng Marlborough).

Johannes Vingboons tahun 1665 mengidentifikasi nama Bencolo
di sisi barat muara sungai sebagai suatu perkampungan. Jika ada pedagang-pedagang
yang melintas di kawasan dan terjadi badai, para pedagang memasuki sungai
hingga satu mil ke pedalaman untuk mendapatkan kondisi yang aman. Di kampong
Bencolo diduga adalah tempat perdagangan, antara pedagang-pedagang dengan
kelompok populasi di pedalaman melalui jalur sungai. Kelompok populasi di
pedalaman ini adalah orang Redjang. Namun kampong perdagangan di Bencolo di muara
sungai, sejak kehadiran Inggris (1685) merelokasi pos perdagangan satu jama ke
selatan dan membangun benteng (kini menjadi pusat kota Bengkulu).


Nama Bengkulu diduga pertama kali diidentifikasi oleh para pelaut
VOC/Belanda dengan nama Boncolo. Namun sejak kehadiran Inggris di Bengkulu nama
Boncolo bergeser menjadi Bencoolen atau Bencolen. Penamaan diantara Inggris dan
Belanda tampaknya soal pelafalan semata. Lantas, bagaimana dengan pengucapan
dan penulisan nama aslinya menurut penduduk Bengkulu sendiri. Besar dugaan
dilafalkan sebagai Bengkulu seperti pada masa ini.
 

Setelah
sekian lama terjadi dinamika sesame Eropa di pantai barat Sumatra, p
ada tahun 1779 Inggris
memindahkan skuadron dari Madras ke Bengkulu. Ini adalah suatu invasi di pantai
barat Sumatra yang menjadi ruang perdagangan VOC. Pada tahun 1781 diangkat
seorang resident di Padang. Orang-orang Belanda yang berada di pantai barat
Sumatra terusir (ke Jawa/Batavia). Sudah barang tentu invasi Inggris dari India
ke pantai barat Sumatra tidak tiba-tiba.


Pada tahun 1774 Inggris sepenuhnua terusir dari Amerika seiring dengan
perlawanan dan kemerdekaan Amerika pada bulan Juli 1774. Sementara itu, pada
tahun 1775 James Cook menerbitkan laporan ekspedisisinya ke Australia dan
Pasifik. James Cook merekomendasikan Inggris membentuk koloni di pantai timur
Australia (Sidney). Pemerintah Inggris meresponnya dan pada tahun 1777 mengirim
imigran pertama dari Inggris ke Australia. Boleh jadi dalam upaya menjaga
koloni baru di Australian, Inggris melakukan invasi ke pantai barat Sumatra
tahun 1779. Dalam situasi kondisi ini VOC khususnya di Jawa dalam posisi
terancam.

Saat Inggris mulai berkoloni di
Australia, William Marsden membuat risalah pulau Sumatra yang diterbitkan pada
tahun 1781.
William Marsden sebelumnya
adalah seorang penulis di Bengkoelen di kantor resident Bengkoelen (Inggris).
Marden dalam bukunya, selain bahan-bahasa hasil penyelidikannya, juga
menggunakan hasil ekspedisi Charles Miller ke pedalaman Tanah Batak di Angkola
(1772). Satu yang penting dalam buku Marsden, meski tidak berbicara
bahasa-bahasa kelompok populasi, Marsden mengidentifikasi lima kelompok
populasi terpenting di Sumatra: Atjeh, Batak, Minangkabau, Melayu, Redjang dan
Lampong. Dalam buku ini Marsden melampirkan kamus dan tata bahasa Melayu.

Seiring dengan ekskalasi politik yang berkembang di
Eropa, situasi dan kondisi di Hindia Timur juga terpengaruh. Orang-orang
Belanda sangat terancam di Jawa (oleh Inggris di Sumatra dan Australia yang
berbasis di India). Kemenangan Prancis di Eropa, wilayah Belanda dikuasai oleh
Prancis, di Hindia Timur juga militer Preancis berhasil menduduki Jawa (Batavia)
pada tahun 1795.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur:
Asal Usul Bahasa Melayu di Wilayah Bengkulu

Dalam sensus penduduk tahun 1930 (SP 1930), kelompok
populasi Bengkoeloe dipisahkan sendiri. Tidak hanya dengan kelompok populasi
Melayu, juga dengan kelompok populasi lainnya terutama di Sumatra bagian selatan.
Soal bahasa apa yang digunakan oleh berbagai kelompok populasi tersebut tidak
diidentifikasi. Seperti disebut di atas, identifikasi kelompok populasi adalah
dasar untuk mempelajari bahasa-bahasa.

 

Kelompok populasi Melayu hanya diidentifikasi di wilayah orang Melayu
termasuk di pantai timur Tapanoeli dan pantai timur Sumatra. Sementara untuk
sub grup Melayu diidentfikasi sebagai orang Djambi, orang Bilitung dan orang
Bangka. Orang Palembang adalah kelompok populasi tersendiri sebagaimana juga
orang Lampung dan orang Bengkulu. Orang Palembang selain sub grup Palembang
juga orang Ogan Komering; orang Lampong terdiri dari beberapa sub grup seperti
Aboeng.  Khusus untuk orang Bengkulu
tidak memiliki sub grup. Selain yang disebut, di wilayah Sumatra bagian selatan
diidentifikasi kelompok-kelompok populasi lainnya, yakni: Pasemah di Bengkoelen,
Palembang dan Lampoeng; Serawaiers di Bengkoelen, Palembang dan Lampung; Redjangers
di Palembang dan Lampung; Redjang-Lebong di Bengkoelen saja; Semendo di Palembang
dan Lampung; Kroee di Bengkoeloe dan Lampong; Ampat Lawang di Palembang.
Catatan: Orang Pasemahers di wilayah Palembang adalah Melajoe Pasemah, Kikim,
Melajoe Semidang dan Pagar Alam).

Dalam hal ini orang Bengkoeloe di pantai barat
Sumatra dibedakan dengan orang Melayu, dengan orang Minangkabau dan dengan
orang Redjang. Orang Bengkoeloe secara geografis seakan mirip dengan orang Betawi
di pantai utara Jawa yang berada diantara orang Sunda dan orang Jawa. Jumlah
orang Bengkoeloe di wilayah residentie Bengkoeloe berdasarkan SP 1930 sebanyak 47.977
jiwa.


Jumlah orang Bengkoeloe dapat dibandingkan dengan jumlah orang Redjang
Lebong sebanyak 89.469 jiwa dan orang Serawai sebanyak 60.870 jiwa. Jumlah
orang Pasemah kira-kira sama dengan jumlah orang Redjang jika digabungkan
dengan yang berada di wilayah (perbatasan) masuk residentie Palembang. Kelompok
populasi Bengkoeoloe dalam hal ini berada diantara kelompok populasi Redjang
dan kelompok populasi Pasemah.  

Pada era pemerintah Hindia Belanda (bahkan sejak era
VOC/Inggris), pembagian wilayah tidak hanya berdasarkan geopolitik orang Eropa
yang kemudian diformalkan secara administrative. Elemen pembentuk wilayah yang
paling penting adalah atas dasar perbedaan kelompok populasi yang secara teknis
memperhatikan bahasa yang digunakan kelompok populasi. Dalam hal ini bahasa
menjadi elemen penting dalam pengikat budaya (adar istiadat), aksara,
arsitektur dan cara-cara kehidupan.


Dalam perkembangannya, pembagian wilayah secara formal (hukum) atas dasar
pengakuan/klaim pemimpin local (radja, sultan), sudah terjadi sebelumnya
perpindahan sebagian kelompok populasi dari wilayah intinya ke wilayah baru yang
masih kosong. Atau sebaliknya, kelompok populasi meninggalkan wilayah tertentu
kemudian ditempati oleh kelompok populasi yang lain. Namun dalam
perkembangannya, Pemerintah Hindia Belanda memandang penting untuk melakukan
penarikan batas aministrasi wilayah yang lebih tegas (dengan membuat patok dan
peta-peta wilayah) atas dasar efisiensi penyelenggara pemerintah dan efektivitas
penduduk untuk lebih berkembang. Hal itulah pada masa kini terkesa ada kelompok
populasi yang berada di wilayan (provinsi/kabupaten) lain. Adanya kebijakan
pemerintah untuk pemindahan penduduk (migrasi swakarsa atau transmigrasi) dan
kebutuhan pengusaha dalam pemenuhan tenaga kerja menjadi memberi warna yang
lebih beragam distribusi kelompok populasi di suatu wilayah.  

Lantas bagaimana dengan perkembangan populasi dan
perkembangan bahasa kelompok populasi Bengkoeloe? Yang jelas bahwa berdasarkan
SP 1930 jumlah orang Redjang jauh lebih banyak dari orang Bengkoeloe. Tentu
saja angka pertumbuhan kelompok populasi Bengkulu lebih tinggi dari Redjang. Sebab
Bengkoeloe adalah ibu kota, pusat perdagangan, pusat social lainnya yang
memungkinkan orang pedalaman (Redjang) dan orang luar (pendatang) semakin
banyak dari waktu ke waktu. Adanya perkawinan dan pilihan afiliasi menyebabkan
orang pedalaman dan orang pendatang mengidentifikasi diri sebagai orang Bengkoeloe.
Bahasa Bengkoeloe yang dianggap sebagai dialek bahasa Melayu menjadi factor yang
mempermudah afiliasi kelompok populasi itu terbentuk. Demikianlah itu terjadi
sejak masa lampau sebelum SP 1930 hingga terus berlangsung ke masa kini.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top