Sejarah

Sejarah Jambi (12): Pegunungan 12, Sisa Zaman Kuno Daerah Tangkapan Air Sungai Batanghari; Taman Nasional-Ekologi Asli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana pada
artikel-artikel sebelum ini, sejarah zaman kuno pantai timur Sumatra, khususnya
di wilayah provinsi Jambi yang sekarang. Jauh sebelum terbentuk daratan datar
wilayah Jambi, di suatu teluk besar terdapat sejumlah pulau-pulau yang mana
salah satu pulau tersebut adalah Pegunungan 12 (Bukit Duabelas). Wilayah ini dikenal
sebagai wilayah tangkapan air di daerah aliran sungai Batanghari. Dalam hal ini
bagaimana hubungan antara sungai Batanghari dan wilayah Pegunungan 12.


Taman
Nasional Bukit Duabelas (disingkat TN Bukit Duabelas) adalah sebuah taman
nasional yang terletak di Provinsi Jambi. Dalam pembagian administratif,
lokasinya masuk ke dalam Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten
Sarolangun. Luas lahan yang digunakan adalah 54.780,41 hektare. Namanya berasal
dari kondisi geografis daerahnya yang berbukit-bukit. Beberapa bukit
tertingginya yaitu bukit Punai (164 meter), Panggang (328 meter), dan Kuran
(438 meter). Daerah ini merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran
sungai dari Sungai Batanghari. Di Taman Nasional Bukit Duabelas ada lebih
kurang 120 jenis flora yang hidup, termasuk ulin, menggeris setinggi 80 meter,
jelutung berdiameter 2 meter, dan rotan jerenang. Di dalam Taman Nasional Bukit
Duabelas ini berdiam Suku Anak Dalam atau Suku Kubu atau Orang Rimba. Jumlah
Orang Rimba di sini pada tahun 2018 mencapai 2960, naik dari tahun 2013
sebanyak 1775 orang. Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan perwakilan bagi
hutan hujan tropis di provinsi Jambi. Bagian utara taman nasional ini terdiri
dari hutan primer, sementara sisanya merupakan hutan sekunder, sebagai akibat
dari penebangan kayu.
(Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Pegunungan 12, sisa zaman
kuno di daerah tangkapan air sungai
? Seperti yang disebut di atas, Pegiunungan 12 atau Bukit 12 bukanlah
wilayah baru tetapi merupakan sisa zaman kuno dalam perkembangan peradaban. Kini
Pegunungan 12 menjadi Taman Nasional yang menjadi ekologi penduduk asli. Lalu
bagaimana sejarah Pegunungan
12, sisa zaman kuno di daerah tangkapan air sungai
? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai
dinarasikan.
Seperti
kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Pegunungan 12, Sisa Zaman Kuno di Daerah Tangkapan Air
Batanghari; Taman Nasional dan Ekologi Penduduk Asli

Pada masa kini, kawasan Pegunungan 12 masuk wilayah
k
abupaten
Tebo,
kabupaten Batanghari dan kabupaten Sarolangun. Kawasan ini sejak 1984 Pemerintah
Kabupaten Sarolangun-Bangko diusulkan untuk dijadikan sebagai hutan lindung
karena alasa dimana populasi pendudukas asli Orangt Rimba/Kubu (suku Anak Dalam).


Kawasan Bukit Duabelas secara geografis berada di antara tiga empat kota:
Bangko/Pemenang, Pauh, Muara Tembesi dan Muara Tebo. Antara Muara Tembesi dan
Muara Tebo dihubungkan sungai Batanghari; antara Muara Tembesi dengan Pauh
adalah sungai Tembesi; antara Pauh dan Pemenang dihubungkan oleh sungai Batang
Asai/Kiri, Kawasan Bukitduabelas seakan menggambarkan suatu tanjong yang mengeucut
ke Muara Tembesi. Seperti ditunjukkan pada peta di atas, secara geomorfologis Kawasan
Bukitduabelas ini seakan gambaran suatu pulau di dataran rendah yang luas.

Kawasan Bukitduabelas, Kawasan lindung yang kini
menjadi Taman Nasional memiliki l
uas 54.780,41 hektare yang secara topografi berbukit-bukit. Beberapa bukit
tertingginya yaitu bukit
dimana puncak-puncak bukit tertunggi di Punai (164 meter), Panggang
(328 meter), dan Kuran (438 meter).
Kawasan ini
merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sun
gai (sungai Batanghari, sungai Tembesi dan sungai
Batang Asai/Kanan). Artinya Kawasan ini arus sungai sangat lambat, dan jika
terjadi curah hujan tinggi di hulu-hulu sungai akan terjadi peningkatan
ketinggian pwermukaan air (yang menyebabkan genangan/banjir di kedua sisi
sungai).


Satu yang menarik dari Kawasan ini adalah, di sebelah barat daya Kawasan Bukit
Duabelas terdapa area gambut yang sangat luas. Sebagaimana diketahui area
gambut umumnya berada di Kawasan pesisir/belakang pantai seperti di hilir Kota
Jambi. Area gambut di Kawasan Bukit Duabelas, sejatinya bnerada di pedalaman.
Pertanyaannya: mengapa terbentuk area gambut di pedalaman? Yang jelas bahwa
gambut umumnya adalah Kawasan sedimen yang bersifat alluvial yang di masa
lampau terjadi pengendapan massa padat berupa lumpur/tanah dan sampah vegetasi.
Kawasan gambut ini masuk wilayah Kabupaten Sarolangun yakni di sekitar daerah
aliran sungai Tembesi.

Adanya area gambut di kawasan Pegunungan 12/Bukit
Diuabelas, menjelaskan bahwasa kawasan ini pada zaman kuno dan hingga masa ini
merupakan daerah tangkapan air (arus air menuju suatu titik dan tertahan, oleh
karena berada di daratan/pedalaman hanya dapat menyusut di musim kemarau. Oleh
karena kawasan ini merupakan kombinasi hutan hujan tropis di Kawasan ketinggian
(Bukit 12) dan Kawasan gambut, maka Kawasan Bukit 12 terbilang habitay yang sangat
lengkap untuk berbagai fauna. Namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa Kawasan
sekitar Bukit 12 ini memiliki sejarah zaman kuno tersendiri.


Adanya kawasan gambut di pedalaman, mengindikasikan suatu kawasan di masa
lampau sebelum terbentuk daratan/gambut adalah kawasan perairan semacam danau
besar atau teluk besar yang terjebak karena terbentuknya daratan di hilir
sungai Tembesi dan sungai Batanghari. Pada masa ini di kabupaten Sarolangun dan
kabupaten Tebo juga ditemukan potensi batubara yang sangat besar. Dalam ghal
ini gamburt dan batubara adalah fosil dan tanah yang berupa pelapukan sampah
vegetasi dalam jangka panjang

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah apakah kawasan
gambut ini di zaman kuno adalah suatu danau besar atau teluk yang menjorok ke
daratan yang mendekati Bangko/Pamenang (di kabupaten Merangin). Sebagaimana
diketahui di Karang Berahi di Pamenang ditemukan prasasti yang berasal dari
abad ke-7. Sebagaimana disebut di atas, kawasan Bukit 12 adalah daerah
tangkapan air (sungai).


Posisi dimana daerah tangkapan air di Kawasan Bukit 12 haruslah dihubungkan
dengan Kawasan gambut. Di arah utara Kawasan Bukit 12 elevasinya lebih tinggi
jika dibandingkan di selatan Kawasan Bukit 12. Bandingkan elevasi antara
beberapa titik berikut: Kota Pauh Sarolangun berada di ketinggian 60 m dpl (suatu
daerah yang terbilang rendah yang jauh di pedalaman); bahkan di wilayah Mandingin
hanya setinggi 40 m dpl. Sementara di Pamenang, Merangin dengan tinggi 51 m dpl
(titik terendah di kabupaten Merangin). Sedangkan di wilayah kabupaten Tebo
elevasinya lebih tinggi seperti kawasan di daerah aliran sungai Batanghari
seperti Tebo Ilir 120 m dpl; Muara Tabir 100 m dpl.

Sebagai daerah tangkapan air, dimana terdapat Kawasan
gambut yang luas, daerah di hilir Bangko/Pemenang dan Sarolangun diduga adalah kawasan
perairan, boleh jadi suatu danau besar atau suatu teluk. Dalam konteks navigasi
pelayaran dari laut dimungkinakan bisa mencapai wilayah Pamenang (51 m dpll)
dan Sarolangun (52 m dpl). Dalam hal ini besar dugaan di zaman kuno (abad ke-7)
Pamenang dan Saroloangun adalah pusat peradaban awal.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Taman Nasional dan Ekologi Penduduk Asli: Pemahaman
Peradaban Zaman Kuno di Pantai Timur Sumatra

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top