*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah
migrasi sebenarnya sezaman dengan pembentukan populasi penduduk di suatu
wilayah. Hal seperti itulah yang juga terjadi di wilayah Banyuwangi. Dalam
hubungan ini, di wilayah Banyuwangi, jika disebut populasi penduduk asli di
wilayah Banyuwangi adalah orang Osing, sejatinya adalah perpaduan populasi di masa
lampau. Pembentukan populasi sangat dipengaruhi oleh perpindahan.

Kampung
Mandar: Migrasi dan Adaptasi Komunitas Mandar dan Bugis-Makassar di Banyuwangi 1930-1980.
Skripsi. Wahyu Indah Hasanah. Universitas Airlangga (2019). Skripsi fokus
pada proses migrasi yang dilakukan orang-orang Mandar dan Bugis-Makassar ke
Banyuwangi serta strategi adaptasi apa yang digunakan sehingga mereka dapat
diterima. Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Pengumpulan data dilakukan
melalui penelusuran di perpustakaan dan kantor badan arsip sumber lisan dan
sumber foto. Sumber lisan didapatkan melalui wawancara dengan narasumber dari
Keluarga Adat Mandar dan seorang pemerhati sejarah lokal di Banyuwangi. Terjadinya
migrasi komunitas Mandar dan Bugis-Makassar ke Banyuwangi disebabkan faktor
keamanan dan ekonomi Sulawesi Selatan, memasuki wilayah Banyuwangi awal abad 18
melalui jalur perdagangan. Orang Mandar dan Bugis-Makassar tersebar di beberapa
desa, antara lain Sukojati Blimbingsari, Kepuh Pakisaji, Watubunjul Giri, Kenjo
Glagah. Strategi adaptasi dalam bertahan adalah strategi perang, perdagangan
dan perkawinan. Proses interaksi menghasilkan akulturasi budaya. Salah satu
budaya yang terjadi akulturasi adalah tradisi Petik Laut. Tradisi Petik Laut
dilaksanakan sesuai adat Mandar, namun di dalamnya juga terdapat Tari Gandrung
dari Banyuwangi. Sedangkan tradisi yang masih terjaga keasliannya, adalah
Saulak upacara adat meminta izin kepada nenek moyang sebelum melakukan sebuah
hajatan (https://repository.unair.ac.id/)
Lantas bagaimana sejarah migrasi di Banyuwangi?
Seperti disebut di atas, wilayah Banyuwangi menjadi salah satu tujuan migrasi. Bahkan
sejak zaman lampau. Migrasi dalam hal ini perpindahan populasi di Jawa dan perpindahan
ke Banyuwangi di pulau Jawa. Lalu bagaimana sejarah migrasi di Banyuwangi? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Migrasi di Banyuwangi; Perpindahan Populasi di Jawa
dan Perpindahan ke Banyuwangi di Pulau Jawa
Bagaimana proses terjadinya migrasi di wilayah
Banjoewangi di masa lampau sulit diketahui. Tidak ada data yang bisa
menjelaskan. Data yang berasal dari era Portugis hanya mengindikasikan adanya
misionaris yang membuka stasion di Banjoewangi. Tentu saja tidak ada kaitannya
dengan orang pendatang (migrasi), tetapi justru tentang orang asli sendiri yang
menjadi populasi penduduk di Banjoewangi (orang Osing yang beragama Hindoe)
yang menjadi subjek misionaris.
Jika narasi sejarah mengindikasikan kepercayaan Hindoe bermula di Jawa
sebelah barat, lalu meluas ke bagian timur (Kediri dan Malang), maka populasi
penduduk Hindoe di Banjoewangi merupakan perluasan lebih lanjut. Islamisasi di
Jawa yang dimulai dari pantai utara Jawa, menekan kehidupan Hindoe di selatan Jawa
bagian tengah. Migrasi Hindoe terjadi melalui darat dan laut pantai selatan ke
wilayah Banjoewangi (dan Bali). Hal itu dapat diperhatikan dari bentuk candi di
sekitar gunung Lawu dengan bentuk candi di Bali. Pulau Bali seakan menjadi ujung
pergeseran wilayah Hindoe di Jawa. Lalu mengapa tidak ada candi di wilayah
Banjoewangi? Apakah dalam hal ini pusat Hindoe di Bali termasuk mencakup
wilayah Banjoewangi?
Dinamika yang terjadi di (wilayah) Banjoewangi
dengan nama Balambangan mulai terungkap pada permulaan kehadiran Eropa/Belanda.
Saat itu penduduk (kerajaan Hindoe) Balambangan tengah terancam dari Mataram
(Islam) dari pedalaman. Para utusan Balambangan yang meminta bantuan yang
kebetulan bertemu dengan ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman di
perairan Japara (antara Rembang dan Tuban). Namun bagaimana hasilnya tidak
diktehaui.
Satu hal yang dilaporkan adalah bahwa ekspedisi Belanda yang singgah di
pelabuhan Arosbaja (di Madura bagian utara) pada bulan Juni 1596 mendapat perlawanan.
Perang tidak terhindarkan yang mana ekspedisi Belanda terusir. Dalam hal ini
tentu saja ada hiubungan timbal balik antara Madura dan Mataram (di hulu sungai
Bengawan Solo). Ini seakan menjelaskan bahwa
di wilayah Banjoewangi belum ada orang Madura maupun orang Jawa. Yang ada
diduga hanya orang asli Balambangan (orang Osing) beragama Hindoe. Sudah barang
tentu ada orang Bali (yang beragama Hindoe).
Ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman
tidak bisa melanjutkan navigasi pelayaran ke Maluku, karena salah satu kapal
mereka rusak di perairan laut Bali (sekitar Madura). Boleh jadi kerusakan itu
terjadi saat perang di Arosbaja. Ekspedisi harus kembali ke Belanda dengan
memutar haluan di pantai timur Lombok (selat Sape). Ekspedisi ini menemukan di
teluk Lombok sudah ada komunitas Japara (Islam) dan kemudian berhasil mencapai
pantai timur Bali (kini di Padang Bai). Radja Bali menerima mereka dengan baik.
Ekspedisi Belanda ini cukup lama di pantai timur Bali, sekitar dua bulan.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini, mengapa mereka diterima dengan baik dan
berdiam begitu lama? Tentu saja tidak hanya sekadar memperbaiki kapal untuk
meneruskan pelayaran ke Eropa. Boleh jadi Cornelis de Houtman telah merespon
permintaan utusan Balambangan.
Dengan mengecualikan hubungan dekat antara Balambangan
dan Bali, sejak kapan migrasi masuk ke wilayah Banjoewangi (baca: wilayah
Balambangan). Era ini diduga menjadi awal era migrasi ke Banyuwangi. Dalam hal
ini tidak hanya karena alasan geopolitik kawasan, juga data yang ada (tersedia)
hanya ditemukan sejak kehaditan Belanda (VOC).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perpindahan Populasi di Jawa dan Perpindahan ke
Banyuwangi di Pulau Jawa: Jawa, Madura, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.