Sejarah

Sejarah Banyumas (27): Majenang, Wilayah Cilacap; Riwayat Wilayah Dayeuhluhur dan Budaya Sunda Masuk Residentie Banjoemas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Nama
Majenang mirip nama Magelang. Tempo doeloe disebut Madjinang. Mengapa? Yang
jelas dalam perkembangannya nama Madjinang menghilang dan yang lestarri
kemudian adalah Madjenang. Bagaimana dengan sejarahnya? Mungkin ada yang ingin
menulisnya, tetapi sangat terbatas data yang ada. Namun sejarah Majenang tetaplah
penting karena disebut wilayah transisi budaya Jawa dan budaya Sunda. Mari kita
lacak.

 

Majenang
adalah kecamatan di Kabupaten Cilacap. Majenang dahulunya bagian dari kadipaten
Dayeuhluhur, dibubarkan masa perlawanan Pangeran Diponegoro. Seluruh wilayah
Kadipaten Dayeuhluhur, termasuk Majenang menjadi bagian dari Kabupaten
Banyumas, kemudian digabungkan ke wilayah Kabupaten Cilacap pada tahun 1960.
Kecamatan ini merupakan jalan utama lintas provinsi antara Jawa Tengah dan Jawa
Barat menghubungkan Cilacap dengan Kota Banjar. Sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Brebes, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cimanggu, sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Cipari, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Wanareja. Sebagian besar wilayah Majenang adalah pegunungan dan
selebihnya dataran, mulai dari ketinggian sekitar 100-1200 M dpl. Hampir semua
tanahnya subur, baik yang berupa pegunungan maupun dataran. Ada 3 sungai yang
cukup deras yaitu: Sungai Cijalu, Sungai Cilopadang, dan Sungai Cileumeuh. Hutannya
sangat lebat belantara dengan pohon hutan asli. Bukit-bukitnya sebagian besar
terjal dengan kemiringan 25 derajat sampai 75 derajat. Ditemuklan tambang emas
di desa Sadahayu (belum di eksplor). Majenang merupakan daerah
“peralihan” Sunda-Jawa. Artinya, di wilayah ini bahasa ibu yang
dipakai terdiri dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa.
(Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Majenang di wilayah
Cilacap? Seperti disebut di atas, sejarah Majenang kurang terinformasikan.
Namun wilayah Majenang menjadi penting karena terbilang batas budaya Sunda dan
budaya Jawa. Dalam hubungan ini penting untuk memahami riwayat wilayah
Dayeuhluhur dan budaya Sunda di Residentie Banjoemas. Lalu bagaimana sejarah Majenang
di wilayah Cilacap? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Majenang di Wilayah Cilacap; Riwayat Wilayah
Dayeuhluhur dan Budaya Sunda di Residentie Banjoemas

Kota Majenang yang sekarang yang menjadi ibu kota
kecamatan berawal dari suatu kampong/desa di masa lampau. Wilayah desa Majenang
dan desa Adjibarang menurut Raffles tahun 1815 masuk wilayah regentschap Dayeuh
Luhur (lihat Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford
Raffles, F.R.S. &c, 1830). Namun dalam hal ini terinformasikan Dayeuh Luhur
masuk wilayah mana (Chirebon, Preanger dan Kedoe).


Pada masa lampau, nama Majenang saling dipertukarkan antara Madjenang dan
Madjanang. Dalam peta juga ada yang ditulis sebagai Maginang dan Maganang. Mana
yang benar? Yang jelas pada masa ini adalah Majenang. Dalam buku nama tempat
yang disusun PJ Veth (1863) Madjanang dan Madjenang saling dipertukarkan alias
sama (tergantung dialek apa yang digunakan). Namun untuk nama tempat yang menggunakan
Madja, seperti kampong Madja, Madja Lengka, Madja Pada, Madja Pahit, Madjalaja
dan sebagainya. Tidak ada nama tempat Madje. Akan tetapi nama Madjenang, selain
di wilayah Tjilatjap, juga ditemukan nama kampong di Soerakarta dan di
Soerabaja.

Dalam pembentukan Residentie Banjoemas pada tahun
1831, wilayah Majenang termasuk dalam regentschap Adjibarang. Lalu beberapa
tahun kemudian nama regentschap berubah menjadi regentschap Poerwokerto. Tidak
lama kemudian di sebagian wilayah regentschap Banjoemas dijadikan menjadi satu
onderregentschap dengan ibu kota di Tjilatjap. Seiring dengan perkembangan di
Tjilatjap yang menjadi pusat perdagangan dimana dibangun pelabuhan,
ditingkatkan menjadi regentschap. Sehubungan dengan itu diangkat bupati di
Tjilatjap dan juga diangkat Asisten Residen di Tjilatjap. Asisten Residen yang
diangkat adalah JE de Meijier (lihat Algemeen Handelsblad, 04-07-1843).


Wilayah regentschap Tjilatjap dalam hal ini meliputi onderregentschap
Tjilatjap ditambah sebagai wilayah regentschap Poerwokerto. Wilayah yang
dipidahkan dari Poerwokerto ini meliputi district Dayeuh Luhur, district
Majenang dan Pegadingan. Dengan demikian district-district di wilayah
regentschap (afdeeling) Tjilatjap adalah: Tjilatjap, Adiredja, Pegadingan,
Madjenang, Dajeuhloehoer plus Noesa Kambangan. Berdasarkan pendataan yang dilakukan
pada tahun 1845 distribusi penduduk di wilayah afdeeling Tjilatjap sebagai
berikut: Tjilatjap sebanyak 9.535 jiwa; Adiredja sebanyak 22.928 jiwa;
Pegadingan sebanyak 10.467, Madjenang sebanyak 3.493 jiwa, Dajeuhloehoer 3.966
jiwa plus Noesa Kambangan sebanyak 1.544 jiwa (lihat Tijdschrift voor
Neerland’s Indie, 1846).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Riwayat Wilayah Dayeuhluhur dan Budaya Sunda di
Residentie Banjoemas: Majenang Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 



















*Akhir Matua
Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak
1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta
Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun
di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis
artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top