*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa
Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Siapa
pemiliknya adalah seluruh bangsa Indonesia. Lantas bagaimana dengan bahasa
Jawa? Bahasa Jawa sebagai bagian terbesar populasu Indonesia pemiliknya adalah
orang Jawa. Demikian halnya bahasa-bahasa di pulau lainnya. Satu yang jelas
bahasa Jawa seakan satu-satunya bahasa di pulau Jawa. Berbeda dengan di Maluku
dan Papua yang sangat beragam dengan populasi-populasi kecil. Apakah gambaran
serupa itu yang terjadi di masa lampau di pulau Jawa?
Dalam
ilmu linguistik, Melanesia adalah istilah usang yang mengacu pada bahasa-bahasa
Austronesia di Melanesia: yaitu bahasa-bahasa Oseanik, Melayu-Polinesia Timur,
atau Melayu-Polinesia Tengah-Timur. Dalam hal ini bahasa Melanesia (termasuk
Fiji) dibedakan dengan bahasa Polinesia dan Mikronesia. Kini diketahui bahwa
bahasa-bahasa Melanesia tidak membentuk suatu simpul silsilah: bahasa-bahasa
tersebut dianggap bersifat parafiletik dan kemungkinan besar bersifat
polifiletik; seperti bahasa Papua, istilah ini sekarang digunakan untuk
kemudahan. Dalam kaitannya dengan afiliasi filogenetik, “bahasa Melanesia”
mengacu pada kumpulan rumpun bahasa yang heterogen: beberapa bahasa Austronesia,
seperti cabang Halmahera Selatan – Papua Barat. Semua bahasa non-Austronesia di
wilayah tersebut, yaitu bahasa-bahasa Papua (yang merupakan kumpulan heterogen).
Sebagian besar bahasa Melanesia merupakan anggota rumpun bahasa Austronesia
atau salah satu dari sekian banyak rumpun bahasa Papua. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bolarisasi bahasa-bahasa
di Nusantara, bahasa etnik dan lingua franca? Seperti disebut di atas di
nusantara (menurut pulau-pulau) ada bahasa dengan populasi besar dan ada
populasi kecil. Bahasa-bahasa Austronesia dan Melanesia. Lalu bagaimana sejarah
bolarisasi bahasa-bahasa di Nusantara, bahasa etnik dan lingua franca? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Polarisasi Bahasa-Bahasa di Nusantara, Bahasa Etnik
dan Lingua Franca; Bahasa-Bahasa Austronesia dan Melanesia
Sebelum memahami polarisasi
bahasa-bahasa di Nusantara (baca: Indonesia) ada baiknya kita perbandingkan
sebutan bilangan dari beberapa bahasa yang dimuat dalam artikel Sri Winarti
dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berjudul Sistem Bilangan
Beberapa Bahasa di Papua, NTT dan Maluku Utara yang dimuat adalam Ranah: Jurnal Kajian Bahasa (2017).
Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Tarfia (Papua), bahasa Marind (Papua),
bahasa Lamaholot (NTT), bahasa Adang (NTT), bahasa Makian Timur (Maluku Utara),
dan bahasa Ternate (Maluku Utara).
Dalam perbandingan bahasa-bahasa pada masa untuk jumlah yang cukup banyak
menggunakan daftar Swadesh, tetapi untuk jumlah yang sedikit dapat digunakan
kosa kata elementer atau sebutan bilangan hingga belasan. Untuk kosa kata
elementer adalah kosa kata yang digunakan di dalam keluarga atau komunitas yang
kecil seperti ibu, ayah, kakak, hidung, mata, gigi, perut, kaki dan sebagainya.
Keutamaan sebutan bilangan sangat berguna jika ada interaksi dengan pihak lain,
yang di masa lampau dalam hubungannya pertukaran (perdagangan).
Dalam perbandingan bahasa-bahasa, sebagai rujukan
dapat misalnya dipilih sebutan bilangan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa: Bilangan/angka satu dalam
bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua
(loro), 3=tolu (telu), 4=opat (papat),
5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu
(sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), Kedua bahasa
ini dalam sebutan bilangan lebih banyak persamaan dari pada perbedaan.Dalam table
bahasa di atas, bahasa Lamaholot di NTT lebih mirip dengan bahasa Batak dibanding
lainnya. Bahasa Adang di Alor yang berdekatan Lamholot di Solor tampak lebih
mirip dengan bahasa-bahasa di Papua.
Sebutan bilangan di Ternate berbeda dengan bahasa Batak, sebaliknya
bahasa Makian lebih mirip. Fakta bahasa Ternarte dan Makian adalah dua pulau di
Maluku utara yang terbilang berdekatan. Sebutan bilangan di Makin lebih mirip
dengan bahasa-bahasa di pulau Seram. Sebutan bilangan di Ternate dan di Papua (Tarfia
dan Marind) sama sekali berbeda dengan bahasa Batak. Jika bahasa Batak dan
bahasa Jawa di bagian barat, tampak semakin timur berbeda sebutan bilangan.
Kemiripan dalam hal ini mengindikasikan adanya kekerabatan.
Sebutan bilangan di Ternate pada dasanya kurang lebih
sama dengan di Tidore. Sebutan bilangan di dua pulau ini lebih mirip dengan
sebutan bilangan dengan bahasa-bahasa di Halmahera. Dalam hal ini sebutan
bilangan di pulau Halmahera berbeda dengan sebutan bilangan di pulau Seram.
Oleh karena sebutan bilangan di Kei (selatan) dan di Sangir (utara) ada kemiripan
dengan di Seram (dan juga bahasa Batak dan bahasa Jawa), lantas apakah sebutan
bilangan bahasa-bahasa di Halmahera lebih mirip dengan bahasa-bahasa di Papua?
Sebutan bilangan dalam bahasa Ambel di pulau Waigeo (Radja Ampat) adalah
sebagai berikut: 1=kitem, 2=low, 3=tul, 4=fat, 5=lim, 6=wanom, 7=fit, 8=wal, 9=siw,
10=lafe. Sebutan bilangan di Waigeo lebih mirip di pulau Seram daripada di
pulau Halmahera.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa-Bahasa Austronesia dan Melanesia: Populasu
Besar vs Populasi Kecil
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.