di Indonesia, China Town di mancanegara dan Chinese Kampement di era colonial Balanda
doeloe. Pecinan atau China Town adalah daerah komunitas orang-orang Tionghoa, tidak
hanya ada di Batavia dan Buitenzorg tetapi juga ada di Bandoeng. Orang-orang
Tionghoa di Bandoeng datang (migrasi) dari Buitenzorg, orang-orang Tionghoa di
Buitenzorg datang dari Bidara Tjina, Pondok Tjina dan Tangerang (Cina Benteng)
yang hampir semuanya bermula di Batavia.
Pecinan di Bandung, Winkelstraat, 1900 |
membeli barang (garam, besi, kain dan pernik-pernik) ke pelabuhan Soenda Kelapa
(sejak era Hindua) dari pedagang-pedagang Arab, Persia dan lainnya. Kemudian
diikuti oleh orang-orang Priangan (Preanger) setelah era Islam ke Batavia (era
Balanda) dari orang-orang Moor dan Tiongkok. Lalu kemudian, akibat peristiwa
pembantaian orang-orang Cina di benteng Batavia (casteel Batavia) tahun 1740
(era VOC), sebagian orang-orang Tionghoa terpencar dan menyebar memasuki
pedalaman di Tanah Soenda dengan titik pengumpulan utama di Tangerang, Bidara
Tjina (dan kemudian menyusul Pondok Tjina). Diantara ketiga komunitas orang-orang
Tionghoa yang terkanal tersebut, yang terbesar adalah yang berada di Tangerang
(muncul istilah Cina Benteng yang diduga eksodus dari casteel Batavia). Mereka
ini, yang dulunya semua pedagang, tukang dan kuli, lalu di pedalaman sebagian
menjadi petani (seperti penduduk lokal).
Hindia Belanda dibentuk (pasca VOC, 1800), pemerintah coba ‘merangkul kembali’
orang-orang Tionghoa sebagai partner dalam mengelola wilayah baru. Gubernur
Jenderal Daendels lalu membentuk kota pemerintahan pertama di luar Batavia dengan
mengakuisisi lahan-lahan partikulir orang-orang Eropa/Belanda dengan cara
membeli (1810). Dengan cara tertentu, pemerintah mengatur orang-orang Tionghoa
dengan mengangkat pemimpin dan lokasi yang sesuai. Pemimpin Tionghoa ini
disebut letnan dan kemudian sesuai perkembangan ditingkatkan statusnya menjadi
kapten dan major. Area komunitas orang-orang Tionghoa ditetapkan di timur
Buitenzorg.
Pengaturan orang-orang Tionghoa ini bersamaan
dengan pengaturan penduduk lokal dengan mengangkat beberapa demang termasuk
seorang demang di Buitenzorg. Pemimpin lokal yang disebut bupati hanya ada di
Preanger (Tjiandoer, Bandoeng, Sumedang dan Limbangan). Foto Top van de
Poentjak (Puncak pas), 1874
Tionghoa yang dulunya terpencar-pencar dalam komunitas kecil (bertani di kampong
dan kuli di perkebunan) dengan sendiri mulai mungumpul di Buitenzorg. Lokasi
yang ditentukan yang berada di timur Buitenzorg secara perlahan-lahan juga
terbentuk pasar yang kemudian area itu disebut Babakan Pasar (yang dalam
perkembangan lebih lanjut komunitas orang-orang Tionghoa semakin banyak hingga
meliputi seluruh dua sisi jalan pos trans-Java dari Kebon Raya hingga Soekasari
(yang kini dikenal sebagai jalan Surya Kencana). Daerah inilah yang disebut Chinese
Kampement yang disebut penduduk lokal sebagai pecinan (dan di berbagai tempat
di manca negara sudah muncul istilah China Town), seperti di Singapora, Malaka
dan Penang (China Town belum ada di Eropa, Australia dan Amerika).
Pada tahun 1860, kota Buitenzorg sudah
teridentifikasi sebagai ‘kota besar’. Kota seakan terbagi dalam tiga area
pemukiman. Kampung Paledang (sebelah barat Kebun Raya) menjadi area hunian
orang-orang Eropa/Belanda dimana terdapat ibukota, tempat kedudukan Asisten
Residen/Residen) yang lokasinya kini di sebelah Hotel Salak yang sekarang.
Kampung Babakan Pasar adalah area pemukiman orang-orang Tionghoa yang berada di
timur; dan area pemukiman penduduk pribumi berada di selatan memanjang dari
Soekasari hingga Panaragan dengan pusat di Bondongan alias Empang. Sedangkan
bagian utara Buitenzorg (sisi utara sungai Tjiliwong) masih terbilang kosong
pemukiman karena keberadaan perkebunan orang-orang Eropa/Belanda. Jalan akses utama
yang menyeberangi sungai Tjiliwong adalah jembatan tol yang berada di Waroeng
Djamboe (plus jembatan bamboo di Babakan Pasar). Pembagian area ini secara
tersirat (tidak tertulis tetapi diatur) kelak akan terbentuk di Bandoeng: area
selatan sisi jalan pos trans-Java pemukiman penduduk lokal; area utara sisi
jalan pos trans-Java terbagai dua, yakni sisi timur sungai Tjikapoendoeng bagi
orang-orang Eropa/Belanda dan sisi barat sungai untuk orang-orang Tionghoa, Foto
Konvoi pedati Buitenzorg-Bandoeng sedang beristirahat di Padalarang, 1874
pecinan di Buitenzorg (sisi timur kota) kelak akan terlihat relasinya dengan
terbentuknya Bandoeng sebagai ‘kota besar’ dimana komunitas Tionghoa mengambil
tempat di sisi barat kota. Dalam perkembangan kota Bandoeng (sebagaimana
Buitenzorg) sesungguhnya yang lebih awal terbentuk adalah kota bagian
Eropa/Belanda baru kemudian menyusul kota bagian Tionghoa lalu kemudian menyusul
kota bagian orang-orang pribumi sebagai implikasi semakin intensnya penduduk lokal
di berbagai tempat yang datang ke kota untuk berdagang (menjual dan membeli)
yang kemudian terjadinya proses penduduk kampong-kampong di oedik berdiam di dekat
kota (urbanisasi).
Di Bandoeng, penduduk lokal bermukim di
belakang (selatan) kantor/rumah Bupati Bandoeng yang dibangun pada tahun 1846.
Penduduk local pendatang ini (yang datang dari lereng-lereng gunung) sebagian besar mengusahakan ladang dan sawah (untuk
mendekatkan diri ke TKP, pusat perdagangan di Bandoeng). Hal yang sama juga
terjadi di sisi utara, barat dan timur, penduduk local ‘merangksek’ mendekati
kota untuk membuka lahan-lahan pertanian baru. Tentu saja itu di bawah
kepemimpinan Bupati Bandoeng Raden Adipati Wira Nata Koesoema. Pemerintah (Controleur
dan Bupati) dalam hal ini di satu sisi memfasilitasi dalam bentuk pengaturan
drainase (kanal dan irigasi) dan di sisi lain mengenakan pajak yang lebih besar.
Pedagang-pedagang pribumi di Wilkenstraat lagi istirahat (foto 1880)
Perkembangan
di Bandoeng (menjadi ‘kota besar’), yang awalnya orang-orang Tionghoa di
Buitenzorg berdagang komuter lalu bermukiman permanen, intensitasnya dari waktu
ke waktu semakin tinggi. Koloni (komunitas kecil) di Bandoeng lambat laut
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan ‘kota besar’ Bandoeng
yang kemudian muncul sebutan pecinan (Chines Kampament). Komunitas Tionghoa
(yang membentuk China Town) di barat kota juga menjadi tujuan migrasi dari
orang-orang Tionghoa dari Sumedang, Carang Sambong, Indramajoe dan Tjierebon.
Perkembangan pecinan kota Bandoeng ini semakin masif ketika di tahun 1882 akses
Buitenzorg-Bandoeng semakin lancar dengan adanya transportasi kereta apai (saat
itu jalur kereta dari Batvia ke Bandoeng baru hanya via Buitenzorg, Soekaboemi
dan Tjiandjoer). Foto Winkelstraat, 1900
Kantor
pos Bandoeng sudah sejak 1846 adanya (barada di sisi utara jalan pos trans-Java
dan persis di seberang kantor/rumah Bupati). Ketika orang-orang Tionghoa sudah
banyak yang berdiam di Bandoeng (tidak komuter lagi) kantor pos ini banyak
dimanfaatkan pedagang-oedagang Tionghoa untuk pengiriman berita ke Buitenzorg (dan
sebaliknya). Pemukinan Tionghoa yang berada di sekitar kantor pos inilah
kemudian yang membentuk area pecinan. Awalnya pusat perdagangan berada di Bantjeuweg
(ujung) dan kemudian bergeser ke jalan akses dari jalan pos trans-Java yang
menuju rumah Residen Bandoeng (dibangun 1868 dan ditempati tahun 1871). Jalan
akses (baru) ini kelak disebut Pasarbaroeweg. Dalam perkembangannya jalan penghubung
antara Bantjeuweg dengan jalan akses yang awalnya hanya jalan kecil menjadi
jalan besar yang disebut ABCweg. Foto ABC straat 1900
Lantas
yang mana yang disebut Winkelstraat? Jalan itu adalah sebagian ruas jalan
akses. Jalan akses ini menjadi dua ruas saat pembangunan kereta api (rel kereta
api hingga Tjitjalengka dan stasion Bandoeng) sejak 1879). Dari rel ke rumah Residen
Bandoeng (kini menjadi rumah Gubernur Jawa barat) disebut Residentweg dan dari
rel ke jalan pos trans-Java disebut Winkelstraat. Peta 1904
perpasaran, pemerintah kota merelokasi pasar utana dari pasar lama (Jalan ABC)
di tempat yang baru di sisi Winkelstraat. Pasar baru inilah yang menjadi pusat
perdagangan tradisonal yang baru (pribumi
dan Tinghoa plus Arab) yang lambat laun nama jalan Winkelstraat menghilang dan
menjadi Pasarbaruweg. Sementara untuk pasar modern (toko-toko besar) berada di
Bragaweg (umumnya bagi komunitas Eropo/Belanda). Sejak dibentuknya gemeente
(pemerintahan kota) Bandung, pasar baroe ini dilakukan renovasi sehingga
bentuknya (lanskapanya) masih terlihat hingga ini hari.
Dengan
demikian, Pecinan Bandung berawal di area Bantjeuweg, ABC straat dan Winkel
straat. Dalam perkembangan lebih lanjut area pecinan (China Tawn) ini
orang-orang Tionghoa mulai berkembang ke arah barat (jalan pos trans-Java
hingga ke Andir) dan sisi selatan stasion kereta ke arah barat rel kereta api.
Di area perluasan pecinan ini orang-orangTionghoa secara bertahap menyediakan
pekuburan, mambangun rumah ibadah, sekolah, gudang, klub, lapangan (termasuk
sepakbola) dan situs-situs lain yang masih ditemukan hingga ini hari. Pada
tahun 1920 penyebaran orang-orang Tionghoa bahkan sudah sampai ke Situ Aksan
(di danau butan inilah tradisi Peh Tjoen dilakukan setiap tahunnya).
deskripsi lebih lanjut
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.