*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini
Sejarah (wilayah) kabupaten Cilacap pada akhir
era Kerajaan Majapahit (1294-1478) disebut terbagi dalam wilayah-wilayah
Kerajaan Majapahit: Adipati Pasir Luhur dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang
wilayahnya membentang dari timur ke arah barat: (1) Wilayah Ki Gede Ayah dan
wilayah Ki Ageng Donan dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit; (2) Wilayah Kerajaan
Nusakambangan dan wilayah Adipati Pasir Luhur; (3) Wilayah Kerajaan Pakuan
Pajajaran. Nama Donan dalam hal ini menjadi penting adalah terbentuknya kota
Cilacap yang kemudian Cilacap menjadi nama wilayah (kabupaten).

Menurut
Husein Djayadiningrat, Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran setelah diserang oleh
kerajaan Islam Banten dan Cirebon dan jatuh pada tahun 1579, maka bagian timur
Kerajaan Pakuan Pajajaran diserahkan kepada Kerajaan Cirebon (termasuk wilayah
dimana kemudian terbentuk kabupaten Cilacap). Setelah Kerajaan Pajang menjadi Kerajaan
Mataram Islam (1587-1755). Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram ekspansi ke
Kabupaten Galuh (Kerajaan Cirebon). Pada era Pemerintah Hindia Belanda dibentuk
Onder Afdeling Cilacap (besluit 17 Juli 1839). Sementara itu dengan beslit 27
Juni 1841 wilayah Dayeuhluhur dipisahkan dari Banyumas yang kemudian disatukan
menjadi afdeling Cilacap dengan ibu kota di Cilacap, yang menjadi tempat
kedudukan Asisten Residen. Pada masa Residen Banyumas van de Moore mengajukan
usul pada tanggal 3 Oktober 1855 pembentukan Kabupaten Cilacap. Besluit
Gubernur Jenderal tanggal 21 Maret 1856 menetapkan
Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap).
Bupati Cilacap yang pertama diangkat adalah R Tumenggung Tjakra Werdana II
(1858-1873). (https://cilacapkab.go.id/)
Lantas bagaimana sejarah Cilacap di muara sungai
Donan? Seperti disebut di atas, nama Cilacap adalah nama baru di wilayah muara
sungai Donan. Namun dalam perkembangannya nama kota Cilacap menjadi nama
wilayah. Apakah dalam hal ini ada perbedaan wlayah geomorfologi Cilacap zaman kuno,
tempo doeloe dengan masa kini? Lalu bagaimana sejarah Cilacap di muara sungai
Donan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Cilacap di Muara Sungai Donan; Wilayah Geomorfologi
Cilacap Zaman Kuno, Tempo Doeloe dan Masa Kini
Pada saat pembentukan (wilayah) onderschap
Tjilatjap, jumlah penduduknya sudah mencapai 52.006 jiwa sementara di (kota) Tjilatjap
sendiri dimana Asisten Residen berkedudukan terdapat sebanyak 1.270 jiwa (lihat
Tijdschrift voor Neerland’s Indie,1847). Jumlah penduduk di wilayah or Tjiltjap
ini tentu saja bukan sedikit. Bandingkan dengan di regentschap Badjarnegara 74
ribu jiwa; regentschap Poerbalingga sebanyak 121 ribu jiwa; regentschap Poerwokereto
sebanyak 77 ribu jiwa dan regentschap Banjoemas sebanyak 75 ribu jiwa.
Di dalamnya termasuk orang Eropa dan orang Cina. Di wilayah Banjoemas
sebanyak 50 orang Eropa dan 300 orang Cina; di Poerwokerto 10 orang dan 300
orang; di Poerbolinggo 20 dan 350 orang; di Bandjarnegara sebanyak 20 orang
Eropa dan 477 orang Cina. Sedangkan di Tjilatjap sebanyak 41 orang dan 300 orang.
Selain yang disebut di atas terdapat sebanyak 151 militer dibenteng-benteng
Banjoemas, Tjiltjap, Banting Matti dan Karang Bolong. Ada dayang sekar sebanyak
26 orang dan 150 prajurit di Banjoemas, Bandjarnegara, Poerbalingga dan Poerwokerto.
Secara keseluruhan jumlah penduduk di wilayah residentie Banjoemas sebanyak 401
ribu jiwa. Jumlah ini telah meningkat dibandingkan pada tahun 1838 sebanyak 316
ribu jiwa.
Di Onder Regetschap Tjilatjap sudah barang tentu belum
ada bupati sebagai pemimpin local (penduduk pribumi). Wilayah ini berada di
bawah bupati Banjoemas. Akan tetapi sebagai wakil bupati di Tjilatjap diangkat
seorang patih. Onder Regetschap Tjilatjap sendiri terdiri dari lima district plus
(pulau) Noesa Kambangan. Kelima district tersebut adalah Tjilatjap sebanyak 197
kampong; Adiredjo 123 kampong; Pagadingan 223 kampong, Madjanang 89 kampong dan
Dajahloehoer sebanyak 86 kampong.
Nama tempat menunjukkan asal usulnya. Seperti kita lihat nanti nama
Tjilatjap mengindikasikan nama sungai (sebutan Tji, Tsi hingga kini masih
tersisa di Jawa Barat). Tentu saja nama Noesa Kambangan menunjukkan nama pulau.
Namun dalam hal ini nama Dajahloehoer dan nama Pagadingan haruslah dianggap nama-nama
yang khas. Daja atau Dajah (Dajeuh) adalah kota, kampong besar sebagaimana nama
ini juga diidentifikasi di pantai barat Sumatra (Daja). Dalam hal ini
Dajahloehoer adalah kota yang berada di atas, di hulu atau di dadataran tinggi
(relative terhadap Tjilatjap di pesisir). Lalu bagaimana dengan nama Pagadingan
(pegadingan)? Tidak banyak nama tempat yang menggunakan nama ‘gading’. Terdapat
beberapa di Sumatra, satu di Jawa (tengah) dan yang sedang dibicarakan ‘gading’
Pagadingan di wiilayah Tjilatjap. Pada masa ini Pagadingan/Pegadingan adalah
sebuah desa di kecamatan Cipari kabupaten Cilacap, suatu tempat di masa lampau
antara Sidaredja dan Madjanang/Majenang. Nama Pagadingan diduga kuat pada masa
lampau adalah suatu pelabuhan dimana gading diperdagangkan. Pada Peta 1753
wilayah di utara Pagadingan ini, termasuk wilayah Madjanang, Dajahloehoer dan
Kranggan diidentifikasi adanya habitat/populasi gajah. Tentu saja pada masa ini
gajah di pulau Jawa sudah lama punah.
Wilayah Dajahloehoer adalah wilayah budaya orang Soenda.
Pada masa lampau, kampong besar (kota) Dajahloehoer tidak/belum merujuk ke kota
Tjilatjap, tetapi ke kota Bandjar. Dalam hal ini Bandjar adalah kota pelabuhan
di sisi selatan hulu sungai Tjitandoei. Dajahloehoer sebagai kota atas, kota di
hulu, kota di dataran tinggi merujuk ke kota Bandjar. Kota Bandjar di daerah
aliran sungai Tjitandoei diduga memiliki relasi yang kuat pada masa lampau
dengan kota (pelabuhan) Pagadingan.
Mengapa Pagadingan dapat dikatakan sebagai kota pelabuhan zaman kuno?
Secara geomorfologis garis pantai masih berada di pantai, di suatu teluk di
pedalaman. Ke dalam teluk ini bermuara sejumlah sungai, yang terbesar adalah
sungai Tjitandoei. Dari muara sungai Tjitandoei di dalam teluk ini ke kota
Bandjar masih cukup jauh tetapi dapat dilayari dengan menggunakan kapal/perahu.
Dalam konteks inilah diduga asal usul nama (kota/kampong besar) Bandjar dan
nama pelabuhan Pagadingan tempo doeloe. Bandjar sendiri adalah pemukiman dimana
rumah-rumah berbanjar/berderet/berbaris mengikuti arah tertentu (nama Banjar
terdapat di berbagai wilayah; yang terbesar adalah Bandjarmsin). Teluk (Pagadingan)
ini kemudian menyusut yang kemudian dikenal sebagai teluk Sagara. Penyusutan
ini karena proses sedimentasi jangka panjang, akibat aliran lumpur dan sampah
vegetasi dari pegunungan seperti di wilayah Banjar, Dajahloehoer, Tjiamis
hingga Tasikmalaya. Sungai Tjitandoei mencari jalan sendiri menuju laut
diantara rawa-rawa yang terbentuk. Teluk Sagara terus menyusut sepanjang waktu yang
pada akhirnya menyisakan teluk lebih kecil yang kemudian disebut teluk Sagara
Anakan (hingga masa ini masih terus menyusut). Idem dito dengan nama Bandjar di
wilayah Banjoemas di hulu daerah sungai Serajoe. Pada masa lampau pelabuhan
utama berada di Banjoemas, yang mana cabang sungai ke utara menuju kampong Poerbalingga
dan cabang ke timur menuju kampong Bandjar (kini Kota Banjarnegara). Besar
dugaan Pagadingan dan Banjoemas adalah kota-kota pelabuhan kuno, dimana di arah
hulu masing-masing terdapat kampong Bandjar.
Lalu bagaimana dengan kampong Tjilatjap yang kelak
menjadi kota besar? Pada peta-peta lama yang berasal dari era VOC, tidak teridentifikasi
nama Tjilatjap. Salah satu nama yang diidentifikasi adalah kampong Donan tepat
berada di pantai di suatu tanjung. Tanjung ini tepat berada, tidak jauh di
utara pulau Noesa Kambangan. Tanjung ini awalnya diduga adalah suatu pulau,
sebagaimana halnya pulau (besar) Noesa Kambangan dan pulau (kecil) Solok.
Sebelum terbentuk kampong Donan, pulau yang dimaksud adalah pulau kecil
tempo doeloe. Ketika teluk Sagara di pedalaman menyusut, di sekitar pulau yang
berada di utara pulau Noesa Kambangan ini terjadi proses sedimentasi akibat
pengaruh sungai Seraijoe. Tekanan arus sungai Seraijoe di pantai dan tekanan
arus teluk Sagara (yang didorong sungai Tjitandoei) menyebabkan arah timur laut
pulau (area tangkapan air) menjadi terjadi proses sedimentasi yang massif,
sehingga pulau kecil itu menyatu dengan daratan Jawa. Pada saat inilah diduga
kuat muncul perkampongan di sisi barat laut pulau yang kemudian diidentifikasi
sebagai kampong Donan. Pada peta-peta VOC, teridentifikasi suatu sungai yang
bermuara ke kampong Donan. Sungai ini terbentuk karena terjadi proses
sedimentasi dari arah teluk/danau Sagara Anakan. Sungai ini, yang notabene bermuara di kampong Donan kemudian disebut
sungai Tjidonan. Sungai Tjidonan ini sendiri pada dasarnya adalah
perairan/laut. Lalu bagaimana dengan sungai Tjilatjap sendiri?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Wilayah Geomorfologi Cilacap Zaman Kuno, Tempo Doeloe
dan Masa Kini: Wilayah Cilacap Masa ke Masa
Nama Tjidonan diduga kuat sudah eksis pada era VOC,
namanya Cadonan (lihat Daghregister, 13-12-1705). Disebutkan dua pasukan di Cartosoera
dipersiapkan untuk merebut Cadonan. Sebelumnya Banjoemas di land Bagelen, kuasa
Cartosoera telah dibebaskan sehubungan dengan kadatangan Herman de Wilde (lihat
Daghregister, 08-07-1705). Surat dari Luytenant Jurgen Christoffel
dari negorij Banjoemas diterima di Batavia dari Tagal (lihat Daghregister, 10-09-1705).
Sebagaimana diketahui Soesoehoenan Cartosoero sebelum tahun 1687 telah
menyerahkan wilayah Jawa bagian barat kepada Pemerintah VOC. Boleh jadi sejak
itu para pihak di Banjoemas tidak berkenan dan melakukan perlawanan. Yang
melakukan perlawanan ini adalah Raden Parwata Sari. Lalu untuk menjadi komandan
territorial di Banjoemas diperintahkan Kapten (Ambon) Bintang dari Tegal dengan
pasukannya yang kemudian membangun benteng di sungai Cartanagra (sungai Serayu),
Banjoemas (lihat Peta 1706). Disebutkan ada dua pemimpin local yang ditempatkan
di Banjoemas yakni Temanggoeng Raksanagara dan Temanggoeng Marta Joeda. Tidak
disebutkan kedua temanggung ini memimpin di wilayah mana.
Tampaknya nama (kampong) Donan juga telah menjadi
wilayah daerah aliran sungai (Cadonan/Tjidonan). Kampong/kota Donan dalam hal
ini diduga pusat perlawanan baru di wilayah Banjoemas (setelah pendudukan
district Banjoemas). Namun meski sudah dikenal sejak awal nama Banjoemas dan Tjidonan,
tetapi selanjutnya kurang terinformasikan. Boleh jadi hal itu wilayah pantai
selatan tidak lagi menjadi wilayah yang penting (dari potensi perdagangan).
Pada Peta 1724 di sebelah timur kampong Danon diidentifikasi negori Lombang.

Pada Peta 1750 sebelah timur kampong Donan, telah terjadi proses
sedimentasi (Kawasan pantai berpasir; zandland) di sepanjang pantai mulai dari
kampong Donan hingga ke arah timur sepanjang pantai hingga muara sungai Serajoe.
Batas antara daratan dengan (alluvial) dengan Kawasan pantai berpasir ini
terbentuk sungai yang mengalir dari arah timur ke barat di kampong Donan.
Sungai baru inilah, memang sungai kecil, kemudian disebut sungai Tjilatjap.
Seperti kita lihat nanti, akibat pendangkalan di muara sungai Serajoe, pada
permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di district Banjoemas (residentie)
dibangun kanal baru yang disebut kanal Kali Osso atau kanal Kali Soesoekan
(yang menghubungkan sungai Serajoe dan sungai Donan melalui (kampong) Tjilatjap.
Nama Tjilatjap pertama kali terinformasikan dari surat
Thomas S Raffles tahun 1814 (lihat Letters and Documents, Concerning His
Administration as Lieutenant Governor of Java, Addressed to the Chief
Government of India to Refute the Charges Brought Against Him by Major-General
Gillespie, 1814). Disebutkan atas informasi dari Residen Solo, kerap terjadi
perampokan di bay of Tjilatjap yang menyebabkan para penduduk dan petani sulit
membayarkan pejak wilayah. Thomas S Raffles berkeinginan berkunjung ke Noesa
Kambangan untuk merencanakan pembangunan baterai di pulau tersebut. Nama
Tjilatjap juga disebut Raffles dalam bukunya The History of Java yang
diterbitkan tahun 1818. Dalam Peta 1817 nama Tjilatjap diidentifikasi bersama
dengan nama Danon.

Seperti disinggung di atas, ketika terjadi proses sedimentasi di sisi
tenggara/timur pulau (Tjidonan), terbentuk sungai antara daratan pulau dengan
wilayah pesisir pantai (pantai berparis) dari arah timur laut ke barat daya di
sungai/selat Donan. Sungai kecil ini kemudian dikenal sebagai sungai Tjilatjap.
Pada sisi utara sungai Tjilatjap ini kemudian terbentuk kampong/pasar. Pasar di
kampong Tjilatjap ini diduga yang diidentifikasi dalam laporan Raffles pada
tahun 1814. Kampong Tjilatjap ini tepat berada di sebelah tenggara kampong
besar Donan. Oleh karena nama pasar di kampong Tjilatjap ini lebih dikenal luas
(dalam perdagangan) dibandingkan dengan kampong/desa induknya, maka ketika
Pemerintah Hindia Belanda menempatkan pakhuis di Tjilatjap pada tahun 1817,
sejak itu nama kampong/sungai Tjilatjap menjadi lebih dikenal lagi sehingga
pemerintah menjadikan nama Tjilatjap senagai nama (wilayah) administrasi. Satu
hal yang perlu dicatat dalam hal ini, sungai Tjilatjap yang melewati pasar, kemudian
pada tahun 1830an diintegrasikan dengan pembangunan kanal Kali Osso atau Kali
Soesoekan, yang menghubungkan kampong/pasar Tjilatjap di sungai Tjidonan dengan
kampong Pandan di si sisi barat hilir muara sungai Serajoe.
Nama [Tji]donan menjadi masa lampau, nama Tjilatjap menjadi
masa depan. Kawasan tersebut di masa lampau adalah eks suatu pulau kecil, yang
kemudian di masa lampau menyatu dengan daratan (Jawa) membentuk tanjong (tanjong
di sebalah utara pulau Noesa Kambangan). Dari sinilah awal, asal-asal usul nama
Tjilatjap, yang awalnya nama sungai, kemudian menjadi nama kampong dan nama
pasar, lalu kemudian menjadi nama ibu kota pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda
yang selanjutnya juga menjadi nama wilayah (onderregentschap dan regentschap/afdeeling).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak
1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta
Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun
di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis
artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.