Depok Masa Kini

Cagar Alam Depok, Pertama Sejak Era Hindia Belanda: Mengapa Sekarang Disebut ‘Taman Hutan Raya”


Buga juga Sejarah Cagar Alam terbaru dalam blog ini Klik Disini

Cagar Alam (Tahura) Depok di tengah pemukiman padat

Cagar Alam Depok sudah ditetapkan sejak era Hindia Belanda. Kini, cagar alam pertama tersebut sering disebut Taman
Hutan Raya (Tahura). Cagar alam/tahura Depok ini berada di Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas
Kota Depok (dekat dengan
stasiun kereta api
Depok Lama
).
Hutan yang dulu luasnya 30 Ha, kini hanya tersisa seluas 6 Ha. Hutan ini adalah
hutan peninggalan di Depok sejak abad-17. Waktu itu, wilayah Depok masih
memiliki hutan yang luas, namun lambat laun hutan tersebut beralih menjadi
areal pertanian. Khawatir dengan menyusutnya luas hutan, maka hutan yang masih
tersisa oleh Nederlands Indische Vereniging Tot Natuur Berscherming (Perhimpunan
Perlindungan Hutan Alam Hindia Belanda) bekerja sama dengan kota praja (Gemeente)
Depok ditetapkan sebagai cagar alam (natuur reservaat). Konon, penetapan cagar
alam ini dilaporkan kepada Prof Porsch di Wina, Austria dan dinyatakan secara
resmi sebagai cagar alam pertama di Hindia Belanda. Peruntukkan hutan  cagar alam merupakan hibah dari seorang partikelir
bernama Cornelis Castelein seluas 30 ha. Ini berbeda dengan pembangunan Kebun
Raya Bogor di Buitenzorg (Bogor) yang dimaksudkan untuk menghutankan kembali
dengan mengumpulkan pohon langka (forest). Cagar Alam Depok sendiri justru ditetapkan
untuk tetap mempertahankan keasliannya sebagai asli hutan belantara (jungle).

Penetapan hutan
ini menjadi cagar alam tidak saja karena semakin menipisnya areal hutan asli di
Depok kala itu, tetapi juga
karena hutan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta dapat berfungsi
sebagai resapan air
. Awalnya di hutan ini terdapat berbagai jenis flora dan
fauna langka yang perlu dilestarikan. Pepohonan yang rindang dan menjulang
tinggi, merupakan habitat yang nyaman bagi berbagai jenis burung.
Sementara di dalam semak belukar  menjadi habitat bermacam sarangga, berbagai hewan seperti kijang, harimau
Jawa, monyet, kancil, rusa
, bangau putih, dan
kelinci hutan. 
Namun
semua kekayaan hayati tersebut hanya tinggal kenangan masa lampau. Hingga tahun 2000 di hutan ini masih ditemukan
monyet, biawak dan ular. Kini, yang tersisa hanya hewan melata serta sejumlah
jenis burung.
Keadaannya sudah tak ada bedanya dengan sebuah
lahan yang dengan mudah disulap menjadi hutan beton.













































Menurut Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa
konservasi eksitu adalah konservasi tumbuhan dan atau satwa yang dilakukan di
luar habitat alaminya.

B
entuk-bentuk konservasi eksitu antara lain kebun
binatang, kebun raya, arboretum, taman hutan raya,
taman safari, kebun botani, taman burung, taman kupu-kupu, dan berbagai
penangkaran satwa. Konservasi eksitu dimaksudkan untuk ikut mendorong
pengembangan

konservasi flora dan fauna dengan cara :




1)    Pada periode tertentu flora dan fauna hasil konservasi
eksitu dapat dilepaskan kembali ke habitat alaminya untuk memelihara jumlah dan
variabilitas genetik (terpeliharanya keanekaragaman genetik) di dalam
populasinya di alam atau biasa disebut restocking.



2)    Hasil-hasil penelitian dari populasi eksitu dapat
memberikan manfaat sebagai dasar-dasar biologi untuk menentukan strategi atau
upaya-upaya konservasi baru.



3)    Populasi eksitu dapat digunakan untuk atraksi satwa,
seperti di kebun binatang atau taman safari.



4)    Hasil pengembangan populasi di kawasan konservasi eksitu
dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian sehingga tidak perlu
mengganggu populasi di alam.


5)    Kawasan konservasi eksitu juga dapat digunakan sebagai
tempat atau media pendidikan dan penelitian bagi masyarakat.

Meskipun konservasi eksitu
memberikan manfaat dalam membantu perlindungan jenis, namun ada beberapa
keterbatasan/kekurangan jika dibandingkan dengan konservasi insitu, yaitu :

1.    
Ukuran populasi
dalam kawasan konservasi eksitu biasanya terbatas.

2.    
Variasi genetis
(keanekaragaman genetis) terbatas karena populasi yang kecil.

3.   Kemampuan spesies
(jenis) agar tetap bertahan hidup berkurang karena biasanya segala kebutuhan
hidupnya tersedia sehingga tidak ada kemampuan mencari (berjuang) untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.

4.   Mudah beradaptasi
dengan perubahan lingkungan buatan sehingga ketika dilepas ke alam yang
sebenarnya maka daya hidupnya sangat menurun.

5.    
Biasanya
terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu saja, sehingga lebih tahan terhadap
gangguan dan mudah terancam akan perubahan atau tekanan lingkungan

6.    Untuk menjaga
keberlanjutan konservasi eksitu, maka diperlukan dana dan biaya yang besar,
fasilitas yang memadai, dan tenaga terlatih. Ketiga hal tersebut seringkali
menjadi masalah utama pelaksanaan konservasi eksitu, terutama biaya
pengelolaannya yang sangat besar.



, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top