Sejarah

Sejarah Banyumas (12): Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan; Teluk Besar Zaman Kuno Jadi Laguna, Susut Sisa Selat Sempit


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Banyak
laguna di Indonesia, namun laguna Segara Anakan di wilayah Banyumas sangat mirip
dengan laguna (teluk) Manila di Filipina. Laguna Segara Anakan berawal dari
teluk besar di zaman kuno, dimana sungai besar Tjitandoey bermuara yang terhalang
oleh pulau kapur Nusa Kambangan. Pulau Nusa Kambangan menjadi sabuk pengaman
dari badai di teluk dan sungai besar Tjitandoedy menjadi akses navigasi pelayaran
perdagangan jauh ke pedamanan (hingga ke Bandjar). Dalam perjalanannya, teluk
besar ini berubah menjadi laguna, yang luasnya terus menyusut dari waktu ke
waktu.


Segara
Anakan adalah sebuah laguna luas yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di
perbatasan antara provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Segara Anakan
merupakan laguna di antara pulau Jawa dan pulau Nusakambangan di kabupaten
Cilacap. Kawasan Segara Anakan merupakan tempat bertemunya 3 (tiga) sungai
besar, yaitu sungai Citanduy, sungai Cibereum dan sungai Cikonde. Kawasan ini
juga menjadi penghubung pergerakan ekonomi dan sarana transportasi air
masyarakat dari Cilacap menuju Pangandaran. Laguna sendiri dalam istilah
geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan
hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan laut. Segara Anakan
merupakan kawasan perairan yang unik, karena didominasi hamparan hutan bakau
(mangrove) yang sangat luas. Laguna Segara Anakan secara berkesinambungan
mengalami degradasi akibat tingkat pengendapan yang tinggi. Adanya pengendapan
pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta
penyempitan luasan. Luas perairan Laguna Segara Anakan tahun 1903 masih 6.450 Ha.
Namun tahun 1939, tinggal 6.060 Ha. Sekitar tahun 1971, luas Segara Anakan
menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 1984, luas
laguna hanya 2.906 Ha. Pada tahun 1994, menyusut menjadi 1.575 Ha. Pada tahun
2005, menjadi 834 ha. Dalam kurun waktu 21 tahun terakhir penyusutan laguna 98,6
Ha per tahun. Penumpukan sedimen terutama terjadi pada daerah utara laguna. Bagian
selatan laguna bagian cekungan tidak memiliki arus deras tetapi bagian yang
mendekati Pulau Nusakambangan berarus deras. Materi sedimen yang masuk dari
sungai Citanduy sebesar 8.05 juta ton/tahun, sungai Cimeneng sebesar 0.87 juta
ton /tahun dan sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun dengan total pasokan sedimen
9.14 juta ton/tahun. Sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar dan 0,66
juta ton/tahun mengendap di laguna
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah laguna Segara Anakan
dan pulau Nusa Kambangan? Seperti disebut di atas, lagunan Segara Anakan mirip
laguna di Manila. Hannya saja kawasan laguna Manila menjadi metropolitan. Bagaimana
dengan laguna Segara Anakan? Yang jelas laguna berawal dari teluk zaman kuno di
sebelah utara Pulau Nusa Kambangan. Lalu bagaimana sejarah laguna Segara Anakan
dan pulau Nusa Kambangan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Laguna Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan; Teluk
Besar Zaman Kuno Menyusut Bentuk Selat Sempit

Laguna Segara Anakan berada di kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah.
Berbicara sejarah awal Cilacap sejatinya membicarakan wilayah pantai selatan
yang memisahkan wilayah Jawa bagian tengah di timur dan wilayah Jawa bagian
barat di barat. Oleh karena itu posisi GPS laguna Segara Anakan juga akan
berada diantara dua wilayah tersebut (Jawa bagian barat dan Jawa bagian tengah).
Kota Cilacap sendiri yang sekarang, sejatinya pula haruslah dipandang berawal
di masa lampau tepat berada di dalam perairan/laut (yang dalam perkembangannya
terbentuk daratan Cilacap). Dalam konteks inilah kita berbicara laguna Segara
Anakan sejak awal sejarah.


Pada peta-peta masa lampau, antara lain Peta 1753 teluk Segara Anakan
yang diidentifikasi sebagai danau besar. Diidentifikasi sebagai danau, boleh jadi
karena pulau Nusa Kambangan dianggap daratan yang turut membentuk danau. Meski
demikian, Segara Anakan haruslah tetap dianggap sebagai teluk besar. Ke dalam
teluk Segara Anakan bermuara sejumlah sungai diantaranya sungai yang disebut
sekarang sungai Cibeureum dan sungai Cimeneng. Di sebelah barat teluk bermuara
sungai Tjitandoey; dan di sebelah timur teluk Segara Anakan terdapat teluk lain
yakni teluk Penyu. Ke dalam teluk ini bermuara sungai Serajoe. Sementara itu
jauh di masa lampau, tentu saja wilayah Kota Cilacap yang sekarang dulunya
adalah perairan (yang membetuk daratan kemudian) yang itu berarti teluk Segara
Anakan dan teluk Penyu belum terbentuk. Teluk yang sudah terbentuk adalah teluk
yang lebih besar (sebut saja teluk Nusa Kambangan) yang mana ke dalam teluk besar
ini bermuara dua sungai besar: sungai Tjitandoey dan sungai Serajoe. Pengaruh
dua sungai besar ini menyebabkan terbentuknya dua teluk: teluk Penyu dan teluk
Nusa Kambangan. Dalam perkembangannya sungai Tjitandoei mempengaruhi
terbentuknya teluk yang lebih kecil yakni teluk Segara Anakan. Catatan: nama
teluk Segara ditemukan di sejumlah titik di pantai selatan Jawa (termasuk teluk
Pacitan). Dalam kamus KBBI segara diartikan sebagai laut/lautan. Akan tetapi
dalam peta-peta lama pada era VOC segara mengindikasikasikan teluk; sebagaimana
halnya nusa untuk pulau serta untuk sungai adalah kali, tsi, sei, air, aier,
aek, batang dan sebagainya. Sedangkan untuk kampong adalah kota, huta, negorij
dan sebagainya. Boleh jadi dalam hal ini nama Segara Anakan adalah teluk yang
lebih kecil atau anak teluk (Ketika induknya menghilang). Nama Segara Anakan
tidak hanya di laut/pantai, tetapi juga ada di kawah danau gunung Rindjani.
Segara/Sagara adalah nama geografis sejak zaman kuno (Hindoe Boedha).

Laguna Segara Anakan bermula dari teluk/danau besar (lihat Peta 1753).
Sebagai danau/teluk besar masih tepisah jauh dengan pulau Nusa Kambangan di
arah selatan. Dalam Peta 1753 ini diidentifikasi dua sungai penting yakni
sungai Tjitandoey dan sungai Tjibeureum. Lantas mengapa sungai Serajoe tidak
diidentifikasi atau tidak teridentifikasi? Boleh jadi karena daerah aliran
sungai Serajoe pada saat itu bukan wilayah perdagangan yang ramai (lagi)
sehingga kurang dikenal orang/pedagang dari luar. Sementara di daerah
pengaliran sungai Tjitandoey saat itu merupakan lalu lintas perdagangan yang
ramai dari dan ke pedalaman (wilayah Soekapoera/Priangan). Sedangkan daerah
aliran sungai Tjibereum sebagai lalu lintas perdagangan yang ramai yang juga terhubung
ke pantai utara di (muara sungai) Losari. Daerah aliran sungai Serajoe sendiri,
yang sepi perdagangan, diidentifikasi dalam Peta 1753 sebagai wilayah
perdagangan yang masuk wilayah Tegal.


Jika kita membicarakan wilayah danau/laguna/teluk Segara Anakan pada masa
itu (merujuk pada Peta 1753), danau/teluk Segara Anakan cenderung lebih dekat
(masuk wilayah) Jawa bagian barat (wilayah Priangan) di daerah aliran utama sungai
Tjitandoej.  Masih dalam peta tersebut,
pusat perdagangan dari wilayah Jawa bagian tengah (Mataram) berada di sekitar
Kebumen, tepatnya di sisi timur bukit kapur yang menjadi wilayah kecamatan Ayah.
Pusat perdagangan di pedalaman di daerah aliran sungai Serajoe berada di
wilayah Banyumas/Perbalingga. Peta 1747

Teluk/dakripsi Teluk/danau Segara Anakan lambat laun semakin
menyempit karena terjadi proses sedimentasi yang menyebabkan daratan meluas
bergerak ke arah pulau Nusa Kambangan. Proses sedimentasi jangka panjang ini
diduga karena pengaruh langsung sungai Cibeureum dan sungai Cimeneng serta
pengaruh tidak langsung sungai Tjitandoei dan sungai Serajoe (setelah terbentuk
delta Citandui dan delta Cilacap). Pulau Nusa Kambangan dalam hal ini menjadi
factor penentu terakhir menyempitnya teluk Segara Anakan, karena massa padat
berupa lumpur dan sampah vegetasi yang terbawa sungai-sungai tersebut dari
pedalaman, tertahan oleh pulau Nusa Kambangan.


Arus laut dari sisi barat dan sisi timur pulau Nusa Kambangan turut mendorong
massa padat tersebut masuk/kembali ke arah teluk Segara Anakan. Ini dengan
sendirinya wilayah teluk Segara Anakan menjadi wilayah tangkapan air, wilayah
dimana arus air dari daratan/sungai-sungai digiring ke suatu area/Kawasan tertentu
karena adanya dorongan alamiah yang berlawan seperti salinitasi arus bawah laut,
bentangan pulau dan arus angin dan laut di permukaan (ombak). Sebagaimana di
tempat lain, wilayah kawasan tangkapan air biasanya menjadi Kawasan khas yang
memungkinkan terjadi percepatan sedimentasi, pembentukan rawa-rawa lalu pada
gilirannya terbentuk daratan baru. Peta 1724

Tunggu deskripsi lengkapnya

Teluk Besar Zaman Kuno Menyusut Membentuk Selat Sempit:
Peradaban Tua di Seputar Wilayah Teluk Segara Anakan

Teluk Segara Anakan yang dari masa ke masa terus
menyempit, belum berhenti sama sekali. Kapan waktunya berhenti? Seperti dikutip
di atas (Wikipedia), bahwa hingga ini hari teluk Segara Anakan masih terus
bekerja. Teluk Segara Anakan tarsus mempersempit diri dan pada waktunya akan menghilangkan
jati dirinya sebagai anak dari teluk besar (teluk Nusa Kambangan/Tjitandoei).
Pada tahun 2005 luasan wilayah teluk Segara
Anakan hanya tersisa
834 Ha saja (bandingkan dengan tiga abad yang lalu: Peta
1724)


Luas perairan Laguna Segara
Anakan tahun 1903 masih 6.450 Ha. Namun tahun 1939, tinggal 6.060 Ha. Sekitar
tahun 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus
berlanjut hingga tahun 1984, luas laguna hanya 2.906 Ha. Pada tahun 1994,
menyusut menjadi 1.575 Ha. Pada tahun 2005, menjadi 834 ha. Dalam kurun waktu
21 tahun terakhir penyusutan laguna 98,6 Ha per tahun. Penumpukan sedimen
terutama terjadi pada daerah utara laguna. Bagian selatan laguna bagian
cekungan tidak memiliki arus deras tetapi bagian yang mendekati Pulau
Nusakambangan berarus deras. Materi sedimen yang masuk dari sungai Citanduy
sebesar 8.05 juta ton/tahun, sungai Cimeneng sebesar 0.87 juta ton /tahun dan
sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun dengan total pasokan sedimen 9.14 juta
ton/tahun. Sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar dan 0,66 juta
ton/tahun mengendap di laguna (Wikipedia)

Teluk Segara Anakan pada era VOC (Peta 1724) masih
sangat luas. Lalu satu abad kemudian pada peta era Pemerintah Hindia Belanda
(Peta 1860) luas teluk/danau Segara Anakan terus menyusut. Ini mengindikasikan
teluk Segara Anakan terus menyempit. Boleh jadi teluk ini di masa lampau teluk
ini begitu besar dimana sisi sebelah barat teluk adalah daratan baru yang membentuk
hilir/muara sungai Titandoei, dan garis pantai teluk jauh di pedalaman (mungkin
mendekati kota Bandjar yang sekarang). Bentuk awal teluk tampak berbentuk bulat
dan kemudian tampak berbentuk lancip (seperti kita lihat nanti bentuknya sama
sekali berubah).


Pada Peta 1860 sungai Tjibeureum semakin memanjang ke arah laut dimana di
sisi timur muara sungainya terbentuk daratan berupa pulau-pulau kecil.
Sementara itu sisi timur teluk telah terbentuk sungai Sapoeregel yang berada
diantara daratan kea rah Cilacap dan daratan ke arah teluk yang menyempit.
Sungai Cibeureum dan sungai Sapoeregel dalam hal ini dulunya adalah sisi teluk
di sebalah barat dan di sebelah timur.

Teluk Segara (Anakan) di zaman kuno yang begitu
besar, diduga menjadi pusat peradaban di masanya. Bagian teluk menjadi lalu
lintas navigasi pelayaran perdagangan, dimana kota-kota awal jauh di sisi barat
sungai Tjitandoei dari pesisir pantai di selatan hingga jauh di pedalama di
kota Bandjar yang sekarang) dan jauh di sisi timur di pedalaman (sebelum
terbentuknya sedimentasi/daratan baru) di lereng-lereng gunung yang kini masuk
wilayah kecamatan Ajibarang (kabupaten Banyumas). Sementara itu pusat
perdagangan dari para pendatang berada di pulau Nusa Kambangan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top