Sejarah

Sejarah Bogor (25): Sejarah Awal Sekolah Kedokteran Hewan Bogor; Dr. Sorip Tagor, Pribumi Pertama Bergelar Dokter Hewan




false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































HJ Smit Tokoh Reformasi
Sekolah Kedokteran Hewan.
Tokoh terpenting di belakang Veeartsen Schoool te Buitenzorg adalah HJ
Smit. HJ Smit adalah seorang Indo kelahiran Batavia. Lulus kandidat dokter
hewan di Veertsen School di Untrech pada tahun 1904 (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 01-08-1904). HJ Smit melanjutkan studi ke tingkat doktoral
dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1908. Berdasarkan resolusi Menteri Koloni
JAR Avis dan JH Smit diangkat sebagai dokter hewan untuk GG van Nederlandsch
Indie (Arnhemsche courant, 15-08-1908). Dr. HJ Smit kemudian ditetapkan sebagai
kepala laboratorium kesehatan hewan Departmen van Landbouw di Buitenzorg
(Haagsche courant, 17-12-1908).

Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886

Pelatihan
dokter hewan pribumi (magang) sudah pernah dilakukan jauh sebelum Veeartsen
School di Buitenzorg didirikan. Salah satu dokter hewan pribumi yang
teridentifikasi adalah Si Badorang gelar Radja Proehoeman asal Pakantan, Mandailing.
Radja Proehoeman berdinas di Kinali (kini di Pasaman Barat) tahun 1886 (Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Tahun 1897 Radja Proehoeman berdinas
di Paijacoemboeh (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1897).
Dokter hewan Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1906 (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906). Besar dugaan dokter
hewan Radja Proehoeman yang merekomendasikan Sorip Tagor dari Padang Sidempoean
untuk melanjutkan studi kedokteran hewan ke Buitenzorg. Radja Proehoeman adalah
ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Sorip Tagor diterima di Veeartsen School
Buietenzorg tahun 1907; Sjoeib Prohoeman diterima di sekolah kedokteran STOVIA
di Batavia tahun 1909 (lulus 1917, tahun 1926 melanjutkan studi ke Belanda dan
meraih Ph.D tahun 1930).

Ketika Dr. HJ Smit ditempatkan di Buitenzorg, Sorip Tagor baru tingkat
dua di Veeartsen School te Buitenzorg. Dr. HJ Smit juga adalah chef van het
Herbarium te Buitenzorg (lihat De Sumatra post, 21-03-1910). Disebutkan Dr. Hendrik
Johannes Smit, Kepala Herbarium di Buitenzorg telah diberi gelar doktor honoris
causa dalam bidang Matematika dan Ilmu Alam (Wis- en Natuurkunde). Dr. HJ Smit
kemudian diangkat sebagai dosen di Inl. Veeartsen School te Buitenzorg dengan
tetap merangkap jabatan di laboratorium (Algemeen Handelsblad, 29-01-1911). Sorip
Tagor diangkat sebagai asisten dosen di Inl. Veeartsen School (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada saat inilah Sorip Tagor
sebagai asisten dari Dr. HJ Smit. Boleh jadi Dr. HJ Smit yang masih muda
mendorong Sorip Tagor agar segera melanjutkan studi kedokteran ke Utrecht,
tempat dimana HJ Smit pada tahun 1908 mendapat gelar doktor di bidang
kedokteran hewan.  Pada akhir tahun 1913
Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda.

Dalam perkembangannya pada tahun 1916 Dr. HJ Smit
dosen Veeartsen School terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Buitenzorg (Bataviaasch
nieuwsblad, 18-08-1916). Pada tahun ini, Sorip Tagor di Utrecht lulus kandidat
dokter hewan (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Setelah delapan tahun
berdinas, Dr. HJ diberi cuti 10 bulan untuk ke Belanda (De Telegraaf, 07-04-1917).
Kesempatan ini tentu Dr. HJ Smit akan mengunjungi juniornya yang boleh jadi
sudah menjadi sahabatnya, Sorip Tagor  di
Utrecht.
Sorip
Tagor di Belanda telah berubah menjadi tokoh sentral di Perhimpoenan Hindia. Sorip
Tagor tidak hanya mempelopori Sumatranen Bond (1917) tetapi juga tokoh kritis
di dalam Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi dalam pertemuan antara Dr. HJ Smit dan
mahasiswa Sorip Tagor berdiskusi intens tentang upaya peningkatan pembangunan
di Hindia khususnya peningkatan mutu pendidikan terutama pendidikan tinggi. Dr.
HJ Smit yang seorang Indo juga aadalah anggota dewan kota di Buitenzorg. HJ
Smit dan Sorip Tagor telah terjun ke dunia politik.
Sepulang dari Belanda, HJ Smit di majalah kedokteran
hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXX
sebanyak empat halaman tentang reformasi pendidikan di sekolahnya sangat
mendesak (Bataviaasch nieuwsblad, 13-11-1918). Disebutkan pejuang yang tidak
kenal lelah untuk perbaikan dokter hewan di Hindia, Dr. H.J. Smit, seorang guru
di NIVS telah menulis bagaimana cara mereformasi Veeeartsen School di
Buitenzorg. Penulis menunjukkan bahwa reformasi pendidikan di sekolahnya sangat
dibutuhkan. Dosen harus diperbanyak dan diperluas. Dengan 35 matakuliah  hanya terdiri dari tiga dosen tetap dan tiga
dosen tidak tetap termasuk untuk menangani laboratoeium kesehatan hewan di
Buitenzorg. Jika begini kondisinya, pengetahuan mahasiswa tidak akan pernah
berkembang, sementara untuk sekolah semacam ini di Belanda dibimbing oleh 11
dosen tetap dan 16 orang asisten. Ini tidak sejalan dengan perbaikan yang sudah
dimulai pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah MULO. Ini harus dimulai sekarang,
yang mana kondisi yang sekarang terlalu rendah secara rata-rata. Harapan
penulis juga berlaku di Middelbare Lambouwschoool. Juga penulis mengusulkan
untuk memperpanjang masa studi menjadi enam tahun, Pada waktunya nanti
persyarata masuk ijazah AMS. Hanya dengan demikian dapat pelatihan teori dan
praktik selama 5 tahun bersama-sama memberikan hasil yang baik. Penulis juga
perlu meninjau kembali sistem penggajian. Siapa yang ada di Voiksraad, siapa
yang ingin mencatat subjek penting ini?. Demikian HJ Smit dalam tulisannya yang
mengkritisi pemerintah dan menantang Volksraad.

Dr. HJ Smit diangkat sebagai Direktur Veeartsen School
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-08-1919). Disebutkan diangkat
sebagai hubungan antara Direktur Nederlandsch Indische Veeartsen School. Dr. HJ
Smit, sekarang seorang guru, juga seorang direktur sekolah. Dalam majalah kedokteran
hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXXII
(1920) Dr, HJ Smit tercatat sebagai ketua redaksi. Majalah ini adalah satu-satu
majalah para dokter hewab di Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Dalam daftar
keanggotaan jumlah dokter hewan di Hindia Belanda sebanyak 73 orang yang mana
terdapat 18 yang bergelar doktor (Ph.D) termasuk Dr. HJ Smit, Ph.D. Dalam
daftar ini juga terlihat hanya empat orang yang berposisi sebagai dosen di NI Verartsen
School te Buitenzorg. Dr, HJ Smit masih tercatat sebagai direktur Veeartsen
School hingga tahun 1924 (lihat De Indische courant, 11-01-1924). Pada tanggal
30 Juni 1928 sekolah kedokteran yang baru Nederlandsch Indische Veeartsen
School (NIVS) dibuka secara resmi di Buitenzorg (De Indische courant, 02-07-1928).
Disebutkan sebagai pembicara pertama Dr, HJ Smit, yang bertindak sebagai direktur
sekolah yang baru dan memberikan sejarah singkat pendidikan kedokteran hewan di
Hindia Belanda (yang diringkas sebagai berikut): ‘mulai dari dua dokter hewan
pertama (lulusan Belanda) di Hindia tahun 1851 dan menjadi 10 orang di tahun
1853 (menjadi 73 pada tahun 1920,pen); pribumi pertama kali dilatih mulai
tanggal 6 Agustus 1860 sebagai pilot dan hanya lima pribumi yang sesuai (semua
dari keluarga biasa, tidak dari aristokrasi dan juga tidak ada anak-anak kepala).
Sekolah sangat sederhana dimana manajemen dan pendidikan dipercayakan kepada
dokter hewan pemerintah di Soerabaja, Van der Weyde; dalam sembilan tahun
sekolah itu hanya menghasilkan dokter hewan pribumi sebanyak delapan orang dan
kemudian ditutup tahun 1875. Pada tahun 1880 dirancang kembali program untuk melatih
dokter hewan pribumi dari sebanyak sembilan orang pribumi yang ujiannya
dilakukan di Poerwakarta hanya menghasilkan delapan dokter hewan pribumi; selanjutnya
baru kemudian ditetapkan  pendirian
sekolah berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 24 Januari 1907 atas usul Direktur
Pertanian, Prof. Melchior Treub. Rancangannya dilakukan dokter hewan [JKF de] Does
di Laboratorium Buitenzorg yang dikaitkan dengan permulaan sekolah dengan
kursus empat tahun; sekolah dimulai dengan dua murid, keduanya dari Sekolah
Pertanian, dimana mereka memiliki ijazah akhir, dan atas dasar itu mereka
diterima segera di tahun ketiga Veeartsenijschool; dua sekolah ini dibawah
mantan kepala museum zoologi, Dr. Koningsberger; enam bulan kemudian (1908) datang
Dr, de Blieck (sebagai kepala laboratorium kesehatan hewan); pada tahun 1909
ditugaskan merangkap lab dan sekolah dan pada tahun 1911 diangkat sebagai
direktur sekolah (dengan tetap bekerja di lab); sekolah ini selalu dihubungkan
dengan de Blieck dan Treub sebagai pendiri; nama sekolah sebagai Inlandsch
Veerartsenschool baru diberikan 1910; dan seterusnya…’.
Pada
tahun 1929 karena sudah berdinas selama tujuh tahun Dr. HJ Smit diberi cuti ke
Eropa selama sembilan bulan (Haagsche courant, 18-02-1929). Untuk posisi
direktur  sekolah adalah Dr. C. Bubberman,
dosen di sekolah itu (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-03-1930). Setelah pulang
dari Eropa, Dr. HJ Smit diangkat (kembali) sebagai direktur Ned. Ind, Veeartsen
School te Buitenzorg (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-06-1930).
Dr, HJ Smit diberhentikan secara hormat (pensiun) sebagai direktur Nederlandsch
Indische Vetartsen School terhitung 18 Desember dengan ucapan terima kasih atas
jasa yang diberikan kepada negara (De Sumatra post, 01-12-1932). Tampaknya
setelah pensiun, HJ Smit masih terdeteksi di Buitenzorg (Bataviaasch nieuwsblad,
13-05-1935) maupun di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1935). Setelah beberapa
tahun kemudian diberitakan Dr. HJ Smit diangkat sebagai directeur van het Bureau
voor ‘s Rijks Geschiedkundige Publicatiën, te ‘s-Gravenhage (Nederlandsche
staatscourant, 09-03-1949).
Pada
era Sorip Tagor, Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging) memulai ‘memanaskan
mesin’ rezim politik. Selama ini Perhimpunan Hindia masih sebatas
memperjuangkan isu-isu pembangunan khususnya pendidikan, pertanian dan ekonomi.
Organisasi ini semakin loyo sejak Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1913.
Pendirian Sumatranen Bond di Belanda oleh Sorip Tagor 1917 menjadi jalan keluar
dalam menghadapi persoalan kebangsaan di Perhimpoenan Indonesia.
Lalu pada tahun 1919 Dahlan Abdoellah, sekretaris
Sumatranen Bond menjadi ketua Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang
menjadi awal perubahan haluan di Perhimpoenan Hindia dari incremental ke arah
yang lebih radikal. Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ
Perhimpoenan Hindia pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya
mengatakan bahwa ‘studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi’. Sorip
Tagor  kata-kata pedas mengatakan ‘jika
Perhimpoenan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun
dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa
datang’. Sorip Tagor juga dalam tulisan mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal
Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di
Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze  et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia
di negeri Belanda, 1600-1950).
ALUMNI KWEEKSCHOOL PADANG SIDEMPOEAN. Dalam Kongres Gabungan (Indonesisch Verbond) yang diadakan di Belanda,
Sorip Tagor dan kawan-kawan berpartisipasi (Algemeen Handelsblad, 02-02-1919).
Kongres Indonesia ini adalah gabungan organisasi-organisasi mahasiswa orang
Belanda (terutama Indo), Tionghoa dan pribumi (Perhimpoenan Indonesia), Ketua
komite kongres ini adalah HJ van Mook (kelak sebagai Letnan General NICA). Yang
cukup mengemuka dalam kongres ini adalah bahwa Batavia harus membuka jalan bagi
Leiden, Wageningen dan Utrecht dan lainnya di Indonesian. Hanya pendidikan
tinggi yang dapat mengisi kekosongan yang ada di Hindia. Dan para guru pertama-tama
harus datang dari Belanda, untuk secara bertahap dilengkapi oleh guru-guru
pribumi. Sekolah kedokteran hewan dan perguruan tinggi pertanian yang pada saat
ini sebagai pelatihan harus diubah menjadi hoogesehool. Tan Ping Se mengatakan
bahwa universitas bukan hadiah, tetapi kemerdekaan Indonesia. Kami ingin
melepaskan diri, tidak hanya di pendidikan tetapi juga di area ekonomi (tepuk
tangan). Namun demikian diantara yang hadir dalam forum ada juga yang
menentangnya (tidak ingin Hindia mandiri, tetapi selalu tergantung Negeri
Belanda).
Jika melihat tulisan Dr. HJ Smit (1918) tentang reformasi pendidikan di
Veeartsen School, tampaknya sejalan dengan hal yang mengemuka di dalam Kongres
(gabungan mahasiswa) Indonesia tahun 1919. Sorip Tagor dan kawan-kawan dari
Perhimpoenan Indonesia di kongres tersebut tampak bertarung habis-habisan untuk
kepentingan Indonesia. HJ Smit dan Sorip Tagor jelas barada dalam satu barisan
kaum reformis pendidikan di Hindia.
Mangapa
Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor
dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip
Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan
Casajangan adalah actor pertama pergerakan di Belanda yang kerap memberikan
kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh
kalangan cendekiawan di Belanda.
Soetan Casajangan, sebelum pulang ke tanah air,
pada tahun 1913 menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan
Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat
melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: ‘Indische Toestanden
Gezien Door Een Inlander’ (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh
penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang
mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya
Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia.
Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi
merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan
munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh
Soetan Casajangan) dan Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo). Buku ini sangat
mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda
maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang
diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa.
Saat
buku ini diberitakan di surat kabar, Dr. Soetomo baru pulang dari tugas di Deli
(1911-1914) berpidato di rapat umum yang dilaksanakan di Boedi Oetomo cabang
Batavia. Dr. Soetomo mengatakan kontrak kuli (asal Jawa) di Deli tidak adil dan
sangat menderita. Dr. Sotomo lebih lanjut mengatakan ‘kita tidak bisa (lagi)
berjuang sendiri (melihat situasi di Deli). Kita harus berjuang bersama. Orang
luar Jawa banyak yang terpelajar terutama dari Tapanoeli’. Sejak inilah Dr.
Soetomo (meski sebagai pendiri tetapi terkooptasi oleh senior) melihat Boedi
Oetomo telah salah jalan (hanya terbatas dan bersifat kedaerahan di Jawa,
Madura, Bali dan Lombok sesuai statuta Boedi Oetomo).
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan
langsung bergabung dengan Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi Dr. Soetomo telah
memahami arah haluan politik Perhimpoenan Hindia sudah lebih radikal (sejak
kepengurusan Dahlan Abdoellah dan teguran Sorip Tagor). Haluan inilah yang
ditemukan Dr. Soetomo ketika menyadari Boedi Oetomo tidak bisa berjuang
sendiri. Dr. Soetomo di Belanda semakin intens di Perhimpoenan Hindia dan
kemudian menjadi ketua pengurus. Untuk sekadar tambahan: Bahkan hingga pada kongres
Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo masih muncul suara-suara di forum Boedi
Oetomo (kedaerahan) yang menyatakan bahwa “Boedi Oetomo menuntut kemerdekaan di
Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar Jawa’. Suara-suara ini
sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo yang reformis di dalam
kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut. Para reformis Boedi
Oetomo saat kongres tersebut antara lain: Dr. Sardjito, Ph.D (ketua Boedi
Oetomo cabang Batavia). Dr. Sardjito, Ph.D sendiri baru pulang studi dari
Belanda (anggota Perhimpoenan Hindia di era kepengurusan Dr. Soetomo).  Dr. Sardjito, Ph.D kelak menjadi Rektor
Universitas Gadjah Mada (yang pertama).
Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) telah memainkan peran penting
di awal pergerakan politik di lingkungan mahasiswa. Sorip Tagor dan Dahlan
Abdoellah sebagai pendobrak dalam hal ini. Pada era kepengurusan Dr. Soetomo (1922)
Perhimpoenan Hindia diubah namanya menjadi Indonesiasch Vereeniging dan di era
kepengurusan Mohamad Hatta dipertegas dengan nama baru yakni Perhimpoenan
Indonesia (PI).
Indische Vereeniging digagas oleh Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan yang dirsemikan pada bulan Oktober 1908 di
Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama. Soetan Casajangan sendiri
tiba di Belanda pad tahun 1905 dan saat itu jumlah mahasiswa Indonesia baru
lima orang. Ketika jumlahnya sekitar 20 orang pada tahun 1908 Soetan Casajangan
menggagas didirikannya Indisch Vereeniging yang bersifat nasional untuk
merespon balik pendirian Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908 (yang bersifat kedaerahan).
Soetan Casajangan kembali ke tanah air pada tahun 1913. Soetan Casajangan
ditempatkan sebagai guru Eropa di Buitenzorg. Saat inilah, sebelum Sorip Tagor
berangkat studi ke Belanda kedua tokoh mahasiswa ini intens berdiskusi. Soetan
Casajangan dan Sorip Tagor sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.
Di
dalam Perhimpoenan Indonesia, Soetan Casajangan adalah pelopor (1908-1911). Sorip Tagor dan
Dahlan Abdoellah (1919) sebagai pendobrak; lalu Soetomo (1921) dan Mohamad Hatta (1926-1930) sebagai
penegak; kemudian Parlindoengan Lubis sebagai penerus (1936-1940).
Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean, alumni Kweekschool
Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan pendidikan pribumi.
Ketika tengah kuliah di negeri Belanda (1905-1911), sepak terjang Soetan Casajangan sudah
diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch Vereeniging, karena itu Soetan
Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para
ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk
berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911,
Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman
yang berjudul: ‘Verbeterd Inlandsch Onderwijs’ (peningkatan pendidikan
pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:
‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and
Gentlemen).
‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa
saya…cinta saya kepada ibu pertiwa (tanah air) tidak pernah luntur…dalam
memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang
seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini).
Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga
untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya
ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih
tinggi…hak yang sama bagi semua…sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara ‘coklat’ dan ‘putih’ dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi)’. 
Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang
mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di
Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang
di depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai
perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Statement
ini juga terdapat dalam buku karya Soetan Casajangan yang diterbitkan. Statement
ini merupakan kesimpulan buku tersebut. Revolusi ala Soetan Casajangan antara
coklat dan putih di dalam pendidikan (1911) telah dipertegas Sorip Tagor dengan
penyatataan ‘studi dan politik sama pentingnya’ (1919) dan dipertajam Dahlan
Abdoellah dalam Kongres Indonesia tahun 1919 dengan menyatakan ‘Wij
Indonesier’.
Mungkin
anda bertanya-tanya, mengapa tidak terdapat alumni pada tahun-tahun awal
keberadaan Veeartsen School te Buitenzorg yang berasal dari Buitenzorg.
Masalahnya bukan di situ. Di wilayah West Java, tentu saja di Priangan dan
Buitenzorg sudah terdapat dokter-dokter hewan orang Belanda. Akan tetapi di
wilayah endemik penyakit hewan yang mana populasi ternak cukup banyak yang
terdapat di wilayah yang jauh jangkauan dokter hewan Belanda menjadi terbatas.
Untuk itu didatangkan siswa-siswa untuk dilatih di laboratorium-laboratorium
kesehatan hewan apakah di Soerabaja atau di Buitenzorg. Namun siapa yang
menjadi kandidat untuk dilatih menjadi dokter hewan pribumi? Mereka itu adalah
guru-guru atau siswa-siswa yang baru lulus dari sekolah guru (kweekschool).
Dokter hewan Radja Proehoeman (ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D)
adalah yang merekomendasikan Sorip Tagor untuk melanjutkan studi ke Veeartsen
School yang akan dibuka di Buitenzorg tahun 1907. Radja Proehoeman sebelum
mengikuti pelatihan dokter hewan adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang
Sidempoean (lulus 1882). Alumni lainnnya dari sekolah ini adalah Dja Endar
Moeda, lulus tahun 1884. Adik kelas mereka di Kweekschool Padang Sidempoean
salah satu diantaranya Soetan Casajangan (lulus tahun 1887). Guru terkenal di
Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen (kelak lebih
dikenal sebagai penyusun tatabahasa Melayu dengan ejaan Ophuijsen).
Sekolah
guru (kweekschool) Padang Sidempoean dibuka pada tahun 1879. Sekolah guru ini
adalah sekolah guru yang diproyeksikan sebagai pengganti sekolah guru
(kweekschool) Tanobato. Pada tahun 1873 Kweekschool Tanobato ditutup, karena
kepala sekolahnya, Willem Iskander pada tahu 1874 berangkat studi kembali untuk
mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda. Willem Iskander juga membawa tiga
guru muda ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Ketiga guru muda tersebut
adalah Raden Soerono dari Soeracarta, Raden Adi Sasmita dari Madjalengka
(Priangan); dan Banas Lubis dari Tapanoeli. Setelah usai studi kandidat guru
Eropa tersebut atas beasiswa wajib kembali ke kampung halaman masing-masing
untuk meningkatkan mutu sekolah guru di Magelang (Soerono) dan sekolah guru di
Bandoeng (Adi Sasmita). Willem Iskander akan diproyeksikan sebagai kepala
sekolah (direktur) dan Banas Lubis sebagai guru di Kweekschool Padang
Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879. Sebelumnya, Sati Nasution alias Willem
Iskander pada tahun 1857 berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akte guru.
Setelah selesai studi pada tahun 1861 kembali ke kampung halaman di Mandailing
dan pada tahun 1862 membuka sekolah guru (kweekschool) Tanobato. Sekolah guru
ini tahun 1865 diakusisi pemerintah dijadikan sebagai sekolah guru negeri
ketika di Hindia Belanda (yang pertama di Soeracarta, 1851; dan yang kedua di
Fort de Kock, 1856; serta yang keempat di Bandoeng, 1866). Catatan: Kweekschool
Tanobato (Willem Iskander) dan Kweekschool Padang Sidempoean (Charles Adrian
van Ophuijsen, seorang Indo) adalah dua sekolah guru terbaik di Hindia Belanda
pada era yang berbeda.
Radja Proehoeman, dokter hewan generasi pertama
dalam hal ini menjadi tokoh penting di belakang Dr. Sorip Tagor. Sementara Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah tokoh penting sebagai pelopor dan pendiri
organisasi kebangsaan yang pertama yang diberi nama Medan Perdamaian.
Organisasi ini didirikan oleh Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900.
Setelah Medan Perdamaian eksis selama tujuh tahu baru kemudian didirikan
organisasi kebangsaan kedua yakni Boedi Oetomo (1908). Dalam penetapan statuta
Boedi Oetomo dalam kongresnya yang pertama mengacu pada eksistensi Medan
Perdamaian. Di dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta,
keberadaan Medan Perdamaian turut dibicarakan. Namun hasil kongres dengan
penetapan justru bersifat kedaerahan dan terbatas di Jawa dan sekitar. Padahal
Medan Perdamaian bersifat nasional. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda, direktur
Medan Perdamaian mengirim bantuan sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan
di Semarang. Sifat kedaerahan Boedi Oetomo (yang disahkan pada tanggal 4
Oktober 1908) inilah yang membuat Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di
Belanda meradang dan lalu menginisiasi dan membentuk organisasi mahasiswa yang
bersifat nasional Indisch Vereeniging 25 Oktober 1908, Soetan Casajangan adalah
adik kelas Dja Endar Moeda dan Radja Proehoeman di Kweekschool Padang
Sidempoean. Soerip Tagor kemudian juga meradang di Belanda ketika anggota
Indisch Vereeniging mulai condong ke Boedi Oetomo.
Soetan
Casajangan lulus Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi
menjadi guru sekolah di Padang Sidempoean selama 17 tahun, Soetan Casajangan
berangkat studi ke Belanda tahun 1905 untuk mendapatkan akte kepala sekolah
(seperti yang dilakukan Willem Iskander dulu). Jadi boleh dikata Soetan
Casajangan di Belanda sudah sangat dewasa dan memiliki pikiran yang matang.
Pada saat kedatangannya pribumi yang kuliah di Belanda baru lima orang
(termasuk Soetan Casajangan). Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa sekitar
20an orang dan bersamaan dengan perubahan orientasi Boedi oetomo, Soetan
Casajangan mempelopori didirikannya Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan
pendiri Indisch Vereeniging adalah adik kelas Dja Endar Moeda pendiri Medan
Perdamaian, organisasi kebangsaan pertama. 
Demikianlah kontribusi para guru dari Kweekschool
Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda, pendiri organisasi kebangsaan pertama yang
mengantarkan Soetan Casajangan untuk mendirikan Indisch Vereeniging (organisasi
mahasiswa pertama). Lalu, Radja Proehoeman (dokter hewan generasi pertama)
mengantarkan Sorip Tagor yang menjadi dokter hewan Indonesia pertama. Dja Endar
Moeda adalah kakek dari Dr. Ida Lomongga, Ph.D (perempuan Indonesia yang meraih
gelar Ph.D); Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr, Sjoeib Proehoeman, Ph.D
(dokter bergelar Ph.D). Soetan Casajangan adalah anak dari Maharadja Soetan
(murid langsung Willem Iskander, alumni pertama Kweekschool Tanobato).
Tentu saja jangan dilupakan peran guru-guru yang lain. Dr. Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D ahli hukum pertama orang Batak adalah anak
dari seorang guru alumni Kweekschool Padang Sidempoenan (1892); Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D (Direktur Eijkman Institut yang dibunuh Jepang) adalah anak
seorang guru dari Mandailing; Dr. Aminoedin Pohan, anak seorang guru alumnik
Kweekschool Padang Sidempoean; dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI yang kedua) adalah  anak seorang guru di Padang Sidempoean. Namun
sayang sekolah guru Padang Sidempoean harus ditutup tahun 1892 karena defisit
pemerintah. Bagi siswa-siswa di Afdeeling Padang Sidempoean diarahkan ke
sekolah guru di Fort de Kock. Alumni sekolah guru Fort de Kock yang berasal
dari Padang Sidempoean adalah Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan
(alumni pertama Middelbare Lambouweschool Buietenzorg tahun 1914). Alumni
lainnya Kweekschool Fort de Kock adalah Dahlan Abdoellah sebagaimana diketahui
Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah adalah tokoh penting di Indische Vereeniging
dan Sumatra Sepakat (Sumantranen Bond) di Belanda.
Kita sebagai penerus yang sekarang, di era
informasi ini, kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka semua para
pionir yang telah berkiprah lebih awal pada satu abad yang lalu. Kita hanyalah
sekadar follower.

Ketika
harus mengantarkan anak saya mendaftar di Institut Pertanian Bogor beberapa
tahun lalu tampak gedung rektorat diberi nama Andi Hakim Nasution, Saya, yang
juga pernah kuliah dan alumni ‘kampus hijau’ ini pada era tahun 1980an, hanya
bisa menunduk memberi rasa hormat kepada para pionir. Tidak hanya kepada Andi
Hakim Nasution tetapi juga kepada koleganya yang lain. Tanpa bermaksud
mengabaikan peran tokoh yang lainnya, secara khusus saya harus memberi rasa
hormat kepada ayahnya Dr. Anwar Nasution alumni Veeartsen School (1930), kepada
Soetan Kenaikan, alumni pertama Middelbare Lambouw School (1914); kepada Dr.
Sorip, alumni Veeartsen School (1912) yang menjadi dokter hewan Indonesia
pertama (1920), juga kepada dokter hewan generasi pertama Radja Proehoeman.
Veeartsen School dan Lambouw School te Buitenzorg adalah cikal bakal Institut
Pertanian Bogor. Tentu saja kepada Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan yang
telah mempelopori dengan sadar dalam proses awal pembentukan negara ini:
Indonesia Raya.
Last
but not least: Saya juga salut kepada Sati Nasution, pribumi pertama yang studi
ke Eropa/Belanda pada tahun 1857. Ibarat kata tuntutlah ilmu itu walau jauh ke
Eropa. Saat itu pelayaran ke Eropa masih via Afrika Selatan (terusan Suez baru
dibuka tahun 1869). Sati Nasution adalah adik kelas dari Si Asta di sekolah
rakyat di Panjaboengan. Pada tahun 1854 Si Asta dari Mandailing dan Si Angan
dari Angkola (Afdeeeling Mandailing en Angkola) diterima di sekolah kedokteran
di Batavia. Mereka berdua adalah siswa pertama yang diterima di sekolah
kedokteran tersebut yang berasal dari luar Jawa (jumlah siswa setiap tahun
sekitar 10 orang). Sekolah kedokteran ini kemudian disebut Docter Djawa School
(cikal bakal STOVIA). Posisi GPS sekolah ini kini berada di RSPAD Jakarta. Setelah
lulus tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di Mandailing (di Panjaboengan) dan Dr
Angan di Angkola (di Padang Sidempoean). Pada tahun 1857 Si Sati tidak
melanjutkan studi ke Batavia, tetapi berangkat studi ke Belanda untuk sekolah
guru. Si Sati dengan nama kerennya Willem Iskander (dari nama Radja Belanda
Willem III dan penyair terkenal Rusia di London Iskander Hertzein) lulus dan
mendapat akte guru tahun 1860. Pada tahun 1861 Sati Nasution alias Willem
Iskaner kembali ke tanah air dan membuka sekolah guru di Tanobato (Mandailing)
pada tahun 1862. Salah satu siswa pertama Willem Iskander adalah ayah dari Radjioen
Harahap (Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging di Leiden, Belanda).
Siswa pertama lainnya dari sekolah guru (kweekschool) Tanobato ini adalah kakek
dari Dr Ida Loemongga Nasution, Ph.D (perempuan pribumi pertama bergelar Ph.D).
Siapa Willem Iskander  Si Sati yang Willem
Iskander
? Sati Nasution alias Willem Iskander adalah kakek
buyut dari Prof. Ir. Andi Hakim Nasution, Ph.D (rektor IPB Bogor).

Demikianlah sejarah panjang Sekolah
Kedokteran Hewan di Bogor sesingkat-singkatnya. Artikel ini dibuat khusus
kepada para pionir. JASMERAH.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber
tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti
surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak
semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain.
Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut
di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top