*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Ada dua nama kota tempo doeloe di pedalaman
Sumatra: Soerolangun di hulu sungai Batanghari dan Soeroelangun di hulu sungai
Musi. Dua kota ini adalah awal navigasi ke hilir di masing-masing sungai. Dua
kota ini dipisahkan oleh pegunungan, yang mana dari pegunungan itu sumber air
sungai Tembesi dan sungai Rawas. Wilayah Rawas di hulu sungai Batanghari/sungai
Tembesi.sungai Batang Kasai dan hulu sungai Musi/sungai Rawas pernah menjadi
sengketa antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang.

Nama
Tembesi dan naman ama Rawas diduga adalah nama-nama kuno sebagai penanda
navigasi transportasi sungai. Di pertemuan sungai Tembesi dan sungai Batangasai
terdapat kota Saroelangoen dimana di hulu sungai Batangasai terdapat kota Moera
Limoen. Sementarea itu di pertemuan sungai Banoeng dengan sungai Rawas terdapat
kota Moeara Roepit. Di daerah aliran sungai Baoeng ini terletak kota
Saroelangoen. Antara sungai Bartangasai dan sungai Baoeng dipisahkan oleh
pegunungan. Nama Tembesi dan nama Rawas (ditulis Rawa’s) mirip dengan nama
Tambusai dan nama Rao/Rawa di hulu sungai Rokan Kanan dan sungai Rokan Kiri.
Lantas bagaimana sejarah wilayah Rawas menjadi
Musi Rawas, antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang? Seperti yang disebut di atas, wilayah Rawas berada di daerah perbatasan
Kesultanan Jambi dan Kesultanan Palembang masa lalu. Lalu bagaimana sejarah wilayah Rawas
menjadi Musi Rawas, antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Wilayah Rawas Menjadi Musi Rawas, Antara Kesultanan
Jambi dan Palembang; Sultan Jambi versus AV Michiels
Wilayah Rawas adalah wilayah yang sangat jauh dari kota
Palembang. Rawas juga sangat jauh dari kota Jambi. Namun yang menjadi
pertanyaan mengapa wilayah yang jauh ini menjadi rebutan antara Kesultanan
Jambi dengan (kesultanan) Palembang pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah
Hindia Belanda di Palembang. Rawas diduga adalah nama kuno, suatu wilayah
peradaban awal di wilayah Provinsi Sumatra Selatan yang sekarang.
Penduduk di wilayah Rawas (terutama penduduk di wilayah Kabupaten Musi
Rawas Utara) lebih mengidentifikasi diri sebagai Orang Rawas daripada orang
Melayu (di Palembang). Penduduk Rawa memiliki dialek sendiri dari dalam bahasa
Melayu. Wilayah Rawas (Musi Rawa Utara) berada di daerah aliran sungai Rawas
yang berbatasan dengan wilayah ulayat Orang Batin (sungai Batangasai dan sungau
Batangtembesi di wilayah Sarolangun) di utara dan Orang Redjang dan Orang Lebong
di arah barat, pluas Orang Kerintji di arah barat laut. Kelompok-kelompok
populasi tersebutlah yang saling berdekatan satu sama lain, yang diduga sudah
terbentuk sejak zaman kuno. Dari segi bahasa, (bahasa asli yang dipengaruhi
bahasa Melayu), adat istiadat dan arsitektu bangunan satu sama lain memiliki
kemiripan (bahkan dibandingkan di wilayah kota Jambi dan kota Palembang). Kosa
kata elementer, seperti ibu, dalam bahasa Lampong adalah ‘indui’, dalam bahasa
Rejang ‘indok’, bahasa Kerinci ‘indok’ dan bahasa Batin sebgai ‘indu’ yang mana
disebut berbeda di wilayah kota Palembang dan di kota Jambi. Secara elementer ‘
sebutan ibu sebagai ‘indok/indu’ haruslah dianggap sebagai sebutan asli yang
sudah berumur tua, jauh sebelum bahasa-bahasa tersebut dipengaruhi oleh bahasa
Melayu. Dalam sejarahnya, Ketika pusat peradaban baru terbentuk di wilayah
Jambi dan di wilayah Palembang yang mana terbentuk kerajaan-kerajaan kuat,
wilayah-wilayah pedalaman yang berada di Kawasan yang sama menjadi subjek dari
Sultan Palembang dan subjek dari Sultan Jambi.
Persoalan politik mengemuka di wilayah Rawas pada awal
pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Palembang. Pangkal masalahnya
diduga bermula, Ketika otoritas Kesultanan Palembang dilikuidasi, pangeran
Palembang melakukan perlawanan dan bergeser hingga ke wilayah Rawas. Tidak ada
keterangan yang jelas mengapa pangeran Palembang memilih wilayah Rawas, kecuali
bahwa wilayah Rawas ini bisa diakses melalui transportasi sungai dari8 kota
Palembang melalui sungai Musi yang kemudian memasuki daerah aliran sungai Rawas
yang mengarah ke wilayah yang menjadi subjek Sultan Jambi.
Satu kota/kampong utama di arah hulu sungai Rawas adalah Surulangun. Di
arah utara kota Surulangun (kini masuk wilayah provinsi Sumatra Selatan) ini
juga terdapat kota/kampong yang disebut Sarolangun (kini masuk wilayah provinsi
Jambj). Jarak antara dua kota ini begitu dekat, hanya dibatasi oleh Kawasan yang
lebih tinggi, yang mana dari Kawasan yang lebih tinggi sungai-sungai kecil
mengalir ke sungai Rawas di selatan dan ke sungai Batangasai di utara (yang
mana sungai Asai ini bermuara di sungai Tembesi dimana terdapay kota/kampong
Sarolangun. Dalam situasi dan kondisi inilah pangeran Palembang yang mengambil
posisi di wilayah Rawas dikejar pasukan/militer Pemerintah Hindia Belanda
(lihat Bataviasche courant, 18-12-1824). Pengejaran ini dipimpin Overste Castel,
komandan militer Palembang. Pertempuran terjadi malam 22 November 1824 dilancarkan
oleh 300 hingga 400 Orang Rawas yang dipimpin oleh Pangeran Palembang.
Perlawanan ini dipersenjatai dengan tombak dan klewang, hanya sedikit yang
dilengkapi dengan senjata untuk menyerang kekuatan Eropa, Berit ini disampaikan
oleh Residen Palembang, Rejnst. Sebelumnya pangeran Soera di Laga telah diutus
dari Palembang ke wilayah Rawas pada bulan Augustus untuk bernegosisiasi dengan
perlawanan itu, namun gagal hingga pasukan/militer dikerahkan dari Palembang
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Castel.
Dalam perkembangannya perlawanan yang terjadi di
wilayah Rawas terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Palembang dapat
diredam. Boleh jadi, sejak inilah di dalam peta wilayah administrasi wilayah
Residentie Palembang dimasukkan wilayah Rawas. Meski wilayah (kersultanan)
Jambi masuk wilayah Residentie Palembang, tetapi secara defakto wilayah di luar
(eks otoritas Sultan Palembang) tetap dianggap sebagai wilayah independent di
bawah otoritas Sultan Jambi. Dengan kata lain, otoritas Sultan Jambi diakui
oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan tetap berkuasa (secara indenpendin) di
wilayah Kesultanan Jambi. Eks Kesultanan Palembang sudah menjadi wilayah
otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Hubungan antara Sultan Jambi dan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda melalui Residen Palembang hanya bersifat koordinatif. Namun
dalam perkembangannya sifat hubungan bilateral tersebut berubah menjadi persoalan
politik karena Pemerintah Hindia Belanda menganggap Sultan Jambi telah melakukan
invasi di wilayah Rawas (yang dianggawap wilayah otoritas eks Kesultanan
Palembang).
Pada tahun 1833, Sultan Jambi menghadapai kesulitas sendiri di wilayahnya
di daerah aliran sungai Batanghari. Hal ini bermula para bajak laut dalam
beberapa tahun terakhir yang mengambil tempat di hilir sungai Batanghari (di
sekitar Moeara Sabak). Tentu saja saat itu tidak ada pejabat pemerintahan
Hindia Belanda yang ditempatkan di Jambi (karena bersifat independent). Oleh
karena akses Sultan Jambi terhalang ke dunia luar, karena kegiatan para bajak
laut di wilayah hilir, lalu Sultan Jambi meminta bantun kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mengusir para bajak laut. Berhasil. Sultan Jambi Kembali leluasa
di wilayahnya sendiri. Namun pada paruh kedua tahun 1833 diberitakan Sultan
Jambi melakukan invasi di wilayah Rawas (tentu saja Resident Palembang yang telah
menempatkan patrol/pengawas di wilayah Rawas terusir). Mengapa Sultan Jambi melakukan
invasi di wilayah Rawas kurang terinformasikan. Namun diduga Sultan Jambi menganggap
Rawas masuk dalam subjeknya. Jalan negosiasi antara Residen Palembang dan
Sultan Jambi mengalami deadlock. Akhirnya kekuatan militer yang berpusat di Palembang
tidak mampu mengatasi persoalan di Rawas sehingga harus didatangkan satu pasukan
dari Batavia yang dipimpin oleh Overste AV Michiels. Pasukan perlawanan Jambi
takluk. Inilah yang menjadi sebab muncul perjanjian antara Sultan Jambi yang baru
dengan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian pada tahun 1834 Pemerintah
Hindia Belanda mewakili Resident Palembang mulai berkoloni di wilayah Jambi
dengan menempatkan pejabatnya di Moera Kompeh. Dalam perjanjian Pemerintah
Hindia Belanda di Moeara Kompeh memungut bea dan cukai terhadap perdaganagn
masuk dan keluar di daerah aliran sungai Batanghari. Kini, Sultan Jambi tidak
lagi menguasasi sepenuhnya nilai transaksi perdagangan di daerah aliran sungai
Batanghari (minus Pemerintah Hindia Belanda di Moera Kompeh).
Pasca kerusuhan di wilayah Rawas, di daerah aliran
sungai Rawas yang berbatasan dengan wilayah subjek Sultan Jambi, nama Rawas kemudian
diidentifikasi sebagai Musi Rawas. Memang fakta bahwa sungai Rawas adalah salah
satu cabang dari sungai Musi, tetapi di masa sebelumbnya apakah wilayah daerah
aliran sungai Rawas adalah subjek Sultan/Kesultanan Palembang? Dan mengapa pula
Sultan/kesultanan Jambi menganggap wilayah Rawas adalah subjeknya? Tentu saja
dalam hal ini diperlukan penyelidikan sejarah yang lebih mendalam.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sultan Jambi versus Komandan Overste AV Michiels di
Wilayah Rawas: Rawas Menjadi Musi Rawas
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.