*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Banyak sumber sejarah berasal dari zaman kuno
di pulau Bangka, seperti geomorfologi pulau Bangka dan keberadaan timah di
pulau. Sumber sejarah lainnya secara tertulis antara lain prasasti Kota Kapur yang
ditemukan di suatu pulau kecil di pulau Bangka yang sekarang (daerah aliran
sungai Mendoe). Pulau kecil dimana berada prasasti di zaman kuni, kini telajh
menyatu dengan daratan pulau Bangka.

Prasasti
Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka, di desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Tulisan
pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuno, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu.
Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh JK van der Meulen pada bulan Desember
1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Kedatuan
Sriwijaya. Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H Kern, seorang
ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di
Batavia. Pada mulanya ia menganggap “Śrīwijaya” adalah nama seorang
raja. George Coédes-lah yang kemudian mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama
sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 M, suatu kerajaan yang kuat dan
pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand
bagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum
(Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang
berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada
bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah prasasti Kota Kapur
di pulau Bangka? Seperti disebut di atas, prasasti Kota Kapur adalah salah satu
dari sejumlah praasasti sejaman berasal abad ke-7 di pulau Sumatra. Lalu
bagaimana sejarah prasasti Kota Kapur di pulau Bangka? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Prasasti Kota Kapur di Pulau
Bangka; Prasasti-Prasasti Berasal Abad ke-7 di Pulau Sumatra
Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka, pada
dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan dua prasasti pertama
(Kedoekan Boekit dan Talang Tuwo) dan prasasti kedua (Telaga Batu, Pasemah dan
Karang Brahi). Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari prasasti kutukan yang
dibuat oleh Dapunta Hyang Nayik, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Di
dalamnya berulang disebutkan kata çrivijaya. Berikut ini isi lengkap dari
Prasasti Kota Kapur, sebagaimana ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh
Coédes. Terjemahan:
Keberhasilan!
Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi
Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala
sumpah! Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini
akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang
berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak; yang mengenal
pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia
pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar
orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk
biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau
beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya.
Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu ketenteraman
jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun,
memakai racun upas dan tuba, ganja, saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya
pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil
dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula
mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang supaya
merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk;
dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak
berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut mati kena
kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang
oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga
marga dan keluarganya dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan
dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka! Tahun Śaka 608,
hari pertama paruh terang bulan Waisakha [editor: setara dengan 28 Februari 686
Masehi], pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung
ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang
tidak takluk kepada Śrīwijaya’.
Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka disebut di
dalam teks dibuat pada tahun 686 M. Prasasti Kedoekan Bioekit dibuat pada tahun
682 M dan prasasti Talang Tuwo dibuat pada tahun 684 M. Prasasti Telaga Batu
(Palembang), prasasti Pasemah (Lampong) dan prasasti Karang Brahi (Jambi) tidak
disebut tahun, tetapi karena isinya kurang lebih sama dengan prasasti Kota
Kapur maka tiga prasasti tersebut diduga dibuat pada tahun 686 M (sama dengan
prasasti Kota Kapur).

Satu
yang membedakan isi prasasti Kota Kapur dengan prasasti-prasasti lainnya
tersebut, di dalam teks prasasti Kota Kapur disebut tentara Sriwijaya baru
berangkat untuk menyerang bumi Jawa. Sebaliknya di dalam teks prasasti Kedoekan
Boekit (682 M) disebutkan pasukan yang dipimpin Dapunta Hyang Nayik berangkat
dari Minanga. Keberangkatan dari Minanga ini pada hari ketujuh bulan April dan
tiba di Matajap hari kelima bulan Mei. Dalam hal ini jarak perjalanan pasukan
selama satu bulan kurang dua hari. Perjalanan ini tentulah sangat jauh dan ada
beberapa pemberhentian di tengah perjalanan. Dimana posisi GPS Matajap diduga
di tempat dimana ditemukan prasasti (Palembang). Lalu dimana posisi GPS Minanga?
Jika perjalanan dilakukan dengan sampan, yang harus ditempuh hampir satu bulan
tentu saja Minanga adalah tempat yang jauh. Apakah itu kini berada di kota
Binanga (daerah Padang Lawas. Tapanuli) yang sekarang?
Namun perlu diperhatikan jika prasasti Kedoekan
Bukit (Palembang) dibuat tahun 682 M dan prasasti Talang Tuwo pada tahun 684 M
(Palembang) dan prasasti Kota Kapur tahun 686 M, sebenarnya tahun berapa
prasasti Telaga Batu, prasasti Karang Brahi dan prasasti Pasemah dibuat? Apakah
pada tahun 686 M? Jika di Matajap tiba Dapunta Hyang Nayik dan pasukan pada
tahun 682 M (Palembang), maka ada jarak empat tahun Dapunta Hyang Nayik di
Palembang (682-686) dimana pada tahun 684 di Palembang dibuat prasasti Talang
Tuwo. Dalam hal ini apakah prasasti Telaga Batu juga dibuat pada tahun 686 M?
Sesuai isi prasasti Kota Kapur?

Jika
pasukan berangkat dari Kota Kapur (Bangka) pada tahun 686 ke Jawa, besar
kemungkinan melalui Lampung dimana ditemukan praasti Pasemah. Dalam hal ini
prasasti Pasemah dibuat setelah prasasti Kota Kapur. Lalu bagaimana dengan
prasasti Telaga Batu dan prasasti Karang Brahi?
Ada kemungkinan prasasti Telaga Batu dan
prasasti Karang Brahi dibuat sebelum prasati Kota Kapur, tetapi setelah
prasasti Kedoekan Bukit dan prasasti Talang Tuwo dibuat. Itu berarti antara
tahun 684-686 M. Dalam hal ini prasasti Telaga Batu dibuat terlebih dahulu baru
prasasti Karang Brahi.

Secara
geomorfologis tempat dimana ditemukan prasasti Karang Brahi di sungai Merangin
(Bangko) diduga pada saat itu masih berada di pantai. Sementara Palembang
(Kedokan Boekit, Telaga Batu dan Talang Tuwo) adalah pulau-pulau yang
berdekatan. Sedangkan Bangka dan Pasemah adalah dua pulau yang berjauhan,
Secara geomorfologi Kota Kapur saat itu masih berada di pantai (Pulau Bangka),
sedangkan Palas, Pasemah masih berada di panyai (pulau/gunung Raja Basa).
Dalam prasati Kota Kapur disebut pasukan
menyerang Jawa. Besar dugaan pasukan ini berangkat melalui Palas, Pasemah
(prasasti Pasemah) lalu terus ke pantai utara Jawa di muara sungai Tjitarum,
dimana terdapat pusat kerajaan Tarumanegara. Posisi kraton Tarumanagera ini
kini berada di candi (Jiwa) Batujaya, Karawang yang sekarang. Mengapa menyerang
Jawa? Kerajaan Sriwijaya ekspansi ke Jawa ke wilayah pengaruh Hindu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Prasasti-Prasasti Berasal Abad
ke-7 di Pulau Sumatra: Memiliki Isi Mirip Prasasti Kota Kapur dengan Telaga Batu
(Pelembang), Pasemah (Lampung) dan Karang Berahi (Jambi)
Pada masa ini Kota Kapur adalah sebuah desa di
pantai barat Bangka yang masuk kecamatan Mendo Barat, kabupaten Bangka,
provinsi Bangka Belitung. Pusat des aini kini seakan berada di pedalaman,
tetapi posisinya pada zaman doeloe diduga kuat berada di pantai, di suatu teluk
(menghadap ke utara, sejajar pantai yang sekarang). Kota/kampong Kota Kapur
kuno ini berada di sisi timir gunung/bukit Mendoe.

Pada
awalnya ke dalam teluk (sebut saja Teluk Mendoe) bermuara sejumlah sungai. Termasuk
sungai Mendoe. Dalam perkembangannya, terjadi proses sedimentasi di teluk yang
membentuk daratan baru. Dua sungai yang lebih besar, yakni sungai Mendoe dan
sungai Kota Waringin masing-masing memimpin arus sungai menemukan jalan ke pantai
seperti kondisi yang sekarang. Posisi sungai Mendoe di area eks teluk berada
agak jauh dari kampong Kota Kapur di arah utara. Hal itulah mengapa pusat
perkampongan Kota Kapur seakan berada di pedalaman, jauh dari pantai dan jauh
dari sungai (Mendoe) tetapi tetap berada di sisi timur gunung/bukit Mendoe. Pada
Peta 1897 kawasan eks teluk Mendoe yang berbatasan langsung dengan laut di
pantai barat Bangka ditandai dengan peta jenis tanah alluvial (daratan
terbentuk endapan tanah/lumpur). Sedangkan kawsan kampong Kota Kapur dan gunung
Mendoe berjenis tanah kwarsa (tanah berpasir). Besar dugaan lumpur yang terbawa
arus sungai dari pedalaman sebagai akibat dari aktivitas penambangan (diduga
tambang timah). Pada Peta 1897 kawasan pedalaman dimana sungai Mendoe berhulu
adalah Kawasan yang diidentifikasi sebagai Kawasan granit (yang mengandung
banyak butiran timah). Peta 1897
Kota Kapur di masa lampau (pada abad ke-7)
adalah kota pelabuhan, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan di (pulau)
Bangka. Letaknya yang strategis di teluk aman dari angin/badai dari Laut Jawa
dan Laut Cina, yang menghadap kea rah barah dimana terdapat pulau-pulau lain
yang lebih kecil dan pantai timur Sumatra di pegunungan Bukit Barisan. Seperti
halnya teluk Mendoe yang kemudian menjadi daratan, perairan sisi timur Sumatra
dimana terdapat pulau-pulau juga dalam perkembangannya terjadi proses
sedimentasi jangka panjang, sehingga garis pantai awalnya di Merangin (tempat
ditemukan prasasti Karang Brahi) terus bergeser, lalu mencapau Kota Kedoekan Boekit
(Palembang) hingga kini telah mendekati pulau Bangka. Dalam konteks inilah
prasasti Kota Kapur, prasasti-prasasti di Kota Palembang dan prasasti Karang
Brahi dibuat pada abad ke-7. Kedoekan Boekit sendiri saat itu masih sebuah
pulau. Boleh jadi tiga nama kota itu, secara geomorfologis adalah nama-nama
kuno sesuai toponimi yakni Kota Kapur (kota di lereng bukit kapur); Kota
Kedoekan Boekit (kota berada di bukit) dan kota Karang Brahi (kota di sekat karang).

Pada
era Hindia Belanda, ada beberapa peneliti yang menduga wilayah pantai timur
Sumatra antara wilayah Lampong dan Jambi adalah suatu teluk besar (Kota Kapur
berada di suatu teluk kecil di pulau Bangka), yang mana ke dalam teluk besar
Sumatra itu bermuara sejumlah sungai besar seperti sungai Batanghari, sungai
Tebo, sungai Tembesi, sungai Merangin dan lainnya. Kota Karang Brahi ini berada
di pantai di muara sungai Merangin (pesisir timur pulau Sumatra). Sementara di
tengah perairan laut/teluk besar tersebut terdapat sejumlah pulau termasuk
pulau Kedoekan Boekit (Palembang) yang menyebar hingga ke kepulauan
Bangka/Belitung. Tiga kota kuno ini (Karang Brahi, Kedorekan Boekit dan Kota
Kapur) menjadi pusat pemerintahan tiga daerah yang berbeda. Dalam hubungannya
Kerajaan Sriwijaya membentuk cabang pemerintahan dengan mengangkat para datu
yang baru mewakili tiga wilayah (plus Lampong di Pasemah) dengan mengikat
penduduk dalam suatu hukum sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Kota Kapur, Telaga
Batu (Palembang), Karang Brahi (Merangin/Jambi) dan Palas/Pasemah, Lampung. Prasasti-prasasti
ini memiliki isi yang kurang lebih sama (pengakiuan dan hukum). Dalam hubungan
ini muncul pertanyaan: dimana posisi GPS pusat Kerajaan Sriwijaya? Di Minanga? Apakah
prasasti Tanjore (1030 M) dapat menjelaskannya?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.