Sebelum adanya jalan kereta api ini,
di kampong Tjikini (di selatan Prapatan) pelukis terkenal Raden Saleh yang pulang dari Eropa pada tahun 1851 membangun villa mewah di atas sebidang lahan
yang luas di kampong Tjikini Menteng tahun 1862 (lihat Bataviaasch
handelsblad, 19-04-1862). Villa ini berada di dekat sungai Tjiliwong di jalan Raden Saleh yang
sekarang. Lahan villa ini termasuk komplek TIM yang sekarang. Keberadaan villa
Raden Saleh di kampong Tjikini juga menjadi satu sebab mengapa Land Menteng
lebih dikenal.
Menteng, pemilikan Land Menteng semakin tidak jelas. Hal ini karena sejumlah
persil lahan telah diperjual belikan. Penjualan lahan ini diawali ketika Raden
Saleh pada tahun 1850an membangun villa di Kampong Tjikini. Di sisi
jalanTjikini dan area sekitar stasion Pegangsaan sudah muncul bangunan-bangunan
pribadi. Meski keramaian sudah tampak di sekitar jalan Tjikini dan area stasion
Pegangsaan, lahan-lahan di eks Land Menteng masih terkesan hijau.
![]() |
Rencana pengembangan perumahan area Menteng (Peta 1904) |
Tidak terdeteksinya bangunan di
lahan-lahan di eks Land Menteng boleh jadi ini karena persil lahan-lahan tersebut
sudah banyak beralih kepemilikan yang diusahakan oleh orang kaya Arab.
Sebagaimana diketahui Raden Saleh sendiri adalah keturunan Arab (dari pihak
ayah). Satu hal yang membedakan di eks Land Menteng adalah dibukanya tahun 1903
jalur kereta api lintas Salemba-Paseban menuju stasion Tanah Abang. Sebelumnya
jalur kereta api ke Tanah Abang adalah dari Stad Batavia melalui Angke dan
Doeri.
Land Menteng sudah teridentifikasi rencana pengembangan wilayah Menteng menjadi
area perumahan baru. Rencana pengembangan perumahan baru di Menteng ini
mengikuti lanskap di area Prapatan. Dengan kata lain, pengembangan perumahan di
area Menteng sebagai perluasan perumahan di area Prapatan. Oleh karenanya area
Prapatan dan area Menteng diintegrasikan sebagai satu kawasan yang sangat luas.
![]() |
Realisasi perumahan area Menteng (Peta 1824) |
Realisasi pengembangan kawasan
perumahan di Menteng ini tidak dapat segera diwujudkan. Besar dugaan karena
lambatnya penyelesaian pembebasan lahan oleh pengembang. Baru pada tahun 1910
pembangunan dapat dilakukan secara bertahap. Seperti disebut terintegrasi
dengan area Prapatan, maka setahap demi setahap pembangunan kawasan perumahan
Menteng dimulai dari sisi area perumahan di Prapatan.
pembangunan perumahan di kawasan Menteng semakin meluas ke dalam, maka jalur
rel kereta api yang melalui Menteng dari Salemba menjadi persoalan tersendiri.
Sehubungan dengan pembangunan stasion/dipo kereta api di Manggarai dan pembuatan
kanal barat maka tahun 1914 rel kereta api di tengah Land Menteng digeser ke
arah sisi kanal barat. Proses penyelesaian pembangunan stasion Manggarai dan
kanal barat berakhir pada tahun 1918. Sedangkan proses pengembangan perluasan
perumahan di kawasan Menteng terus berlanjut bahkan hingga melewati kanal barat
di area Guntur yang sekarang.
![]() |
Kawssan Menteng (Peta 1897, 1903, 1914, 1924, 1934, 1940) |
Proses pembangunan perumahan di
kawasan Menteng tidak dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap dan terus
menerus hingga meliputi seluruh wilayah Menteng yang telah direncanakan tahun
1903 (berdasarkan Peta 1903). Realisasi baru dimulai tahun 1918. Periode waktu
1918 sampai tahun 1924 adalah puncak kegiatan pembangunan. Lalu setelahnya
dilakukan secara perlahan hingga mencapai keseluruhan wilayah direncanakan
sekitar tahun 1940. Proses pembangunan perumahan kawasan di Menteng ini
membutuhkan waktu sekitar 20 tahun.
pembangunan perumahan secara terintegrasi dan terencana dengan baik tidak hanya
di Menteng, Batavia. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pengembang dalam
tempo yang relatif bersanaab seperti di Bandoeng (Bandoeng Utara), Semarang dan
Soerabaja dan Medan.
di Titik Imajiner Bundaran HI
menginvasi Belanda di Indonesia. Tampaknya selama pendudukan Jepang tidak ada
perubahan yang berarti di sekitar perumahan Menteng. Kawasan perumahan elit ini
tetap menyisakan lahan-lahan di belakang perumahan di sisi barat sebagai lahan
persawahan dan tegalan. Jika memperhatikan Peta 1940 pengembangan perumahan di
kawasa Menteng sejatinya belum selesai, ada tampak rencana baru untuk
memperluas ke lahan-lahan yang tersisa berupa persawahan dan tegalan tersebut. Boleh
jadi dalam hal ini, pendudukan Jepang menjadi sebab mengapa lahan-lahan
persawahan dan tegalan tersebut tetap eksis hingga kembali Belanda/NICA pasca kemerdekaan
Indonesia tahnn 1945.
![]() |
Foto udara kawasan Menteng 1943 dan Googlemap Now |
Perumahan elit di kawasan Menteng
memang benar-benar direncanakan dan diselesaikan sepenuhnya oleh pengembang.
Lanskap perumahan ini diatur sedemikian rupa menghadap ke arah utara
(Koningsplein) yang diintegrasikan dengan area perumahan lain seperti di
Prapatan, Kebon Sirih, Tjikini dan Pegangsaan/Matraman. Di dalam kawasan
Menteng, sejumlah elemen lanskap kawasan dibuat sedemikian rupa sehingga antara
bangunan rumah dengan jalan, taman (park) dan lapangan (plein) terjadi keserasian.
Gambaran ini tampak lebih jelas pada foto udara yang dibuat pada tahun 1943. Taman
utama, area yang menjadi lapangan hijau terbuka terlihat jelas berada di Taman
Surapati dan lahan yang berada di belakang Bappenas yang sekarang.
kolonial, dan era dimana kedaulatan Indonesia diakui Belanda pada tahun 1949,
wilayah pemukiman modern (Eropa/Belanda) di selatan kota hanya sampai di
Guntur/Menteng. Tetapi tidak untuk warga pribumi. Pemerintah Belanda/NICA mulai
sebelumnya telah menginisasi pembangunan kota satelit di Kebajoran (lihat De
nieuwsgier, 18-09-1948). Pembangunan kota satelit ini sebagai upaya
rekonstruksi terkait dengan kehadiran kembali Belanda yang juga sekaligus
merangkul penduduk pribumi agar eksistensinya lebih terjaga.
![]() |
Het dagblad, 02-04-1949 |
Suatu badan rekonstruksi yang
dibentuk pemerintah Belanda/NICA pada tahun 1948 diimplementasikan dalam bentuk
yayasan yang disebut Centrale Stichting Wederopbouw (CSW). Yayasan ini bekerja
di bawah bimbingan pemerintah dengan mengharapkan dukungan investor. Tujuan
yayasan ini adalah untuk membantu kebutuhan rekonstruksi terutama di bidang
infrastruktur terutama jalan dan jembatan serta perumahan. Dalam hal ini
meliputi rehabilitasi jalan dan jembatan dan bangunan rumah juga pembangunan
baru. Salah satu program CSW ini adalah pembangunan kota satelit Kebajoran.
Dalam mewujudkan kota satelit ini dibangun jembatan penghubung di atas kanal
barat dan rel kereta api di kampong Doekoe. Jembatan ini menjadi jembatan
modern terpanjang yang dibangun di Indonesia. Panjang jembatan ini 106 M dan
lebar 16 M (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 02-04-1949).
Meski sudah terwujud kota satelit di Kebajoran,
sejatinya masih sangat luas wilayah Djakarta yang perlu direncanakan dalam
wujud tata ruang (pengembangan) kota. Sehubungan dengan Indonesia sebagai tuan
rumah penyelenggraraan Asian Games yang akan diadakan pada tahun 1962 menjadi pemicu
dan pemacu mengapa Pemerintah Indonesia mulai melakukan perencanaan tata kota
yang lebih lebih luas dan terintegasi. Tentu saja perencanaan perluasan kota
yang baru di era Presiden Soekarno ini secara teknis telah memperhitungkan
kawasan perumahan di Menteng yang sudah jadi dengan kawasan perumahan baru di
selatan kota di Kebajoran.
![]() |
Bundara HI 1985 |
Proyek pengembangan kota
yang dintegrasikan dengan pembangunan fasilitas Asian Games menjadi keputusan
ideal. Jalan poros (hoofdweg) baru ditetapkan pada jalan yang sudah terbentuk
pada era pemerintahan Belanda/NICA dari Lapangan Merdeka (Koningsplein) dengan
mengikuti jalur jalan Medan Merdeka Barat (Koningsplein West) ke arah selatan
hingga ke suatu titik yang disebut CSW (Centrale Stichting Wederopbouw).
Diantara jalan poros inilah kemudian dibangun fasilitas utama Asian Games (stadion
Bung Karno) termasuk fasilits pendukungnya (Hotel Indonesia dan Gedung (pusat
perbelanjaan) Sarinah. Dalam hubungan pembangunan stadion megah tersebut
diintegrasikan dengan pembangunan jembatan Semangga, suatu jembatan yang tidak
hanya sekadar interchange lalu lintas, tetapi titik simpul baru dalam rancangan
besar Pemerintah Indonesia dalam pengembangan kota Jakarta ke masa depan.
Dalam hal ini, garis
imajiner dan titik imajiner Bundaran HI di atas menjadi kunci segalanya dalam
pengembangan kawasan modern Kota Jakarta seperti yang bisa kita lihat sekarang.
Bundaran HI, suatu interchange baru sehubungan dengan pembangunan Hotel
Indonesia menjadi titik pusat yang baru dari kota. Itulah titik imajiner
Bundaran HI. Titik imajiner tambahan adalah Jembatan Semanggi. Dua titik
imajiner ini menjadi kerangka dasar dalam pembentukan downtown Kota
Metropolitan Jakarta antara bundaran Lapangan Merdeka (koningsplein) dengan
bundaran CSW,
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.