*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa
Minangkabau mirip bahasa Melayu. Atau sebaliknya bahasa Melayu mirip bahasa Minangkabau.
Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca di nusantara. Apakah bahasa
Minangkabau adalah bahasa asli yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu? Bagaimana
dengan bahasa Batak?
Bahasa
Minangkabau adalah suatu bahasa Austronesia yang dituturkan oleh Suku
Minangkabau. Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang terdapat dalam
rumpun bahasa Minangkabauik yang bercabang dari rumpun Melayu-Sumbawa (disebut
juga sebagai ‘rumpun bahasa Indonesia Barat’) yang diturunkan dari rumpun
Melayu-Polinesia yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa
Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh sungai
sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda. Menurut Nadra, di wilayah
Sumatra Barat bahasa Minang dapat dibagi dalam 8 dialek, yaitu: Rao Mapat; Muara
Lolo, Lubuak Alai, Payakumbuh, Agam, Pancung Soal, Koto Baru, Pekal, Lintau. Bahasa
Minangkabau Umum ini juga disebut sebagai dialek Padang yang biasa disebut
Bahaso Padang atau Bahaso Urang Awak. Orang Minangkabau
umumnya berpendapat banyak persamaan antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa
Melayu dan Bahasa Indonesia. Marah Roesli dalam Peladjaran Bahasa Minangkabau
menyebutkan pada umumnya perbedaan antara Bahasa Minangkabau dan Bahasa
Indonesia adalah pada perbedaan lafal, selain perbedaan beberapa kata. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Minangkabau di
Sumatra? Seperti disebut di atas, penutur bahasa Minangkabau berpusat di
wilayah Ranah Minangkabau. Seberapa dekat dengan bahasa Melayu, seberapa jauh
dengan bahasa Batak? Lalu bagaimana sejarah bahasa Minangkabau di Sumatra? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa Minangkabau di Sumatra; Seberapa Dekat dengan
Bahasa Melayu, Seberapa Jauh dengan Bahasa Batak?
Sebelum mendeskripsikan bahasa Minangkabau, ada
baiknya meninjau nama Minangkabau sebagai suatu identitas. Nama Minangkabau sendiri
sudah lama dikenal. Dalam teks Negarakertagama (1365) sudah diidentifikasi nama
Minangkabau. Nama Minangkabau terus eksis hingga era Portugis (lihat Mendes
Pinto, 1537). Nama Minangkabau juga masih diidentifikasi pada peta-peta awal
VOC/Belanda. Lalu kemudian muncul nama Pagaroejoeng untuk mengidentifikasi nama
(kerajaan) Pagaroejoeng (lihat laporan Thomas Dias, 1684).
Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Padang sebagai pusat orang Belanda.
Sejak itu nama Padang dijadikan sebagai nama wilayah. Untuk wilayah rendah
disebut Padangsche Benelanden dan wilayah tinggi disebut Padangsche
Bovenlanden. Untuk warga di (kota) Padang disebut Padanger (seperti halnya di
Priangan disebut Preanger). Orang Padang kemudian diidentifikasi sebagai orang
Melayu, termasuk populasi pendudukan di wilayah Padangsche Bovenlanden. Idem
dito dengan wilayah Tapanoeli yang merujuk pada suatu kampong/kota di teluk Tapanoeli.
Namun di wilayah pedalaman Tapanoeli diidentifikasi suatu wilayah Bataklanden.
Jauh sebelum Padangisasi di
wilayah West Sumatra, di masa lampau sudah lama terjadi proses Melayunisasi.
Akibatnya wilayah Minangkabau (merujuk pada nama Kerajaan Minangkabau) disebut
wilayah Melayu (Melayunisasi). Boleh jadi itu seiring dengan Melayunisasi
bahasa Minangkabau. Sebagaimana dipahami dalam waktu yang lama bahkan ini hari
bahasa Minangkabau memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu (seperti halnya
bahasa Melayu dialek Betawi; ada juga yang menginterpretasi bahasa Melayu
dialek Minangkabau).
Bahasa Melayu sebagai bahasa yang berkembang sejak zaman kuno, umumnya
digunakan di wilayah pantai (pesisir) sebagai lingua franca. Pengaruh bahasa
Melayu ini di wilayah penduduk pedalaman (bahasa asli) berbeda-beda antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Yang mengalami proses Melayunisasi adalah
bahasa asli yang berada dekat di belakang pantai, semakin jauh ke pedalaman
pengaruh bahasa Melayu semakin lemah. Ada dugaan yang kuat bahwa di pedalaman
Sumatra sejak zaman kuno sudah eksis bahasa-bahasa asli mulai dari Lampung di
ujung selatan hingga bahasa Gajo/Alas di ujung utara. Bahasa-bahasa asli besar
kemungkinan adalah bahasa Batak, bahasa Minangkabau, bahasa Kerinci, bahasa
Redjang dan bahasa Komering. Diantara bahasa-bahasa asli di pedalaman ini
diduga hanya bahasa Minangkabau yang dipengaruhi secara singnifikan oleh bahasa
Melayu. Akibatnya bahasa-bahasa asli pedalaman Sumatra seakan terputus di
wilayah West Sumatra karena bahasa Minangkabau mirip dengan bahasa Melayu.
Dalam hal ini bahasa asli Minangkabau telah berubah wujud yang dianggap sebagai
salah satu (dialek) bahasa Melayu. Namun jika diperhatikan secara cermat untuk
kosa kata elementer bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa Melayu umum di
wilayah-wilayah pesisir. Oleh karena itu kosakata elementer itu adalah sisa bahasa Minangkabau
yang asli sebagai bahasa pedalaman di jaman lampau. Hal serupa inilah yang
terjadi di Jawa antara bahasa Jawa di satu sisi dengan bahasa Madura dan bahasa
Soenda di sisi lain.
Kesadaran berbangsa di bawah
label bahasa (dalam hal ini bahasa Melayu), mulai muncul ke permukaan untuk
mengidentifikasi diri tidak sebagai bangsa Melayu, meski fakta dapat dikatakan
berbahasa Melayu. Di wilayah West Sumatra, paling tidak sejak 1890 sebagian
penduduk mengidentifikasi diri sebagai Orang Minangkabau yang orang-orang
Belanda menulisnya Minangkabauer (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1890).
Selama ini yang diidentifikasi atau dicatat adalah Orang Melayu (Maleijer atau
Maleier).
Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Apakah generalisasi Maleier terhadap
orang Minangkabau dianggap kekeliruan atau sebaliknya orang Minangkabau
(Minangkabauer) menyadari bukan orang Melayu? Faktanya hanya bahasa yang mirip
(bahasa Melayu) tetapi elemen budaya yang lainnya berbeda antara Orang Minangkabau dengan Orang Melayu. Idem dito antara Orang
Betawi dengan Orang Melayu.
Hal serupa ini jugalah yang
terjadi di wilayah Jawa bahwa Orang Soenda dengan sadar mengakui bukan Orang
Jawa (seperti di Jawa bagian tengah). Demikian juga dengan Orang Madoera di
wilayah tapal kuda (pantai timur Jawa) menyadari bukan orang Jawa (meski
tinggal di bagian pulau Jawa). Sudah pasti Orang Betawi sadar bukan orang Jawa
maupun orang Sunda.
Sejak tahun 1890an pengidentifikasian terhadap orang Minangkabau
(Minangkabauer) semakin intens, tidak hanya Orang Minangkabau diantara sebutan
Orang Padang atau Orang Melayu, tetapi juga orang-orang Belanda juga semakin
intens menggunakan nama Minangkabuer daripada nama Maleier. Lalu apakah dalam hal ini Orang Minangkabau
dengan sadar telah mulai menanggalkan nama Melayunya? Dalam konteks inilah kita
bisa menjelaskan proses Melayunisasi di Semenanjung pada fase awal yang lalu
kemudian menjelaskan proses demelayunisasi pada fase masa kini di Semenanjung. Beberapa dekade terakhir di wilayah pantai timur
Sumatra, semakin banyak penduduk di wilayah Melayu menggunakan marga. Tentulah
penggunaan marga itu merujuk pada asal usulnya di masa lampau. Demikian juga
ada hal yang aneh ketika hasil-hasil statistik Sensus Penduduk jumlah populasi
orang Melayu di wilayah pantai timur Sumatra relatif menurun drastis, sementara
jumlah populasi orang Batak relatif meningkat drastis. Hal yang sama juga
ditemukan di wilayah Semenajung Malaya, beberapa deka terakhir semakin banyak
orang Malaysia yang menggunakan nama marga dan bahkan para pejabat di Malaysia
tidak malu-malu kucing lagi menyebut dirinya (berasal) orang Bugis, orang
Angkola/Mandailing, orang Minangkabau dan orang Jawa. Meski mereka telah
mengidentifikasi diri sebagai Orang Melayu (Malaysia) tetapi ini menunjukkan
gejala proses deMelayunisasi.
Proses Melayunisasi di wilayah
(teritorial) Semenanjung (Peninsula) diduga belum lama terjadi. Proses
Melayunisasi diduga di sekitar tahun-tahun dimana AR Wallace memperkenalkan
nama Malay Archipelago yang sedikit banyak terkesan berbenturan dengan nama
lama Indian Archipelago (Indisch Archipelago). Dalam konteks payung Malay
Archipelago inilah orang-orang dari berbagai asal (Sumatra, Jawa, Borneo dan
Sulawesi) di Semenanjung berlindung dan memasang payung di bawah nama Malay
(Archipelago).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Seberapa Dekat dengan Bahasa Melayu, Seberapa Jauh dengan
Bahasa Batak? Apakah Bahasa Minangkabau Bahasa Asli?
Dalam sejarah bahasa, aksara memiliki relasi dengan bahasa
(demikian sebaliknya). Di Jawa ada aksara, aksara yang berbeda dengan aksara di
Sumatra. Lantas mengapa di wilayah Minangkabau tidak ditemukan aksara (lagi).
Sementara di wilayah Batak masih ditemukan aksara dan demikian juga di wilayah
Kerinci. Mengapa keberlanjutan aksara terputus di wilayah Minangkabau. Aksara
yang dimaksud dalam hal ini adalah aksara tradisi (yang dibedakan dengan aksara
Jawi).
Yang dimaksud aksara Kerinci dalam hal ini adalah aksara yang digunakan
dalam teks Undang-Undang Tanjung Tanah. Masuknya agama Islam di Sumatra, aksara
Jawi berdampingan dengan aksara tradisi seperti di Kerinci dan di Tanah Batak
(dwi aksara). Lantas mengapa di wilayah Minangkabau (antara Tanah Kerinci dan
Tanah Batak) tidak ditemukan aksara tradisi, sebaliknya yang eksis adalah
aksara Jawi (saja). Apakah aksara Minangkabau telah hilang? Jika aksara
Minangkabau dulunya eksis, apakah aksara Minangkabau lebih dekat ke aksara
Batak atau lebih dekat ke aksara Kerinci? Aksara Minaangkabau yang hilang
diduga kuat adalah satu mata rantai aksara-aksara di Sumatra mulai dari Lampung
di selatan hingga Gayo di utara. Dalam daftar aksara di Hindia yang terbit di
bawah judul Tabel van oud- en
nieuw-Indische alphabetten, 1882, di Sumatra hanya didaftar aksara di Lampoeng,
Komering, Aboeng, Pasemah, Redjang, Mandailing, Angkola, Toba dan Dairi.
Dalam sejarah bahasa Minangkabau, yang selalu
dijadikan rujukan adalah teks bahasa Minangkabau dalam aksara Jawi. Sementara
itu aksara Jawi tertua ditemukan di Trangganu pada tahun 1386 (bandingkan
dengan teks Negarakertagama 1365). Okelah, aksara adalah satu hal. Bahasa
adalah hal lain lagi. Lalu bagaimana hubungan bahasa-bahasa di Sumatra,
terutama di wilayah pedalaman Sumatra, ternasuk di wilayah Minangkabau?
Seperti disebut di atas, bahasa Minangkabau mirip dengan bahasa Melayu. Di
Sememanjung dan di Minangkabau tidak (lagi) ditemukan aksara tradisi (melainkan
aksara Jawi yang eksis). Lalu bagaimana dengan dengan bahasa Minangkabat di
(pedalaman) Sumatra sendiri? Fakta bahwa, (bahkan hingga kini) sejumlah kosa
kata elementer dalam bahasa Minangkabau ditemukan mirip/sama dengan kosa kata
di sebelah utara wilayah Minangkabau (Mandailing, Angkola) dan di sebelah
selatan (Kerintji/ Redjang dan Komering). Apakah ini merupakan petunjuk bahwa
di masa lampau terdapat garis continuum bahasa-bahasa di (pedalaman) Sumatra?
Tanda-tanda itu masih terdapat dalam sejumlah kosa kata Minangkabau. Lalu
apakah telah terjadi Melayunisasi (bahaa asing) di dalam bahasa asli
Minangkabau pada akhirnya kemudian membentuk bahasa Minangkabau yang mirip
bahasa Melayu?
Selama proses Melayunisasi bahasa di wilayah
Minangkabau, apakah aksara asli (tradisi) Minangkabau yang mirip aksara Batak
dan Kerintji telah digantikan aksara Jawi? Melayunisasi bahasa di wilayah
Minangkabau ini terjadi setelah era Aditiawarman (1375) dan setelah era
prasasti Trengganu (1386)? Lalu sejak kapan Islamisasi dan aksara Jawi di
wilayah Minangkabau?
Komunitas Islam (Arab) sudah sejak abad ke-7 terdapat di pantai barat
Sumatra di Baroes. Namun tidak bekermbang dan meluas. Pengaruh Hindoe/Boedha
begitu kuat di Sumatra, Jawa dan Semenanjung. Pasca Darmasraya (hingga era Aditiawarman)
pengaruh Boedha masih cukup kuat di wilayah Minangkabau. Pada era yang sama komunitas
Islam di pantai barat Sumatra (Barus) sudah berkembang ke pantai timur Sumatra (Sanmudra
Pasai) dan pantai timur Semenanjung (Moor). Kunjungan utusan orang Moor, Ibnoe
Batoetah ke pantai timur Sumatra pada tahun 1345 diduga suatu indikasi semakin
menguatnya komunitas Islam (Moor). Pada masa inilah prasasti Trengganu ditemukan
(1386).
Perkembangan Islam yang masif di pantai timur
Sumatra (bagian utara di Atjeh yang sekarang) dan pantai timur Semenanjung
menjadi head to head dengan pengaruh Boedha/Hindoe di wilayah (kerajaan Aroe) di
pantai timur Sumatra (bagian utara di Sumatra Utara) dan Sumatra bagian tengah (Minangkabau)
serta pantai barat Semenanjung. Komunitas Islam orang Moor di Muar diduga
kemudian menyebabkan Malaka menjadi (kerajaan) Islam. Yang memperkenalkan aksara
Jawi (seperti di Trengganu) diduga adalah para pedagang-pedagang Moor.
Kerajaan Aroe adalah kerajaan yang paling kuat dan dominan di Sumatra
pada saat Islamisasi terjadi di Sumatra dan Jawa. Pada fase inilah terjadi
ekspedisi Cheng Ho dari Tiongkok termasuk ke pantai timur dan pantai barat Sumatra
dan pantai utara Jawa. Pada masa ini kerajaan Aroe telah diperkuat oleh para pedagang-pedagang
Moor. Kerajaan Aroe, sebelum Portugis menduduki Malaka, beberapa kali menyerang
Malaka (lihat laporan Mendes Pinto 1537). Dalam laporan itu, Mendes mencatat
kerajaan Aroe Batak Kingdom memiliki kekuatan sebanyak 15.000 tentara, sebanyak
8.000 orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Djambi,
Broenai dan Luzon. Kerajaan Malaka selalu takur kepada kerajaan Aroe. Kerajaan
Malaka yang lemah dan berseberangan (bermusuhan) dengan kerajaan Aroe diduga
yang menjadi sebab kraton Malaka mudah ditaklukkan oleh pelaut-pelaut Portugis
pada tahun 1511.
Pada awal kehadiran Portugis, yang tidak lama kemudian
dengan jatuhnya kerajaan Aroe (Moor) oleh kerajaan Atjeh (Turki) diduga kuat
proses Islamisasi semakin kuat di wilayah Minangkabau. Apakah pada fase ini
introduksi aksara Jawi oleh orang-orang Moor dimulai? Suatu aksara yang sudah
lama ada di wilayah pantai timur Semenanjung (Trengganu). Aksara Jawi yang
kemudian menggantikan aksara tradisi di Minangkabau. Sementara Islamisasi di wilayah
Sumatra bagian selatan dari arah pantai utara Jawa (Demak). Islamisasi di
wilayah (pedalaman) Minangkabau diduga kuat masa Melayunisasi, pergeseran
bahasa Minangkabau (asli) menjadi bahasa Minangkabau mirip bahasa Melayu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.