Sejarah

Sejarah Banten (6): Banten Zaman Kuno, Nama Banta Era Hindu dan Surosowan Era Zaman Islam; Banten Kuno, Banten Girang




false
IN


























































































































































 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Apalah
arti sebuah nama, demikian William Shakespeare (1564-1616). What’s in a name?
Sekarang kita putar jarum waktu jauh di masa depan (pada masa kini). Apalah
arti sebuah nama. Nama suatu kampong di pinggir Kota Serang. Kampong itu
disebut Banten Girang, masuk wilayah desa Sempu, Kota Serang. Girang dalam
bahasa Sunda adalah hulu, atas atau udik.

Banten zaman kuno, tidak berbicara Banten
zaman modern (kerajaan-kesultanan). Nama Banten Girang diduga muncul pada era
Banten modern setelah terbentuknya kota pelabuhan di muara sungai Tjibanten
(Surosowan). Ditambahkan nama ‘girang’ upada nama Banten ntuk membedakan dengan
nama Banten di wilayah hilir di daerah aliran sungai Tjibanten (sungai atau tji
Banten). Dari kota pelabuhan inilah Hasanoeddin (van Gunung Jati atau Cirebon)
menyiarkan agama Islam di wilayah Hindoe di Banten (yang berpusat di Banten
Girang yang sekarang). Nama sungai Tjibanten di hilir disebut sungai Karang
Antoe, seperti halnya sungai Jacatra (Tjiliwong), sungai Tangerang (Tjisadane),
sungai Bekasi (Tjilengsie) dan sungai Karawang (Tjitaroem). Nama sungai Karang
Antoe (merujuk pada nama tempat Karang Antoe). Sungai Tjibanten sendiri berhulu
di gunung Karang (dekat gunung Pulosari).

Seperti
apa gambaran zaman kuno wilayah Banten
? Tentu saja orang masa kini hanya mengetahui nama
Banten Girang. Hal ini karena di kawasan tersebut pernah ditemukan sisa benda
kuno. Namun dalam hal ini, tidak hanya soal Banten Girang tetapi lebih luas dan
lebih jauh ke zaman kuno. Apa pentingnya hal itu dikaji
? Karena itulah awal sejarah Banten. Seperti
kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya
ada permulaan
. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.

Nama Banten: Era Hindoe

Pada masa ini,
nama-nama geografis sejak era Boedha-Hindoe, banyak yang masih eksis. Terutama
di pulau Sumatra dan pulau Jawa banyak yang merujuk pada nama India. Nama-nama Sunda
(Zunda), Tangerang (Tangaram), Tjisadane (Sadana) dan Banten (Banta) diduga
kuat merujuk pada nama-nama di India.

Nama Zunda dalam buku Mendes Pinto (1547) sudah
disebut. Zunda yang diaksud adalah pelabuhan di muara sungai Tjiliwong. Nama
Zunda juga dijadikan sebagai nama selat antara pulau Sumatra dan pulau Jawa.
Pada era VOC, penulisan nama dengan Zunda masih dilakukan (lihat Daghregister,
Kasteel Batavia). Mendes Pinto menulis nama Banten dengan Banta. Akan tetapi
nama Banta telah bergser menjadi Bantam pada era VOC sebagaimana Tangara (di
era Portugis) telah bergser menjadi Tangarang atau Tangerang.

Tidak
hanya nama tempat Banta (yang juga menjadi nama sungai), nama gunung Karang
juga merujuk pada nama India, Di wilayah Banten yang sekarang dua nama ini
terhubung. Sungai Banta (Tji-Banten) berhulu di gunung Karang, ke hilir di laut
(teluk) melalui kota Banta. Kota Banta ini di zaman kuno diduga tepat berada di
kampong Banten Girang yang sekarang.

Secara teoritis, di zaman kuno, orang-orang
India berlayar ke Sumatra dan Jawa untuk berdagang dengan penduduk asli.
Pedagang-pedagang India membawa produk industri seperti kain, garam dan besi
yang ditukar dengan produk alami dari penduduk asli seperti kemenyan, kampers,
emas, gading, kulit hewan dan sebagainya. Diantara para pedagang-pedagang India
ini kemudian terlibat produksi dengan penduduk asli. Interaksi pendatang
(India) dan penduduk asli menyebabkan orang-orang India membuat koloni, tidak
hanya di kota-kota pantai tetapi juga jauh ke pedalaman. Tipikal koloni India
ini di Sumatra berada di dekat danau-danau pegunungan seperti Takengon, Toba,
Siais, Maninjau, Singkarak, Kerinci dan Ranau. Nama-nama danau ini semuanya
merujuk pada nama India. Demikian juga nama-nama gunung dan nama-nama sungai.
Di pulau Jawa hampir tidak ada danau pedalaman, namun untuk tempat koloni
dipilih pada suatu daerah aliran sungai, di dataran tinggi yang tidak jauh dari
gunung. Pola ini tipikal di Jawa, seperti halnya di Banten Girang yang
sekarang. Dalam hal ini kawasan Banten Girang yang sekarang salah satu koloni
India di daerah aliran sungai (yang mengalir ke teluk). Di dalam koloni-koloni
inilah orang-orang India dan penduduk asli mengembangkan peradaban yang
disesuaikan dengan lingkungan alam. Satu sisa peradaban kuno yang masih eksis
hingga ini hari adalah aksara dari penduduk asli di pulau Jawa (Jawa dan Sunda)
dan di Sumatra (Lampong, Komering, Kerinci, Miangkabao pra Pagaroejoeng, Batak
dan Gayo) yang mirip satu sama lain (lihat Uli Kozok). Tentu saja masih ada
sisa peradaban fenomenal seperti candi di Jawa dan candi di Sumatra (Padang
Lawa, Tapanuli dan Muara Takus, Bangkinan). Melalui peradaban baru ini di
tengah penduduk asli (era Boedha-Hindoe) selama berabad-abad khususnya Jawa dan
Sumatra terhubung dengan India melalui perdagangan.

Salah
satu puncak peradaban pada era Hindoe ini di Jawa bagian barat (penduduk asli
Soenda) dan terbilang yang terakhir adalah supremasi Kerajaan Pakwan-Padjadjaran.
Area kerajaan ini berada di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong dan
sungai Tjisadane (Kota Bogor yang sekarang). Supremasi Pakwan-Padjadjaran ini
meliputi seluruh Jawa bagian barat, termasuk kawasan Banten Girang yang
sekarang. Pelabuhan utama adalah Zunda di muara sungai Tjiliwong.
Pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil menjadi feeder, seperti pelabuhan di muara
sungai Tjibanten (Karang Antoe), di muara sungai Tjidoerian (Tanara), di muara
sungai Tjisadane (Tangerang), di muara sungai Tjilengsi (Bekasi), di muara
sungai Tjitaroem (Karawang) dan yang lainnya seperti di Indraajoe dan Chirebon.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Transformasi Banten Menjadi
Surosowan (Era Islam)

Sejak
era Portugis, pelabuhan Banten sudah tumbuh menjadi pelabuhan besar.
Kapal-kapal Portugis berlabuh di teluk Banten, termasuk kapal Mendes Pinto pada
tahun 1547. Pada peta yang dibuat  Cornelis
Claesz (1596) mengindikasikan kota pelabuhan Banten sebagai kota yang sangat
ramai. Lingkungan kraton dibatasi oleh kanal dan pagar dengan area perdagangan
di sisi timur lingkungan kraton. Namun tidak diidentifikasi apa yang menjadi
nama kraton. Dalam perkembanganya diketahui perselisihan antara kerajaan Banten
dengan Portugis yang mengakibatkan terjadi pertempuran di teluk (1614). Pada
saat terjadi pertempuran ini skuadron Belanda sedang berada di teluk.

Satu yang penting pada fase pertempuran ini Willem
Lodewijcksz, pelaut Belanda membuat sketsa dan pemetaan wilayah. Untuk sekadar
catatan, saat itu Belanda sudah berbasis di Amboina, dimana pada tahun 1605
Belanda mengusir Portugis dari Amboina. Kehadiran Belanda di teluk pada saat
terjadi pertempuran antara Banten dan Portugis mengindikasikan dalam posisi
wait and see. Dalam salah satu peta yang dibuat Willem Lodewijcksz (yang
dibantu oleh Pedro
de Tayde, seorang Portugis di Banten), posisi kraton Surosowan tidak berada di
kota (pelabuhan) Banten, tetapi jauh di pedalaman yang diduga berada di Banteng
Girang yang sekarang. Pertanyaannya apakah kraton telah relokasi dari kota
pelabuhan ke pedalaman
?

Dalam peta yang dibuat Willem
Lodewijcksz (1614) posisi (kraton) Surosowan berada di di pedalaman. Ada
indikasi sejak kehadiran Hasoenoedin (putra Sunan Gunung Jati) di Banten,
kraton Surosowan tetap berada di pedalaman (di wilayah Banten Girang, Banten
kuno). Yang berada (selalu) di kraton di kota pelabuhan Banten adalah seorang
pangeran (Banten).

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top