Sejarah

Sejarah Bangka Belitung (25): Warga Cina dan Orang Tionghoa di Bangka – Belitung; Sejarah Migran Asal Tiongkok Hindia Timur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini  

Warga Cina menjadi Orang Tionghoa. Begitulah
sejarahnya. Bermula dari masa lampau, bahkan sejak zaman kuno. Pada era
Portugis orang Tiongkok sudah banyak yang berdagang ke wilayah Hindia Timur.
Populasinya semakin meningkat pada era VOC/Belanda. Sejak era Pemerintah Hindia
Belanda banyak yang menetap, yang kemudian muncul nama Tionghoa yang kini
menjadi warga negara Indonesia. Namun sebaliknya banyak juga yang Kembali ke
Tiongkok, berbeda dari masa ke masa. Bagaimana para migran asal Tiongkok di
kepulauan Bangka dan Belitung sejak tempo doeloe?


Tionghoa
Bangka-Belitung adalah etnis Tionghoa tinggal di wilayah Bangka Belitung, salah
satu daerah dengan konsentrasi etnis Tionghoa yang besar di Indonesia. Awal
kedatangan skala besar orang Cina di Bangka Belitung tahun 1700-1800-an. Orang
Hakka didatangkan dari berbagai wilayah di Guangdong Huizhou, Chaozhou tenaga
penambang timah. Sebagian besar etnis Tionghoa di Bangka Belitung Orang Hakka, minoritas
Orang Minnan (Hokkian). Sensus 1920, populasi orang Cina di Bangka 44% dari 154.141
jiwa. Etnik Tionghoa di Bangka dan Belitung terbesar kedua setelah suku Melayu.
Budaya Tionghoa di Bangka sedikit berbeda dengan di Belitung. Orang Cina di
Bangka didatangkan awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Umumnya
tidak membawa istri, menikahi penduduk asli, sehingga Tionghoa di Bangka
sebagian besar peranakan berbicara bahasa Hakka bercampur Bahasa Melayu. Tionghoa
Belitung dianggap “totok” datang pada abad ke-19 membawa istri, beradaptasi
dengan kebudayaan Nusantara. Mereka masih berbicara dengan Bahasa Hakka yang
asli. Tokoh-tokoh Tionghoa Bangka-Belitung: Lim Tau Kian, Lim Boe Sing, Tjoeng
A-tiam, mayor Cina di Mentok. Tan Hong Kwee, kapten Cina di Mentok 1832 – 1839,
Tony Wen, lahir di Sungailiat, pejuang kemerdekaan Indonesia. Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, Bupati Belitung Timur dari 3 Agustus 2005 sampai 22
Desember 2006 dan Gubernur DKI Jakarta dari 16 Oktober 2014 sampai 9 Mei 2017, Myra
Sidharta, penulis dan sinolog dari Belitung. Sandra Dewi, aktris. Rudianto
Tjen, politikus, Hidayat Arsani, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Bambang
Patijaya, politisi/(anggota DPR
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah warga Cina dan orang
Tionghoa di Bangka Belitung? Seperti disebut di atas, orang Tionghoa cukup
banyak di Bangka Belitung yang merupakan bagian dari sejarah migran asal
Tiongkok di Hindia Timur. Lantas bagaimana sejarah warga Cina dan orang
Tionghoa di Bangka Belitung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Warga Cina dan Orang Tionghoa
di Bangka Belitung; Sejarah Migran Asal Tiongkok di Hindia Timur

Secara alamiah, dimanapun di muka bumi, orang
sebangsa sebahasa bermigrasi membawa bahasa ibu, bahasanya sendiri. Bahwa ada
adopsi, adaptasi dan percampuran bahasa di tempat tujuan adalah masalah yang
teimbul kemudian. Demikian juga orang Tiongkok bermigrasi, khususnya ke Hindia
Timur di selatan, membawa bahasanya sendiri. Dalam hal ini sejarah migran
adalah sejarah bahasa itu sendiri. Sejarah bahasa adalah sejarah populasi yang
terbentuk di suatu wilayah tertentu, temasuk populasi migran.


Dalam peta bahasa di pulau Bangka (1889),
dominan bahasa asal Tiongkok di pulau Bangka ditemukan di onderdistrict Klabat
di district Djeboes; bagian utara district Merawang, seberang Blindjoe di teluk
Klabat. Sementara bahasa campuran asal Tiongkok dan bahasa Melayu di kota
Djeboes. Bagaimana dengan di pulau Billiton?

Adanya komunitas pengguna bahasa asal Tiongkok
dalam peta bahasa di pulau Bangka dan pulau Belitung mengindikasikan ada suatu
wilayah/area dimana populasi asal Tiongkok dominan yang membentuk populasi
sendiri dengan bahasa sendiri. Besar dugaan kelompok populasi ini adalah bagian
dari migran asal Tiongkok dari masa ke masa.


Sejarah
migran Tiongkok ke pulau-pulau selatan (baca: Hindia Timur) diduga masih
terbilang baru. Pada era dinasti Han, abad ke-2, tidak ada indikasi orang
Tiongkok sudah melaut. Dengan kata lain orang Tiongkok masih berada di pedalaman
Tiongkok. Sebaliknya pada abad ke-2 sudah ada orang Hindia Timur (baca:
Nusantara) yang melakukan kontak perdagangan ke pantai timur Tiongkok. Dalam
catatan Tiongkok pada dinasti Han disebutkan utusan raja Yeh-tiau datang menghadap
Kaisar Tiongkok di Peking untuk meminta izin membuka pos perdagangan. Menurut
sejumlah peneliti era Hindia Belanda, pos perdagangan ini diduga berada di
dekat kota Hue yang sekarang di Vietnam dan kerajaan Yeh-tiau ini diduga kuat
berada di pantai timur Sumartra (muara sungai Baroemoen) dalam hubungannnya
dengan perdagangan emas dan kamper. Pelayaran I’tsing pada abad ke-7 ke pantai
timur Sumatra diduga awal kehadiran orang Tiongkok ke pulau-pulau selatan. Pada
abad ke-12 dan ke-13 sudah banyak catatan Tiongkok yang mengindikasikan
nama-nama tempat yang diduga berada di pantai timur Sumatra. Akhirnya ekspedisi
besar Tiongkok pada awal abad ke-15 yang dipimpin Cheng Ho diduga menjadi awal
hubungan yang intens antara Tiongkok dengan pulau-pulau di selatan, dan
sebaliknya. Catatan Portugis (lihat antara lain Mendes Pinto 1537) pada paruh
pertama abad ke-16 sudah massif pedagang-epdagang asal Tiongkok di seputar
selat Malaka, baik di Malaka maupun di pantai timur Sumatra (kerajaan Aru).
Pedagang-pedagang Portugis sendiri pada tahun 1519 telah membuka pos perdagangan
di muara sungai Canton. Kehadiran pedagang-pedagang asal Tiongkok pada awal
permulaan VOC sudah massif di pantai utara Jawa. Jumlah migran asal Tiongkok
mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-18 yang mana terjadi peristiwa
besar di Batavia pada tahun 1740.

Kehadiran migran asal Tiongkok di Hindia Timur,
yang diduga dimulai secara intens diantara pulau Sumatra dan Kalimantan (terutama
selat Malaka) diduga karena terkait dengan aktivitas perdagangan. Kehadiran
migran asal Tiongkok dalam hubungannya dengan produksi diduga baru dimulai di
Jawa pada era VOC/Belanda, dalam hubungannya dengan pertanian tebu dan
pengolahan/pabrik gula di Batavia dan sekitar, yang berakhir timbulknya
kerusuhan pada tahun 1740. Oleh karena itu, kehadiran migran asal Tiongkok di
Bangka dan Belitung diduga baru muncul pada masa awal produksi/pertambangan
timah (sebagai perluasan dari pertambangan timah di pantai barat Borneo dan
semenanjung Malaya). Deposit timah yang melimpah di Bangka Belitung, menjadikan
wilayah sebagai sentra produksi timah utama pada awal Pemerintahan Hindia
Belanda (bersaing dengan pantai barat Kalimantan).


Pada
masa pendudukan Inggris (dimulai pada tahun 1811), akibat kerusuhan di
Palembang, yang mana residen Pemerintah Hindia Belanda terbunuh, pihak Inggris
menghukum kesultanan Palembang dengan menghilangkan hak-hak kesultanan. Dalam
perjajian yang dibuat antara Kolonel Gliepsie dan Sultan Palembang, salah satu
isinya wilayah Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Sejak itulah
Inggris membangun benteng di suatu kempaong kecil (Fort Minto) yang kemudian
daerah tersebut disebut Moentok. Di Kawasan Moentok ini pada era Inggris
memperdagangkan hasil produksi timah yang ditambang di sekitar. Sejak wilayah Hindia
Belanda dikembalikan kepada (kerajaan) Belanda (1816) Pemerintah Hindia Belanda
mulai membentuk cabang pemerintahan di Bangka dan Belitung (Residentie Palembang)
dengan menempatkan sejumlah inspektur pertambangan di beberapa kota di Bangka
dan Belitung. Saat inilah diduga produksi timah semakin meningkat, kebutuhan
tenaga kerja yang terus meningkat menjadi sebab para migran asal Tiongkok
semakin banyak yang menuju ke Bangka dan Belitung.

Dalam hubungannya dengan para migran asal
Tiongkok, pada tahun 1822 terjadi satu kecelakaan hebat di sekitar pulau Bangka
dan Belitung dimana satu kapal yang sarat penumpang mengalami malapetaka di
selat Gaspar (lihat Bataviasche courant, 16-03-1822). Kecelakaan kapal karam di
selat Gaspar ini adalah suatu tragedi besar dalam navigasi pelayaran (yang
dapat dianggap mendekati tragedi kapal Titanic seabad kemudian). Kapal karam Cina
di selat Gaspar ini berbobot mati delapan atau sembilan ratus ton yang berangkat
dari (Pelabuhan) Canton membawa penumpang 1.600 orang dan di dalamnya banyak
kargo. Hanya sebagian kecil yang dapat diselamatkan, Menurut laporan kapal
Diana di Kawasan peraiatan dimana tempat TKP mayat mengapung terdapat
dimana-mana.

 

Kapal
di Diana, dengan Capt. Jatnet Pearl, dalam perjalanan dari Batavia melalui selat
Gaspar ke Pontianak, dll, menemukan satu kecelakan kapal (di ujung timur pulau
Gaspar) yang sarat dengan penunmpang Cina di sekitar selat Gaspar, kapal dalam
posisi terbalik yang dimana-mana terhampar banyak keping kayu dan benda-benda
lain terapung. Sebagian penumpang masih dapat bertahan dengan bergantung pada
kayu-kayu. Kapten mengerahkan para crewnya untuk menemukan yang masih hidup.
Akhirnya dapat diselamatkan pertama sebanyak 95 orang yang semuanya orang Cina
yang menggunakan kapal Cina. Hampir semua korban yang ditemukan hidup tidak
berpakaian. Total ada 190 orang yang dapat diselamatkan yang kemudian, setelah
diberi pakaian, para korban kapal karam dibawa ke Pontianak untuk mendapatkan
perawatan. Dalam perkembangannya sebagian besar para migran ini ingin menetap di
Pontianak, tetapi ada 10 orang penumpang yang ingin (melanjutkan perjalanan) ikut
berlayar ke Batavia.

Kemana tujuan kapal asal Tiongkok yang karam
tersebut tidak terinformasikan, Oleh karena terjadi kecelakaan, penumpang yang
berhasil diselamatkan pada akhirnya memilih menetap di Pontianak (pantai barat
Kalimantan). Diantara yang selamat ada beberapa korban selamat yang berangkat
ke Batavia. Namun yang tetap menjadi pertanyaan adalah kemana tujuan kapal
raksasas itu? Fakta bahwa kejadian karam karena dihantam badai besar yang
kemudian menabrak pulau karang terjadi di wilayah selat Gaspar di barat daya
pulau Belitung. Apakah dalam hal ini tujuan akhir kapal tersebut ingin ke pulau
Belitung atau pulau Bangka?


Namun
harus dicatat bahwa kapal asal Tiongkok itu membawa penumpang 1.600 orang. Suatu
jumlah yang sangat besar dalam satu pelayaran. Jelas mereka ini tidak datang
dalam konteks perdagangan, tetapi diduga kuat dalam hubungannya dengan
produksi, kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak. Sementara itu, kebutuhan
tenaga kerja yang sangat banyak asal Tiongkok sudah lama berlalu di Jawa pada
era VOC (era tebu dan gula). Satu system produksi yang massif yang membutuhkan
tenaga kerja yang banyak dapat dikatakan hanyalan pertambangan timah. Dalam hal
ini, besar dugaan tujuan para migran asal Tiongkok pada tahun 1822, yang
mengalami nasib buruk dengan kapal karam, hanyalah satu-satu di Belitung atau
Bangka. Fakta bahwa kapal besar sarat muatan sudah berada di selat Gaspar.
Lantas pertanyaannya apakah ada kapal-kapal yang mendahulu kejadian 1822 atau
apakah ada lagi kapal-kapal yang datang setelah tragedy kapal karam? Yang jelas
pertambangan timah di Bangka dan Belitung membutuhkan tenaga kerja yang banyak,
tidak hanya untuk penambangan tetapi juga untuk pengolahan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Migran Asal Tiongkok
di Hindia Timur: Bagaimana di Bangka Belitung?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top