Sejarah

Sejarah Bahasa (236): Bahasa Batak Bahasa Melayu di Berbagai Tempat; Melacak Jejak Bahasa-Bahasa di Wilayah Bahasa Papua


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengidentifikasi 668 bahasa daerah di Indonesia pada 2018. Jumlah itu
diperkirakan masih bertambah, sebab bahasa daerah di wilayah timur belum
seluruhnya teridentifikasi. Wilayah Papua tercatat memiliki bahasa daerah
paling banyak, yakni 300 bahasa di provinsi Papua dan 95 bahasa di provinsi
Papua Barat. Apakah jejak bahasa Batak/Melayu mencapai wilayah Papua?


Kekerabatan
Bahasa Batak, Bahasa Nias, dan Bahasa Melayu. Dwi Deliana Widayati. 2012. Abstract.
Bahasa Nias, bahasa Batak, dan bahasa Melayu merupakan bahasa-bahasa yang
hidup berdekatan secara geografi. Pada kenyataannya, ketiga bahasa memiliki perbedaan
cukup jauh. Kekerabatan bahasa dapat diketahui dengan teknik leksikostatistik.
Dalam leksikostatistik, kekerabatan bahasa dilihat berdasarkan persamaan
bunyi-bunyi yang ada dalam leksikon yang muncul pada bahasa-bahasa tersebut.
Kemiripan secara fonetis ini akan menjadi dasar apakah sebuah kata dalam satu
bahasa memiliki hubungan dengan bahasa yang lain. Indikator yang digunakan
untuk menentukan kata berkerabat adalah kosa kata dasar yang disebut kosa kata
dasar Swadesh yang berjumlah dua ratus kosa kata yang dianggap ada pada semua
bahasa. Perhitungan leksikostatistik bahwa dari ketiga bahasa yang
dibandingkan, hubungan kekerabatan yang paling erat terdapat pada bahasa Batak
dengan bahasa Melayu, selanjutnya bahasa Batak dengan bahasa Nias, dan hubungan
kekerabatan yang paling renggang adalah bahasa Nias dengan bahasa Melayu
(http://repositori.usu.ac.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Batak bahasa
Melayu di berbagai tempat? Seperti disebut di atas apakah bahasa Batak mirip
bahasa Melayu dan apakah mencapai wilayah Papua? Melacak jejak bahasa-bahasa di
wilayah bahasa Papua. Lalu bagaimana sejarah bahasa Batak bahasa Melayu di berbagai
tempat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Batak Bahasa Melayu di Berbagai Tempat; Melacak
Jejak Bahasa-Bahasa di Wilayah Bahasa Papua 

Banyak pertanyaan pada masa kini tentang masa lampau
di zaman kuno yang kurang diperhatikan, termasuk di wilayah Papua. Apakah
wilayah ‘kepala burung’ Papua suatu wilayah (pulau) terpisah dari daratan
(pulau) Papua. Seandainya awalnya terpisah lalu bagaimana kemudian menyatu
seperti yang sekarang. Artinya, jika terpisah interaksi dari barat langsung ke
bagian dalam teluk Gelvink (kini teluk Cendrawasih).


Proses menyatunya pulau/daratan yang berdekatan biasanya karena
laut/selatnya tidak dalam. Terjadi proses sedimentasi jangka panjang yang
awalnya terbentuk rawa-rawa lalu kemudian berubah menjadi dararan (yang menyatukan).
Proses sedimentasi ini dipicu karena berbagai aktivitas diantara pulau/daratan
apakah aktivitas vulkanik atau kegiatan manusia yang dilakun secara intens
seperti pembakaran hutan yang berakibat terjadi erosi yang massa padat (sampah vegetasi
dan lumpur) terbawa arus sungai ke laut. Apakah proses ini yang terjadi yang menyebabkan
dulunya terpisah menjadi menyatu dengan daratan Papua?

Wilayah geografi dan perubahannya adalah satu hal.
Perubahan bahasa-bahasa adalah hallain lagi. Oleh karena kejadian perubahan itu
berlangsung dalam waktu yang lama sejak zaman kuno, maka bukti-bukti yang ada
kurang terlihat lagi dan apa yang dipahami tentang geografi dan bahasa-bahasa
yang sekarang seakan hanya dilihat sebagai suatu yang statis saja. Bahasa
sebagai salah satu warisan yang berasal darin zaman kuno, sejatinya haruslah dipahami
sesuai masanya. Periode masa ini harus dimulai dari permulaan yang dapat dipelajari.
Dalam hal ini perhatian ditujukan tentang bahasa Batak dan bahasa Melayu.


Bahasa Indonesia masa kini berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
telah diperkaya dan dibentuk sesuai kebutuhan bahasa Indonesia. Oleh karenanya
bahasa Indonesia meski terkesan mirip dengan bahasa Melayu, tetapi bahasa
Indonesia berbeda dengan bahasa Melayu. Ibarat bahasa Melayu sebagai padi, maka
bahasa Indonesia menjadi nasi. Antara nasi dengan padi diselingi oleh beras. Tentu
saja nasi juga dapat terus dikembangkan menjadi nasi goreng.

Lantas bagaimana dengan bahasa Melayu? Idem dito
bahasa Melayu terbentuk dari bahasa-bahasa Austronesia. Pertanyaannya bahasa
Austronesia yang mana yang utama? Apakah bahasa Batak? Seperti halnya tentang
pertanyaan wilayah geografi kepala burung pernah terpisah dengan daratan Papua,
dalam hal ini pertanyaannya adalah apakah bahasa Melayu dari bahasa Batak yang
dalam perkembangannya menjadi terkesan bahasa terpisah?


Secara geografis, wilayah bahasa Batak berada di pedalaman (pulau
Sumatra), sementara wilayah bahasa Melayu di Sumatra berada di wilayah pesisir.
Jika bahasa Batak dan bahasa Melayu hingga kini tetap eksis bahasa yang mana
yang lebih dulu eksis? Seperti halnya wilayah geografis kepala burung Papua,
wilayah pantai timur Sumatra tampaknya telah meluas karena proses sedimentasi
jangka panjang. Boleh jadi garis pantai masa lampau tepat berada di wilayah
pedalaman Sumatra (yang menjadi wilayah terluar bahasa Batak). Apakah daratan baru
terbentuk lalu terbentuk bahasa baru (bahasa Melayu) seiring pertumbuhan dan
perkembangan populasi di wilayah pantai timur Sumatra?   

Pada masa kini, bahasa sebagai warisan yang berasal
dari zaman kuno, keberadaam bahasa Batak dan bahasa Melayu dapat
diperbandingkan. Apakah kedua bahasa ini sama atau berbeda? Untuk kebutuhan
perbandingan bahasa kini biasanya digunakan daftar kosa kata Swadesh (207 kosa
kata; lihat table). Sepintas kedua bahasa tersebut tidak ada perbedaan yang
signifikan. Mengapa? Dalam hal inilah penyelidikan dilakukan.


Bahasa Melayu ‘aku’, dalam bahasa Batak adalah ‘ahu’. Demikian
seterusnya: ho-ko/kau, ia-dia, hami-kami, hita-kita, hamu-kamu. Dalam sebutan
bilangan sebagai berikut: sada-satu, dua-dua, tolu-tiga, opat-empat, lima-lima
onom-enam, pitu-tujuh, wolu-delapan, sia=sembilan dan sapuluh-sepuluh. Untuk bilangan
belasan: 11=sapuluh sada-sebelas, 12=sapuluh dua-dua belas; 13 sapuluh
tolu-tiga belas dan seterusnya. Dalam hal ini pada kasa kata pertama seakan ada
pergeseran bunyi dari bahasa Batak ke bahasa Melayu. Pada kosa kata kedua khususnya
sebutan bilangan 3, 7, 8, 9 dan belasan mulai terlihat perubahan. Namun jika
digunakan kosa kata bahasa lain masih dapat disambungkan seperti tolu (Batak)-tilu
(Sunda)-tiga (Melayu). Bagaimana dengan wolu-delapan dan sia-sembilan? Bahasa
Batak dan bahasa Jawa sama-sama wolu untuk delapan tetapi berbeda untuk sembilan:
sia (Batak) dan sanga (Jawa). Untuk 10-sapuluh (Batak)-sepuluh (Jawa)-sepuluh
(Melayu). Bilangan belasan bahasa Jawa 11-sewelas, 12-rolas, 13=telulas.

Bagaimana muncul sebutan bilangan delapan dan sembilan?
Ada bahasa di Flores Timur dan bahasa di Filipina sistem bilangan belasan mirip
bahasa Batak (bersifat biner dan konsisten). Akan tetapi di bahasa di Flores
tersebut secara khusus sebutan 8 dan 9 adalah dua lapan (menjadi delapan?) dan
satu ambilan (menjadi sembilan?). Singkatnya: kosa kata bahasa Melayu dapat dilacak.
Ini mengindikasikan bahasa bahasa Melayu adalah bahasa yang terbentuk baru,
sebagai suatu bahasa dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno (lingua
franca; bahasa perantara). Apakah sebutan bilangan belasan bersumber bahasa
Jawa? Boleh jadi karena 11-sewelas, 21-selikur, 25-selawe, 50-seket. 60-sewidak,
100-satus dan 1000-sewu. Dalam bahasa Batak: 100-saratus dan 1000-saribu.
(bandingkan awalan sa dan awalan se).


Sumber tertua kosa kata ditemukan pada abad ke-7 dalam bentuk prasasti-prasasti
di pantai timur Sumatra. Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M) sejumlah bilangan
yang disebut adalah sebagai berikut: dua (2); duaratus (200); sarivu (1000);
tluratus (300), sapuluh dua (12). Lima bilangan tersebut sesuai dengan sebutan
bilangan bahasa Batak (hingga kini). Lantas apakah dalam prasasti bahasa yang
digunakan adalah bahasa Batak? Untuk kosa kata lainnya dalam prasasti tersebut
antara lain: vulan (bulan), manalap (mangalap), marlapas, mavuat (mambuat), vanua
(banua) kurang lebih sama dengan bahasa Batak. Seperti disebut di atas untuk
sebutan bilangan 12-sapuluh dua yang mirip bahasa Batak, juga dalam hal ini
dalam imbuhan kata kerja, awalan ma/mar sama dengan awalan bahasa Batak. Awalan
ma/mar ini diduga menjadi awal me/ber dalam bahasa Melayu. Last but not least:
nama tempat dalam prasasti disebut Minanka (Minanga) yang mana diduga nama kota
Binanga di wilayah Padang Lawas (pantai timur Sumatra).

Dalam prasasti Kedukan Bukit ada kata depan di.
Untuk awalan di dapat diperhatikan pada prasasti Talang Tuwo (684 M) yang
ditulis ni, seperti nipanwuat dan nimakan. Awalan ni ini terdapat dalam bahasa
Batak. Dalam prasasti ini juga ada akhiran nya seperti ni-minum-na (di-minum-nya).
Awalan ni dan akhiran na ini masih eksis dalam bahasa Batak. Pada selanjutnya
bukti tertulis bahasa ditemukan prasasti Trengganu, prasasti-prasasti Padang
Lawas (Tanah Batak) dan teks Tanjung Tanah (Tanah Kerinci).


Dalam prasasti-prasasti Padang Lawas secara umum mirip bahasa Batak.
Dalam prasasti di wilayah pesisir Trengganu (aksara Jawi) sebutan
angka 9 (sembilan) sudah ada, tetapi angka 8 diduga
adalah sebutan dwa lapan (menjadi dalapan/delapan). Sebutan bilangan yang
disebut adalah tiga, tujuh, ampat, lima, enam dan sepuluh dan serratus. Dalam
hal ini awalan se dalam bilangan ditemukan dalam bahasa Jawa. Namun demikian takaran
bilangan satahil dan sapaha sudah menggunaka awalan se. Awalan di digunakan
untuk ditanam dan awal me/ber seperti mengambil/berbuat dan penggunaan huruf e
seperti benua. Singkat kata dalam prasasti Trengganu sudah terbentuk bahasa
Melayu. Namun akhirnya na/nya tidak ditemukan.

Dalam teks Tanjung Tanah di pedalaman Sumatra di
Kerinci, masih cukup kontras dengan isi teks prasasti Trengganu.
Dalam teks Tanjung Tanah takaran bilangan satahil
dan sapaha serta ampat, tiga, dwa, tuju, dwa lapan (8) dan lima. Dalam hal
morfologi awalan ma seperti manudu, managih, marusak, mambawa; awalan ba
seperti bakarja, barampat; awalan di seperti didanda dan akhiran na seperti
saksina, sarupana. Tidak ada penggunaan umum huruf e seperti di teks Trengganu.


Bahasa Batak memiliki aksara huruf dan angka. Ada yang berpendapat bahwa
aksara Batak sudah sangat tua dan mirip dengan aksara Fenisia (lihat (lihat A
Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American
Oriental Society, Vol. 47, 1927). Dalam aksara angka Batak untuk angka 1-3 dan 5
berbentuk garis mirip angka Romawi. Untuk angka 4, 6 dan 8 ditulis berbentuk
bidang. Namun untuk nilainya dibaca jumlah bidang dalam ruang: untuk segitiga
ruang jumlah bidang empat buah sehinggan nilainya 4. Untuk angka 6 ditulis berbentuk
bidang segi empat tetapi nilainya enam (kotak terdiri 6 bidang). Untuk angka 8
ditulis dua bidang bernilai empat (2×4) sehingga dibaca angka delapan. Seperti
disebut di atas sebutan bilangan 8 dalam bahasa Melayu awalnya disebut dua
lapan (da-lapan). Bagaimana dengan angka 7 dan 9? Yang jelas angka 10 ditulis
garis (1)-bidang (0). Untuk bilangan belasan dalam bahasa Batak menggunakan sistem
biner: 11=sapuluh sada, 12=sapulu dua, dst. Untuk bilangan dengan nol:
10-sapulu; 100=saratus, 1000=saribu (bandingkan dengan bahasa Jawa: satus dan
sewu dan bahasa Melayu: serratus dan seribu).Lantas apakah angka 1, 7, 8, 9 dan 0 bermula dalam aksara Batak? Sistem
penulisan berbentuk geometris (garis, bidang dan ruang) dan sistem biner.

Secara umum terkesan ada perubahan linguistic dari
bahasa Batak ke bahasa Kerinci lalu ke bahasa Melayu di Trengganu. Yang paling
elementer adalah awalan ma/mar (Batak) menjadi awalan ma/ba (Kerinci) lalu awal
me/ber (Trengganu). Lalu akhiran na (Batak) dan na (Kerinci) tetapi tidak
ditemukan dalam Trengganu. Sebutan bilangan antara Kerinci dan Trengganu kurang
lebih sama (tiga, tujuh, dua lapan dan sembilan).


Lantas bagaimana relasi antara bahasa Batak dengan teks prasasti
Trengganu? Dalam teks Trengganu tampaknya bahasa Melayu mulai berkembang.
Paling tidak perubahan huruf a menjadi huruf e. Sementara itu di teks Trenggano
kata ko masih ditemukan, suatu kata yang kelak menjado kau/engkau. Dalam bahasa
Batak ko ini diucapkan ho (engkau). Dalam teks Trenggano terdapat sejumlah kosa
kata yang diduga berasal dari Jawa. Hal itulah mengapa bahasa Melayu duanggap masih
sedang berkembang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Melacak Jejak Bahasa-Bahasa di Wilayah Bahasa Papua: Apakah
Bahasa Batak Mirip Bahasa Melayu?

Sebelum terbentuk bahasa Indonesia, jauh sebelumnya,
setelah terbentuk bahasa Melayu, lalu dalam perkembangannya terbentuk bahasa-bahasa
Melayu di berbagai kota, seperti di Manado, Ternate, Ambon dan Koepang.
Bahasa-bahasa yang terbentuk ini disebut bahasa Melayu Manado, bahasa Melayu
Ternate, bahasa Melayu Ambon dan bahasa Melayu Koepang. Bagaimana dengan bahasa
Melayu Papua? Ada yang menyebut bahwa bahasa Melayu Papua merujuk pada bahasa
Melayu Ambon, tetapi faktanya kosa kata beta tidak ditemukan dalam bahasa
Melayu Papua.


Profesor (Emeritus) James T. Collins seorang ahli linguistik meliputi
bahasa-bahasa Melayu-Polinesia dan juga di bidang pengkajian Austronesia. Collins
banyak melakukan penelitian dialek-dialek di Indonesia, khususnya di daerah
Maluku, Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan Sarawak. Beberapa terbitan
terkemuka Collins, antara lain serial dialek Melayu di Borneo (1990), Pulau
Jawa, Bali, Sri Lanka (1995), Sumatra dan Indonesia Timur (1996). Menurut Collins
(2005) bahasa Melayu merupakan turunan bahasa Austronesia Purba yang sudah
digunakan di Kalimantan Barat kurang lebih dua juta tahun lalu. Dari Kalimantan
Barat bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat termasuk ke Sumatra, Filipina,
Maluku hingga Papua. Bagaimana membuktikannya, apalagi dua juta tahun itu tidak
singkat?

Sumber pertama yang dapat digunakan dalam hal ini antara
lain adalah kamus Kamus Bahasa Melayu Papua-Indonesia (Dzaki Adinata) dan Kamus
Melayu Ambon Indonesia (D Takaria dan C Pieter. Dep Pendidikan dan Kebudayaan,
1998). Dalam bahasa Melayu Ambon imbuhan adalah ba, sementara dalam bahasa
Melayu/Indonesia adalah ber. Awalan lainnya adalah sa dalam bahasa Ambon)
menjadi se (dalam bahasa Melayu); ta (ter), ka (ke), par (per), pa (per), ma (me),
di (di). Akhir dalam bahasa Ambon hanya an, yang senantiasa menjadi ang,
misal-nya makanan menjadi makanang, Untuk kata dasar berakhir dengan m dan n
menjadi ng seperti minum menjadi minung. Akhiran ng seperti itu juga ditemukan
dalam bahasa Madura dan bahasa Makassar.


Dalam pengantar kamus disebutkan awalan-awalan yang ditemukan dalam
bahasa Ambon disebutkan berasal dari bahasa Melayu, yang dalam pemakaiannya
sering mendapat perubahan. Hal itu dapat dilihat pada contoh berdagang menjadi badagang.
Pertanyaannya: Bagaimana disimpulkan awalan Melayu berubah menjadi awalan
Ambon? Bagaimana dengan bahasa Batak yang awalan bahasa Ambon mirip satu sama
lain?

Seperti halnya dalam bahasa Melayu Ambon, awalan ba juga
ditemukan dalam bahasa Melayu Papua seperti batariak (bahasa Melayu berteriak)
balompat (melompat dalam bahasa Melayu). Awal ba menjadi be/ber dan me. Kosa
kata dalam bahasa Papua menggunakan huruf a seperti kapala (kepala), karikil
(kerikil), karosi (kursi). Untuk kata kerja awalan ma (yang dalam bahasa Melayu
me) seperti malele (meleleh), mangarti (mengerti) dan lainnya. Bahasa Melayu
Papua kosa kata banyak disingkat seperti pi/pigi (pergi), pu/pung (punya).sa
(saya), su/suda (sudah). Seperti halnya dalam bahasa Melayu Ambon, juga awal ta
(ter) ada dalam bahasa Melayu Papua.


Imbuhan awalan dalam hal ini menjadi penting. Seperti disebut di atas, dalam
bahasa Batak awalan ma/mar. Sementara awalan me dalam bahasa Melayu. Sedangkan
dalam bahasa Melayu Ambon dan bahasa Melayu Papua adalah ba (be/ber dan me).
Awalan ba ini di Sumatra ditemukan dalam bahasa Minangkabau seperti baranang
(berenang). Dalam hal ini yang mana yang lebih dulu eksis baranang atau berenang?
Dengan hanya berdasarkan sumber tertulis tertua (prasati abad ke-7 di pantai
timur Sumatra), hanya awal ma/mar yang ada (sebagaimana awalan serupa dalam
bahasa Batak). Pertanyaannya: Apakah setelah awalan ma/mar sebelum awalan be/ber
dan me (dalam bahasa Melayu) sudah eksis awal ba seperti di wilayah bahasa
Minangkabau dan wiayah bahasa Maluku/Papua? Urutannya menjado ma/mar–ba–be/ber
dan me.

Jumlah kosa kata bahasa Melayu Papua tidak banyak (relative
terhadap bahasa Melayu Ambon). Artinya kosa-kata setempat di wilayah Papua
(bahasa asli) masih lebih dominan dalam bahasa Melayu Papua, Sementara itu kosa
kata bahasa Melayu Ambon banyak mirip dengan bahasa Melayu. Tentu saja banyak
varuasinya dengan bahasa Melayu seperti anam (enam dalam bahasa Melayu). Bandingkan
dengan sebelumnya dalam bahasa Batak onom. Dalam bahasa Melayu Ambon juga
ditemukan kosa kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Melayu. Apakah itu
sebagai kosa kata bahasa asli yang pernah eksis di Kota Ambon? Bagaimana dengan
kosa kata beta?


Untuk tujuan perbandingan kosa ka bahasa asli di dalam bahasa Melayu
Ambon dapat diperbandingkan dengan bahasa-bahasa asli yang banyak ragamnya seperti
di pulau Seram dan pulau Buru. Selain kosa kata beta, dalam bahasa Ambon banyak
kosa kata yang seakan dikorting seperti bulu (dalam bahasa Melayu buluh). Sejumlah
kosa kata berbeda dengan bahasa Melayu di Ambon antara lain hosa (napas), ina
(ibu), itong (hitung), somba (sembah), susu (payudara) dan upu (ayah).

Kosa kata beta (saya) sudah eksis jauh di masa
lampau. Kosa kata ini dicatat oleh Cornelis de Houtman di Madagaskar pada tahun
1596. Lantas bagaimana dengan kosa kata sebutan ina dalam bahasa Ambon? Yang jelas
tidak ditemukan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan bahasa Minangkabay, tetapi
ditemukan dalam bahasa Batak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top