Sejarah

Sejarah Bahasa (100): Bahasa Hakka – Khek Bangka Belitung dan Migran Asal Tiongkok Masa ke Masa; Bahasa Hakka dan Mandarin


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Orang Tionghoa Indonesia telah tinggal di
Kepulauan Bangka Belitung selama berabad-abad. Bangka Belitung salah satu
daerah dengan jumlah orang Tionghoa terbanyak di Indonesia. Imigran Cina datang
ke kepulauan Bangka Belitung pada tahun 1700–1800an. Banyak orang Hakka dari
berbagai wilayah di Guangdong datang sebagai penambang timah. Tionghoa pulau
Bangka berbeda dengan pulau Belitung. Generasi pertama tiba di pulau Bangka, berdarah
campuran (peranakan). Tionghoa Belitung dianggap lebih murni (totok).


Bahasa
Hakka berarti “bahasa keluarga tamu” atau di Indonesia disebut Khek
adalah bahasa dituturkan oleh orang Hakka, yakni suku Han yang tersebar di
kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di Republik Rakyat
Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak
berbeda tergantung provinsi dan juga bagian mana mereka tinggal. Menurut ahli
bahasa Hakka di awal abad ke-20 Donald Maciver, Bahasa Hakka di satu sisi masih
berkerabat dengan Bahasa Kanton dan di lain dengan Bahasa Mandarin. Bahasa
Hakka diwariskan dari bahasa rakyat Tiongkok Utara yang mengungsi ke selatan
Tiongkok sejak periode Dinasti Song dan Dinasti Yuan. Bahasa ini mendapatkan
namanya dari penyebutan kelompok penuturnya oleh orang Kanton di Provinsi
Guangdong “Hakka”. Di daerah lain seperti di Jiangxi atau Fujian,
umummnya tidak mengenal istilah Hakka, melainkan “Thú-fa” yang
berarti “Bahasa Lokal” untuk membedakan mereka dengan penutur bahasa
lain. Meixian, dahulu dinamakan Jiayingzhou (Hakka: Ka-yin-chu) adalah
konsentrasi Hakka terbesar di Guangdong, maka bahasa Hakka standar adalah
Bahasa Hakka dialek Meixian.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Hakka di
Bangka Belitung dan migran asal Tiongkok masa ke masa? Seperti disebut di atas
populasi orang Cina (kini Tionghoa) asal Tiongkok cukup banyak di Bangka
Belitung. Bagaimana bahasa Hakka dengan bahasa Mandarin? Lalu bagaimana sejarah
bahasa Hakka di Bangka Belitung dan migran asal Tiongkok masa ke masa? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Hakka di Bangka Belitung dan Migran Asal
Tiongkok Masa ke Masa; Bahasa Hakka dan Bahasa Mandarin 

Secara alamiah, dimanapun di
muka bumi, orang sebangsa sebahasa bermigrasi membawa bahasa ibu, bahasanya
sendiri. Bahwa ada adopsi, adaptasi dan percampuran bahasa di tempat tujuan
adalah masalah yang timbul kemudian. Demikian juga orang Tiongkok bermigrasi,
khususnya ke Hindia Timur di selatan, membawa bahasanya sendiri. Dalam hal ini
sejarah migran adalah sejarah bahasa itu sendiri. Sejarah bahasa adalah sejarah
populasi yang terbentuk di suatu wilayah tertentu, temasuk populasi migran.


Dalam peta bahasa di pulau Bangka (1889), dominan bahasa asal Tiongkok di
pulau Bangka ditemukan di onderdistrict Klabat di district Djeboes; bagian
utara district Merawang, seberang Blindjoe di teluk Klabat. Sementara bahasa
campuran asal Tiongkok dan bahasa Melayu di kota Djeboes. Bagaimana dengan di
pulau Billiton?

Adanya komunitas pengguna
bahasa asal Tiongkok dalam peta bahasa di pulau Bangka dan pulau Belitung
mengindikasikan ada suatu wilayah/area dimana populasi asal Tiongkok dominan
yang membentuk
kelompok
populasi
sendiri dengan
penggunaan
bahasa
sendiri. Besar dugaan kelompok populasi ini adalah bagian dari migran asal
Tiongkok dari masa ke masa.


Sejarah migran Tiongkok ke pulau-pulau selatan (baca: Hindia Timur)
diduga masih terbilang baru. Pada era dinasti Han, abad ke-2, tidak ada
indikasi orang Tiongkok sudah melaut. Dengan kata lain orang Tiongkok masih
berada di pedalaman Tiongkok. Sebaliknya pada abad ke-2 sudah ada orang Hindia
Timur (baca: Nusantara) yang melakukan kontak perdagangan ke pantai timur
Tiongkok. Dalam catatan Tiongkok pada dinasti Han disebutkan utusan raja
Yeh-tiau datang menghadap Kaisar Tiongkok di Peking untuk meminta izin membuka
pos perdagangan. Menurut sejumlah peneliti era Hindia Belanda, pos perdagangan
ini diduga berada di dekat kota Hue yang sekarang di Vietnam dan kerajaan
Yeh-tiau ini diduga kuat berada di pantai timur Sumartra (muara sungai
Baroemoen) dalam hubungannnya dengan perdagangan emas dan kamper. Pelayaran
I’tsing pada abad ke-7 ke pantai timur Sumatra diduga awal kehadiran orang
Tiongkok ke pulau-pulau selatan. Pada abad ke-12 dan ke-13 sudah banyak catatan
Tiongkok yang mengindikasikan nama-nama tempat yang diduga berada di pantai
timur Sumatra. Akhirnya ekspedisi besar Tiongkok pada awal abad ke-15 yang
dipimpin Cheng Ho diduga menjadi awal hubungan yang intens antara Tiongkok
dengan pulau-pulau di selatan, dan sebaliknya. Catatan Portugis (lihat antara
lain Mendes Pinto 1537) pada paruh pertama abad ke-16 sudah massif
pedagang-epdagang asal Tiongkok di seputar selat Malaka, baik di Malaka maupun
di pantai timur Sumatra (kerajaan Aru). Pedagang-pedagang Portugis sendiri pada
tahun 1519 telah membuka pos perdagangan di muara sungai Canton. Kehadiran
pedagang-pedagang asal Tiongkok pada awal permulaan VOC sudah massif di pantai
utara Jawa. Jumlah migran asal Tiongkok mencapai puncaknya pada paruh pertama
abad ke-18. Kehadiran migran asal Tiongkok
di Jawa dalam hubungannya dengan produksi diduga dalam
hubungannya dengan pertanian tebu dan pengolahan/pabrik gula di Batavia dan
sekitar, yang berakhir timbulnya kerusuhan pada tahun 1740.

Kehadiran migran asal Tiongkok di Bangka dan
Belitung diduga baru muncul pada masa awal produksi/pertambangan timah (sebagai
perluasan dari pertambangan timah di pantai barat Borneo dan semenanjung
Malaya). Deposit timah yang melimpah di Bangka Belitung, menjadikan wilayah
sebagai sentra produksi timah utama pada awal Pemerintahan Hindia Belanda
(bersaing dengan pantai barat Kalimantan).


Pada masa pendudukan Inggris (dimulai pada tahun 1811), akibat kerusuhan
di Palembang, yang mana residen Pemerintah Hindia Belanda terbunuh, pihak
Inggris menghukum kesultanan Palembang dengan menghilangkan hak-hak kesultanan.
Dalam perjajian yang dibuat antara Kolonel Gliepsie dan Sultan Palembang, salah
satu isinya wilayah Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Sejak itulah
Inggris membangun benteng di suatu kempaong kecil (Fort Minto) yang kemudian
daerah tersebut disebut Moentok. Di Kawasan Moentok ini pada era Inggris
memperdagangkan hasil produksi timah yang ditambang di sekitar.

Setelah Pemerintah Hindia Belanda dipublihkan, Pemerintah Hindia Belanda mulai
membentuk cabang pemerintahan di Bangka dan Belitung (Residentie Palembang)
dengan menempatkan sejumlah inspektur pertambangan di beberapa kota di Bangka
dan Belitung. Saat inilah diduga produksi timah semakin meningkat, kebutuhan
tenaga kerja yang terus meningkat menjadi sebab para migran asal Tiongkok
semakin banyak yang menuju ke Bangka dan Belitung.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Hakka dan Bahasa Mandarin: Kelompok Populasu
Asal Tiongkok di Bangka Belitung

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top