Sejarah

Sejarah Bahasa (33): Bahasa Buton Bahasa Cia-Cia; Introduksi Aksara Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku
Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di
Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di
luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.
Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku
pelaut.


Bahasa
Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang
ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara
Pulau Sulawesi di Indonesia. Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian
dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangeul Korea untuk dijadikan sistem
tulisan bahasa Cia-Cia. Pada tahun 2005, ada 80.000 orang penutur bahasa
Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa
Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia,
karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah. Nama bahasa
ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak.[1] Cia-Cia juga disebut
bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan
bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan. Keadaan bahasa di pulau
Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Dulunya, bahasa Cia-Cia
menggunakan sejenis abjad Arab bernama “Gundul” yang tidak memakai tanda
untuk bunyi vokal.
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa
Cia-Cia? Seperti disebut di atas, bahasa Buton atau bahasa Cia-Cia di pulau
Buton. Introduksi tulisan Hangeul dari Korea di pulau Buton pelanggaran tradisi
aksara? Lalu bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Buton Bahasa Cia-Cia; Introduksi Tulisan
Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara?

Apakah ada bahasa Buton? Apakah ada aksara Buton?
Lantas mengapa harus bahasa Cia-Cia? Lalu mengapa harus aksara Hangeul? Okelah,
itu satu hal. Dalam hal ini mari kita mulai dari sejarah Buton itu sendiri.
Buton adalah nama tempat, suatu tempat di suatu pulau yang kemudian di sebut
pulau Buton. Dalam konteks ini nama Buton adalah nama yang sudah sangat tua.


Nama Buton sudah disebut dalam teks Negarakertagama, 1365. Nama-nama lain
yang disebut di wilayah Sulawesi yang sekarang adalah Makasar (Makassar),
Bantayan (Bantaeng?), Salaya (Selayar?), Butun (Buton?) dan Luwuk (Luwu?) serta
Banggawi (Banggai?). Jika nama Butun adalah Buton pada masa sekarang, maka nama
Buton sudah berumur tua.

Pada era Portugis nama Buton tetap eksis. Nama Buton
baru ditemukan dalam catatan Portugis pada tahun 1575. Disebutkan. Orang Portugis
(pelaut/pedaganga) diusir dari Ternate oleh orang (kerajaan) Ternate, lalu terdampar
wilayah terumbu karang Toekang Besi, dan kemudian selamatkan diri di Boeton dan
kemudian kembali ke Malaka.


Sejak Portugis mencapai tempat Boeton, diduga kuat pelaut/pedagang
Portugis menjalin kerjasama dengan orang-orang Buton. Sementara dalam navigasi
pelayaran perdagangan pelaut Portugis yang pertama (1511-1513) dari Malaka ke
Maluku, nama-nama tempat yang dicatat dalam peta-peta 1511-1513) antara lain
Solor dan Timor. Besar dugaan bahwa pelaut Portugis di Solor dan Timor sudah
terbentuk kerjasama dengan penduduk. Terdamparnya pelaut Portugis di Buton
menjadi pengetahuan navigasi baru. Sebab selama ini jalur navigasi dari Malaka
ke Maluku adalah via selatan (pantai utara Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Timor
hingga ke Ambon melalui Banda dan Saparua) dan via utara melalui pantai utara
Borneo, laut Sulawesi, hingga ke Maluku di Ternate. Penemuan Portugis di Buton
diduga menjadi awal terbentuknya jalur navigasi tengah, yang diduga menjadikan
nama Buton dikenal dalam navigasi pelayaran perdagangan (terintegrasi dengan
Makassar). Sebelumnya, s
eorang misionaris Portugis membuka stasion di
pantai timur Jawa (Banjoewangi). Lalu pada gilirannya misionaris Portugis
membuka stasion
baru di pulau Solor tahun 1557 di
Lahayong. Hal itulah mengapa ajaran Katolik sampai ke Solor (mengikuti jalur
perdagangan).
Sejak kehadiran misionaris
Portugis di pulau Solor, kawasan pulau Solor (perdagangan yang meluas ke pulau
Timor), posisi kampong Lahayong (stasion misionaris) menjadi sangat penting.
Mengapa? Misionaris Portugis pada tahun 1561 di Lahayong melindungi diri dengan
membangun benteng (palisade dari pagar kayu) karena khawatir bisa sewaktu-waktu
muncul ancaman dari para budak asal Makassar yang bekerja di Solor dan sekitar
(dalam produksi kayu cendana). Benteng kayu ini kemudian diperbarui pada 1565
dengan benteng batu alam.
Catatan: Bagaimana Portugis terusir dari Ternate, karena adanya pengaruh
Spanyol yang semakin menguat di Ternate dan Tidore.

Buton, Makassar dan Solor/Timor menjadi segitiga
perdagangan baru bagi Portugis. Meski Portugis terusir dari Ternate, jalur
navigasi pelayaran perdagangan tetap eksis dari pantai utara ke Maluku hingga
ke Amboina (saja). Pada tahun 1575 dimana Portugis terusir dari Ternate,
pelaut/pedagangan Portugis di Amboina membangun benteng yang lebih besar dan
lebih kuat. Dengan demikian, Portugis, selain di Malaka, telah memiliki benteng
kedua di Amboina. Dalam konteks inilah kemudian Portugis membangun benteng
penghubung di Solor dan Koepang (Timor). Dengan kehadiran Portugis di Kawasan segitiga
baru, nama Buton menjadi penting dalam navigasi pelayaran perdagangan, dana
kerajaan Buton semakin menguat.


Sebelum Portugis menemukan Buton, nama Buton yang sudah eksis sejak era
Majapahit (teks Negarakertagam 1365), Buton sendiri diduga kuat sebagai jalur
navigasi pelayaran perdagangan nusantara. Laut Banda sendiri bukan jalur
navigasi utama bagi nusanstara, karena ombaknya yang keras dan juga karena
tidak adanya kaitan dengan perdagangan. Boleh jadi kapal-kapal besar Portugis
yang mampu dengan nyaman melintasi perairan Laut Banda. Jalur navigasi
nusantara dari Jawa dan pantai barat Sulawesi ke Maluku via selatan Sulawesi
melalui Buton dengan menyisir pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi hingga
ke Banggai dan seterusnya ke Ternate dan Tidore. Dalam hal ini dapat dipahami
nama Buton sebagai nama lama bagi pelaut nusantara, tetapi menjadi nama baru
bagi pelaut Eropa/Portugis.

Nama Buton masuk ke Eropa melalui informasi
pelaut-pelaut Portugis. Para kartografi di Eropa terus mengembangkan peta
dunia, termasuk dalam hal ini peta nusantara yang orang Portugis menyebutnya
Hindia Timur. Buton menjadi penting semasa Portugis. Nama Buton pertama kali
dipetakan pada tahun 1580 (peta yang dibuat Langren’s dan Evert Gojsberts
dengan nama pulau “Cabona” (= Kabaëna) dan pulau “Botton”
(= Boeton).


Tidak hanya Hindia Timur, pelaut-pelaut Spanyol telah memperkaya pemahaman
peta di lautan Pasifik (antara Amerika Latin dan Filipina), tetapi untuk
wilayah selatan pelaut Portugis yang melakukannya yang meliputi pantai barat
dan selatan Papua dan seputar dataran Australia. Seperti kita lihat nanti,
pelaut Belanda menemukan pulau-pulau di selatan seperti Tasmania dan wilayah
Selandia Baru serta pulau Mauritius di timur Madagaskar dan pulau Cocos dan
pulau Kalapa di selatan Jawa. Sebagaimana diketahui pelaut-pelaut Belanda hadir
di Hindia Timur sejak palayaran pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597).
Namun de Houtman, meski menggunakan peta-peta Portugis, tetapi tidak melalui
jalut pelayaran tradisional Portugis (melalui India di Goa dan Ceylon, Atjeh
dan Malaka), tetapi dari Madagaskar melalui lautan India ke pantau barat
Sumatra di pulau Enggano, lalu ke Lampong, Banten hingga hanya sampai ke Lombok
dan Bali sebelum kembali ke Eropa melalui pantai selatan Jawa ke Afrika
Selatan.

Pelaut Belanda yang mengunjungi Buton adalah Wibrand
van Warwijck dan Jacob van Heemskerck pada tahun 1
599. Mereka berlayar melalui jalur Saleier, sekitar
pulau Kambaëna dan Boeton hingga
ke Ambon tiba
tanggal 3 Maret dan seterusnya ke Ternate (tiba 22 Mei). Tahun 1599 inilah untuk kali pertama pelaut Belanda
mencapai Maluku (Amboina dan Ternate). Dengan sendirinya Buton mulai dikenal
pelaut-pelaut Belanda. Saat ini kekuatan utama di Maluku (yang terus bersaing)
adalah
Portugis (di selatan) dan Spanyol di utara.


Orang Portugis sudah lama mengenal Buton. Wilayah perdagangan orang
Portugis dari India hingga Papua; dari Malaka hingga jauh ke utara di Makao
(pantai timur Tiongkok); dari Papua hingga pantai-pantai daratan Australia.
Orang Spanyol hanya terbatas di kepulauan Filipina, plus di Maluku (dimana
bersaing ketat dengan orang Portugis). Dalam hal ini Buton adalah wilayah perdagangan
pelaut-pelaut Portugis.
 

Orang Belanda, pelan tapi pasti mulai memahami situasi
dan kondisi navigasi pelayaran perdagagan di Hindia Timur. Melawan Portugis dan
Spanyol belum sepenuhnya mampu. Pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol begitu
selama lebih dari satu abad. Belanda sebagai pendatang baru, dengan teknologi
baru (peralatan navigasi dan peralatan persenjataan) mulai menggerogoti
Portugis dan Spanyol di Hindia Timur. Tidak dimulai di Malaka dan Maluku (baca:
Ternate dan Tidore), tetapi di wilayah yang lemah kekuatan Portogis, yakni di
wilayah Portugis yang paling terpencil di Amboina dan di Solor serta di Koepang
(Timor).


Dengan kekuatan penuh, pelaut-pelaut Belanda yang dimpimpin oleh Admiral
van Hagen, pada tahun 1605 melancarkan serangan ke benteng Portugis di Amboina.
Benteng ini dapat dikuasai, orang-orang Portugis terusir dari Maluku. Benteng
Portugis tersebut kemudian dinamai pelaut-pelaut Belanda dengan nama Fort
Victoria. Jalur navigasi pelayaran Belanda, Afrika Selatan, selat Sunda dan
pantai utara Jawa ke Maluku (Ambina) via Bali dan Solor serta Banda, benteng
Portugis di Solor dan Koepang menjadi halangan bagi Belanda. Dengan kerjasama
yang lama dengan Bali, lalu Belanda menyerang Portugis di Solor dan Koepang
pada tahun 1613. Akibatnya orang-orang Portugis di dua tempat itu terusir dan
bergeser ke bagian timur pulau Timor dengan tanpa kekuatan (tanpa benteng). 
Apollonius Schout pimpinnan
Portugis di Koepang dengan 70 orang pada tanggal19 Januari 1613 menyingkir ke bagian
timur pulau. Sebelum penyerangan ke Solor dan Koepang ini Belanda yang berpusat
di Amboina melakukan perjanjian dengan Radja Boeton. Lalu Belanda yang dibantu
dengan Ternate berangkat ke Solor tepat berada di depan benteng pada tangga 17 Januari.
Pulau Timor bagian timur ini terus eksis oleh orang-orang Portugis hingga ini
hari sebagai Timor Leste.

Lantas bagaimana dengan Buton sejak kahadiran Belanda? Masih cukup kuat
posisi pedagang Portugis di pulau Sulawesi dan pulau Borneo dengan kekuatan
militer di Malaka. Kekuatan Portugis di Malaka menjadi penghalang bagi
Belanda/VOC. Berdasarkan laporan Pieter van den Broek (1615) Raja Boeton memiliki
pengaruh perdagangan melalui pedagang Arab antara Boeton, Banda dan Amboina (lihat
Francois Valentojn 1726).


Pos perdagangan Belanda sejak 1619 telah direlokasi dari Amboina (Fort
Victoria) ke muara sungai Tjiliwong dengan membangun benteng Kasteel Batavia
(yang didukung keuangan VOC yang kuat). Sementara itu, hubungan VOC dan Bali
semakin erat dan juga para pemimpin di Maluku (Amboina). VOC yang semakin kuat
di Batavia menyebabkan (kerajaan) Mataram terusik lalu Mataram menyerang
Batavia pada tahun 1628. Namun benteng Batavia terlalu kuat sehingga Mataram
tidak kuasa untuk menghancurkannya.

Sejak kekuatan Belanda/VOC semakin teruji oleh pihak
lawan, local maupun asing, Pemerintah VOC di Batavia mulai melirik kekuatan
Portugis di Malaka. Pada tahun 1641 Belanda/VOC menyerang Portugis di Malaka
dan berhasil diduduki. Untuk memperkuat posisi VOC di Malaka, sementara Atjeh
tidak terikat dengan Portugis, maka Belanda menyerang Portugis di Kamboja pada
tahun 1642. Habis sudah kekuatan Portugis di Hindia Timur (kecuali menyisakan
di Timor bagian timur) dan di Makao. Dengan sendirinya, kekuatan perdagangan
Portugis di Borneo dan Sulawesi khususnya di Makassar dan Buton semakin melemah
(karena berkurangnya dukungan militer Portugis). Sebaliknya kerajaan Gowa di
Makassar semakin menguat, setelah dipimpin oleh Hasanoedin.


Dengan menghilangnya kekuatan (militer) Portugis di Hindia Timur, Ternate
yang selama ini di bawah bayang-bayang kekuatan militer Spanyol di Filipina,
mulai melirik Belanda di Amboina. Lalu kolaborasi Belanda dan Ternate berhasil
mengusir Spanyol dari Tidore dan Ternate. Tidak cukup disitu, Ternate ingin
kembali mengambil Manado lalu Belanda kemudian mengusir Spanyol dari Manado dan
kepulauan Sangir dan Talaud. Lalu pada tahun 1657 VOC membangun benteng di Manado.
Hilangnya pengaruh Spanyol, dan semakin eratnya Belanda dan Ternate, wilayah
(kerajaan) Ternate semakin meluas, tidak hanya di Maluku, juga hingga ke pantai
timur Sulawesi (Banggai dan Mori) serta Minahasa hingga ke Kajeli (Paloe) dan
Mandar. Sementara itu, di Buton, pengaruh Portugis telah digantikan oleh
Belanda/VOC.

Meski kekuatan Portugis melemah, namun para
pedagangannya masih intens di Hindia Timur terutama di Banten dan Gowa. Selain
Atjeh, dua kerajaan ini dapat dikatakan kerajaan yang diincar VOC untuk
menjalin kerjasama perdagangan. Oleh karena diplomasi Portugis masih sangat
kuat, VOC tidak bisa berbuat banyak di Gowa dan Banten. Sebaliknya, Gowa di
bawah Hasanoedin dapat membebaskan Mandar dari tangan Ternate (yang berkolaborasi
dengan Belanda). Belanda di wilayah Nusatenggara semakin kuat, lebih-lebih
setelah mengusir pengaruh Gowa dari Sumbawa terutama hubungan yang semakin erat
dengan (kerajaan) Bima. Kerajaan Gowa di bawah Hasanoedin menjadi target
VOC/Belanda.


Kerajaan Gowa semakin kuat, semakin berjaya dalam perdagangan.
Pedagang-pedagang Portugis berlindung di dalamnya. Sebaliknya Gowa semakin
banyak musuh yang mengelilinginya. Pembebasan Mandar menyebabkan Ternate
kebakaran jengggot. Hubungan erat antara Ternate dan Buton menyebabkan Buton
juga kepanasan melihat Gowa.
 Sikap
bermusihan Buton terhadap Gowa terjadi dalam periode 1623-1640 dimana kepentingan
perdagangan dan kepentingan politik (Boeton) jatuh, yang mana Raja Gowa menguasai
sebagian besar wilayah Sulawesi dan telah menundukkan dirinya dan memiliki
banyak pengaruh pada orang yang berbeda pulau-pulau tempat rakyatnya berdagang.
Sedangkan Bone yang selama ini (sejak 1643) di bawah bayang-bayang Gowa (dijadikan
budak) kemudian memberontak. Keberadaan pedagang Portugis di Gowa yang terus
eksis, membuat Belanda mendapat saingan perdagangan ke Eropa. Lalu dengan
situasi dan kondisi itu, VOC membuka luka lama antara VOC dengan Gowa.
Terbunuhnya kepala pedagang VOC di Sombaopoe tahun 1644 dijadikan VOC sebagai
tuntutan bagi Gowa. Namun Gowa tak bergeming. Gowa juga tidak menyadari
musuhnya yang berada di sekitar semakin banyak. Kesombongan Gowa mulai
memanaskan VOC di Batavia. Aroe Palaka yang terusir dari Sulawesi dan berdiam
di wilayah Batavia mendorong VOC untuk menaklukkan Gowa.

Singkat kata akhirnya kerajaan Gowa dapat
ditaklukkan VOC pada tahun 1669. Habis sudah Gowa, habis pula Portugis di
Sombaopoe. Andil Aroe Palaka yang besar, dianggap pemilik portofoliotinggi
untuk menjadi penguasa local di Makassar (selepas Gowa hancur dan kota Sombaopoe
ditinggalkan). VOC kemudian membangun benteng di Makassar (Oedjoeng Pandang).


Lalu bagaimana dengan Mandar? Yang jelas tidak dikembalikan kepada (radja)
Ternate, tetapi tetap berada di bawah yurisdiksi Makassar (yang kini dipimpin Aroe
Palaka). Namun demikian Ternate tetapi diberikan hak kuasa wilayah utara
Sulawesi hingga Kajeli (di teluk Palos).

Lantas bagaiman dengan Buton? Yang jelas Radja Mandarsjah
(Ternate) dan Radja Aroe Palaka (Makassar) terlalu kuat. Wilayah yang direbut
Gowa tempo doeloe telah dikembalikan, namun Radja Boeton hanyalah kerajaan
kecil yang wilayah perdagangannya terbatas (hanya lingkup perdagangan saja) di pantai
timur semenanjung tenggara Sulawesi hingga teluk Kendari dan pantai barat
hingga ke Kolaka. Sementara Makassar (Aroe Palaka) bahkan meliputi perdagangan jauh
di selatan di nusa tenggara (Lombok, Sumbawa dan Flores serta bagian barat
Timor).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Introduksi Tulisan Hangeul Korea di Pulau Buton
Pelanggaran Tradisi Aksara? Apa Urgensinya?

Kapan nama Sumbawa muncul? Tidak ada nama Sumbawa
dalam teks Negarakertagama (1365). Nama-nama yang disebut Taliwang, Dompo,
Bima, Sangjang Api da Sapi plus (pulau) Sumba dan pulau Saksak/Lombok. Nama-nama
yang disebut diduga terkait dengan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan.


Sejak
kehadiran orang Eropa, nama Sumbawa baru terindetifikasi. Para pelaut Portugis,
dari Malaka ke Maluku (1511-1513) nama Sumbawa sudah diidentifikasi. Pada peta
nomor 21 diidentifikasi nama-nama berikut: Ilha de maquacer (eiland Makasser), Borney,
Lloutam, Tanhumbagubari, Tanhumpura (Tandjoeng Poera), Pamgun (Poeloe Laoet),
Agaci Grissee), ssurubaia, Ilha de Jaoa, Ilha de madura, Bllarain (Bali), Ssabaia
(Sapoedi), Savoye, Lamboquo, Ssimbaua dan Aramaram, Nama Sumbawa ditulis Ssimbaua.
  

Nama Sumbawa sebagai suatu kerajaan baru
terinformasikan sejak 1674 dimana kontrak dibuat (lihat Daghregister,10-07-1674).
Ini terjadi pasca perselisihan antara VOC dan kerajaan Gowa (dimana kerajaan
Gowa ditaklukkan VOC pada tahun 1669). Pemerintah VOC sendiri melakukan kerjasama
dengan (kerajaan) Bima sebelumnya terjadinya Perang Gowa. Seperti kita lihat
nanti, kontrak kerjasama kerajaan Soembawa dengan pemerintah VOC kemudian diperbarui
dan ditandatangani pada tahun 1677.


Mengapa berbeda situasi dan kondisi kontrak kerjasama antara (kerajaan)
Bima dan kerajaan Sumbawa dengan VOC? Bima melakukannnya sebelum perang, sebaliknya
Sumbawa setelah perang. Kita harus kembali ke masa lampau (teks Negarakertagama
1365) dimana nama-nama yang disebut di pulau Sumbawa adalah Taliwang, Dompo dan
Bima. Apakah ini mengindikasikaan hubungan perdagangan dengan Jawa? Mengapa
tidak disebut nama Sumbawa? Apakah Sumbawa belum lahir? Boleh jadi, yang ada
adalah Dompo di bagian dalam teluk. Dalam peta awal Portugis (1511-1513) sudah
disebut nama Sumbawa dan Aramaram (Alas?), sebaliknya nama Dompo dan Bima tidak
diidentifikasi. Dalam peta Portugis ini dimana letak Sumbawa diduga berada di
jalur navigasi pelayaran di wilayah pantai (kota Sumbawa Besar yang sekarang?).
Sementara Dompu dan Bima tersembunyi di dalam (teluk Dompu dan teluk Bima).
Besar dugaan Sumbawa (dan juga Alas) adalah kota-kota baru yang terbentuk dari
perdagangan orang asing (Makassar dan Boeton?). Terbukti pada tahun 1541
setelah Portugis terusir dari Ternate/Spanyol, Portugis dengan membentuk kerjasama
dengan Boeton dan Makassar. Apakah dalam hal ini Sumbawa dan Alas adalah vassal
Makassar?

Lantas mengapa nama pulau disebut Sumbawa? Pelaut-pelaut
Portugis yang menamai pulau dengan Sumbawa. Hal ini karena secara navigasi
pelayaran Portugis dari Malaka melalui pantai utara Jawa ke Maluku melalui Madura,
Bali, Lombok dan Sumbawa, nama (kota) Sumbawa yang ditemui lebih dulu. Laporan-laporan
pelaut Portugis ini yang di dalam peta oleh para ahli kartografi
mengidentifikasi pulau dengan nama pulau Sumbawa.


Pada tahun 1677 surat dari Radja Soembawa dicatat di Kasteel Batavia yang
telah diterjemahkan (lihat Daghregister, 30-10-1677). Dalam bahasa dan aksara
surat Radja Sumbawa tidak terinformasikan (terjemahaannya tidak disebut apakah
dalam bahasa Belanda atau bahasa Melayu). Sudah barang tentu bukan bahasa
Melayu, sebab pejabat VOC umumnya memahami bahasa Melayu. Kontrak kayu gaharu
antara pemerintah VOC dengan radja Sumbawa sebanyak 17.000 pikol (lihat Daghregister,
17-12-1677). Dicatat lebih lanjut kontrak tahun 1676 dengan Sumbawa dibuat di
Makasar dan sekarang disahkan disini di Batavia (lihat Daghregister, 21-12-1677).
Yang memerankan perdagangan antara pemerintah VOC dengan para pemimpin local di
pulau Sumbawa (Sumbawa, Domppe, Tambora dan Bima) adalah para pedagang orang-orang
Moor. Orang-orang Moor banyak bermukim di Bima. Salah satu pedagang utama orang
Moor saat ini adalah Coidja Rouboe) yang bertempat tinggal di Batavia. Seperti
kita lihat nanti orang Bima banyak yang tinggal di kampong Kodja di Batavia.
Sementara orang Sumbawa (dan juga orang Tambora) bermukim di kampong Tambora,
Batavia.

Kerjasama antara Pemerintah VOC dan Radja Sumbawa
telah menimbulkan kemarahan pada pangeran Makassar (yang Sebagian melarikan diri
dari Gowa setelah perang). Pada tahun 1688 Crain Pomelican merampok dan
membakar beberapa kapal milik Raja Sumbawa (Daghregister, 15-10-1688). Lalu
untuk mengusir Crain Pomelican dari Soembawa dikirim ekspedisi militer dari
Batavia pada tahun 1698 (Daghregister, 30-05-1698). Radja Soembawa yang
melarikan diri dari Soembawa dikembalikan pemerintah VOC (Daghregister, 05-08-1698).
Surat dari radja Soembawa diterima di Batavia (Daghregister, 21-11-1709). Namun
dalam bahasa apa surat ditulis tidak diinformasikan. Baru pada tahun 1721 surat
Radja Sumbawa diterima di Batavia dalam bahasa Melayu (Daghrefister, 17-10-1721).
Surat-surat Radja Sumbawa yang dikirim ke Batavia dalam bahasa Melayu semakin
intens, seperti yang diterima tahun 1725.


Apa yang dapat dipelajari dari penggunaan bahasa Melayu ini, seakan
meningindikasikan bahwa bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar diantara
para pemimpin local dengan para pejabat pemerintah VOC. Bahasa Melayu tidak
hanya wajib bagi para pejabat/pedagang VOC juga menjadi sangat penting bagi para
pemimpin local termasuk para raja-raja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top