Sejarah Kedung Badak dan sejarah Cilebut bukanlah
baru. Dua nama tempat ini memiliki sejarah yang sudah tua di Bogor. Sejak era
VOC dua nama tempat yang bertetangga sudah dikenal luas. Pada era Pemerintah
Hindia Belanda dua nama tempat ini dipisahkan. Kedong Badak dimasukkan ke dalam
kota, sementara Tjileboet berada di luar kota tetap sebagai tanah partikelir
(land). Pembebasan land di Buitenzorg dimulai pada era Gubernur Jenderal
Daendels (1808-1811). Namun kapan land Kedong Badak dan land Tjileboet dibebaskan
masih perlu ditelusuri. Kini, area Kedong Badak menjadi metropolitan baru di
Kota Bogor.

Lahan-lahan di
hulu sungai Tjiliwong mulai dikapling-kapling menjadi tanah-tanah partikelir
bermula ketika Abraham van Riebeeck tahun 1703 sepulang ekspedisi ke hulu
sungai Tjiliwong diberi izin oleh Pemerintah VOC untuk mengelola lahan di
Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Ketertarikan Abraham van Riebeeck membuka
lahan karena land Bodjongmanggis memiliki tanah yang subur, lebih-lebih setelah
Cornelis Chastelein membuka lahan baru di Depok. Sebelum Cornelis Chastelein
memperluas lahannya di Serengseng ke Depok, Majoor Saint Martin sudah lebih
dahulu mengakuisisi land Tjitajam (land terbaik di hulu sungai Tjiliwong).
Majoor Saint Martin, Chastelein dan Abraham van Riebeeck adalah peminat botani
yang terkenal. Pada tahun 1701Michiel Ram dan Cornelis Coops membuat peta baru
di hulu sungai Tjiliwong. Nama-nama tempat yang diidentifikasi adalah
kampong-kampong Babakan, Bantar Djati, Kampong Baroe, Kedong Dalam dan Kedong
Waringin. Pada saat itu kampong Kedong Waringin tampaknya lebih terkenal dari
kampong Kedong Badak.
Kedong Badak? Yang jelas di Kedong Badak ada jembatan utama yang
menghubungkan Batavia dan Buitenzorg. Jembatan ini awalnya dirintis oleh
Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750). Jembatan ini
kemudian direkonstruksi dengan jembatan beton pada era Pemerintah Hindia
Belanda tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818). Tentu saja biaya
pembuatannnya mahal, karena itu kendaraan yang lewat dipungut tol. Jembatan
tersebut kini dikenal sebagai jembatan Warung Jambu. Namun yang kini dipungut
tol adalah jembatan (flyover) Kedung Badak. Antara jembatan tol masa lalu tersebut
dengan jembatan flyover masa kini pada era pendudukan militer Jepang terdapat kamp
interniran Eropa-Belanda. Lalu apa hubungannya land Kedong Badak dengan land
Tjileboet? Jika warga Kedong Badak ingin naik kereta api harus ke stasion
Tjileboet. Okelah, untuk lebih menambah pengetahuan, dan wawasan sejarah
nasional di Bogor, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
![]() |
Kelurahan Kedung Badak dan Kelurahan Kedung Waringin (Now) |
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Jembatan Tol
era VOC tahun 1779 sebagai titik pengukuran ketinggian air sungai Tjiliwong
(lihat Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en
weetenschappen, 1784). Disebutkan ketinggian air sungai Tjiliwong di Godong
Badak empat meter selama bulan Juli 1779. Ketinggian air ini tentu saja sangat
tinggi dan pencatatannya dilakukan di Kedong Badak (kini pencatatan dilakukan
di Katulampa).
memulai koloni di sungai Tjiliwong pada tahun 1619 dengan membangun benteng di
sisi timur muara sungai Tjiliwong. Di dalam benteng ini semua aktivitas VOC
dipusatkan. Benteng ini kemudian dikenal sebagai Kasteel Batavia. Pada tahun
1667 VOC mulai mengubah kebijakannya dari perdagangan yang longgal dengan
penduduk asli di kota-kota pantai menjadi kebijakan baru yang mana pendudukan
dijadikan sebagai subjek. Untuk memperluas wilayah subjek di jauh dari benteng
Kasteel Batavia pemerintah VOC mengirim satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong
pada tahun 1687. Ekspedisi ini dipimpin Sersan Scipio, Tim ekspedisi ini
kemudian membangun benteng di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong
deng sungai Tjisadane. Benteng tersebut kemudian disebut Fort Padjadjaran (kini
posisi GPSnya berada di Istana Bogor). Untuk menjajaki kemungkinan kerjasama
dengan pemimpin lokal, pada tahun 1703 kembali suatu ekspedisi ke hulu sungai
Tjiliwong. Tim ekspedisi ini langsung dipimpin setingkat direktur yakni Abraham van Riebeeck. Rute yang dilalui
ekspedisi ini adalah sisi barat sungai Tjiliwong dari Tjililitan, Pondok Tjina,
Depok, Pondok Terong, Bodjong Manggis dan Parong Angsana. Tidak lama sepulang
ekspedisi ini pemerintah VOC memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk
membuka lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Abraham van Riebeeck
sebelumnya sudah memiliki land di Tangerang dan Bekasi. Inilah awal adanya land
(tanah partikelir) di hulu sungai Tjiliwong. Satu yang penting dari pembukaan
land di hulu sungai Tjiliwong adalah pembelian land Bloeboer oleh Gustaaf
Willem baron van Imhoff untuk membangun villa di dekat Fort Padjadjaran pada
tahun 1745. Area villa ini kemudian disebut Buitenzorg (yang menjadi awal nama
wilayah Buitenzorg).
pada tahun 1816 (lihat Java government gazette, 06-07-1816). Disebutkan seorang
Cina Tjong Seeng tinggal di Landgoed Kedong Badak. Tidak ada keterangan apakah
Tjong Seeng sebagai penyewa atau pemilik land (seperti kita lihat nanti apakah
nama Tjong Seeng yang menjadi asal usul nama Tjiseeng).
![]() |
Bataviasche courant, 26-12-1818 |
Nama
Kedong Badak semakin terkenal sehubungan dengan pembangunan baru jembatan di
atas sungai Tjiliwong di Kedong Badak. Pada tahun 1818 desain arsitek Hort
ditawarkan ke publik untuk membangun suatu istal di Buitenzorg dan untuk membangun
jembatan di atas Tjieliwoug di Kedong Badak (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818).
Pembangunan harus dilakukan sesuai dengan rencana dan profil yang dapat
mengambil berkasnya di kantor Departemen bangunan sipil. Tertanda JC Schultze.
Batavia, April 1818. Catatan: Jembatan ini pada dasarnya untuk menggantikan
jembatan yang sudah ada sejak era Gubernur Jenderal VOC van Imhoff (1743-1750)
sehubungan dengan pembangunan villa Buitenzorg. Jembatan ini kini dikenal
sebagai jembatan Warung Jambu.
pemiliknya J van den Berg yang bertempat tinggal di Kedong Badak (lihat
Bataviasche courant, 26-12-1818). Siapa pembeli landgooed Tjileboet tidak
diketahui secara jelas. Pada tahun-tahun sangat banyak terjadi mutasi kepemilikan
lahan di seputar Buitenzorg termasuk land Djasingan en Bolang. Tentu saja land
Tjiliboet maupun land Kedong Badak harganya belum terlalu tinggi
lebih-lebihkarena belum lama terjadi transisi dari kekuasaan Inggris ke
kekuasaan Belanda.
meningkatkan produktivitas lahan di sekitar Buitenzorg pada tahun 1821 mulai
meningkatkan kanal-kanal lama dan mengembangkannya lebih lanjut. Kanal
Bondongan di sungai Tjipakantjilan yang airnya jatuh ke sungai Tjisadane
diangkat dengan membangun kanal baru melalui Paledang dan airnya digunakan
untuk mengairi lahan di hilir di Kedong Badak dan Tjiliboet. Kanal ini dibangun tahun 1776-1777. Kanal yang disebut kanal Tjipakantjilan di Paledang ditingkatkan kembali pada tahun 1821 untuk mennmbahh debit air. Di atas kanal ini kemudian dibangun jembatan yang kemudian disebut Roode Brug ( dan oleh penduduk disebut Djambatan Merah), Kanal di hilir ini yang juga disebut
sungai Tjipakantjilan sebagiam airnya masuk ke sungai Tjiliwong (di Kedong
Badak) setelah mengairi persawahan dan sebagian airnya diintegrasikan dengan sungai Tjileboet. Kanal yang baru (sungai
Tjipakantjilan) ditingkatkan inilah yang kemudian meningkatkan value lahan-lahan di hilir
Buitenzorg.
seluruh Hindia Belanda, pada tahun 1826 pemerintahan pusat melakukan penataan
ulang pemerintahan dan membentuk cabang-cabang pemerintahan yang baru termasuk di
Afdeeling Buitenzorg (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Residentie
Buitenzorg dilebur ke Residentie Batavia. Di Afdeeling Buitenzorg ditempatkan
seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg. Sejak pendudukan
Inggris status Buitenzorg adalah sebuah Residentie yang dipimpin oleh seorang
Residen.
![]() |
Demangschap Paroeng, Buitenzorg |
Sehubungan
dengan pengangkatan Asisten Resident Buitenzorg (beserta perangkatnya), juga
diangkat Bupati (beserta perangkatnya, seperti kepala penghoeloe dan djaksa).
Selain itu dibentuk empat district yang masing-masing dikepalai oleh seorang
Demang, Keempat district tersebut adalah Tjibinong, Paroeng, Djasinga dan
Tjibaroesa. Untuk district Paroeng ditambahkan seorang wakil Demang. Hal ini
karena District Paroeng sangat luas. Dalam hal ini land Kedong Badak dan land
Tjiliboet masuk dalam wilayah District Paroeng.
empat demang. Dua bupati tersebut berada di Buitenzorg. Bupati pertama memimpin
penduduk di tanah-tanah pemerintah (gouvernementslanden) yang meliputi ibu kota
Buitenzorg atau Bogor (di Empang), Pasar, Bloeboer dan Kampong Baroe; sedangkan
bupati yang kedua mencakup wilayah-wilayah tanah partikelir di Buitenzorg yakni
Tjisaroea, Pondok Gede, Tjikopo, Tjiawi, Tjitjoeroek,Tjiomas dan Dramaga. Besar
dugaan bahwa tanah-tanah partikelir yang telah dibebaskan pada era Gubernur
Jenderal Daendels (sebelum pendudukan Inggris) adalah empat land pemerintah di
Buitenzorg yang disebutkan. Sementara lahan-lahan lainnya sejauh ini masih
berada di tangan swasta.
telah diratifikasi pemerintah (lihat Javasche courant, 15-12-1829). Dua
diantara pasar-pasar tersebut adalah Pasar Paroeng dan Pasar Buitenzorg (milik
pemerintah). Pasar terdekat lainnya berada di Tjiampea dan Tjibinong.
mendukung pengembangan wilayah dan memajukan perekonomian pemerintah menetapkan
kelas jalan berdasarkan beslit (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan
kelas satu termasuk jalan post Batavia ke Buitenzorg hingga ke Megamendoeng terus
ke Preanger dan jalan dari Batavia melalui Tangerang hingga Bantam. Jalan kelas
satu (nasional) ini merupakan jalan pos trans-Java yang pembangunannya digagas
pada era Gubenur Jenderal Daendels (1808-1911). Berdasar beslit (undang-undang)
ini, untuk kategori jalan kelas dua (wilayah) diantaranya adalah jalan dari
Parapattan (Tjikinie) hingga Pondok Terong (land Tjitajam). Jalan kelas dua
lainnya adalah dari Buitenzorg melalui Tjiampea dan Djasinga terus ke Bantam;
dan jalan dari Buitenzorg melalui Semplak, Koeripan, Paroeng hingga ke
Tangerang. Jalan melalui Semplak berada di sisi barat land Tjileboet. Sedangkan
jalan disi timur land Tjileboet adalah jalan lama (jalan kuno) dari Buitenzorg
melalui Pabaton, Toegoe, Kebon Pedes di Land Kedong Badak terus ke utara
(landhuis Tjileboet) terus ke Bodjong Gede dan Pondok Terong (land Tjitajam).
Jalan ini berada di sisi barat sungai Tjiliwong.
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.