Sejarah

Sejarah Dewan di Indonesia (10): Mengapa Kota Jogjakarta dan Soerakarta Tak Pernah Berstatus Gemeente? Desentralisasi di Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas
jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Seperti halnya
Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua
kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten
Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota
(gemeenteraad) sendiri.
Lantas
mengapa kota Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas
berstatus gemeente. Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri
tetapi tidak pernah berstatus gemeente?

 

Kota Yogyakarta adalah ibu
kota Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas
dari Perjanjian Giyanti 1755. Era Pemerintah Belanda wilayah Kesultanan
Yogyakarta dijadikan keresidenan. Kasultanan Yogyakarta diakui sebagai kerajaan
dengan hak mengatur rumah tangga sendiri diatur kontrak politik dilakukan tahun
1877, 1921, dan 1940. Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia tahun 1946, UU No
17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kota Praja Yogyakarta. Tanggal ini
diperingati hari jadi pemerintahan Kota Yogyakarta. M. Enoch sebagai wali kota
pertama. Wali kota mengalami kesulitan karena masih bagian dari DI Yogyakarta
dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana DI
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang
menjadi bagian dari DI Yogyakarta. Di era wali kota Mr. Soedarisman
Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan
Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, di mana badan tersebut
dipimpin pula oleh wali kota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk 5 Mei 1958
dengan anggota 20 orang hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui
Dekret Presiden 5 Juli 1959, maka UU No 1 Tahun 1957 diganti dengan UU No 18
Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut mengatur
pemisahan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah
dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan
Kotamadya Yogyakarta. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan
bertanggung jawab.
(Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah mengapa kota
Jogjakarta dan Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti disebut di
atas, perihal tersebut selalu menjadi pertanyaan. Fakta bahwa pemberlakukan desentralisasi
sangat meluas di Jawa. Lalu bagaimana sejarah mengapa kota Jogjakarta dan
Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti kata ahli sejarah tempo
doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Mengapa Kota Jogjakarta dan Soerakarta Tidak Pernah
Berstatus Gemeente? Desentralisasi di Jawa

Mengapa desakan untuk permberlakukan desentralisasi
di Hindia Belanda terus didengungkan? Sebaliknya, mengapa pemerintah (kerajaan
Belanda) tetap menolak desntralisasi diberlakukan di Hindia Belanda? Yang mendesaknya
bukan orang pribumi, tetapi justru orang-orang Eropa/Belanda baik di Hindia
maupun di Belanda. Lantas siapa yang mendesak pemberlakuan desentralisasi di
wilayah (voretenlanden) Soeracarta dan Jogjakarta dan siapa yang menolaknya?


Di Belanda sudah lama desentralisasi diberlakukan. Banyak kota-kota di
Belanda yang memiliki dewan kota (gemeenteraad). Bagaimana dengan Tweede Kamer
di Belanda? Yang jelas di India-Inggris oleh penguasa Inggris telah memberlakukan
desentaralisasi pada tahun 1861 pada level provinsi (province-council), lalu
beberapa tahun kemudian diberlakukan pada tingkat kota (gemeenteraad). Demikian
juga di Penang dan Singapoera. Dewan kota Singapura dan Penang terdiri dari
separuh anggota ditunjuk oleh Gubernur dan separuh lainnya dipilih oleh warga
negara. Penerapan desentralisasi di Hindia Belanda sejatinyanya telah dimulai
pada tahun 1878. Namun warga memandang setengah mata. Sebab berdasarkan Komisi
1878 pemerintah menunjuk sebanyak dua pertiga dan sisanya sepertiga dari
pilihan warga.

Akhirnya desakan pemberlakuan desentralisasi mulai
direspon pemerintah Belanda. RUU desentralisasi sedang disiapkan (lihat Soerabaijasch
handelsblad, 06-08-1900). Ketika Menteri van Dedem ditantakan apakah semua
daerah memiliki dewan daerah pada waktu yang sama? Menteri van Dedem dalam
penjelasannya tentang RUU tersebut menyatakan tidak: ‘Tidak mungkin dewan
daerah diberikan ke semua daerah sekaligus. Tidak ada keraguan bahwa waktu
pendirian telah tiba di sebagian Hindia, di tempat lain harus menunggu.
Seseorang harus melanjutkan secara bertahap.’


Pada saat ini (jelang permberlakukan desentralisasi), menurut pendapat
umum yang sudah siap Batavia, Semarang, Soerabaja, Djokjakarta, Soerakarta,
Bandoeng dan Soekaboemi. Dalam urutan berikut juga menyebutkan Pasoeroean dan
Cheribon. Untuk luar Jawa dipertimbangan di Padang, Medan, Makasser, Amboina
dan Menado. Di beberapa tempat, dewan lokal dan regional dapat diterapkan,
tetapi namanya dalam bentuk lain.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Desentralisasi di Jawa: Gemeenteraad, Regentschap Raad
hingga Provinciale Raad

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top