Sejarah

Sejarah Banten (23): Lebak-Rangkasbitung; Sungai Tjidoerian Djasinga Batas Lebak dan Sungai Tjioedjoeng via Kota Rangkasbitung




false
IN


























































































































































 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Tidak
ada yang pernah mengetahui Pandeglang dan Lebak. Semua keramaian hanya di
kota-kota pantai: Tanara, Pontang, Banten, Anjer, (pulau( Tjaringin dan
Panimbang, Kerajaan Banten yang terbentuk di pantai di muara sungai Karangantoe
tidak memiliki akses ke pedalaman di dataran tinggi. Hanya dengan melalui para
pedagang Cina mereka terhubung dengan kota-kota pantai. Lebak dan Pandeglang
hidup tenang, damai dan sangat menyatu dengan alam (ladang berpindah masih
dipraktekkan)..

Wilayah pegunungan (Lebak dan Pandeglang)
bagaikan kotak pandora bagi orang asing (terutama orang Eropa). Wilayah
pegunungan ini sudah terhubung dengan kota-kota pantai di utara dan barat sejak
zaman kuno (era Hindoe). Secara perlahan, sejak era Islam (kesultanan Banten)
sedikit banyak pengaruh Islam memasuki wilayah pegunungan (namun tidak secara
keseluruhan). Wilayah pegunungan (terutama Lebak) mulai terbuka dari sisi timur
melalui sungai Tjisadane, sungai Tjianteun dan sungai Tjikaniki sehubungan
dengan masuknya Eropa (VOC) untuk memperluas pedagangan dari (pelabuhan)
Tangerang. Untuk mendukung itu militer VOC mebangun benteng di Serpong, Tjiampea,
Panjawungan (kini Leuwiliang) dan Djasinga pada awal tahun 1700 (setelah
berakhirnya perang sudara di kesultanan Banten). Pembentukan tanah partikelir
(land) di sisi barat sungai Tjisadane dan daerah aliran sungai Tjikaniki serta di
hulu sungai Tjidoerian (Djasinga) dan pengembangan pertanian ole investor asing
semakin membuka isolasi penduduk pegunungan (terutama di wilayah Lebak).

Lantas
sejak kapan sejarah Lebak, khususnya sejarah Rangkasbitung dalam arti
(ketersediaan data empiris)
? Seperti disebut di atas, sejarah Lebak dan Rangkasbitung
haruslah mengikuti perkembangan yang terjadi di pantai utara (Banten), di pantai
barat (Anjer dan Tjaringin) dan sisi barat sungai Tjisadane dan hulu sungai
Tjidoerian (yang bermuara ke pantai utara melalui Balaradja). Sungai Tjidoerian
sendiri adalah batas wilayah (independen) Lebak dengan Buitenzorg. Okelah kalau
begitu.
Seperti
kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya
ada permulaan
. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Lebak dan Terbentuknya
Kota Rangkasbitung

Pada
awal Pemerintah Hindia Belanda, Wilayah (Residentie) Banten, Resident dibantu
oleh dua pemimpin pribumi: Regent van het Noorder-Regentschap dan Regent van
het Zuider-Regentschap. Residen juga dibantu oleh seorang Asisten Residen di
Lampong. Hal itu berarti masih penjajakan, bahkan hingga tahun 1827 (lihat
Almanak 1827).

Secara administratif, Residentie Banten beribukota
di Karangantoe (kota pelabuhan di pantai utara). Tidak seperti di Lampong yang
sudah dipimpin oleh seorang Eropa (Belanda) dengan asisten residen, di wilayah
Banten belum ditetapkan pembagian wilayah secara tegas, hanya disebut kabupaten
(regentchap) Utara (Noorder) dan kabupaten Selatan (Zuider).

Dalam
Almanak 1831 diketahui bahwa jumlah bupati sudah menjadi tiga orang dengan
ditambahkannya Regent van het Wester-Regentschap. Nama Regent van het Zuider-Regentschap
juga disebut Regentschap Lebak dan nama Regent van het Wester-Regentschap juga disebut
Regentschap Tjaringin. Dalam almanak ini juga dicatat bahwa ada tiga nama
bupati dan tiga asisten residen. Masing-masing Asisten residen ditempatkan di
Anjer, Tjaringin dan Lebak. Dalam almanak ini nama Lampong tidak termasuk lagi
wilayah residentie Banten.

Dalam perkembangannya diketahui bahwa nama Zuider-Regentschap
juga disebut Regentschap Serang. Hal ini sehubungan dengan relokasi ibu kota
Residentie Banten dari Banten (Karangantoe) ke Serang. Jumlah bupati masih
tetap tiga orang, tetapi secara administratif Residentie Banten dibagi ke dalam
empat afdeeling: Anjer, Tjaringin dan Lebak dan Serang. Bupati Serang juga
mencakup wilayah afdeeling Anjer. Selain peimpin pribumi yang dilibatkan dalam
pemerintahan juga disertakan dengan mengangkat Luitenent Cina dan Komandan
Orang Asing yang masing-masing di Karangantoe serta Komandn Bugis di Pulau
Panjang. Gelar bupati di Lebak dan Serang adalah Reden Adipati (sedangkan di
Tjaringin Tumenggoeng). Melihat dari namanya para bupati ini didatangkan dari
Residentie Preangerregentschappen (yang beribukota di Tjiandjoer).

Dengan
penetapan wilayah Lebak sebagai suatu afdeeling, maka secara administrasi
wilayah, Lebak sudah dianggap penting (di pedalaman). Hal ini boleh jadi karena
sejak 1826 wilayah (Residentie) Buitenzorg dibagi ke dalam enam district yang
salah satunya adalah District Djasinga (ibu kota di Djasinga). Dalam hal ini
nama Rangkasbitoeng belum disebut. Hanya disebut di Lebak (tidak diketahui ibu
kota di kampong mana).

Bagaimana nama Lebak menjadi perhatian, boleh
jadi pejabar atau peneliti Belanda sudah ada yang berkunjung ke Lebak. Hal ini
dapat diketahui dari suatu tulisan seorang pembaca pada surat kabar Bataviasche
courant, 23-02-1822. Penulis ini tapaknya adalah orang yang sudah berkunjung ke
Lebak. Disebutkannnya di Lebak begitu tenang dan damai serta orang-orangnya
ramah (mungkin dia ingin membedakan dengan orang-orang di kota panati).
Penduduk sudah mulai mengembangkan pertanian, meninggalkan tradisi lama
berladang berpindah. Penduduk juga sudah ada yang menanam kopi yang menurut
penulis wilayah Lebak yang subur sesuai untuk kopi. Penulis menyebutkan ‘masih
belum kami kunjungi sejumlah desa yang terletak di pegunungan Kandangfche di sekitar
Tjioedjung, tempat dimana terdapat makam suci Sangiang, Batala, Guru dan
leluhur lainnya.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Penderitaan Penduduk Lebak Era
Pemerintah Hindia Belanda

Sejak
1829 dilakukan pembangunan jalan dari Buitenzorg hingga ke Djasinga (dan
kemudian akan disambungkan dari pembangunan dari arah Banten). Namun tidak
diketahui kapan akan tersambung. Yang jelas adalah pada 1854 sudah diketahui
bahwa ibu kota Afdeeling Lebak telah dipindahkan dari Lebak ke Rangkasbitoong.
Hal ini berdasarkan berita kunjungan Gubernur Jenderal ke Banten termasuk ke
kota Rangkasbetoong untuk meninjau pembangunan perumahan (blockhuis) dan
penjara yang tengah dikerjakan.

Seperti halnya sebelumnya perpindahan ibu kota
Residentie Banten dari Banten ke Serang, perpindahan ibu kota Afdeeling Lebak
dari (kampong) Lebak ke (kampong) Rangkasbitoong) juga tidak diketahui sejak
kapan. Oleh karena bangunan penjara masih sedang dibangun, diduga perpindahan
itu belum lama. Penjara adalah salah satu elemen pemerintahan dimana fungsi
peradilan sudah berjalan. Peindahan ibu kota ke Rangkasbitoeng ini juga
dikaitkan dengan terhubungnya jalan darat dari Djasinga ke Serang. Secara
spasial pemindahan ke Rangkasbitoeng kurang pas karena berada di pangkal wilayah
Afdeeling Lebak dan sangat dekat dengan ibukota Afdeeling Pandeglang. Namun
posisi GPS Lebak terkesan kurang stratgis karena, Rangkasbitoeng jalan darat lebih
terhubung ke berbagai arah (Serang, Pandeglang, Dajsinga dan Tjikande). Pada
tahun 1837 belum diidentifikasi nama Rangkasbitoeng maupun nama Pandeglang,
yang sudah diidentifikasi di pedalaman Banten antara lain (kampong) Lebak.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com

 


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top