Sejarah

Sejarah Jakarta (64): Sejarah Sawah Besar, Kampung Ridwan Saidi; Baheula di Pinggir Kali Ciliwung, Kini Lintasan Kereta Api




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Pada era kolonial Belanda nama area Sawah Besar ditabalkan menjadi nama
onderdistrict. Pada era Republik Indonesia, onderdistrict Sawah Besar ditabalkan
sebagai nama kecamatan di wilayah Jakarta Pusat. Salah satu nama kelurahan di
kecamatan Sawah Besar adalah Karang Anyar dimana saya pernah memimpin survei
rumahtangga pada tahun 1997 dan 1999 (dalam rangka mengumpulkan data untuk analisis
pengukuran dampak krisis ekonomi). Saya sendiri ketika itu masih tinggal di
Sawo Kecik. Begitu cintanya Ridwan Saidi terhadap kampong halamannya di Sawah
Besar, dengan sepenuh hati beliau telah menulis sejarah Sawah Besar tahun 2011
dengan judul: ‘Riwayat Sawah Besar’. Sayang saya tidak bisa mengakses buku tersebut
ketika menulis artikel ini.

Satu hal yang paling menarik dari warisan sejarah masa lalu adalah bahwa
tempo doeloe (baheula) di tengah area yang menjadi sawah luas itu (terbentuknya
kampong Sawah Besar) mengalir kali Ciluwung, air yang tenang tetapi menhanyutkan.
Untuk mewujudkan perluasan kota, mengedalikan banjir dan mengoptimalkan
pengaturan ketinggian air di pelabuhan (yang berpusat di Kali Besar) lalu ruas
sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk (kini stasion Juanda) dan Manggadoea
(kini stasion Mangga Dua) ‘dilikuidasi’. Lalu pada tahun 1869 di bekas kali
Tjiliwong itu dibangnn rel kereta api (ruas stasion Juanda dan stasion Mangga
Dua). Bagaimana itu semua terjadi dan terhubung? Mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Jalan Akses
Pakwan-Padjadjaran ke Soenda Kalapa di Sisi Barat Sungai Tjiliwong
Jakarta tidak terbentuk dalam semalam, tetapi
ratusan tahun. Satu yang sudah terbentuk sejak lampau, tidak pernah berubah
adalah sungai Tjiliwong. Oleh karena itu dalam sejarah Jakarta, sungai
Tjiliwong harus ditempatkan sebagai batang (pokok) sejarah atau kepala sejarah.
Di sisi timur sungai Tjiliwong inilah berada awal mula Jakarta (sekitar Mangga
Dua sekarang).

Nama Jakarta
sudah muncul sejak lama. Paling tidak sudah muncul dalam laporan Portugis.
Seorang Portugis, Joao de Barros di dalam laporannya (1527) di pantai utara
Jawa terdapat tujuh pelabuhan penting, yakni: Chiamo, Xacatara, Caravam,
Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam. Penulis-penulis geografi Belanda
mengidentifikasi Chiamo sebagai Tjimanoek (Indramajoe), Xacatara sebagai
Jacatra, Caravam sebagai Karawang, Tangaram sebagai Tangerang, Cheguide
(Tjikande), Pondang (Pontang) dan Bantam (lihat Tijdschrift van het
Aardrijkskundig Genootschap, 1906, 01-01-1906). Dari keterangan ini, dapat
diinterpretasi, sudah tentu nama Jakarta sudah ada jauh sebelum tahun 1527.
Nama Jakarta (baca: Xacatara) paling tidak sudah
diberitakan/dilaporkan pada tahun 1527. Pada tahun yang sama Demak menduduki
(pelabuhan) Banten dan menduduki pelabuhan Kalapa. Oleh karena nama Jakarta
sudah ada jauh sebelum 1527, dapat diinterpretasi, Demak pada tahun 1527 (juga)
menaklukkan (kerajaan?) Jakarta.
Penaklukkan
Jakarta mengakibatkan (pusat) kerajaan Jakarta berganti rezim, dari rezim lama
menjadi rezim (asal) Demak. Kerajaan Jakarta sebelum dan sesudah berganti
rezim, pelabuhannya adalah Kalapa. Oleh karena itu, pelabuhan Kalapa adalah
pelabuhan Jakarta (sesuai Joao de Barros: Xacatara).
Pelabuhan Kalapa tidak hanya digunakan oleh
(kerajaan) Jakarta, tetapi juga oleh kerajaan di Tanah Soenda, Pakwan-Padjadjaran.
Dalam hal ini, pelabuhan Kalapa adalah pelabuhan internasional yang mana
Jakarta dan Pakwan-Padjadjaran memiliki akses. Kerajaan Jakarta melalui akses
air (sungai) Tjiliwong (sisi timur sungai Tjiliwong). Sedangkan Kerajaan
Pakwan-Padjadjaran melalui akses darat (sisi barat sungai Tjiliwong).
Pakwan-Padjadjaran,
sebagai kerajaan besar yang berpusat di Bogor sekarang, memiliki banyak akses
menuju laut (pelabuhan): ke pantai selatan melalui Tjimandiri ke Pelabuhan Ratu
sekarang; ke pantai utara, yakni Chiamo (Cimanuk/Indramayu), Xacatara (Kalapa Jakarta
melalui sungai Ciliwung), Caravam (Karawang melalui sungai Cibeet), Tangaram (Tangerang
melalui sungai Cisadane), Cheguide (Cikande melalui sungai Tjikande atau sungai
Tjidoerian), Pondang (Pontang) dan Bantam (Banten). Kerajaan Jakarta diduga
adalah kerajaan kecil yang menjadi vassal dari Kerajaan Pakwan-Padjadjaran
(yang menjadi sebab pelabuhan Kalapa dipandang sebagai pelabuhan bersama).
Penulis-penulis Portugis selanjutnya, pelabuhan
Kalapa adakalanya ditulis sebagai pelabuhan Sonda Calapa (Soenda Kalapa). Penyebutan
Kalapa menjadi Soenda Kalapa menjadi lebih intens setelah pendudukan Demak
hingga menjelang kehadiran pelaut-pelaut Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de
Houtman (1595-1597).
Nama Kalapa (Xalapa) juga ditemukan di Mexico
sebagai pelabuhan penting. Tidak jelas mana yang lebih dulu Kalapa di timur
atau Xalapa di barat. Dua pelabuhan ini berada di wilayah (dekat) tropis.
Faktor Portugis (sebelum kedatangan Spanyol) sangat pnting di dua pelabuhan
yang berjauhan.
Akses kerajaan Pakwan-Padjadjaran ke
laut/pelabuhan melalui sisi barat sungai Tjiliwong. Jalan akses ini merupakan
jalan kuno yang kini dikenal melalui Kedong Badang, Tjileboet, Bodjongmanggis/Bodjong
Gede, Pondokterong/Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Sringsing/Lenteng-agoeng, Tandjoeng/Pasar
Minggu, Menteng, Tjikini, terus ke Soenda Kalapa. Jalan akses ini tidak pernah
memotong sungai, jalan ini berada diantara sungai Tjiliwong dengan sungai
Kroekoet (bermuara di setu Tjitajam di Pondokterong).

Jalan
akses Pakwan-Padjadjaran ini pada permulaan Pemerintahan Hindia Belanda masih
terdeteksi mulai dari Tjikini hingga Soenda Kalapa yakni melalui Prapatan terus
ke jalan Merdeka Timur ke arah Istana lalu ke Harmoni dan seterusnya melalui
jalan Gadjah Mada/Hayam Wuruk ke  Sonda
Kalapa.
Dalam literatur Portugis, satu sumber yang cukup
detail menggambarkan situasi dan kondisi umum di Jawa sebelum kedatangan
Belanda adalah buku Tome Pires (1512-1515). Tome Pires menyebut nama pelabuhan
(port) Calapa. Penyebutan nama Cunda Calapa baru ditemukan dalam laporan Duarte
Barbosa (1518). Nama Jacatra baru muncul dalam laporan Joao de Barros (1527).
Untuk sekadar informasi, buku-buku Tome Pires, Duarte Barbosa, Joao de Barros
dan Fernao Mendes Pinto pada masa kini dapat diakses di internet.
Demikian
juga dengan jurnal perjalanan ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) pada
masa ini dapat diakses di internet. Dalam laporan ekspedisi yang dipimpin
Cornelis de Houtman (1595-1597) nama tempat di muara sungai Tjiliwong adalah
Cunda Calapa, Laporan ini berjudul Journael vande reyse der Hollandtsche
schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde
avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt
aengeteeckent (yang diterbitkan tahun 1598). Ekspedisi Cornelis de Houtman ini
berada di Cunda Calapa pada bulan November 1596.
Dalam
ekspedisi kedua Belanda tiba di pulau Sumatra pada tanggal 13 Desember 1604
Lalu pada tanggal 17 Januari 1605 kapal-(kapal) Belanda menyingkir dari Banten
dan bergerak ke ke kepulauan Maluku. Sebelum ke Maluku mereka singgah di
Jacatra dan tanggal 15 Februari tiba di Bima. Ini mengindikasikan nama Jacatra
sudah dicatat Belanda. Pada ekspedisi pertama Belanda hanya mencatat nama pelabuhannya
saja (Cunda Calapa). Ini mengindikasikan pemahaman mereka di seputar muara
sungai Tjiliwong semakin meningkat. Pelabuhan Cunda Calapa berada di sisi barat
muara sungai Tjiliwong, sedangkan (pusat kerajaan) Jacatra berada agak ke
pedalaman (di sekitar Mangga Dua sekarang).
Perluasan Kota (Stad Batavia): Fort Jacatra, Fort Noordwijk, Fort Risjwijk
dan Fort Angke
Sejak VOC/Belanda memindahkan basis
perdagangannya dari Amboina ke (pelabuhan) Soenda Kalapa, mulai muncul untuk
menguasai (kerajaan Jacatra). Hubungan VOC/Belanda dengan kerajaan Jacatra bersifat
mutualisme. Kerajaan Jacatra ingin bebas dari (pengaruh) Banten lalu menjalin kerjasama
dengan VOC/Belanda. Untuk itu hak monopoli perdagangan diberikan kepada
VOC/Belanda sementara untuk melindungi kerajaan Jacatra, VOC/Belanda membangun
pertahanan di (pulau) Ontong Djawa yang mana pulau Ontong Djawa dan sungai
Tjisadane sebagai batas antara kesultanan Banten dengan kerajaan Jacatra. Dalam
perkembangannya, khawatir dengan serangan dari Banten, VOC/Belanda lalu menyerang/melumpuhkan
kerajaan Jacatra dan menawan rajanya. Sejak ini, JP Coen memperkuat Kasteel
Batavia dan mulai membangun kota (1619).
Kasteel Batavia, 1618

Dalam
terminologi yang digunakan dalam penaklukan Jacatra dan bukan penaklukan Soenda
Kalapa, itu berarti nama Jacatra saat penaklukan adalah Jacatra. Seperti
disebutkan di atas, nama Jacatra pada tahun 1619 sudah eksis (bahkan jauh
sebelum tahun 1527 di era Portugis). Tampak dalam sebuah lukisan yang dibuat
pada tahun 1618 benteng Belanda tidak jauh dari pantai. Di dalam benteng ini
terdapat sejumlah bangunan yang diduga sebagai bangunan tempat para pedagang,
gudang komoditi, barak tenaga kerja dan lainnya. Sementara itu sebuah sketsa
yang dibuat Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 yang menggambarkan benteng
lama di muara sisi timur sungai Tjiliwong (a) dengan rencana pengembangan
benteng yang lebih luas yang mana sisi utara lebih dekat ke laut (b). Rencana
benteng baru ini duhubungkan dengan pembangunan kota baru Jacatra.

Sketsa Srad Batavia, 1619

Satu
hal yang menjadi penting dalam sketsa ini, nama benteng baru (nieuwe kasteel)
disebut Fort Jacatra dan kota (stad) Jacatra. Ini mengindikasikan nama Batavia
sendiri belum muncul. Seperti umumnya nama benteng Belanda/VOC mengikuti nama
tempat atau situs terdekat dengan benteng. Segera setelah realisasi
pengembangan benteng baru dan pembangunan kota baru ini menjadi sebab munculnya
nama Batavia. Beberapa tahun kemudian wujud kota baru (Batavia) ini sudah
terlihat sebagaimana tampak pada Peta 1624.

Sketsa Stad Batavia, 1624

Nama
Batavia paling tidak baru muncul pada tahun 1627 (lihat Courante uyt Italien,
Duytslandt, &c. 31-07-1627). Dalam hal ini nama Batavia muncul setelah
tahun 1619 dan sebelum tahun 1627. Dengan mengacu pada sketsa kastil baru dan
kota Jacatra serta nama baru benteng (fort) maka VOC/Belanda sudah sangat dalam
menancapkan kukunya di area koloni baru itu dan tidak ingin diusik oleh
siapapun (termasuk Banten). Seperti tampak pada Peta 1624 sungai Tjiliwong
masih terlihat seperti aslinya (masih berbelok-belok, belum dirancang
sebagaimana nanti terbentuk wujud yang luru yang disebut Kali Besar).

Kesultanan Banten tentu saja tidak berdaya lagi
untuk menyerang Jacatra yang telah berubah menjadi Batavia. Akan tetapi tidak
dengan Kerajaan/Kesultanan Mataram. Lalu muncullah apa yang kita kenal dengan
serangan Mataram ke Batavia tahun 1628. Setelah serangan Mataram, VOC/Belanda
mulai membentuk pertahanan ganda dengan membangun benteng-benteng di luar
Kasteel Batavia.
Kali Besar Stad Batavia

Dalam
menghadapi serangan Mataram, Stad Batavia (VOC/Belanda) belum teruji. Dari sisi
dalam masih ada kelemahan, tetapi dari sisi luar (pantai) masih sangat kuat.
Pertahanan VOC/Belanda di Ontong Djawa dan (pulau) Onrust juga masih sangat
kuat (terutama) untuk menekan Banten. Dalam situasi inilah VOC/Belanda terus
melakukan pembangunan kota Batavia. Desain kota juga sudah mencakup sisi barat
sungai Tjiliwong. Diantara dua sisi sungai ini di dalam kota sungai Tjiliwong
direvitalisasi dengan membangun kanal utama yang menjadi pelabuhan yang kemudian
disebut Kali Baroe.

Benteng yang pertama dibangun, di luar Kasteel
Batavia adalah benteng (fort) Jacatra. Benteng ini dibangun sejatinya hanya untuk
menjaga pusat kerajaan Jacatra dari gangguan luar. Hal ini karena kerjasama
VOC/Belanda dengan raja Jacatra telah memancing berbagai pihak tidak senang
dengan boneka VOC/Belanda tersebut. Raja Jacatra sendiri sudah berumah di dalam
kota (stad0 Batavia.
Fort Jacatra dan fort lainnya

Posisi
benteng (fort) Jacatra ini tidak lazim bagi VOC/Belanda. Namun karena posisi
Jacatra berada di sisi timur sungai Tjiliwong dan dalam hubungannya untuk
melindungi properti kerajaan Jacatra maka letak benteng dengan sendirinya berada
di sebelah luar (sisi timur sungai Tjiliwong).

Dalam perkembangannya pembangunan benteng-benteng di luar Kasteel Batavia
ditambah. Hal ini sehubungan dengan dimulainya era baru dalam eksploitasi
perkebunan tebu dan pabrik gula di seputar Batavia. Benteng-benteng baru
tersebut adalah benteng Noordwijk, benteng Riswijk dan benteng Angke serta benteng
Vijfhoek.
Wilayah
eksploitasi perkebunan dan pabrik semakin meluas sehingga pada akhirnya
kemudian dibangun benteng-benteng di Tangerang, di Antjol, di Buitenzorg, di
Bekasi dan di Tandjoeng Poera (Karawang). Dalam perkembangan selanjutnya
dibangun lagi benteng di Serpong, Tandjong, Tjirebon, Tegal dan Goenoeng Parang
(Soekaboemi). Setelah benteng Missier di Tegal, benteng baru dibangun di
Semarang dan di Soeranaja.
Kanalisasi: Sawah Besar
Pada tahun 1663 VOC/Belanda mengubah kebijakannya
dari perdagangan yang longgar di pantai menjadi kebijakan yang mana penduduk
dijadikan sebagai subjek. Penduduk dilibatkan untuk peningkatan produksi
domestik seperti beras dan produksi seperti gula. Penduduk juga dijadikan
sebagai agen perdaganag di pedalaman.

Peta 1682

Boleh
jadi ini karena kekuatan militer VOC/Belanda sudah semakin kuat dengan merekrut
pribumi di berbagai tempat. Dalam fase inilah teridentifikasi nama-nama seperti
Kapitein Jonker, Aroe Palaka dan Kapitein Soeta Wangsa. Kebijakan invasi
dimulai untuk meratakan jalan untuk mermperluas koloni. Korban pertama adalah Kesultanan
Gowa.

Langkah yang pertama dilakukan adalah membuka dan
eksploitasi pertanian di seputar kota Batavai. Lahan-lahan rawa dan lahan kerap
terkena banjir diubah dengan mulai membangunan kanal irigasi, Kanal yang
dibangun juga berfungsi sebagai drainase. Teknologi kanal yang selama ini fokus
dan terbatas di dalam pengembangan kanal dalam kota diperluas ke luar kota
dengan membangun kanal drainase dan irigasi.
Peta 1740

Kanal yang
pertama dibangun adalah menyodet sungai Tjiliwong di benteng Noordwijk dan
dialirkan ke barat menuju benteng Risjwik dan sungai Krokot. Kanal ini adalah
jarak terdekat antara sungai sungai Tjiliwong dan sungai Krokot di hilir. Di
hulu jaraj terdekat di Pondok Terong/Tjiatajam dimana berada hulu sungai Krokot
(di setu Tjitajam). Kanal ini memilik banyak fungsi: moda transportasi air antara
dua benteng terjauh tersebut; sumber air irigasi untuk pengembangan perkebunan
tebu dan pencetakan sawah baru anatara stad kota Batavia dan benteng; kanal ini
juga menjadi sistem drainase di area antara dua benteng dan kanal sendiri
menjadi semacam barier pertahanan. Dalam hubungan ini VOC/Belanda selain
merektur pribumi untuk mendukung militer, VOC/Belanda juga mendatangkan tenaga
kerja dari berbagai tempat (sebagai budak) dan mendatangkan tenaga kerja dari Tiongkok
untuk mengelola pabrik-pabrik gula,

Seperti tampak pada Peta 1682 sudah
teridentifikasi lahan-lahan perkebunan tebu dan lahan-lahan persawahan. Pada
persil lahan kedua dan ketiga dari kanal adalah persawahan (Rijst velder).
Persawahan yang luas ini diduga kelak menjadi timbulnya nama area Sawah Besar
(kini kecamatan Sawah Besar). Pada peta 1740, persil pertama dari kanal adalah
perkebunan kelapa untuk tujuan produksi minyak goreng. Perkebunan kelapa yang
luas ini diduga menjadi asal mula munculnya kampong Kebon Kalapa (kini
kelurahan Kebon Kelapa).
Lukisan 1750

Kita bisa ringkas situs penting, situs tua yang menjadi bagian sejarah
Sawah Besar adalah jalan kuno sejak era Pakwan-Padjadjaran yang kini menjadi
jalan Hayam Wuruk/jalan Gajah Mada (di era Hindia Belanda disebut jalan
Molenvliet). Situs kedua adalah kanal antara benteng Noordwijk (sungai
Tjiliwong) dan benteng Riswijk (sungai Kroekoet). Situs ketiga kita adalah
sawah yang sangat luas yang dikenal kemudian sebagai Sawah Besar (lihat Lukisan
1750). Siapa pemilik sawah luas ini tidak diketahui secara jelas. Sawah luas ini pada lukisan berada antara benteng Jacatra dan benteng Noordwijk.

Kali Mati: Gang Patjenongan
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pembangunan Jalur Kereta Api: Halte Sawah Besar
Tunggu deskripsi lengkapnya
Onderdistrict Menjadi Kecamatan: Chinese Kerkweg Menjadi Jalan Lautze
Tunggu deskripsi lengkapnya

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top