*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Suatu
lapangan terbang dibangun ada alasannya. Alasan teknis, alasan strategis,
alasan komersil dan sebagainya. Sebaliknya setiap warga di suatu wilayah
membutuhkan layangan pesawat terbang. Untuk kebutuhan strategis, seperti
pertahanan dapat dibiayai pemerintah, tetapi jika kebutuhannya komersil harus
sesuai pengeluaran investasi dan penerimaan. Akan tetapi juga ada pertimbangan
teknis seperti kesesuaian pembangunan landasan dan eksisting jaringan lalu
lintas udara.

Bandar
Udara Banyuwangi (sebelumnya Bandara Blimbingsari), terletak di desa
Blimbingsari, kecamatan Blimbingsari. Landas pacu 2.500 M dan lebar 45 M.
Bandara ini diklaim sebagai bandara hijau pertama di Indonesia. Gagasannya
dimulai 1991-2000 lokasi pembangunan bandara di kecamatan Glenmore di bekas
lokasi lapangan terbang Blambangan. Lapangan terbang Blambangan itu sendiri sebuah
lapangan terbang pertanian dibangun 1970an untuk kegiatan pertanian sebagai
landasan pesawat capung untuk menyemprot pestisida. Pada saat itu anggaran
untuk proyek pembangunan bandara baru tersebut sudah disiapkan bahkan material
bangunan sudah sempat dikirim menuju lokasi di Glenmore namun proyek itu urung
terlaksana. Setelah melalui tahap kajian lebih lanjut lokasi bekas lapangan
terbang Blambangan tidak layak untuk dijadikan bandar udara karena topografi
wilayah kecamatan Glenmore yang bergunung-gunung. Kemudian, melalui keputusan
menteri (Kepmen) nomor 49 tahun 2003, ditentukanlah lahan untuk pembangunan
bandara yang baru yaitu berada di wilayah desa Blimbingsari saat itu masih
menjadi bagian dari wilayah kecamatan Rogojampi. Bandar udara Blimbingsari
Banyuwangi selesai 2010. Pada tahun 2017 bandara ini berubah nama menjadi
Bandar Udara Banyuwangi (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah lapangan terbang, mangapa
tempo doeloe tidak ada di Banyuwangi? Seperti disebut di atas, bandara
Banyuwangi yang ada sekarang terbilang relative baru. Mengapa tidak ada sedari
dulu. Apa pentingnya pendaratan darurat Lord Sempill’s dan bom pesawat Jepang
dijatuhkan di Banjoewangi. Lalu bagaimana sejarah lapangan terbang, mangapa tempo
doeloe tidak ada di Banyuwangi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe,
semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Lapangan Terbang, Mangapa Tidak Ada di Banyuwangi?
Pendaratan Darurat Lord Sempill’s 1935 dan Bom Jepang 1942
Pada tahun 1935 Lord Sempill’s dalam perjalanan dari Australia
ke Inggris dengan pesawatnya harus
mendarat di wilayah Banjoewangi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-02-1935). Pendaratan ini sangat
dramatis bagi Lord
Sempill’s. Mengapa? Pendaratan itu
di luar kehendaknya.
Disebutkan, saat Lord Sempill’s berada di Koepang (dari penerbangan dari Darwin), menelpon dan dia
menunggu pasokan bensin dari (lapangan terbang Mororembangan) Soerabaja. Namun
tidak kunjung datang. Dengan tangki yang terisi seadanya (kemungkinan masih
bisa sampai ke Soerabaja), Lord Sempill’s melanjutkan penerbangan
menuju Soerabaja. Namun, dia menghadapi angin
yang kuat, sampai Lord Sempill menyadari bahwa ketika berada di lepas pantai
utara Bali dia tidak akan bisa mencapai Soerabaja. Hujan yang sangat deras dan kabut mencegahnya
mendarat di lapangan terbang di pantai utara Bali dekat Singaradja, dan dia
memutuskan untuk mendarat yang tampak di kejauhan melihat lapangan alang-alang
di Baloeran dekat laut, yang dengan coba melihat padang rumput dimana masih ada
cahaya langit sore, dan dimana dia mungkin bisa mendarat jika perlu. Lord Sempill’s dengan risiko sangat
tinggi berhasil mendarat, di suatu tempat yang sangat sepi.
Pengalaman Lord Sempill’s bukan kisah dalam novel klasik berjudul Robinson
Crusoe. Lord
Sempill’s terdampar dengan cara pendaratan
di tempat sepi yang area banteng dan babi hutan. Robinson Crusoe terdampar dengan
cara berenang di suatu pulau kecil, entah dimana karena kapalnya telah hancur
dihantam badai. Robinson Crusoe bertahun-tahun sendiri di pulau tanpa pernah
ada kapal yang lewat di kejauhan. Untungnya Lord Sempill’s berada di daratan sepi
tapi masih memungkinkannya untuk mencari entah dimana, pemukiman penduduk dan
orang dapat menolongnya.
Lord Sempill’s masih schock, tetapi malam sudah tiba. Lord Sempill’s mempersiapkan dirinya untuk bermalam
sepanjang malam. Itu tidak terlalu buruk, karena dia makan terakhir kali saat
berangkat dari Timor Koupang, Dia hanya punya beberapa biskuit untuk dimakan,
sementara dia membawa satu pon kopi yang belum dipanggang. Keesokan paginya tindakan
pertamanya adalah membuka koper pakaian dan dengan itu di lapangan di depan
pesawatnya membuat tanda Q dan P; Lord Sempill’s berharap ada seorang pilot
yang lewat akan menafsirkannya kode itu dengan benar! sebagai huruf pertama
dari kata Patrol (bensin). Tindakan kedua adalah melakukan survei kawasan dan dia
melihat beberapa penduduk asli di kejauhan di dekat pantai, yang tampaknya
sedang memancing. Malam saat istirahat banyak monyet,
dan kawanan nyamuk yang haus darah. Keesokan harinya hari Selasa Lord Sempill’s
dengan hanya berbekal compass sebagai pemandunya, dia tanpa gentar melanjutkan
perjalanan melewati medan yang bervegetasi lebat, dan akhirnya saat hari sudah
siang. dia menemukan jalan raya antara Sitoebondo dan Banjoewangi. Setelah
mengikuti jalan ini beberapa saat ke arah selatan, dia melihat pemukiman kecil
penduduk asli yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Lord Sempill’s, yang
hanya makan delapan biskuit dari Sabtu malam hingga Selasa sore, mencoba
menunjukkan kepada penduduk desa bahwa dia sangat lapar, apa yang dia katakan
mereka tidak mengerti. Namun dia akhirnya berhasil menjelaskannya kepada
mereka, terutama melalui bahasa isyarat, dan setelah ini dilakukan, penduduk
kampung berusaha memberinya minuman dan makanan. Lord Sempill sangat terkesan
dengan keramahan yang dia terima dari penduduk asli yang rendah hati ini. Akhirnya
sebuah bus datang dari arah Sitoebondo.
Dalam beberapa hari Lord Sempill’s mulai bisa mengatasi
masalahnya. Berbeda dengan Robinson Crusoe yang begitu lama, pakaiannya tidak
terpakai lagi dan harus membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan vegerasi yang
ada di pulau. Robinson Crusoe hanya hidup dengan sisa pakaian di badan saat
mendarat di pulau. Tidak demikian dengan Lord Sempill’s, yang dompetnya masih utuh sehingga masih ada
uang untuk membayar bus ke Banjoewangi dan mendapat layanan hotel di kota untuk
menginap sambil menunggu bantuan datang dari lapangan terbang Soerabaja.
Lord Sempill’s tiba di malam hari, di hotel
bertemu seorang pria Soerabaja, Ten Have, yang sangat membantunya. Kemudian
seorang karyawan salah satu perusahaan minyak juga datang, dan bersamanya, Lord
Sempill mengatur pengangkutan bensin ke pesawatnya. Siang itu juga, sekitar
pukul 11 mereka berangkat dengan perahu motor dari KPM menuju Tandjong Merak,
di mana mereka tiba sekitar pukul tiga dini hari. Sekitar pukul lima, dengan
bantuan beberapa penduduk asli yang telah dibawa ke atas kapal, bensin dibawa
ke darat di tempat yang ditandai oleh Lord Sempill’s untuk perjalanannya. Dari
sini masih harus bersusah payah beberapa kilometer melewati alang-alang tinggi
untuk mencapai pesawat. Setelah mengisi bahan bakar, Lord Sempill’s naik ke
pesawat, mesin dihidupkan, meskipun medannya tidak menguntungkan, lepas landas sangat
sukses. Dua jam kemudian dia tiba di Darmo (Soerabaja), benar-benar lelah, tapi
senang petualangannya berakhir dengan baik. Atas semua bantuan yang diberikan
kepadanya, Lord Sempill’s sangat berterima kasih, terutama atas pengiriman
kapal terbang angkatan laut, dimana dia pergi secara pribadi untuk
mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada komandan Morokrembangan.
Di Banyuwangi, meski tidak diinginkan, fakta
bahwa belum lama telah terjadi landing dan take-off di Tanah Banjoewangi.
Apakah ini pertanda bahwa di wilayah Banjoewangi sudah seharusnya ada lapangan
terbang dibangun?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pendaratan Darurat Lord Sempill’s 1935 dan Bom Jepang
1942: Realisasi Lapangan Terbang Pada Masa Kini
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.