Sejarah

Sejarah Jakarta (20): Sejarah Nama Jalan; Tan Boen Tjit (Buncit) di Mampang dan Usulan Nama Jalan Abdul Haris Nasution




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Waroeng
Tionghoa di Weltevreden (Gambir), 1904

Berdasarkan Sensus tahun 1930 Province West Java, Afdeeling Batavia,
Regentschap Meester Cornelis, District Meester Cornelis, Onderdistrict
Pasarminggoe terdiri dari desa-desa berikut: Mampang Prapatan, Mampang
Tegalparang, Pedjaten, Pasarminggoe, Rangoenan, Srengseng Sawah, Tandjong West,
Tjigandjoer, Tjilandak, Bangka, Djagakarsa, Djatipadang. Disamping nama-nama
desa tersebut, di Onderdistrict Pasarminggoe juga terdapat nama-nama berikut:
Kalibata Lentengagoeng (w); Kalibata Doerentiga (kmd.); Koeningan (wijk);
Lenteng-agoeng (wijk) dan Mampang Tegalparang (wijk). Nama-nama wilayah wijk
(kelurahan) biasanya wilayah padat yang juga banyak dihuni oleh orang-orang
Eropa/Belanda. Sedangkan wilayah kemandoran (di Kalibata Doerentiga) biasanya
dihuni oleh landheer (tuan tanah) yang mempekerjakan banyak tenaga kerja.
Kemandoran Kalibata Doerentiga diduga kuat adalah milik yang menjadi pusat
kegiatan usaha Tan Boen Tjit.

Jauh
sebelum Sensus 1930 (1900) Batavia terdiri dari dua Afdeeling: Stad Batavia en
Vorsteden dan Meester Cornelis. Wilayah Afdeeling Meester Cornelis adalah
daerah pertanian yang penduduknya jarang. Wilayah ini terdiri dari
kampung-kampung yang digabungkan menjadi sejumlah desa. Afdeeling Meester
Cornelis, terdiri dari tiga district: Meester Cornelis, Kebajoran dan Bekassi.
Sementara Afdeeling Stad Batavia en Vorsteden terdiri dari dua district:
Batavia dan Weltevreden.
Pada tahun 1888
Soetan Abdoel Azis, pejabat di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di
Padang Sidempoean diangkat menjadi Asisten Demang di District Kebajoran dan
pada waktu yang bersamaan Asisten Demang di District Weltevreden adalah
Maharadja Soetan (Kepala Koeria Batoenadoea Padang Sidempoean). Anak Abdoel
Azis bernama Haroen Al Rasjid lulus Docter Djawa School tahun 1902; Anak
Maharadja Soetan bernama Soetan Casajangan lulus Kweekschool Padang Sidempoean
tahun 1887. Soetan Casajangan (setelah mengabdi menjadi guru selama 10 tahun di
Padang Sidempoean) pada tahun 1905 berangkat studi ke Belanda (untuk mendapat
akta Kepala Sekolah). Pada tahun 1908 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
mendirikan sekaligus Presiden pertama Perhimpoenan Indonesia (Indisch
Vereeniging) yang kelak menjadi cikal bakal PPI tahun 1924 di Belanda (era M.
Hatta). Haroen Al Rasjid memiliki dua anak yang hebat: Mr. Gele Haroen (alumni
sekolah hukum Universiteir Leiden) dan Dr. Ida Loemongga, Ph.D (alumni sekolah
kedokteran Universiteit Amsterdam). Ida Loemongga Nasution adalah perempuan
Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) yang berhasil mempertahankan desertasinya di Universiteit Amsterdam tahun 1931. Mr. Gele Harun Nasution adalah
advokat dan Residen pertama Lampoeng (kini tengah diusulkan Pemerintah Lampung untuk menjadi Pahlawan
Nasional dari daerah Lampung).
MH Thamrin,
Abdul Hakim Nasution dan Parada Harahap: Abdul Haris Nasution, TB Simatupang
dan Pierre Tendean
Hubungan
orang-orang Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola) sudah sejak
lama terbina dengan baik dengan penduduk asli Batavia (Betawi). Soetan Abdoel
Azis dan Maharadja Soetan adalah pionir, sejak 1888 keduanya menjadi Asisten
Demang di Kebajoran dan Weltevreden.
Sepulang dari
Belanda tahun 1914, Soetan Casajangan menjadi Direktur Normaal School (sekolah
guru) di Meester Cornelis. Soetan Casajangan meninggal tahun 1929 selagi
menjabat Direktur Normaal School. Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat
adalah penasehat berdirinya PPPKI (Permoesjawaratan Perhimpoenan-Perhimponenan
Kebangsaan Indonesia) yang didirikan tahun 1927. Husein Djajadiningrat adalah
sekretaris Soetan Casajangan ketika mendirikan Indisch Vereeninging tahun 1908
di Leiden. Inisiatif pendirian PPPKI ini adalah Parada Harahap, raja media
(tujuh surat kabar) yang kala itu menjadi sekretaris Sumatranen Bond. Saat
pendirian PPPKI ini dihadiri oleh dua anggota Volksraad yang paling vokal di
Pedjambon (kini Senayan) yakni MH Thamrin dan Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon (Anggota Indisch Vereeniging bersama Soetan Casajangan
dan Husein Djajadiningrat). Dalam pembentukan PPPKI tersebut di rumah Husein
Djajadiningrat, secara aklamasi memilih MH Thamrin (Kaoem Betawi) sebagai ketua
dan sekretaris Parada Harahap. Dalam pembentukan PPPKI ini awalnya Boedi Oetomo
enggan bergabung (karena menggangap diri sudah besar dan mendapat sokongan dari
pemerintah) akhirnya bersedia setelah dibujuk Dr. Radjamin Nasution (teman
sekuliah di STOVIA).  Parada Harahap
mengusulkan agar PPPKI membangun gedung sendiri, lalu MH Thamrin menyediakan
lahan di Gang Kenari (situs gedung itu masih ada sekarang disebut Gedung MH
Thamrin). Di dalam gedung itu, Parada Harahap yang merangkap sebagai kepala
kantor hanya memampang tiga potret: Diponegoro, Soekarno dan M. Hatta.
Parada Harahap dari PPPKI (senior) adalah pembina panitia Kongres Pemuda
(junior) tahun 1928. Parada Harahap sebagai ketua Kadin pribumi Batavia adalah
sponsor pembiayaan Kongres Pemuda dengan menempatkan Amir Sjarifoeddin Harahap
sebagai bendahara. MH Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha
beken di Batavia. Dalam Kongres Pemuda 1928 lagu Indonesia Raya karya WR
Supratman diperdengarkan (WR Supratman adalah anak buah Parada Harahap dalam
mengelola kantor berita Alpena dan tinggal bersama di rumah Parada Harahap).
Ketika
masa kepengurusan (yang pertama) MH Thamrin dan Parada Harahap berakhir tahun
1929, MH Thamrin pada tahun itu juga diangkat sebagai Wakil Wali Kota (Loco
Burgemeester) Batavia. Dua tahun berikutnya di Kota Padang, Dr. Abdoel Hakim
Nasution dipilih dan diangkat untuk menjabat Wakil Wali Kota di Padang.
Gemeente Batavia dan Gemeente Padang, hanya dua kota yang pernah memiliki Loco
Burgemeester yang dijabat oleh pribumi.
Dr. Abdoel Hakim
adalah alumni Docter Djawa School lulus tahun 1905. Abdoel Hakim adalah teman
sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School. Sebagaimana
diketahui Dr. Tjipto adalah pendiri PNI di Bandoeng. Di Pantai Barat Sumatra
(Sumatra’s Westkust) yang menjadi pimpinan PNI adalah Dr. Abdoel Hakim. Salah
satu anak Dr. Abdoel Hakim bernama Mr. Egon Hakim (lulusan sekolah hukum
Universiteit Leiden) yang menjadi pengacara di Padang. Egon Hakim menikah
dengan putri cantik MH Thamrin. Besar dugaan yang menjadi penghubung dua
keluarga ini adalah Parada Harahap. Dr. Abdoel Hakim menjadi besan MH Thamrin.
Kelak, ketika terjadi pendudukan Jepang, semua orang Belanda merapat ke Kota
Padang untuk evakuasi ke Australia. Ir. Soekarno yang menjadi tahanan di pengasingan
di Bengkulu turut dibawa ke Padang. Pada saat chaos di Padang, Ir. Soekarno
dan keluarga ‘diculik’ oleh Egon Hakim dari tangan Belanda dan menyembunyikan di rumahnya.
Saat-saat situasi inilah Parada Harahap, M. Hatta dan Soekarno bekerjasama
dengan Jepang. Parada Harahap adalah penentang Belanda, sejak mendirikan surat
kabar dengan nama Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919) dan pada tahun 1933
Parada Harahap memimpin tujuh orang pertama ke Jepang (termasuk M. Hatta).
Sepulang dari Jepang, rombongan tidak langsung ke Batavia tetapi turun di
Soerabaya (disambut Dr. Soetomo, kepala rumah sakit dan Dr. Radjamin Nasution,
anggota dewan kota (gemeenteraad) Surabaya. Kelak Radjamin Nasution menjadi
wali kota pribumi pertama Kota Surabaya. Demikian juga, kelak Dr. Abdoel Hakim
Nasution menjadi Wali Kota pribumi pertama di Kota Padang. Makam WR Supratman
dan makam Dr. Radjamin Nasution berdekatan di satu pemakaman di Kota Surabaya.
Selama
pendudukan Jepang (1942-1945). Parada Harahap, Soekarno dan M. Hatta
bekerjasama dengan Jepang (sebagai wujud kelanjutan oposisi mereka bertiga
terhadap Belanda sejak era kolonial Belanda). Sementara Amir Sjarifoeddin
memilih menolak bekerjasama dengan Jepang. Soekarno dan M. Hatta lalu menjadi
ketua dan wakil ketua penasehat pribumi. Sedangkan Parada Harahap menjadi
Koordinator Media Informasi. Pada saat memimpin kantor media informasi ini, Parada Harahap
menyertakan empat anak buahnya yang selama ini berkecimpung di media: Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah untuk bekerja di radio militer Jepang dan BM Diah di media cetak.
Sebagai imbal
dari kerjasama, pemerintah militer Jepang mulai membantu ke arah persiapan
kemerdekaan Indonesia. Parada Harahap, Soekarno dan M. Hatta menjadi anggota
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).  Akhirnya era pendudukan Jepang benar-benar
berakhir setelah Jepang menyerah kepada sekutu (pasca pemboman Hirosima dan
Nagasaki). Adam Malik yang tergolong barisan pemuda mendesak Soekarno dan M.
Hatta memproklamirkan kemerdekaan (Amir Sjarifoeddin masih di dalam penjara
Jepang di Malang). Terjadilah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI di Pegangsaan Timur
Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah
Indonesia merdeka dan teks proklamasi dibacakan pada pagi hari pukul 10
ternyata gaungnya hanya diketahui di Jakarta saja. Radio dan jalur komunikasi
masih dikuasai dan dijaga ketat oleh militer Jepang. Saat inilah salinan teks
proklamsi diduga kuat diberikan Adam Malik kepada Mochtar Lubis untuk dibawa ke
Bandoeng agar bisa disiarkan melalui radio.
Sakti Alamsjah
masih bekerja di radio militer Jepang di Bandoeng. Sakti Alamsjah dan Mochtar
Lubis sangat dekat satu sama lain (kebetulan seumuran, 22 tahun). Pada pukul
tujuh malam, teks proklamasi dibacakan oleh Sakti Alamsjah di radio militer
Jepang yang lokasinya berada jauh di (gunung) Malabar. Siaran pembacaan teks proklamasi
ini kemudian dapat didengar masyarakat Bandoeng dan sekitarnya (Priangan), juga siarannya
dapat dipantau di Djogjakarta dan Australia. Radio Bandoeng merupakan
satu-satunya radio yang berani menyiarkan dengan membacakan teks proklamasi
kemerdekaan RI. Kelak kedua sahabat ini masing-masing memimpin surat kabar:
Mochtar Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raya di Batavia dan Sakti
Alamsjah Siregar mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat di Bandoeng. Bukti
kedekatan kedua tokoh muda ini (penerus Parada Harahap) bahwa motto surat kabar
Indonesia Raya dan surat kabar Pikiran Rakyat sama persis: Dari Rakjat, Oleh
Rakjat dan Ontoek Rakjat (tentu saja tidak ada dua surat kabar memiliki motto
yang sama, kecuali Indonesia Raya dan Pikiran Rakyat).
Dalam
perkembangannya, Ir. Soekarno menjadi Presiden dan M. Hatta menjadi Wakil
Presiden. Parada Harahap lalu ‘lengser keprabon’. Perjuangannya sejak di Padang
Sidempoean mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919), kini benar-benar Indonesia
telah merdeka. Adik-adiknya Soekarno, M. Hatta, Amir, Adam Malik, Mochtar Lubis
dan Sakti Alamsjah sudah mengambil posisi penting di berbagai bidang. Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah tetap bekerja di bidang media. Amir
Sjarifoeddin yang sarjana hukum setelah keluar dari penjara diangkat Soekarno
dan M. Hatta menjadi Menteri Informasi (Penerangan).
Namun tidak lama
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, sekutu di bawah pimpinan
Inggris mulai melakukan invasi dengan dalih membebaskan tahanan Eropa/Belanda
dan melucuti para militer Jepang. Awalnya Soekarno dan M. Hatta enggan menerima
Inggris karena khawatir diikuti Belanda/NICA dari belakang. Akan tetapi karena
tahanan Eropa/Belanda menjadi beban dan tidak mungkin melucuti militer Jepang
akhirnya Inggris diizinkan. Seperti yang diduga, Inggris ternyata membuka jalan
bagi Belanda/NICA. Perang pun mulai, diawali di Depok. Kejadian ini terjadi
saat Inggris menjalankan tugasnya di Djakarta sebelum bergerak ke Bogor dan
Bandoeng. Inggris juga melakukan hal yang sama di tempat lain di Jawa, di
Sumatra dan wilayah lainnya.
Saat
mulai terjadinya perang (perlawanan terhadap sekutu/NICA), Amir Sjarifoeddin
diangkat Menteri Keamanan Rakyat (Menteri Pertahanan). Tugas menteri Amir
Sjarifoeddin untuk mengkonsolidasikan bentuk-bentuk perlawanan juga untuk
mengorganisasikan kekuatan rakyat yang bersamaan dengan upaya pembentukan
TRI/TNI sebagai kekuatan inti.
Dua mantan
perwira KNIL (yang telah mendapat pelatihan dari militer Belanda di era
kolonial) yakni TB Simatupang dan Abdul Haris Nasution mulai membantu milisi
PETA bentukan Jepang. Dua perwira inilah kemudian yang ditempatkan Amir
Sjarifoeddin berada di bawah komando Sudirman dalam perang di Jawa. Kolonel TB
Simatupang menjadi wakil dari Jenderal
Sudirman dan Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi perwira utama (yang membawahi
Komando Siliwangi di Bandoeng yang bergesekan langsung dengan Inggris/NICA di
Djakarta). Untuk wilayah Bogor dan sekitarnya sahabat Abdul Haris Nasution,
Letkol Kawilarang untuk membantunya. Sementara itu, Kolonel Zulkifli Lubis yang
memiliki keahlian di bidang intelijen menjadi perwira utama membawahi intelijen
RI yang berpusat di Djogjakarta.
Dalam
perkembangannya ibukota RI pindah ke Djogjakarta (awal tahun 1946). Pasukan
Inggris dari Bogor telah merangsek ke Bandoeng.
Pada fase inilah (1946) Amir Sjarifoeddin dan Kolonel Zulkifli Lubis di Djogjakarta menyusun desain organisasi TRI/TNI. Tidak lama kemudian terjadi perang di Bandung
utara. Inggris lalu mengultimatum agar mengosongkan Bandung utara dalam tempo
lima hari selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946. Tentu saja ultimatum ini
tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah
insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.
Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat) Mr Sjarifoeddin
Harahap (dari Djogjakarta) lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya
dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution. Lalu dalam
perkembangan berikutnya Kolonel Abdul Haris di Bandung mendapat pesan dari
perwakilan RI di Batavia (Sjahrir) agar mengakhiri semua pertempuran yang
dilancarkan oleh para pejuang dan pasukan. Sekutu sudah nekad, Memberi
ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km
dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 29 Maret 1946. Politik bumi
hangus di Bandung tidak terhindarkan. Area kebakaran meliputi sepertiga dari
Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan
(Algemeen Handelsblad, 30-03-1946).
Setelah
perang yang berlarut-larut dan didahului dua perundingan, akhirnya disepakati
untuk berunding kembali dalam KMB di Den Haag. Belanda kemudian mengakui
kedaulatan RI. Soekarno dan  M. Hatta
kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Di Jakarta, Kolonel Abdul Haris
Nasution diangkat sebagai KASAD yang dalam perkembangan berikutnya diangkat
menjadi Panglima dengan pangkat Jenderal.
Singkat kata:
Pada tahun 1965 terjadi kisruh politik yang menyebabkan Jenderal Abdul Haris
Nasution menjadi sasaran penembakan yang dilakukan oleh PKI. Persitiwa ini
dikenal sebagai G 30 S/PKI. Jenderal Abdul Haris Nasution terhindar dari
pembunuhan tetapi tidak dengan putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya Pierre
Tendean. Kelak nama Pierre Tendean diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Mampang Jakarta.
Sebelumnya, juga nama Jenderal TB Simatupang sudah diabadikan di Jakarta
Selatan. Antara jalan TB Simatupang dan jalan Pierre Tendean ini kemudian
diusulkan menjadi jalan Jenderal Abdul Haris Nasution. Sebagian dari ruas Jalan
Abdul Haris Nasution ini nama sebelumnya adalah Jalan Buncit Raya.
Nama Mampang dan
Buncit vs Nama Abdul Haris Nasution

Nama
jalan yang merupakan terusan Jalan HR Rasuna Said di utara mulai dari batas
Jalan Jenderal Gatot Subroto melalui Jalan Mampang Raya dan Jalan Buncit Raya
(Jalan Warung Jati Barat) hingga batas Jalan Letjen TB Simatupang di selatan
diusulkan nama keseluruhannya menjadi Jalan Jenderal Besar Abdul Haris
Nasution. Usulan nama Abdul Haris Nasution sesungguhnya tidak berlebihan; juga
nama Mampang dan Buncit tidak terlalu kehilangan.
Perubahan nama
jalan adalah hal yang biasa, yang tidak biasa adalah nama apa yang tepat diberi
nama jalan tersebut. Nama Djalan Mampang Raya pada tahun 1953 telah diubah
dengan nama Teuku Cik Ditiro. Yang tersisa adalah Djalan Mampang Prapatan, ruas
jalan yang akan diusulkan diganti dengan Jalan Abdul Haris Nasution. Nama Teuku
Cik Ditiro adalah nama besar, demikian juga nama Abdul Haris Nasution adalah
nama besar. Oleh karenanya kehilangan nama Mampang (dan nama Buncit) hanyalah
kehilangan kecil, sedangkan penabalan nama Abdul Haris Nasution justru memberi
nilai tambah yang besar bagi keseluruhan warga masyarakat khususnya di wilayah Buncit dan seluruh rakyat Indonesia.
Adanya
penolakan pihak tertentu terhadap penghilangan nama Mampang dan nama Buncit dan
penggantian dengan nama Abdul Haris Nasution boleh jadi hanya reaksi spontan. Hal ini
karena sejarah kedua belah pihak (di satu sisi Mampang dan Buncit) dan di sisi
lain Jenderal Besar Abdul Haris Nasution karena sejarahnya kurang tersosialisasi secara memadai. Abdul Haris Nasution adalah penjaga NKRI sejati yang menjadi
korban pihak PKI dalam peristiwa G 30 S/PKI. Abdul Haris Nasution telah
kehilangan putrinya dan juga seorang ajudannya yang setia. Pemilihan jalan yang
diberi nama Jalan Abdul Haris Nasution tampaknya sudah tepat mengingat jalan
tersebut mempertemukan kepada dua sahabat lamanya semasa hidup di masa lampau: TB
Simatupang dan Pierre Tendean.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top